7
Malam dingin menerpa gadis berambut cokelat. Tak lagi pirang menawan seperti dulu. Ia duduk di balkon kamarnya, menyaksikan para warga bergotong royong membangun kehidupan dari awal. Houttu dan Corda terlihat menikmati mendirikan rumah salah seorang warga yang rusak parah, sedangkan Planio menghidupkan para tanaman dengan mantra yang telah ia pelajari secara turun-temurun. Tidak ada gairah bagi gadis itu untuk tersenyum. Pemandangan di bawah begitu hampa. Rembulan bahkan tak mampu menghangatkannya.
Valena menoleh ke belakang. Tempat seharusnya sosok itu berada, tempat pemuda itu berdiri dan akan menjahilinya bila ia murung. Sosok yang akan menempelkan minuman hangat ke pipi kala dingin menusuk kulit. Sosok yang kini telah menyatu dengan udara dan tidak bisa disentuh. Ia masih ada, namun tidak terlihat.
Langkah gontai Valena menuruni setiap anak tangga. Membuka pintu rumahnya berharap sosok itu berdiri di depan rumah dan melarangnya keluar. Hanya imaji. Kakinya terus melangkah menuju danau. Sebuah bukit yang lebih tinggi dari bukit lainnya. Tempat ia biasa duduk menghabiskan waktu bersama pemuda itu, menarik dirinya untuk kembali duduk di sana. Dengan suasana hati yang berbeda. Di hadapan danau, di atas bukit, di sebelah pohon yang ia tanam bersama pemuda itu sejak kecil, ia meneteskan kesedihannya. Tangannya mengusap ukiran abadi yang tidak pernah hilang dimakan waktu, seraya memeluk lukisan yang dibuat pemuda itu dari kelopak bunga beraneka warna, kepedihannya kian tak terelakan.
“Kenapa begini? Kenapa seperti ini? Kamu bilang akan menepati janji, begini caramu menepati janji itu? Meninggalkanku seorang diri? Brian, aku hampa. Kembalilah, dengan cara apapun, kumohon. Aku terbiasa hidup denganmu, aku terbiasa dikawal olehmu, aku tumbuh dan berkembang bersamamu, setiap inci tempat ini ada kamu. Sekarang ... aku tidak ingin ditemani angin, aku hanya menginginkanmu, Brian. Kukira aku benar-benar akan meninggalkanmu. Kalau tahu akan seperti ini, kubiarkan kisah Romeo dan Juliet menghampiri hidup kita.” Valena terisak merangkul kedua lututnya. Membiarkan lukisan itu tergeletak di atas rerumputan. Angin semakin kencang menerpa tubuhnya. “Kalau kamu mau melatihku untuk hidup tanpamu, beri aku waktu. Pergi secara perlahan, bukan seperti ini. Terlalu cepat, Brian, terlalu cepat. Hidupku tak lagi bermakna. Siapa yang akan menemaniku? Siapa lagi yang akan bersedia dua puluh empat jam disisiku selain kau, Brian? Sungguh, caramu tidak sopan. Kembalilah dan pergi secara sopan, bukankah kamu membenci hal-hal yang tidak bertata krama? Brian, kumohon.”
Valena merasakan tubuhnya dipeluk. Ia menoleh ke belakang, Houttu, Corda, dan Planio ada di belakangnya, memeluknya. Ia berbalik, memeluk lebih erat Houttu, Corda, dan Planio ikut memeluk kedua gadis itu begitu erat.
“Aku rindu Brian. Aku mau Brian kembali. Aku belum siap. Rumahku hampa, hatiku hampa, hidupku kekurangan makna tanpa kehadirannya. Sulit untukku terbiasa tanpa Brian. Kumohon, bawa Brian kembali.” Malam itu dan malam selanjutnya, akan menjadi malam yang berat bagi Valena tanpa kehadiran Brian. Sahabat sekaligus cinta pertamanya.
-END-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top