Side Story : Arpeggio | 1
ARTHUR melirik adik bungsunya yang tengah merengek pilu di gendongan sang ibu. Seulas senyuman—setengah terpaksa—terukir di bibirnya. Ia menggumam dalam hati, merutuki sikap Mordred yang bersikeras menolak kehendak Igraine untuk mendaftarkannya kursus piano. Ironisnya, walau sepasang mata Mordred sudah sembab akibat menangis tanpa henti, Igraine tidak memedulikannya.
"Mama, nggak mau kursus piano. Itu nggak keren!" rengek Mordred.
Igraine menghela nafas panjang sembari menepuk-nepuk punggung Mordred yang gemetaran, "Tidak keren apanya, sayang? Menjadi pianis itu juga keren, kok."
Mendengar ucapan sang ibu, hal itu malah membuat tangisan Mordred semakin menjadi. "Aku mau les drum saja!"
"Mor ... astaga." Igraine geleng-geleng kepala, "sebenarnya kenapa kau sampai tidak mau les piano? Lihatlah kedua kakakmu, mereka bahkan tidak menolak saat dulu ibu mendaftarkannya untuk les."
Arthur dan Arthuria saling melirik dan tersenyum masam. Pada dasarnya, kedua kakak-adik itu tahu jika Igraine memanglah keras kepala. Mereka menuruti kehendaknya pun atas dasar tidak mau membuat masalah dengan sang ibu. Melirik adik bungsunya sekali lagi, setidaknya Arthur dan Arthuria sekarang tahu kepada siapa sifat negatif Igraine diturunkan.
"Aku tidak mau jadi pianis!" Mordred memukul-mukul pundak Igraine, "aku ingin jadi drummer seperti Jimmy!"
Igraine menaikkan sebelah alisnya, "Jimmy? Siapa Jimmy?"
"James Owen Sullivan." jelas Arthur, "drummer dari band Avenged Sevenfold."
Mendengar penjelasan Arthur, Igraine semakin melongo.
Mordred menganggukkan kepalanya cepat, "Tahu tidak, Ma? Jimmy itu sudah memegang stik drum sejak umurnya lima tahun! Seumuran denganku!"
Igraine mendadak pening. Memang benar sekarang usia Mordred sudah menginjak lima tahun, tapi ... tidak harus menjadi drummer juga, kan? Terlebih band yang disukai oleh si bungsu ternyata beraliran heavy metal. Benar-benar tidak elegan.
Igraine melirik kedua kakak dari si bungsu untuk meminta penjelasan lebih lanjut, "Dari mana Mordred tahu Jimmy?"
Arthur menggaruk belakang kepalanya, "Ibu ingat minggu kemarin saat kami menginap di Orkney? Nah, saat itu paman Lot memberitahu Mordred soal Jimmy."
"Astaga...." Igraine tepuk jidat, "Lot? Ayah Gawain, Gaheris dan Gareth?"
Arthur dan Arthuria mengangguk mengiyakan.
Oke, Igraine mulai berdamai dengan kondisi. Karena sekarang nasi sudah menjadi bubur, coba pikirkan cara untuk menghentikan rengekan si bungsu. Terlebih lagi, posisi mereka berempat saat ini bukanlah di rumah melainkan di pelataran parkir sanggar seni. Merepotkan jika saat sudah berada di dalam gedung, suara rengekan Mordred—yang sudah terdengar parau—malah mengundang perhatian orang banyak sehingga menimbulkan kesalahpahaman.
"Baiklah, Mor. Bagaimana kalau kita buat kesepakatan saja?"
Mordred mengelap ingusnya, "Kesepakatan?"
"Ibu berjanji akan mendaftarkanmu untuk les drum tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kau harus bertahan di tempat ini selama enam bulan untuk belajar piano. Minimal kau bisa menghafal satu lagu—entah itu symphony no. 5, piano sonata no. 14 atau bagatelle no. 25."
Mordred mengerjap, bingung.
"Apa kamu bisa?" tanya Igraine kemudian.
Menatap Igraine, sedetik kemudian Mordred melirik ke samping—pada kedua kakaknya—dan dibalas dengan anggukan kepala.
Arthuria tersenyum, "Kami akan membantumu, tenang saja!"
"Demi jadi drummer, Mor!" tambah Arthur dengan nada menyemangati.
"Enam bulan?" Mordred kembali menatap Igraine, "kalau aku bisa menghafal satu lagu kurang dari enam bulan bagaimana?"
Igraine tersenyum kemudian mengelus puncak kepala putri bungsunya, "Itu lebih bagus, sayang. Kau bisa keluar lebih cepat dari sanggar ini."
Sepasang manik Mordred berbinar cerah, "Sungguh?"
Igraine mengacungkan jari kelingking kanannya, "Ibu janji."
Mengusap air mata, Mordred kemudian menautkan jari kelingkingnya dengan Igraine. Ia tersenyum.
"Janji kelingking, kalau kamu berbohong, aku akan membuatmu menelan seribu jarum." ucap Igraine dan Mordred kompak.
Arthur dan Arthuria saling melempar senyum. Mereka bersyukur karena tidak sampai terjadi badai.
"Ara, Igraine ... kau kah itu?"
Suara seseorang yang tiba-tiba saja menyapa dari arah belakang membuat keempat orang tadi menoleh, di sana berdiri seorang wanita yang rupanya masih asing bagi ketiga anak Igraine—baik Arthur, Arthuria dan Mordred, belum mengenali siapa sosok wanita yang menyapa mereka.
Igraine sekilas memerhatikan wanita itu dari ujung kaki hingga ujung kepala, berusaha mengenali dan memutar memori di otaknya. Sepersekian detik, barulah ia menyadari sesuatu. Terperangah.
"Astaga, kau ... Vivian?" ucap Igraine setengah memekik.
Wanita yang dipanggil Vivian itu menganggukkan kepala, "Syukurlah kau masih ingat denganku. Apa kabarmu, Igraine?"
Igraine tidak bisa menahan kegembiraannya ketika bertemu dengan Vivian. "Senang sekali bisa bertemu denganmu, Vivi! Ya Tuhan ... aku sampai lupa kapan terakhir kali kita bertemu."
Vivian menyapa satu per satu anak Igraine dengan ramah, "Wah ... mereka anak-anakmu?"
"Begitulah, sekarang aku sibuk menjadi ibu rumah tangga." Igraine menurunkan Mordred dari pangkuannya, "nah anak-anak, ayo beri salam pada bibi Vivian. Dia adalah sahabat baik Ibu saat kuliah dulu."
Seperti apa yang telah diperintahkan oleh Igraine, Arthur—selaku anak sulung—melangkah satu langkah ke depan, meletakkan tangan kanannya di dada kiri lalu tidak lupa untuk mengukir senyum.
"Selamat pagi, Nona Vivian. Saya putra pertama dari Uther Pendragon, nama saya Arthur." Arthur kemudian mengisyaratkan pandangan pada kedua adiknya, "lalu mereka berdua adalah kedua adik saya, namanya Arthuria dan Mordred."
"Salam kenal, senang bertemu dengan anda." ucap ketiga bocah itu kemudian.
Vivian tersenyum merona, "Ya Tuhan ... kalian manis sekali. Salam kenal juga Arthur, Arthuria dan Mordred."
Serius—
Senyuman Vivian berdampak besar pada ketiga bocah tadi. Mereka sampai lupa untuk berkedip gara-gara terpesona oleh wanita ini. Tutur katanya yang lembut serta parasnya yang jelita benar-benar membuat kesadaran mereka melayang ke angkasa.
Jika dideskripsikan secara rinci, Vivian memiliki rambut bergelombang berwarna pirang pucat, tergerai panjang hingga menutupi punggungnya. Mungkin sedikit hiperbolis, namun memang kenyataannya ketika rambut Vivian berpapasan dengan cahaya matahari, maka akan terlihat seolah bercahaya keemasan. Ia juga memiliki sepasang mata yang indah berwarna azure, bulu mata yang lentik, pipi yang merona seperti bunga mawar, kulit putih susu dan bibir semerah delima.
"Apa kau seorang elf?" celetuk Mordred—dengan tidak sopan.
Vivian setengah menahan tawa ketika mendengar ucapan Mordred. Ia membalas dengan nada jahil, "Aku bukan berasal dari Alfheim, tapi ... mungkin saja, kan?"
Sepasang mata Mordred semakin berbinar, disambung dengan kekehan Arthur dan Arthuria di sebelahnya.
"Ngomong-ngomong, Vivi. Kenapa kau ada di tempat ini?" tanya Igraine.
Vivian tersenyum, "Oh ... aku baru saja mengantar anakku. Hari ini adalah hari pertamanya berlatih balet."
"Eh—" Igraine mendadak kelu, "Anak?"
Vivian menganggukkan kepalanya singkat, "Ya. Sama sepertimu, sekarang aku adalah seorang ibu."
"Astaga, aku tidak tahu kalau kau sudah menikah dan memiliki anak. Padahal dulu kau sulit sekali didekati oleh lelaki."
"Ceritanya panjang." kedua pipi Vivian merona.
"Berapa umur anakmu?"
Vivian melirik Mordred, "Hmmm ... sepertinya seusia putri bungsumu. Natal nanti dia berusia lima tahun."
"Berarti sekarang dia baru berusia empat tahun?" tanya Igraine heran.
"Ya, masih mungil." Vivian terkekeh, "namun walau mungil, dia termasuk anak yang pemberani. Buktinya saja tadi dia mengusirku saat ingin menungguinya di luar kelas. Dia berkilah kalau dirinya sudah dewasa dan tidak perlu ditunggui."
"Pasti dia menggemaskan," Igraine melirik ketiga anaknya yang sejak tadi terus memerhatikan, "kapan-kapan kenalkan anakmu pada ketiga anakku. Mungkin saja mereka bisa berteman baik."
Vivian kemudian menoleh ke arah Arthur, Arthuria dan Mordred, "Tentu."
● ● ●
A R P E G G I O | 1
"I know they don't like me that much,
Guess that I don't dress how they want,
I just wanna be myself,
I can't be someone else—"
[Stand Out Fit In by ONE OK ROCK]
● ● ●
Dengan sepasang manik zamrudnya, diam-diam Arthur memerhatikan sosok tiga orang iblis nakal yang tengah tertawa jelek dari balik jendela kaca lantai dua gedung teater balet. Dilihat dari gelagatnya, ia berani menebak jika ketiga iblis itu terlihat sangat puas menertawakan seorang gadis kecil bersurai salju yang tengah tertunduk lesu di tepian kolam air mancur. Arthur mendengus kemudian menghela nafas panjang, menetralkan kembali emosinya yang hampir saja meledak.
Ia menggumam pelan, "Lagi ... ya?"
Menatap sekali lagi ke arah jendela di lantai dua, agaknya ketiga iblis itu menyadari kehadiran Arthur yang tengah menatap mereka dengan tatapan tidak suka. Merasa tidak nyaman, ketiga iblis itupun pergi menjauh. Berlarian di antara lorong-lorong kelas sebelum akhirnya menghilang entah kemana.
Dasar pengecut!
Sejujurnya, Arthur ingin sekali mengejar iblis-iblis tadi dan memberikan pelajaran pada mereka. Namun ia urungkan karena sadar jika hal itu bahkan tidak akan merubah apa yang telah terjadi saat ini. Tidak mau berlama-lama, Arthur melangkahkan kakinya dengan agak cepat menuju ke kolam air mancur. Meraih bahu gadis tadi yang gemetaran dengan sebelah tangannya.
Si gadis menoleh setengah terkejut ketika tangan kanan Arthur mendarat di bahunya. Manik mereka bertemu sekilas. Seperti yang telah Arthur duga, sepasang iris berwarna azure itu kini hampir saja menumpahkan air mata. Jujur, Arthur benci sekali jika melihat seorang gadis menangis.
Arthur mengulas senyuman di bibirnya untuk sedikit mengubah suasana, "Rei, kudengar ada kedai crepe baru di Hyde Park, apa kau mau pergi bersamaku kesana?"
"E—eh?" Rei mengerjap heran. Gadis itu kemudian mengusap-ngusap ujung matanya untuk menghapus air mata.
Arthur nyengir, "Hari ini sedikit membosankan. Aku ingin membolos sesekali. Kau mau ikut denganku, tidak?"
Mencuri pandang ke arah kolam air mancur, Arthur mendapati sepasang pointe shoes mungil tenggelam di dasarnya dengan kondisi yang terkoyak hebat. Mau berapa pasang pointe shoes lagi yang dijadikan korban sampai membuat iblis-iblis itu puas?
Masih dengan kekesalan yang belum mereda, Arthur melepaskan jaket yang ia pakai dan memakaikannya pada Rei. Karena perbedaan ukuran tubuh mereka yang cukup jauh, jaket itu terlihat kebesaran dan panjangnya hampir menutupi lutut Rei. Belum lagi bagian tangannya yang panjang malah menutup seluruh tangan Rei yang mungil.
"Arthur, apa maksudnya ini?"
Arthur meraih pergelangan tangan Rei, "Hari ini, kita membolos, ya!"
Rei setengah terbelalak, pasalnya Arthur yang ia kenal tidak mungkin mengajaknya melakukan hal yang tidak terpuji seperti membolos—atau mungkin Arthur telah terpengaruh oleh Mordred yang badung? Entahlah.
Arthur menengadahkan kepalanya ke arah langit, awan yang tadinya kelabu kini semakin menghitam pertanda sebentar lagi hujan akan turun. "Kita tidak punya banyak waktu, ayo berlari sampai ke stasiun sebelum hujan turun!"
"Ta—tapi ... apa tidak apa-apa jika kau membolos?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Rei, Arthur malah balik bertanya, "Apa kau akan pergi ke kelasmu dengan keadaan seperti itu?"
Rei mendadak kehilangan kata-katanya dan tidak dapat membalas pertanyaan Arthur.
"Nah, ayo pergi!"
● ● ●
Rei memerhatikan keadaan di luar kedai dari balik jendela kaca. Sore ini, hujan yang cukup deras mengguyur kota London. Tidak terkecuali di Hyde Park—kawasan taman kota terbesar di London—yang biasanya ramai oleh beragam aktivitas kini terlihat sepi. Orang-orang bersembunyi, mengurung diri di setiap toko dan café untuk sekedar mencari tempat berteduh. Sekilas kedua ujung bibir Rei terangkat ke atas ketika memerhatikan angsa-angsa yang berenang di kolam. Mereka tampak senang ketika air hujan membasahi tubuhnya. Mengepakkan sayap, saling menyiprat air serta bernyanyi seirama dengan hujan.
"Pesanan datang—"
Arthur tiba dengan membawa nampan berisi dua buah coklat panas yang ditaburi marsmallow, asap hangat masih mengepul dari dalam cangkirnya. Tidak lupa sebagai pelengkap, ia juga membawa dua buah cookie. "Crepe dan waffle-nya menyusul, sekarang kita makan ini dulu sebagai hidangan pembuka."
Rei memerhatikan Arthur yang duduk di hadapannya dengan raut tak terbaca. Ia berbisik pelan, "Arthur ... aku tidak membawa uang jajan lebih."
Arthur nyengir, "Tidak usah khawatir, aku yang traktir."
"Eh, memangnya uangmu cukup?"
"Tidak usah sungkan," Arthur menyodorkan secangkir coklat dan satu buah cookie ke hadapan Rei, "aku sering menyisihkan sebagian uang jajanku sebagai jaga-jaga saat Mordred dan Arthuria jajan lebih. Berhubung mereka berdua tidak ada di sini, jadi tidak ada salahnya untuk menggunakannya untuk diri sendiri, kan?"
Rei mengangguk-nganggukkan kepalanya, Arthur benar-benar bocah yang penuh persiapan.
"Nah, sekarang minumlah coklatnya sebelum dingin." ucap Arthur kemudian.
Rei tiba-tiba merasa geli mendengar ucapan Arthur, ia tidak bisa untuk tidak tertawa. Pasalnya, kata-kata yang Arthur ucapkan sejak tadi sudah mirip seperti orang dewasa. Benar-benar tidak cocok dengan usianya yang masih berumur delapan tahun.
Arthur mengangkat sebelah alisnya heran, "Kenapa?"
"Sejak tadi ucapanmu sudah mirip seperti orang dewasa—seperti paman Uther."
"Aku tidak setua itu, Rei."
"Maafkan aku, haha."
Rei kemudian meletakkan kedua telapak tangannya yang hampir membeku pada cangkir, hangat segera menjalari tubuhnya. "Hangat..."
"Pertengahan musim gugur sering sekali hujan dan suhunya mulai dingin," Arthur memerhatikan Rei sekilas, "kau seharusnya tidak memakai dress tipis seperti itu. Besok-besok pakailah sweater!"
Rei cemberut mendengar ucapan Arthur, tiba-tiba saja bocah itu berubah cerewet seperti Merlin. Apa mungkin ini akibat insting 'seorang kakak laki-laki' Arthur yang selalu aktif ketika berhadapan dengannya?
Saat Arthur melipat lengan bajunya, perhatian Rei tertuju pada bekas lecet yang masih memerah di sikut kanannya. Luka itu didapat Arthur akibat kecelakaan kecil beberapa hari yang lalu. "Apa sikutmu masih sakit?"
Arthur menyeruput sedikit coklat panasnya, "Tidak terlalu."
Rei tertunduk lesu, ia menatap marsmallow yang sedang berendam di atas coklat panasnya. Mengingat kembali kejadian beberapa hari yang lalu, sebenarnya Arthur mendapatkan luka itu gara-gara dirinya.
Semuanya berawal dari seleksi repertoar klasik Swan Lake yang akan ditampilkan oleh kelas balet saat perayaan Natal bulan Desember nanti, agaknya ada beberapa orang yang tidak suka ketika Rei terpilih sebagai pemeran Odette. Akibat dari keputusan seleksi tersebut, hal ini berujung pada perundungan yang terus diterima oleh Rei—ia mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari orang-orang yang menyebut dirinya sebagai 'teman'.
Hal yang paling parah adalah dua hari yang lalu, ketika Rei menuruni tangga kelas, tiba-tiba saja ia didorong jatuh oleh seseorang. Beruntungnya sebelum tubuh Rei membentur lantai, Arthur secara tidak sengaja ada di sana dan menjadi cushion dadakan untuknya. Pada akhirnya, mereka tidak terluka parah, hanya sikut Arthur saja yang berdarah akibat bersentuhan dengan ubin.
Di balik kejadian yang—sedikit—tragis itu, ada juga hal lucu yang terjadi. Jika saja saat itu Rei tidak jatuh menimpa Arthur, bocah lelaki itu saat ini pasti belum tahu jika dirinya adalah seorang perempuan. Bodoh memang. Bisa-bisanya Arthur terkecoh hingga mengira dirinya sebagai anak laki-laki hanya karena Rei memiliki potongan rambut yang pendek.
Rei menatap Arthur dan tersenyum padanya, "Terima kasih, Arthur."
"Untuk?"
"Untuk segalanya. Hehe."
Arthur melahap cookie-nya sembari memerhatikan Rei, "Ngomong-ngomong rambutmu sekarang sudah lumayan panjang, ya."
Rei menyentuh ujung rambutnya yang kini sudah hampir menyentuh bahu, "Ah, benar juga."
"Aku masih merasa bodoh ketika tertipu dengan penampilanmu," Arthur menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "bisa-bisanya selama ini aku mengira kalau kau itu anak laki-laki."
Tuh kan!
Rei melahap cookie-nya, "Bukankah dulu kau pernah bertemu ibuku? Dia mengatakan jika aku ini seorang perempuan, kan?"
"Masalahnya saat itu Nona Vivian tidak menyebutkan namamu. Lebih dari itu, orang pertama yang mengenalkanmu padaku itu Merlin, bukan Nona Vivian."
"Ah ... begitu, ya."
"Selain itu, aku kira Merlin itu bukanlah suami Nona Vivian. Jadi saat Merlin mengenalkanmu padaku, aku tidak tahu kalau kau itu adalah anak yang di maksud oleh Nona Vivian saat itu."
Rei mendengus, "Kalau begitu, mulai saat ini, aku berjanji seterusnya akan memanjangkan rambutku agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini lagi."
"Oke, janji, ya!"
Rei menganggukkan kepala. Ia kemudian berujar dengan setengah berbisik, "Sebenarnya ... bukan keinginanku untuk memotong rambut sampai seperti ini."
"Hm? Maksudnya?"
"Kau tahu, dulu rambutku selalu panjang, loh!" Rei bersungut-sungut, "hanya saja karena waktu itu ada yang menempelkan permen karet di rambutku, jadinya Ibu memotongnya hingga pendek."
Arthur terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya ekspresinya berubah kesal, "Jangan bilang pelakunya adalah orang yang sama dengan orang yang merusak pointe shoes-mu—"
Rei menutup mulutnya dengan polos, "Oke, aku tidak akan bilang. Aku innocent."
Sudah Arthur duga!
Terkadang Arthur ingin sekali mengajari Rei bagaimana caranya adu jotos. Ayolah, perempuan juga boleh berkelahi apabila mendapatkan ketidakadilan. Singkirkan stereotip "good girls don't fight"—jika berkelahi itu adalah opsi yang diperlukan untuk mendapatkan keadilan, mengapa tidak? Toh, pada dasarnya Rei juga berhak untuk melawan.
————Sedetik kemudian, Arthur membatin karena mengingat sifat kedua adiknya yang bar-bar tidak terkira.
"Rei..." Arthur menghela nafas panjang, "apa kau yakin tidak akan mengadukan mereka pada guru? Akhir-akhir ini mereka semakin meresahkan."
"Kalau seandainya aku mengadu, apa ada jaminan kalau mereka akan berpihak padaku?"
Rei menggigit bibirnya, sejujurnya ia pernah mengadu pada guru, namun apa yang didapatnya? Guru-guru seakan menganggap hal itu seperti candaan biasa. Terlebih lagi, sandiwara teman-teman palsunya terlalu pro sehingga guru-guru tidak mudah percaya pada kesaksian Rei. Bayangkan saja, seorang bocah berumur enam tahun melawan segerombolan anak serigala berbulu domba yang mayoritas mengelilinginya setiap hari.
"Apa mau aku minta bantuan Ibuku?" tawar Arthur.
Rei buru-buru menjawab, "Jangan!"
"Ayolah, Ibu pasti bisa membantumu—toh Ibuku adalah salah satu donatur tetap di sanggar jadi pasti guru-guru percaya padanya."
"Aku ingin membereskan masalah ini dengan caraku, jadi kumohon jangan beritahu hal ini padanya."
Mendengar jawaban Rei, Arthur malah kembali teringat pada ucapan Vivian saat pertama kali bertemu dengannya.
"Rei selalu berkilah jika dirinya itu sudah dewasa—"
"Kalau begitu, apa ada yang bisa kubantu?" Arthur menyerah.
Rei memutar bola matanya, "Hmmm ... ngomong-ngomong, sekarang mereka sudah tahu tempat persembunyian pointe shoes-ku. Apa kau punya saran di mana aku harus menyembunyikannya?"
Arthur menaikkan sebelah alis, "Hanya itu?"
Rei mengangguk mantap, "Karena hal yang sangat penting saat ini adalah bagaimana caranya agar pointe shoes-ku bisa bertahan hidup."
"Yakin hanya itu?" Arthur menghela nafas panjang, "kalau hanya itu, kau bisa menitipkan pointe shoes—juga seluruh barang-barangmu di lokerku."
"Eh?"
"Loker kelas piano kan ada di gedung yang berbeda, terlebih lagi, mereka tidak mungkin berani menggeledah setiap loker yang ada di sanggar, kan?"
Rei ingin menolak, namun setelah dipikir lagi ternyata ide yang Arthur berikan tidak buruk juga.
"Nanti akan kuberikan kunci cadangan lokerku, jadi kau bisa bebas menyimpan barang-barangmu di sana." lanjut Arthur.
Rei menatap Arthur ragu, "Tidak apa-apa?"
"Tentu saja tidak apa-apa. Lagipula, isi lokerku tidak lebih dari buku partitur, jadi masih bisa memuat barang lain."
"Lalu bagaimana jika aku dianggap sebagai pencuri karena tidak sopan membuka loker orang lain?"
Arthur nyengir, "Nanti akan kujelaskan soal ini pada teman-temanku. Mereka pasti mengerti."
Sepasang manik Rei berbinar cerah, ia seakan telah diberi pencerahan oleh Tuhan lewat perantara bocah lelaki yang ada di hadapannya.
"Deal?" Arthur mengulurkan tangannya ke hadapan Rei.
Rei membalas uluran tangan Arthur dan menjawabnya dengan lantang,
"Deal!"
● ● ●
Singkat cerita musim dingin pun tiba. Di sepanjang jalan kota London, sejauh mata memandang, nampak pohon-pohon maple yang menghiasi hampir seluruh sudut kota kini telah merontokkan seluruh mahkotanya yang berwarna jingga. Pepohonan kini hanya menyisakan batang dan ranting yang hampir membeku akibat suhu yang semakin dingin. Pun dengan pepohonan serta tumbuhan yang lain, mereka mulai tertidur sebelum akhirnya kembali membuka mata saat daratan mulai menghangat di musim semi.
Keistimewaan lain dari musim dingin di kota London terletak pada festival tahunan Winter Wonderland yang berpusat di Hyde Park—acara pagelaran seni anak-anak sanggar di Royal Opera House juga merupakan salah satu diantaranya. Karena festival tahunan ini, London pun menjelma layaknya sebuah negeri dongeng dengan berbagai macam perayaan yang terkesan begitu magis.
Bertepatan dengan malam natal, gedung Royal Opera House kini mulai dipadati oleh pengunjung. Tua, muda, juga anak-anak, berpakaian rapi dengan setelan tuxedo dan gaun yang cantik. Semua berbaur memenuhi gedung teater, menempati kursi kosong di setiap balkon dan lantai bawah auditorium utama. Berhadapan langsung dengan panggung pementasan yang kini masih tertutupi oleh tirai berwarna merah.
"Vivi! Di sini!" Igraine melambai-lambaikan tangannya pada Vivian yang datang berdampingan bersama Merlin.
Vivian balas mengangkat tangan kirinya, "Ah, Igraine!"
"Di sini ada dua tempat kosong." seru Igraine. Keadaan sekitar yang lumayan ramai mau tidak mau membuat Igraine menaikkan nada suaranya agar dapat terdengar oleh Vivian.
"Kau duduk duluan saja bersama Lady Igraine," Merlin melirik Vivian, "aku harus pergi ke suatu tempat dulu."
Vivian mencibir, "Tolong jangan bilang kau mau berburu gadis cantik!"
Merlin terkekeh pelan, "Aku punya janji dengan penanggung jawab kelas balet."
"Janji?" Vivian menatap Merlin penuh selidik.
"Aku hanya ingin mendiskusikan soal beberapa hama yang selama ini membuat Odette kita menderita."
Vivian yang mengerti akan maksud Merlin menganggukkan kepalanya. Ia kemudian tersenyum penuh arti, "Kau tidak lupa membawa pestisida-nya kan?"
"Tentu saja tidak. Bukti-buktinya sudah ada di sini." Merlin menunjuk ke arah saku kanan tuxedo-nya.
"Bagus. Kalau begitu, kudo'akan agar semuanya sukses."
Susunan acara pagelaran seni malam ini dimulai dengan pertunjukkan orkestra dari anak-anak kelas piano dan musik klasik, mereka memainkan karya dari Tchaikovsky. Dalam pertunjukkan ini, Arthur mendapatkan peran sebagai pemain piano solo, Arthuria di flute dan Kay di cello. Acara berlanjut dengan pertunjukkan Nutcracker dari anak-anak kelas drama, menyanyikan himne Natal oleh anak-anak kelas vokal dan terakhir adalah penampilan dari anak-anak kelas balet yang menampilkan Swan Lake.
Ada jeda beberapa menit sebelum pertunjukkan Swan Lake dimulai. Memanfaatkan kesempatan ini, di belakang panggung, Arthur dan Kay yang memisahkan diri dari kelompok orkestra kini ada di hadapan Rei yang sedang duduk sendirian. Gadis itu terlihat sangat gugup sampai-sampai wajahnya terlihat pucat.
"Arthur ... kak Kay—" Rei meremas tutu putihnya, "aku gugup."
Kay membenarkan mahkota yang menempel di kepala Rei, "Jangan takut ... anggap saja penonton di sana adalah seekor babi."
Mendengar ucapan Kay, Arthur malah mengernyit geli. "Kak Kay, apa bisa menggunakan kiasan yang lebih ramah daripada babi? Kucing atau anjing misalnya?"
Kay mendengus, "Terserah aku dong!"
Rei terkekeh melihat pertengkaran dua bocah yang berdiri di hadapannya, "Aku khawatir jika penampilanku nanti malah mengecewakan orang-orang."
"Yakinlah dengan kemampuanmu, Rei..." Arthur menepuk bahu gadis itu, "aku yakin penampilanmu akan memukau orang banyak. Tidak mungkin latihanmu akan menghianati hasil, kan?"
Kay menambahkan, "Benar apa yang dikatakan oleh Arthur. Lagipula, kami berdua tahu seberapa keras dirimu berlatih karena ingin menampilkan Odette dengan sangat baik."
Arthur mengepalkan tangan kanannya lalu meninju udara, "Ayo buktikan pada iblis-iblis jelek itu jika kau memang pantas untuk memerankan Odette!"
"Yo, rupanya kalian ada di sini."
Tiba-tiba Merlin muncul di belakang Arthur dan Kay, ia menepuk bahu kedua bocah itu seraya menyunggingkan senyumannya pada Rei.
"Terimakasih karena telah menemani Rei." lanjutnya kemudian.
Tanpa babibu lagi, Rei segera memburu Merlin dan memeluknya erat. Saat itu Merlin yang mengerti segera berlutut di hadapan Rei dan balas memeluknya.
"Kau tidak perlu khawatir, Rei." ucap Merlin dengan nada yang cukup menenangkan, "ayolah, kau tidak perlu menundukkan kepalamu. Riasanmu bisa berantakan."
Arthur dan Kay ikut mengelus-ngelus bahu Rei yang sedikit gemetar.
"Merlin ... apa aku bisa?" tanya Rei setengah berbisik.
"Aku selalu yakin kalau kau bisa melewati semua ini—bukan hanya aku, tapi Vivian juga." Merlin melepaskan pelukannya pada Rei, "kalaupun seandainya orang-orang itu masih tidak dapat mengakuimu, kau tidak perlu memasukkannya dalam hati. Ingat. Jika seseorang menilaimu hanya lewat fisik bukan dari kemampuanmu, kau tidak perlu memikirkannya. Mereka hanya segelintir kecil dari calon orang-orang yang harus berakhir di tempat sampah."
Arthur dan Kay menganggukkan kepala, setuju pada ucapan Merlin.
Rei menatap Merlin lekat. Jika mengungkapkan kejujuran tentang Merlin, orang-orang mungkin menilai pria itu tidak lebih dari orang yang aneh. Bahkan sikapnya pada Rei terkesan sangat absurd dan—sedikit—menyusahkan. Tapi di balik itu semua, ketika Rei tertimpa masalah serius, Merlin adalah orang pertama yang selalu berada di sisiya dan selalu mengupayakan penyelesaian untuk semua masalahnya. Ya, kembali lagi di awal, Merlin merupakan sosok seorang ayah yang menunjukkan perhatiannya pada Rei dengan caranya sendiri.
"Dengar aku, Rei..." Merlin merapikan tutu Rei yang beberapa bagiannya terlipat akibat pelukan tadi, "apa kau tahu Anna Pavlova?"
"Anna Pavlova?" Rei membeo.
"Ia merupakan balerina tersohor yang dihormati hampir di seluruh dunia."
Rei terdiam sambil memerhatikan. Ia menunggu kelanjutan ucapan Merlin.
"Di balik kesuksesannya sebagai balerina, Pavlova sempat mengalami masa-masa sulit. Contohnya saja pada saat usianya sembilan tahun, ia pernah ditolak saat mengikuti audisi di Imperial Ballet School gara-gara tubuhnya dianggap terlalu ringkih—disebut ringkih karena Pavlova memiliki bentuk lutut yang bengkok. Baru setahun kemudian, akhirnya ia diterima." Merlin menjeda penjelasannya, "Perjuangan Pavlova tidak sampai disitu, setelah ia resmi menjadi murid pun, ia kerap menjadi bahan ledekan teman-temannya."
Rei terperangah, mencerna satu per satu kata yang diucapkan oleh Merlin. Entah mengapa penjelasan dari pria itu barusan sedikit membuat kegugupannya sirna dan menyulut kembali api semangat di dalam dirinya.
"Teman-teman Pavlova memberinya julukan khusus—'The Broom', ejekan ini merujuk kepada pavlova yang selalu memakai tongkat kayu di sepatunya agar ia bisa terus menari dengan lutut yang melengkung. Namun walau begitu, kecintaan Pavlova pada balet mampu membuatnya terus maju, ejekan orang bagaikan hanya sebuah angin lalu. Ia terus berlatih dengan giat, bahkan sampai mengambil kelas tambahan dari beberapa guru terkemuka. Ia juga pernah diajari langsung oleh Marius Petipa dan menjadi murid kesayangannya. Terus maju hingga ia dapat mengukir namanya pada catatan dunia dan dikenal oleh semua orang di berbagai zaman."
Arthur dan Kay yang sama-sama mendengar ucapan Merlin kini melirik Rei dengan sorot mata yang tidak dapat dideskripsikan oleh kata-kata.
"Apa kau bisa menyimpulkan sesuatu dari ceritaku tadi?" Merlin kembali tersenyum.
Rona merah muda kembali menghiasi pipi Rei, kedua ujung bibirnya terangkat.
"Fisik bukanlah segalanya." jawab Rei. Sederhana namun memiliki makna yang luas.
Merlin menganggukkan kepalanya seraya mengelus puncak kepala Rei, "Juga, kau tidak perlu menjadi orang lain hanya karena ingin diterima oleh orang-orang di sekitarmu. Cukup jadi diri sendiri dan bertemanlah dengan orang-orang yang mau menerima dirimu apa adanya. Sederhana, bukan?"
Rei tersenyum cerah, "Aku mengerti!"
"Nah, sekarang bersiaplah, panggung itu adalah arena pertarunganmu." Merlin menepuk kedua bahu Rei, "jangan pikirkan bagaimana tanggapan orang lain, kau hanya cukup menari untuk dirimu sendiri. Ekspresikan seluruh kemarahan dan kesedihanmu disana—lewat tarianmu."
Arthur dan Kay berseru ikut menyemangatinya, "Ayo, semangat Rei!"
Rei menoleh ke arah panggung kemudian berbalik melirik Arthur, Merlin dan Kay bergantian.
"Aku akan menampilkan yang terbaik. Terus perhatikan aku, ya!"
● ● ●
Arthur kembali terdiam membeku. Bukan karena soal suhu yang malam ini semakin menusuk, melainkan karena ia baru pertama kali melihat penampilan dari seorang gadis mungil bernama Rei. Diluar dugaan Arthur, sosok Rei yang sudah sangat familiar di matanya kini berubah seakan menjadi orang yang berbeda. Saat tampil di atas panggung, gadis itu seperti dituntun oleh roh panggung sehingga penampilannya memukau dan orang-orang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari dirinya.
Seperti halnya cerita Swan Lake sendiri, agaknya Arthur dapat merasakan bagaimana saat dirinya berada di posisi Pangeran Siegfried. Ia dapat mengerti ketika Pangeran Siegfried terpesona pada Odette yang sedang menari-nari di danau angsa. Juga, kesan pertama saat Arthur melihat Rei yang sedang menari di atas panggung sama seperti saat kali pertama ia bertemu dengan Vivian. Terpukau.
Akhir cerita, pentas pun berakhir. Di akhir acara, para orang tua dan juga anak-anak mereka menghabiskan Christmas Eve dengan berfoto bersama.
"Arthur!!! Kak Kay!!!"
Rei berseru dari kejauhan. Ia tidak bisa melambaikan tangannya gara-gara kewalahan mendekap buket bunga yang cukup besar, pemberian dari guru.
"Rei!!"
Kay mengacak-ngacak puncak kepala Rei hingga mahkota yang ia pakai terjatuh, alih-alih marah, gadis itu malah terlihat senang.
"Tadi penampilanmu bagus sekali!" ujar Arthur.
"Terima kasih."
Rei kemudian melirik kesana kemari, mencari sosok Merlin dan Vivian yang tidak terlihat di manapun. "Ngomong-ngomong kalian tidak liat Ayah dan Ibuku?"
"Nona Vivian dan Merlin? Mereka tadi dipanggil oleh guru untuk membicarakan beberapa hal."
Tiba-tiba saja Mordred dan Arthuria juga ikut bergabung bersama dengan mereka.
"Rei!!" Mordred memeluk Rei dengan sangat erat, "kau hebat!"
Arthur setengah panik melihat Rei yang tercekik oleh Mordred, "Mo—Mor ... cepat lepaskan pelukanmu, lihatlah Rei yang hampir mati karena sesak."
"Ah, maaf."
Arthuria tersenyum, "Rei, penampilanmu tadi bagus sekali!"
"Terima kasih, Arthuria."
Mordred menambahkan, "Kau terlihat cocok menggunakan gaun itu—serba putih, mirip Altaria."
Arthuria melirik Mordred, "Aku malah melihat Rei mirip Swanna."
Kay menepuk puncak kepala Arthuria dan Mordred dengan sedikit gemas, "Cukup, Rei adalah Rei. Jangan samakan dia dengan Pokémon."
Arthur dan Rei hanya tertawa geli melihat tiga bocah yang saling adu argumen di hadapannya.
Tidak lama kemudian, Igraine datang.
"Rei, penampilanmu bagus sekali. Selamat, ya!" ujarnya.
"Terima kasih, bibi Igraine."
"Oh iya, benar juga..." Igraine mengeluarkan kamera polaroid dari dalam tas mungilnya, "bagaimana jika aku mengambil foto kalian semua?"
"Aku mau!!" Mordred berseru dengan keras.
Arthuria mencibir, "Mordred kan sudah bukan lagi anggota sanggar seni kita, jadi tidak usah diajak!"
"Iya, itu benar!" tambah Arthur dan Kay.
Ketiga bocah itu malah menjahili Mordred gara-gara bocah itu memang sudah tidak terikat lagi dengan sanggar—dulu Mordred sempat bergabung, namun hanya bertahan dua bulan sebelum akhirnya ia keluar dan bergabung di kelas drum bersama Gawain dan Gaheris.
"Jahat!" Mordred mengembungkan kedua pipinya.
"Sudah-sudah," Igraine melerai bocah-bocah itu, "Mordred juga boleh ikut. Nah, sekarang ayo berbaris!"
"Aku mau di dekat Rei!" Mordred buru-buru berlari mencuri tempat di samping Rei. Disusul dengan Arthuria yang mengambil tempat di samping lainya. Arthur dan Kay berada di paling ujung.
"Katakan 'cheese' anak-anak!"
"CHEESE!!"
Foto kedua hanya memuat tiga orang, terdiri dari Mordred, Arthuria dan Rei. Lalu foto ketiga adalah foto yang paling disukai oleh Rei—memuat dirinya, Arthur dan Kay dalam satu frame yang sama.
● ● ●
A R P E G G I O | 1
—F I N I S H—
Halo gaes pakabs gaes?!
Kangen sama aku ga? //sapalu
Masih adakah yang ingat dengan FF ini? Udah dua bulan ga apdet soalnya. Maafkan author gesrek ini yang baru apdet sekarang 😂
Ada beberapa hal di RL yang membuat aku harus mencari waktu yang tepat untuk nulis + ada kabar duka juga :')
Jadi mohon dimaklumi (☍﹏⁰)
Untuk seterusnya semoga aku bisa apdet cepet ya (AAMIIN)
Lalu untuk chapter ini adalah bagian dari sidestory yg aku janjikan beberapa waktu yang lalu. Mungkin ngebosenin alurnya, maafkan 😂
CHAP INI BOLEH KALIAN SKIP KOK, BOLEH!
Pembuka ini adalah cerita khusus untuk Arthur, semoga kalian suka :)
Terima kasih karena mau menunggu FF ini apdet.
Lagu yg dipakai : Away from the rain by Chamber Chu
Pict atas : DEEMO II
Lalu yg foto bertiga oleh Zasshu_chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top