01

Waktu kecil aku berpikiran ...

"Setelah besar nanti, lanjut sekolah sampai universitas, lulus dengan normal, lalu menikah di sekitar umur 25 tahun."

... sesimpel itu.

Tapi---

Tidak lulus ujian masuk kuliah dua kali + lulus S2 = 27 tahun.

Masih single aka JOMLO.

Pengangguran.

Memang kenyataannya seperti ini. Mengenaskan!

Hidup begitu keras di zaman yang serba sulit ini, termasuk mendapatkan pekerjaan yang tepat. Sialnya, aku mengalaminya. Di umur 27 tahun ini, aku masih pengangguran. Melakukan wawancara dan melamar pekerjaan berulang kali, tetapi selalu ditolak hanya dikarenakan pernah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya (padahal saat itu baru mulai tiga bulan bekerja).

Sekarang, aku benar-benar merasa tidak berguna. Lagi-lagi aku tidak diterima di perusahaan. Padahal aku sudah berjuang dengan keras.

Tetiba suara dering ponselku menggema ...

"Emak"

Geh! Oh, iya ... Aku kasih tahu kalau hari ini pengumuman wawancara terakhir.

"Aku sampai wawancara terakhir, lho~ Kayaknya diterima di situ~"

Ngomongnya kayak meyakinkan banget, eh?

Segera aku angkat teleponnya, "Halo?"

"GIMANA HASIL AKHIRNYA?!" Emak berteriak kencang-- kuyakin telingaku sampai berdenging.

Sedikit mengambil jeda untuk mengusap telinga kananku yang sakit.

"Aduh, nggak usah sampai teriak." Itulah satu-satunya hal yang bisa kukatakan untuk mengembalikan suasana hati.

"Habisnya kamu nggak telepon! Emak, kan, penasaran." Dapat kudengar ada sedikit nada kekhawatiran darinya.

Aku tidak langsung menyahut omelannya. Menghela napas pun terasa berat. "Gak diterima, Mak," sahutku lirih.

"HAH?! Kamu bukan bilangnya bisa keterima! Kenapa?!" Ya ampun ... Berhentilah berteriak, Emak ...

"Nggak tahu, Mak, kalau nggak diterima, ya, nggak diterima."

"... oh."

"Apa yang maksudnya 'oh'?"

Ketika keheningan kembali menguasai dalam pembicaraan kami, Emak berujar, "... Emak ada kabar buruk buat kamu yang lagi sedih ..."

"Apa? Apa lagi yang bisa lebih buruk dari-"

Protesanku langsung dipotong, "Mulai bulan depan, enggak ada kiriman duit lagi, ya."

"HAAAH?!!!"

"Aduh, ga usah sampai teriak."

Siapa, ya, orang yang teriak duluan pas angkat telepon?!

“Eh?? Kenapa?! Kok tiba-tiba begitu ...?!" Dia seharusnya tahu aku tidak bisa bertahan hidup tanpa kiriman uang!

"Habisnya kamu, dibilang lulusan baru, juga sudah 27 tahun, 'kan? Masa Tante 27 tahun masih bergantung sama biaya orang tua!"

"Jangan sebut anak sendiri Tante!! Aku masih muda tahu! Aku juga kerja sambilan!!"

"Kalau ada mimpi yang ingin dicapai, sih, nggak apa-apa, tapi kamu nggak punya, 'kan? Sudah, balik kampung saja. Memang ada artinya kamu di situ?" Ucapannya menggambarkan kekhawatiranku juga. Daripada membiarkanku terus menghabiskan uang kiriman Emak, seharusnya aku-lah yang memberi uang ke sana. Egois memang.

"Maaf, Mak... Tapi pas pergi, kan, aku sudah bilang, aku sudah muak dengan kampung." Dari lubuk hatiku, aku agak merasa berat ketika berkata, " ... Jadi aku nggak mau balik."

"Ya sudah, kalau itu maumu. Terserah mau menjalani hidup seperti apa-"

'Emak...!' jeritku dalam hati dengan perasaan terharu.

"--Tapi Emak sudah enggak peduli kamu hidup atau mati."

Eh? Mati...?! Sebentar, maksudnya apa?!

"Kalau nggak mau mati... Ayo, balik ke kampung, bantu Emak jualan kue. Ngomong-ngomong, seperti yang Emak katakan sebelumnya, aku tidak peduli dengan kamu lagi. Titik! Sudah, ya."

"Ah, BENTAR! TUNG-"

Tut... Tut... Tut...

"TUNGGU DULU! JANGAN SEENAKNYA MEMUTUSKAN TELEPON!!" Seketika suaraku menggema ke seluruh ruangan.

Padahal mulutku masih setengah terbuka, tetapi Emak malah memutuskan percakapan secara sepihak. Aku jadi kesal sendiri. Dari awal kedatanganku ke kota untuk mengadu nasib dengan mencari pekerjaan yang bisa membantu perekonomian di rumah. Sebagai anak sulung memang sudah menjadi kewajiban jadi tulang punggung keluarga, apalagi Ayah sudah tiada.

Aku tidak mau hidup jadi gelandangan! Beri aku pekerjaan. Siapa pun itu kumohon!

To be continued—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top