Chapter 4
Tangan Atha meraba sekitar meja kecil yang terletak disamping tempat tidur. Masih enggan untuk membuka kedua matanya, ia hanya mengandalkan indera peraba untuk mencari benda persegi panjang berwarna putih yang ia simpan diatas meja sebelum ia tertidur kemarin malam---smartphone miliknya. Tidak butuh waktu lama, Atha sudah menemukan apa yang dia cari. Matanya setengah terbuka, menyipit. Atha menekan tombol standby dan melihat jam di layar smartphone-nya---
---05.00. Serius dia terbangun di waktu seperti ini? Pada hari Minggu? Ini masih subuh!
Keadaan kamar masih gelap karena lampu yang dimatikan, dengkuran halus sayup terdengar menghiasi sepi, Atha yakin itu suara dengkuran Nefertari atau Gudako. Dari arah jendela yang masih tertutup oleh gorden merah, keadaan di luar sana masih gelap, buktinya belum ada tanda-tanda cahaya matahari akan menghapus kegelapan malam. Hanya ada suara ayam berkokok---itupun hanya beberapa.
Atha keluar dari selimut, bangun dari tempat tidur dan merenggangkan tubuhnya. Tiga mahluk lain penghuni kamar ini masih mengembara di alam mimpi. Sebisa mungkin ia tidak ingin membangunkan Nefertari, Gudako ataupun Rei.
Tunggu---
Rei?
Atha mengerjapkan matanya, mengedarkan pandangannya ke arah tempat tidur yang lain, ia baru sadar jika teman sekamarnya hanya ada dua orang---kemana Rei pergi? Atha yakin semalam Rei masih ada di kamar ini. Tapi sekarang dimana gadis itu?
Kedua mata Atha yang masih mengantuk kini terbuka sempurna, rasa kantuknya hilang karena Rei yang menghilang. Atha segera berjalan ke arah saklar lampu dan menekannya, segera terang mendominasi ruangan ini.
"Hmmm? Sudah pagi?" ujar Gudako yang masih setengah tidur.
Atha mengernyit, "Maaf, aku membangunkanmu ya?"
Gudako menggeleng pelan, ia menguap. Tidak lama setelah itu, Nefertari mulai bergerak-gerak dibalik selimutnya, "Selamat pagi..." ujarnya.
Atha tersenyum masam, "Maaf... kalian jadi bangun karena ulahku. Padahal masih jam lima pagi."
"Tidak apa, kok. Ngomong-ngomong kenapa kau bangun jam segini?" Nefertari bangun, mengerjapkan kedua matanya yang masih berat.
"Itu..." Atha menunjuk ke arah tempat tidur Rei yang kosong, "Rei hilang."
---
---
----eh?
"Dia hilang?"
Gudako segera bangkit dari tempat tidur, begitu pula dengan Nefertari.
"Aku tidak tahu kemana dia," Atha berjalan menuju jendela dan membuka gorden, "ketika aku bangun, Rei sudah tidak disana. Mungkin dia sleep walking keluar mencari shen-long atau butuh beberapa kaleng susu beruang."
Nefertari berusaha menahan tawa, "Atha, bisakah kau tidak terlalu menistakan Rei?"
Gudako manggut-manggut setuju dengan Nefertari.
Atha menghela nafas panjang, "Karena pada dasarnya Rei itu absurd."
Terdengar suara klik ketika jendela kamar dibuka, semilir udara sejuk pagi hari segera memenuhi ruangan kamar. Angin pagi yang bertiup membuat ketiga penghuni kamar sedikit menggigil---maklum, ini masih musim semi. Nefertari segera mengambil mantel yang ia sampirkan disamping kepala ranjang lalu memakainya, keadaannya yang hanya mengenakan gaun tidur tipis berwarna putih membuatnya langsung kedinginan. Gudako melakukan hal yang sama, ia hanya memakai kaos tipis berwarna coklat dengan celana pendek setengah paha.
"Dingin." Ucap Nefertari dan Gudako bersamaan.
Yang paling kalem hanya Atha. Atha tidak terlalu kedinginan karena setelan pakaian tidurnya selalu tertutup---sebuah kaos tangan panjang warna hitam dengan model turtle-neck dengan bawahan training panjang yang juga memiliki warna yang sama.
Nefertari berjalan ke arah jendela, keluar ke balkon. Lalu ia terfokus ke satu titik, "Hmmm... bukankah itu Rei?"
Nefertari menunjuk ke arah pohon sakura besar yang ada di samping lapangan lari. Atha dan Gudako segera menyusul ke balkon, melihat ke arah yang ditunjukkan Nefertari, "Ah, iya itu Rei!" Kata Gudako.
Tunggu, "Kenapa dia ada diatas dahan pohon?" Atha pikir Rei itu tadi adalah hantu penghuni pohon beringin, soalnya gadis itu berpenampilan serba putih dan diam diatas pohon---dan jangan lupa, hari masih gelap. Bukankah hantu suka gelap?
"Ayo kesana!" Ajak Nefertari.
Atha dan Gudako mengangguk.
---
---
---
Udara pagi di bulan April, mungkin terkesan sejuk---namun, tidak sama sekali. Tarik kembali ekspektasi kalian.
Atha melihat layar smartphone-nya, suhu di luar menunjukkan angka sepuluh derajat celcius. Pantas. Atha, Gudako dan Nefertari setengah kedinginan hanya karena diterpa oleh angin pagi pada saat mereka keluar dari gedung asrama, padahal mereka sudah memakai mantel yang lumayan tebal. Maklum saja ini adalah minggu kedua di musim semi, suasana pagi masih sama seperti musim dingin---walau setidaknya mulai menghangat---tapi tetap saja, mantel tidak boleh dilepaskan.
Atha, Gudako dan Nefertari sudah sampai di dekat pohon yang dimaksud. Sejak tadi mereka melihat Rei yang melambaikan tangannya dari jauh, setelah sampai di bawah pohon, si kunti KW malah cengar-cengir padahal belum gosok gigi.
"Rei!!" Panggil Gudako.
Ketiga gadis itu sudah berada dibawah pohon sakura yang ditempati oleh Rei.
Rei menoleh, "Yo, selamat pagi semua!" Ujarnya riang.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa ada di tempat seperti ini?" Tanya Nefertari.
Rei menggaruk kepala belakangnya. Kikuk. Ia tersenyum, "Kalian, ayo naik kemari!"
Memang tinggi pohonnya hanya lima meter, ditambah lagi batang pohonnya bergelombang dan membuat seperti pijakan. Lumayan memudahkan seorang gadis untuk memanjat ke atas. Tapi ... kenapa harus menuruti Rei?
"Atas dasar apa kau memerintahkan kami untuk naik ke atas?" Atha menggunakan bahasa yang baik dan benar dengan nada sarkastik. Tidak marah, hanya saja ... ini hanya bumbu untuk kedekatan mereka sebagai 'sahabat'.
Rei tersenyum, "Ayolah, sebentar lagi pemandangan indah muncul! Ini mungkin menjadi pemandangan indah yang dapat kau lihat sekali seumur hidup!"
Atha, Gudako dan Nefertari saling berpandangan. Pada akhirnya mereka menuruti Rei dan memanjat pohon. Beruntung saja Nefertari lumayan mahir memanjat---itu karena dulu dia sering ikut Ramses dan Moses yang juga senang memanjat---setidaknya Nefertari sudah lumayan tobat dan tidak berakhir seperti Atha, Rei atau Gudako yang berstatus 'cewek jadi-jadian'.
Setelah berada diantara dahan pohon sakura yang kokoh, Rei menunjuk ke satu titik. Di arah timur.
"Nah, lihat disana!"
Nefertari terperangah, "Wah ... matahari terbit!"
"Wah, indahnya!" Kata Gudako.
Rei terkekeh, aura kemenangan menguar dari tubuhnya, "Sebentar lagi. Tunggu sebentar lagi..."
Kegelapan yang mewarnai langit kini mulai memudar, menampakkan semburat jingga yang bercampur dengan warna merah muda---awan-awan yang serupa dengan kapas putih berarak menghiasi langit. Cicit burung mulai terdengar dan suhu mulai menghangat.
Matahari mulai terbit.
"Ah! Terbit!" Pekik Nefertari.
Di ufuk timur, perlahan cahaya mulai terbebas, menghapus kegelapan malam. Pemandangan terlihat lebih istimewa ketika guguran kelopak sakura yang terbawa angin menari-nari bermandikan cahaya hangat matahari di pagi hari.
"Darimana kau tahu tempat ini, Rei?" Atha menoleh ke arah Rei.
"Kemarin, Karna-san bilang kalau melihat matahari terbit di tempat ini sangat indah. Dan itu memang benar!" Jawabnya.
Atha tersenyum, "Kali ini, sepertinya aku setuju."
Momen ini, pasti tidak akan mereka lupakan. Ya. Soalnya ini indah. Lebih indah dari nilai matematika yang diberikan oleh Nikola Tesla.
---
---
----jam 05.50.
Hup!
Nefertari, Gudako dan Atha sudah mendarat dengan selamat di atas tanah. Tinggal Rei yang masih belum beranjak turun.
"Ayo, Rei! Kita harus beres-beres kamar!" Ucap Gudako.
"Ada satu hal penting yang ingin aku katakan..." Rei tersenyum pahit.
Ketiga gadis yang ada di bawah pohon menatap gadis itu tanpa berkedip, siapa tahu ini hal penting.
Sedetik kemudian, pekikan Rei membuat ketiga gadis itu menyesal membuang beberapa detik waktu mereka hanya untuk mendengarkan kata-kata Rei. Mereka menyesal. Sangat.
"AING TAKUT KETINGGIAN!!"
---derita lo, kampret!
🌿
🌿
🌿
C H A P T E R 4
---Keep calm and stay sane---
🌿
🌿
🌿
"Okita, bantu aku!"
"Oke!"
Minggu pagi di ruangan klub koran: bersih-bersih berjamaah. Bukan hanya di klub koran, klub lain pun melakukan hal yang sama.
Okita dan Nobu sedang memindahkan beberapa kardus yang berisi majalah lama untuk dipindahkan ke rak buku yang baru saja dibenahi. Sedangkan beberapa anggota lain mengerjakan hal lain, yang jelas masih berupa aktifitas bersih-bersih.
Okita meletakkan kardus yang ia bawa didekat rak buku, "Woah, berdebu sekali." Ujarnya.
Hidung Okita rasanya digelitiki oleh debu-debu yang beterbangan dari tumpukan kardus yang ia bawa, hampir saja ia bersin namun tidak jadi---mengingat ada Oda Nobunaga yang berada di sampingnya. Salah-salah Nobu bisa jadi korban sembur. Jika iya, tamatlah riwayat Okita.
Nobu mengambil satu per satu majalah dan menatanya di rak buku, sebelumnya ia telah membersihkan debu yang menepel menggunakan kemoceng, "Hidungku gatal."
"Apa boleh buat, kita sudah lama tidak beres-beres ruangan klub." Tukas Okita.
"Senpai, aku taruh kotak ini dimana?" Mashu dan Mordred yang baru saja kembali dari gudang membawa beberapa perlengkapan percetakan.
"Ah, letakkan saja disamping rak buku. Tumpuk saja." Ujar Okita.
Mordred meletakkan kotak disamping rak buku, disusul oleh Mashu yang melakukan hal sama.
Mordred menatap sekeliling, "Tidak kusangka ruangan ini cukup besar juga kalau dibereskan."
Nobu tertawa penuh kemenangan, "Oho, tentu saja. Hanya saja ruangan ini terlihat kecil karena terlalu banyak tumpukan majalah, buku dan yang lainnya."
Mordred manggut-manggut, "Lalu setelah ini apa?"
Okita mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sebentar lagi pekerjaan mereka selesai. Membereskan majalah, buku dan alat lain adalah tugas Okita, Nobu, Mordred dan Mashu, terlihat ringan namun sebenarnya menyita banyak waktu.
"Hmmm..." Okita melihat Isao dan Galahad yang sedang mengelap kaca, "Kita bantu mereka saja. Setelah ini kita menyapu dan mengepel lantai."
Nobu menghela nafas pelan, "Dasar laki-laki, pekerjaan mudah seperti itu saja tidak becus!"
Tugas Galahad dan Isao adalah membersihkan ruangan klub---mengepel, menyapu, membuang sampah dan membersihkan kaca. Namun nyatanya tugas seperti ini tidak cocok untuk mereka. Soalnya, mereka membutuhkan waktu yang cukup lama hanya untuk membersihkan kaca dan membuang sampah.
"Memangnya kau suka mengepel?" Okita sewot. Ini karena hampir setiap membersihkan kamar asrama---karena Okita dan Nobu di kamar yang sama---Okita-lah yang selalu kebagian bersih-bersih sementara Nobu bersantai sambil memainkan gitar listriknya.
Nobu tertawa merendahkan, "Pekerjaan rendahan seperti itu tidak cocok untuk pewaris klan Oda!"
Ingin kuberkata kasar!---"Boleh aku menghajarmu tidak?" Tukas Okita.
---dan pada akhirnya, Mordred dan Mashu bertugas untuk memisahkan Okita dan Nobu yang hampir duel di tengah ruangan klub.
---
---
----di sisi lain ... Karna, Arjuna, Cu dan Diarmuid tengah memanen buah dan sayuran di kebun kecil yang berada di samping ruangan klub.
Cu penasaran dengan Diarmuid yang sejak tadi cengengesan memandang layar smartphone-nya. Diam-diam ia mengintip dibalik punggung Diarmuid---
Cu mendengus sebal, "Sampai kapan kau mau berbalas pesan dengan Grainne?"
Diarmuid terkejut, ia berbalik badan menghadap Cu, "Maaf, ini penting!"
Penting? Penting katanya? Urat dahi Cu hampir saja putus karena kesal. Diarmuid terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk membalas pesan dari Grainne hingga ia lupa tugas lain yang lebih penting. Cu menghela nafas panjang, "Pacaran itu sangat penting?"
Diarmuid tersenyum sejuta watt. Jika ada gadis yang melihat senyumannya sudah dapat dipastikan gadis itu akan tergoda oleh pesona seorang Diarmuid---tapi maaf Cu tidak tertarik dengan senyum Diarmuid. Ia masih normal.
"Kau bilang penting?" Cu mengangkat sekop yang tadi ia sembunyikan dibalik punggungnya. Melihat raut wajah Cu yang hampir mengamuk, Diarmuid ciut dan segera menyimpan smartphone-nya ke dalam saku.
Seorang Diarmuid tidak mau berakhir dikubur hidup-hidup oleh Cu Chulainn. Lebih baik menuruti perintah Cu demi kelangsungan hidupnya di Chaldea.
---
----Karna sedang memetik buah stroberi bersama dengan Arjuna. Beruntung dua kakak-adik beda DNA itu lumayan akur. Buktinya belum terjadi baku hantam hingga saat ini.
"Stroberi-nya besar..." ujar Rei. Gadis itu tiba-tiba muncul di belakang Karna yang sedang memetik buah stroberi.
Karna sedikit terkejut, ia tidak menyadari keberadaan Rei. Ia menoleh ke arah gadis itu dan menatapnya---tatapan Rei terfokus pada buah stroberi yang ada di tangan Karna. Sepertinya Rei tergiur untuk mencicipinya.
"Kau mau?" Tanyanya.
Dengan cepat, Rei berseru, "Boleh?"
Karna tidak bisa menolak. Tatapan Rei yang memohon mirip seperti kucing kelaparan yang sering ia temui di dekat pasar. Kemudian Karna menyodorkan buah itu tepat di hadapan Rei, "Makanlah!"
Tanpa ba-bi-bu lagi, Rei segera menerima buah yang Karna sodorkan dengan mulutnya---Hap!
Karna speechless.
"Hmm, manisnya!"
Rei tidak menggubris Karna yang shock karena tanpa sengaja telah menyuapi demit piranha albino. Gadis itu malah memegangi pipinya yang merona merah karena dimanjakan oleh rasa manis yang segar dari buah stroberi.
Ekspresi Arjuna yang sejak tadi diam-diam melihat dan menguping pembicaraan antara Rei dan Karna: ingin ngakak tapi takut kualat. Ia menahan tawanya yang hampir saja meledak, dan segera berhenti ketika melihat Karna yang memelototinya dengan tatapan mirip Brahma.
Oke, kita tinggalkan soal kebun beserta penghuninya.
---
---
----beralih ke tempat lain...
Sementara yang lain sedang bersih-bersih di sekitar ruangan klub, Atha malah clingak-cliguk sendiri didepan papan pengumuman utama, dekat gerbang akademi dengan membawa selembaran buletin yang akan ia tempelkan disana.
"Kemana cebong albino itu pergi ... lama sekali, Gusti!"
Sebenarnya yang bertugas menempelkan buletin di papan pengumuman utama adalah Atha dan Rei, namun karena tadi ia lupa membawa selotip, ia menyuruh Rei untuk kembali ke ruangan klub untuk mengambilnya. Tiga puluh menit berlalu, Rei masih belum menunjukkan batang hidungnya. Memangnya jarak gerbang utama ke ruangan klub itu jauhnya sepanjang sungai Nil, gitu?
Atha mendesah pelan, sebenarnya ia ingin mengumpat. Tapi ia urungkan. Tidak baik mengumpat---nambah dosa.
Masih setia berdiri di tempat yang sama, Atha menatap kejauhan, tepatnya ke arah luar gerbang.
Ada sebuah mobil mewah yang berhenti di depan gerbang...
Tidak lama setelah itu gerbang akademi dibuka, masuklah sebuah mobil bercat merah kedalam akademi. Ini aneh, pikir Atha. Pandangannya terus tertuju pada mobil itu sampai ia terparkir di halaman khusus kendaraan. Pintu mobil dibuka, munculah sosok wanita yang sulit dideskripsikan kecantikannya. Satu kata yang bisa mewakilinya hanyalah: sempurna.
Surainya pirang, digelung rapi. Ia memakai setelan kasual: kemeja putih yang dipadukan dengan blazer hitam dan celana bahan berwarna putih, tidak lupa dengan stiletto hitam yang membuat penampilan wanita itu sangat sempurna. Wanita itu juga memakai kacamata hitam, tubuhnya tinggi semampai, dan ... anggun.
Lalu---
---saking asyiknya Atha memerhatikan gerak-gerik wanita itu, ia tidak menyadari jika sosok itu sudah berada dihadapannya.
Eh?!
"A-a-selamat ... pagi." Sapa Atha canggung, tidak lupa ia membungkukkan setengah badannya.
Wanita itu tersenyum manis, bibirnya yang diwarnai oleh lipstik merah terlihat memesona, "Selamat pagi, gadis manis." Ujarnya.
Wanita itu membuka kacamatanya, manik ruby-nya berkilat indah. Tajam namun cantik, ditambah dengan bulu matanya yang lentik, membuat Atha terpana. Apalah dirinya, kecantikannya tidak sebanding dengan wanita ini.
Ibaratnya bagaikan batu kerikil dan berlian---
---Atha pundung dipojokan.
Tunggu, rasanya Atha familiar dengan wajah wanita ini. Tapi dimana ia melihatnya ya?
"Ngomong-ngomong, kau mau tidak mengantarku ke asrama putra?" Tanyanya.
"Asrama?" Atha mengerjap pelan, "Maaf nona, tapi saya siswi."
Wanita itu tersenyum, "Akan kuberi izin untukmu. Hanya sebentar. Mau ya?!"
Mau tidak mau, sih. Atha mengangguk, "Baiklah."
---tapi, jika nanti dia diberi hukuman bagaimana? Masa bodoh! Yang jelas hati kecil Atha berkata jika ia harus menuruti kata-kata wanita ini.
"Bagus." Wanita itu tetap tersenyum, namun ada aura hitam yang menguar dari tubuhnya. Seram. Tapi memikat. Dia sejenis fallen angel-kah?
Wanita itu berjalan terlebih dulu menuju ke arah asrama putra, diikuti oleh Atha yang mengekor di belakangnya. Atha sendiri terus menatap sosok wanita ini dengan beragam pertanyaan yang masih berseliweran dibenaknya.
Wanita itu berhenti sejenak dan berbalik ke arah Atha, "Gadis manis..."
"Ya?"
"Tolong sekalian bawakan satu ember air dingin ya!"
What?!
🌿 🌿 🌿
"Gil, ini jam ... berapa?"
"Mana kutahu, aku bukan tuan jam dinding!"
Penghuni kamar 404---tersisa tiga orang yang masih setia dengan tempat tidurnya, Ozymandias, Arthur dan Gilgamesh. Mereka sudah bangun, namun enggan membuka matanya. Ini hari minggu, setidaknya mereka ingin mengistirahatkan otot-ototnya yang selalu lembur bagai kuda di ruangan Osis, kelas juga klub. Ini bentuk penghormatan karena telah kerja rodi selama enam hari.
"Ayolah Gil ... ini jam berapa?" Tanya Arthur.
Gilgamesh malas untuk melihat jam di smartphone-nya, "Tanya Ramses."
"Ozy, jam berapa?"
Ozymandias menarik selimutnya hingga menutupi seluruh badan, "Lihat saja sendiri, kau punya mata kan?"
Arthur berguling-guling diatas kasur, menciptakan suara berderit. Sudah tahu ia malas membuka kedua matanya, makanya ia bertanya pada dua orang roommate-nya. Tapi alih-alih menjawab, yang ia dapat hanya jawaban yang sama dan tidak merubah keadaan, "Lihat saja sendiri!"
Apa daya, Enkidu sudah bangun sejak tadi pagi dan keluar dari kamar, jadi Arthur tidak bisa bertanya pada Enkidu---ia merupakan roommate yang paling rajin dibandingkan dengan dua orang lainnya. Padahal Arthur sendiri malasnya naudzubillah.
Cklik! Kriek!
Ketiga lelaki itu mendengar pintu kamar yang terbuka. Mungkin itu Enkidu, pikirnya.
Tanpa pikir panjang, Arthur segera berkata, "Enkidu, sekarang jam berapa?"
"..."
Hanya terdengar suara klotak-klotak dari sepatu yang bersentuhan dengan lantai. Suara itu mendekat ke arah mereka dengan sangat pelan dan tempo yang sama.
"Enkidu jawab pertanyaan bayi besar ini! Sejak tadi dia terus-terusan bertanya jam berapa." Ujar Gilgamesh setengah kesal.
"..."
"Enkidu! Ayo jawab!" Tambah Ozymandias.
---
----tidak ada jawaban.
Hanya saja, langkah kaki itu berhenti tepat disamping tempat tidur Gilgamesh dan Arthur. Lalu---
Byur!!!!
"WOI ENKIDU, SIALAN KA---"
Gilgamesh yang sudah siap dengan sumpah serapahnya karena diguyur oleh seember air super dingin tiba-tiba ciut. Itu karena, ada sosok yang lebih menyeramkan dari seorang iblis sudah berdiri dihadapannya, dengan sebelah tangan yang memegang ember kosong.
Tubuhnya yang terasa basah kuyup dan kedinginan seolah menguap di udara, berganti dengan ketakutan luar biasa. Arthur dan Ozymandias juga speechless melihat penampakan sosok asing---namun tidak asing---ada di kamar ini.
"Ma-mama---"
Gilgamesh berusaha tersenyum manis, namun berakhir pahit.
Jari-jari lentik wanita itu terulur menyentuh sebelah daun telinga Gilgamesh, menjewernya dengan sangat amat pelan namun menyakitkan seperti capitan kepiting laut. Dan sedetik kemudian, Gilgamesh hampir saja kehilangan indera pendengarannya.
"GILGAMESH!!"
---nging!~
🌿 🌿 🌿
Atha tidak bisa berkata-kata karena sebuah tragedi telah terjadi di asrama putra nomor 404. Bukan karena ia juga ikut terlibat dengan serangan mendadak---ia yang membawa seember air dingin---bukan juga karena melanggar aturan karena masuk asrama putra. Tapi karena ... ia baru pertamakali melihat ketua Osis bersama dengan kedua wakilnya kalang-kabut gara-gara didatangi sosok wanita cantik ini.
Atha akui, cantik itu kadang menyeramkan. Buktinya orang cantik kalau marah hardcore gini kan!
Atha berbalik, di daun pintu banyak siswa penghuni kamar lain yang mengintip dengan beragam ekspresi: ada yang menganga, ada yang mirip ikan mati, ada yang gigit kuku dan sebagainya.
Gilgamesh segera memegang sebelah telinganya yang sudah di zalimi, "Ma-mamah kapan kemari?!" Ucapnya sedikit ketakutan.
"Jangan harap ibu memaafkanmu."
Wait ... Mamah katanya?---Atha tambah merasa blo'on. Jadi wanita ini Mamah Ninsun yang sering diperbincangkan oleh Arthur dan Ozymandias kah? Weh, emak-emak mantan gangster!
Ninsuna berdecak kesal, "Kalian sepertinya sudah tahu kesalahan masing-masing kan?"
Ninsuna menatap satu per satu mahluk tak berdaya yang hampir melepaskan nyawanya. Bersyukur mereka masih ingat bagaimana caranya bernafas sehingga tidak jadi melepaskan nyawa.
Ninsuna berbalik ke arah Arthur, "Kau! Cepat akui kesalahanmu!"
Hah?!
Arthur gelagapan, "E-eh apa ya? Apa karena aku belum mandi?!"
Ninsuna segera merogoh saku blazernya dan menyerahkan sebuah surat ber-cap 'Pendragon' pada Arthur, "Baca dengan suara lantang!"
"Ba-baik!"
Arthur menelan ludahnya, ia yakin jika isi surat ini jauh dari kata menyenangkan.
"Arthur, berhentilah 'mukbang'---
---ayah tahu kalau six-pack-mu hilang dua biji.
Best regard, Uther Pendragon."
Atha melongo, sumpah isinya absurd! Sementara senpai yang bersangkutan sudah mirip dengan ikan mati. Dalam benaknya Arthur bertanya, "Kenapa ayah tahu aku suka mukbang?!"
Ninsuna kemudian berbalik menatap Ozymandias. Ia berdehem pelan, "Ramses, kuakui kau memang manis dan merupakan teman Gilgamesh sejak kecil. Aku juga tahu dan kenal dekat dengan kedua orang tuamu. Jadi, apa yang kau perbuat hingga Fir'aun Seti hampir murka?"
Ramses menggeleng, karena ia ingin berbicara namun suaranya enggan untuk keluar.
Ninsuna memberikan sebuah surat lagi pada Ramses. Kali ini dengan pengirim yang berbeda. Ninsuna berdeham, "Baca!"
Ozymandias yang gemetaran mulai membuka surat tersebut dan membacanya---
"Ramses, ayah sangat kecewa karena kau dengan bodohnya terjerumus ke dalam jurang ke-'alay'-an yang cukup dalam...
...berhentilah main Tik Tok!
Sincerely, Fir'aun Seti I."
Reaksi Ozymandias? Sama seperti Arthur, mirip ikan mati.
Sekarang giliran Gilgamesh yang sudah menyiapkan lahir dan batin---namun gagal---dan jika bisa ia ingin mengubur dirinya hidup-hidup daripada bernasib seperti dua orang lain yang sekarat setelah menerima surat catatan aib mereka. Catatan aib, bukan catatan amal.
Tapi jika Gilgamesh mengubur diri, ia ingat satu hal yang belum bisa ia capai---dia belum nikah.
"Untuk anak-ku tersayang..." suara Ninsuna terdengar seperti nyanyian Lorelei, merdu namun mematikan. Gilgamesh menelan ludahnya dengan susah payah, wajahnya sudah sangat pucat.
Ninsuna tersenyum ala fallen angel, "...ini dari ayahmu, Lugalbanda."
Dengan tangan gemetar, mau tidak mau Gilgamesh segera menerima surat itu dari tangan ibunya. Mungkin karena faktor kedinginan juga, gemetarannya terlalu hebat. Mentalnya juga ikut terguncang, semoga setelah membaca surat ini dia masih waras.
"Gilgamesh...
Maafkan ayah, tapi mulai saat ini dan selanjutnya...
Yang bertanggung jawab mengatur segala kebutuhanmu adalah ibumu.
Aku serahkan tanggung jawab pada Ninsuna.
Juga, tolong jangan menghabiskan uang jajanmu hanya untuk gacha.
---Lugalbanda---
P.S jangan membuat ibumu murka lagi!"
Dalam hati, Gilgamesh menjerit pilu, "Why you betray me, Father!"
Ah, ternyata Ninsuna sudah tahu jika Gilgamesh menghabiskan seluruh uang jajannya hanya untuk gacha. Sepertinya Atha harus memberi penghormatan terakhir dan menyuruh senpai-nya itu segera menulis surat wasiat.
Lalu, Ninsuna berdeham, "Kalian sudah tahu kesalahan masing-masing kan?"
Ya!---Atha dapat mengartikan tiga raut wajah suram itu dengan kata setuju. Tolong jangan dihakimi lebih lanjut. Kewarasan mereka hampir sirna.
"Dan untuk hukuman terakhir..."
Heh?! Masih ada!---Atha sepertinya harus menyiapkan liang lahat untuk ketiga senpai-nya ini.
Ninsuna menjentikkan jarinya, "Kirei!"
Dari arah pintu, muncul sosok pendeta dengan wajah menyebalkan---Atha bahkan merasa gatal hanya ingin memukuli pendeta itu, bahkan jika memungkinkan ia ingin merubah pendeta itu mirip dengan Voldemort. Idungnya ilang.
Kirei Kotomine---membawa tiga buah piring dengan makanan yang menguarkan bau tidak sehat. Bau cabai. Dan warnanya merah. Jika Atha benar, itu adalah "Mapo tofu."
"Mapo tofu pesanan anda sudah siap dihidangkan, nyonya." Kirei tersenyum sinis, menatap Arthur, Ozymandias dan Gilgamesh.
"Bagus! Kalian, segera habiskan makanan ini!" Ninsuna berdeham, "Jika tidak, kupastikan kalian jomblo seumur hidup!"
Arthur, Ozymandias dan Gilgamesh sudah tidak tahan dengan ujian yang bertubi-tubi menyerang mereka tanpa ampun. Ingin sekali berteriak supaya dewa mendengar ratapan mereka---
"YAMEROOOOOO!!!!"
🌿 🌿 🌿
Satu hal yang tidak bisa dilewatkan pada saat bunga sakura masih bersemi adalah Hanami.
Hari mulai malam, riuh para siswa-siswi akademi terdengar riang. Mereka sedang memenuhi tikar-tikar besar yang sudah disiapkan disekitar lapangan olah raga untuk mengadakan tradisi tahunan di musim semi.
Lampu-lampu taman mulai dinyalakan. Guguran bunga sakura sudah nampak seperti kepingan salju. Jumlahnya banyak dan menghujani para siswa-siswi yang tengah duduk disana.
---
----anggota klub koran dihadiahi tugas ekstra: membagikan camilan khas musim semi yaitu sakuramochi beserta ocha hangat pada para siswa.
Sempat tadi ada keributan yang terjadi di klub koran karena saking sibuknya para anggota, mereka lupa akan tiga eksistensi yang hampir ditelan bumi karena dua hari ini mereka menghilang untuk memperbaiki nilai ujian yang hancur.
Yan qing, Billy dan Robin---trio kwek-kwek klub koran yang telah melanglangbuana ke absurd-an-nya.
Beruntungnya mereka mudah dijinakkan. Masalah berakhir dengan tidak ada satu pihak pun yang terzalimi.
---
---
---
Dari kejauhan, Gudako melambaikan tangannya pada Atha---gadis itu sedang membawa camilan ekstra untuk para penghuni tikar yang akan menjadi tempat hanami-nya.
"Wah, kau dapat ekstra?" Seru Gudako.
Atha tersenyum, "Osakabe memberikan sisanya padaku. Jadi dengan senang hati kuterima."
"Entah kenapa, aku rasa ini musim semi terbaik yang pernah aku alami." Kata Nefertari.
Rei mengangguk, "Sama."
Namun, ada hal yang janggal---"Ngomong-ngomong kenapa kalian ikut bergabung dengan kami?"
Atha menatap Mordred, Galahad, Mashu, Gilgamesh, Ozymandias dan Arthur yang duduk di tikar yang sama.
Mordred berseru, "Ayolah Atha, kami sudah nyaman bersama dengan kalian. Jadi jangan usir, oke!"
Lalu, Atha melirik Gilgamesh, Ozymandias dan Arthur, "Bagaimana keadaan perut kalian? Sudah baikan?"
Setelah makan mapo tofu buatan Kirei, ketiga senpai-nya mengalami mimpi buruk. Terutama dengan hal yang berkaitan dengan perut dan pencernaan. Atha prihatin. Beruntung Rei meng-ikhlaskan beberapa susu beruang miliknya untuk diminum oleh mereka sehingga perutnya lumayan baikan.
"Sudah agak lumayan." Gilgamesh masih dendam.
"Jangan dendam, senpai. Itu konsekuensi karena sudah bertindak mengikuti nafsu." Kata Atha.
Gilgamesh merengut.
"Jadikan ini sebagai pelajaran." Lanjut Atha.
Atha menatap satu persatu temannya. Rei tengah menyuapi Arthur dengan buah stroberi yang diberi oleh Karna. Gudako, Galahad, Mashu, Arthur dan Mordred sedang berbincang bersama, juga sepertinya Gudako sedang mencari info tentang Bedivere---senpai yang Gudako sukai. Nefertari sedang mendengarkan racauan Ozymandias, lalu ia tertawa karena ceritanya.
"Senpai..." Ujar Atha.
"Hm?"
"Ini ide-mu kan? Osakabe bilang jika kau yang memgusulkan hanami dirayakan oleh akademi."
Gilgamesh mengangguk, "Ya, begitulah."
Atha tersenyum, menatap Gilgamesh, "Terimakasih, senpai."
"Kenapa berterimakasih?"
"Soalnya ini pengalaman pertamaku yang ikut ber-hanami. Ternyata ini indah."
Gilgamesh menatap raut wajah Atha yang terlihat berbeda. Gadis itu tidak memasang wajah menyebalkan seperti biasanya, ia terkesan lebih segar dan sering tersenyum sejak hanami ini dimulai.
Gilgamesh tersenyum penuh kemenangan, "Kau baru menyadari jika aku ini keren, kan?"
Atha menoleh ke arah Gilgamesh dan tersenyum manis, "Tidak juga."
Deg!
Senyuman Atha, menjadi sebuah misteri bagi Gilgamesh. Karena ... pada saat itu juga ia hampir terkena serangan jantung---
---namun, ia malah segera berlari ke toilet karena tidak tahan dengan gejolak di perutnya.
🌿 🌿 🌿
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top