2
Sampai tengah malam mereka disibukkan dengan persiapan perang. Sebagian besar kaum adam diharuskan berlatih untuk menjaga warganya. Bila diperhatikan oleh Brian, cara ini sungguh keji. Betapa tidak? Mereka harus mahir menggunakan senjata rakitan buatan para ahli senjata dari kayu hanya dalam waktu yang relatif singkat.
Apa boleh buat, pemuda bersurai cokelat ini hanya bisa pasrah.
Pandangan iris sehijau permadani itu beralih ke arah jam dua belas. Sembari melangkah pelan, ia mengawasi para warga yang rela berkorban untuk wilayah Chicago. Brian perhatikan, para hawa berumur setengah abad tampak bercanda ria memasukkan ranting kayu berduri ke lubang. Mereka juga membuat racun dan obat dari sari-sari bunga tertentu yang dilarutkan.
Mata Brian menyipit. Ia tahu, wajah ceria mereka hanyalah bentuk kepura-puraan.
"Brian." Suara lembut menyapa indra pendengaran pria jangkung itu, membuatnya menoleh ke belakang. Sosok gadis bergaun serba putih dengan pengait kain yang terbuat dari emas sudah berdiri manis di balik punggungnya. Rambut panjang yang disanggul dan ditancapi bunga camelia merah membuat wajahnya makin ayu. Bibir ranum Valena menyunggingkan senyum lembut. "Sudah siapkan semuanya?"
"Dari yang saya amati, mereka sudah berusaha berlatih dan mempersiapkan semampu mereka," jawab Brian penuh formalitas, tanpa ekspresi. "Saya juga sudah mengundang suku asli kita untuk berinteraksi dengan burung-burung dan hewan buas. Secepatnya mereka ke sini sesuai dengan intruksi yang Anda perintahkan."
"Terima kasih!" Dalam sekejap mata, tatapan Valena melemah, selemah wajahnya yang bertukar muram. "Aku tak yakin aku bisa mengatur strategi untuk perang nanti."
"Bagi saya, Nona adalah sosok paling jenius. Saya percaya Nona bisa mengatur strategi perang. Selain itu," tangan besar berbalut sarung tangan cokelat itu menggenggam tangan mulus Valena, "Nona masih punya saya. Saya janji akan selalu berada di samping Nona, meski di situasi perang sekalipun."
“Brian...." Iris zamrud Valena mulai berlapis cairan bening. Ia tatap pria bertubuh tegap di bawah naungan langit hitam tanpa penerangan bintang. Iya, hanya bulan yang datang menampung pesan terakhir sebelum peperangan dimulai, penentu hidup dan matinya seseorang. Valena tak rela kehilangan Brian. Mungkin wajah inilah yang dilihat Valena untuk terakhir kalinya.
Ekspresi meneduhkan dengan senyum dan tatapan penuh kehangatan.
"Maaf mengganggu, Yang Mulia." Seorang pria dan wanita datang di waktu yang bersamaan. Seorang pria yang mungkin masih remaja dan wanita berbadan buncit dengan umur setengah abad.
Segera Valena menyeka bulir bening di pelupuk matanya, berusaha setegar mungkin di hadapan rakyatnya sendiri. "Tidak apa-apa."
"Saya sudah siapkan hewan-hewan untuk perang nanti," kata pria itu melaporkan. "Apa yang harus saya lakukan setelah itu?"
"Beritahukan pada pasukan persenjataan untuk menyiapkan satu kantong besar batuan beracun," titah Brian tanpa ekspresi lagi.
"B-baik, Tuan!" Pria berpakaian katun lusuh pun berlari terbirit-birit, langsung ambil tindakan mencari pasukan yang Brian maksud.
"Lapor, Tuan! Saya sudah siapkan cairan racun untuk ranting kayu berduri," kata wanita itu dengan gemulai.
"Bagus, siapkan sebagian untuk jebakan. Sisanya berikan pada pasukan bersenjata."
"Baik, Tuan!" Wanita itu pergi dengan langkah penuh etika. Suasana malam ini hanya diterangi kobaran api unggun. Biarkan mereka yang mendapat jatah melakukannya dengan tekun.
"Sebaiknya Nona istirahat," ujar Brian. "Mau saya temani?"
"Tak usah!" Valena menolak tawaran pengawalnya dengan halus. "Aku akan menemanimu hari ini sampai esok. Karena aku yang memimpin sekarang."
Malam di pemukiman itu terasa berat, ekspresi yang tidak nyaman bisa terlihat di wajah orang-orang. Melihat itu, sang putri hanya bisa menghela napas.
Malam berlalu begitu cepat.
Di pagi hari berikutnya, ketika gadis itu keluar dari rumah menuju kawasan luar dinding perbatasan. Terlihat kaum adam sedang bergotong royong menggali parit, sementara kaum hawa menyiapkan berbagai herbal juga makanan. Membayangkan perang sebentar lagi akan menimpa mereka, dia merasa sangat sedih.
"Nona Valena." Suara akrab membuat gadis itu terbangun dari lamunannya. Valena melihat pemuda itu menggunakan baju perang tradisional yang terbuat dari kulit hewan pilihan, tengah tersenyum padanya.
"Apa kamu sudah siap perang?" tanya gadis itu pada Brian. Pria itu mengangguk.
Mereka berdua menuju ke dalam pusat hutan di mana ada danau kecil di tengahnya. Setelah sampai, keduanya turun dari kuda lalu sang Putri berjalan ke pinggir danau dan mengucapkan beberapa kata dengan bahasa yang tidak diketahui. Sesuatu yang ajaib terjadi, danau memancarkan cahaya seperti giok kemudian cahaya kecil seperti kunang-kunang naik ke atas lalu menyebar di sekitar hutan.
"Apa yang kamu inginkan Putri kecil?" Suara orang tua serak terdengar dari hutan. Mendengar suara itu, Brian melihat sekelilingnya tapi tidak bisa lihat siapapun. Berbeda dengan Valena, ia malah langsung menjawab pertanyaan orang tua itu.
"Besok faksi Amity akan diserang oleh kaum Factionless, kuharap Elder membantu kami," jawab Valena dengan suara lembut. Tatapan penuh harapan terlihat di matanya yang seindah zamrud. Hutan itu sunyi dalam waktu yang lama. Kemudian suara tua itu terdengar lagi.
"Jikalau memang kalian dalam kondisi terdesak dan tidak bisa menanganinya sendiri, kami akan membantu kalian pada waktunya,” ujar suara tua itu, lalu cahaya seperti kunang-kunang itu menghilang. Mendengar jawaban itu, ada kelegaan di hati sang Putri. Valena menatap pemuda di sampingnya. Ia tidak bisa menahan diri, dia langsung memeluk Brian.
"Meskipun aku yang akan memimpin perang, aku hanya akan memberi komando dari belakang. Sementara kamu di barisan depan, pastikan kamu kembali dalam keadaan hidup," kata Valena yang selalu mencoba tegar, suaranya penuh kasih sayang bercampur ketakutan. Lelaki itu juga memeluk tubuh rapuh Valena, menatap matanya kemudian berkata dengan tegas, "Pasti!"
Keduanya menghabiskan waktu bersama sejenak, kemudian kembali ke pemukiman. Melakukan tugas mereka masing-masing.
Tak terasa satu hari berlalu dengan cepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top