Chapter 36
GILGAMESH sesekali mencuri pandang ke arah Atha yang memilih mengabaikan dirinya untuk menatap pemandangan jalanan dari jendela mobil yang sebenarnya tidak menarik ; hanya hamparan aspal dan lalu lalang manusia yang ada di trotoar. Gadis itu menolak untuk menunjukkan wajahnya yang sejak tadi berwarna layaknya tomat merah. Tidak hanya wajah, warna merah itu juga menjalar hingga daun telinganya. Terima kasih pada warna kulit Atha yang pucat, hal itu membuat Gilgamesh mudah mengetahuinya.
"Hei, sekarang kenapa kau yang mengabaikanku? "
Atha memberengut sebal. Tanpa merubah posisi, ia hanya menatap Gilgamesh lewat pantulan kaca di hadapannya. "Untuk sekarang aku tidak bisa menatap wajahmu dulu, Gil. Maaf."
"Alasannya?"
Atha menghela nafas panjang. Gusar. "Emosiku yang labil ini tidak bisa diajak kompromi setelah membaca pesan laknat dari si axolotl Avalon."
Jawaban Atha membuat Gilgamesh tergelak.
"Silahkan tertawa. Kau boleh menertawakanku sepuas yang kau inginkan."
"Hanya karena hal itu kau jadi mengabaikanku?" Gilgamesh menghentikan laju mobil saat lampu merah menyala, "jika kau terus mengabaikanku, aku mungkin bisa lebih gila dari sebelumnya."
Atha menelengkan sedikit wajahnya untuk menatap Gilgamesh, "Kau sudah janji tidak akan menciumku tanpa izin, Gil. Ingat!"
Gilgamesh membela diri, "Wah, andai kau tahu seberapa sulitnya diri ini untuk mengontrol yang satu itu. Jadi mohon pengertiannya ya, Nona."
Lampu merah berganti hijau, mobil kembali melaju menyusuri jalan raya Chania di sore hari.
Hening.
Gilgamesh menghela nafas panjang karena untuk kesekian kalinya keheningan kembali melingkupi mereka berdua. Baik ia maupun Atha, belum ada niatan untuk kembali memulai percakapan. Awkward, tentu saja.
"Apa kau membenciku karena ciuman di malam itu?" akhirnya Gilgamesh mengambil inisiatif untuk membuka topik. Bukan asal bertanya, tapi lebih kepada hal yang selama ini ingin ia tanyakan secara langsung pada Atha. Perihal ciuman di malam itu, ia ingin mengonfirmasi sesuatu.
"Tidak, aku tidak membencimu." Atha berdecak kemudian menggaruk kepalanya dengan gusar, "hanya saja ... rasanya aneh."
"Aneh? Maksudnya?"
Atha menolehkan wajah pada Gilgamesh, memerhatikan lelaki itu yang tampak serius mengemudikan mobil. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Gil. Apa maksudmu menciumku saat itu? Apa itu hanya untuk kepuasanmu saja? Iseng?"
"Soal itu..." Gilgamesh melirik Atha lewat ekor matanya, "mungkin bisa dibilang, itu sedikit bagian dari keegoisanku. "
Atha mengerjap, "Egois kenapa?"
Gilgamesh mengangguk, "Kau seharusnya tahu bagaimana kacaunya perasaanku saat itu."
"Kacau bagaimana?"
Atha memiringkan kepalanya, tidak mengerti dengan jawaban Gilgamesh yang menurutnya sudah seperti kepingan puzzle. Jika maksud ucapan lelaki di sampingnya adalah menyinggung tentang ia yang mengabaikannya karena perkataan Arthuria, maka Atha tidak bisa menampiknya. Saat itu ia memang menghindari Gilgamesh karena campur tangan Arthuria. Tapi ... sampai membuat perasaan Gilgamesh campur aduk? Ia tidak tahu kalau dampak dari pengabaiannya bisa separah itu.
"Atha, apa kau tahu ada orang lain di akademi yang menyukaimu selain aku?"
———hah?
Atha mengerjap, "Quoi?!"
Akal sehat Atha mendadak terjun bebas kala mendengar penuturan Gilgamesh beberapa detik yang lalu. Orang lain yang menyukainya selain Gilgamesh? MEMANG ADA?
"Charlemagne." ucap Gilgamesh, "apa kau tidak sadar jika dia menyukaimu?"
Bibir Atha terbuka setengah. Ia terkejut.
"Ma-maksudnya ... Charlie-senpai?"
Gilgamesh mengangguk.
"Waktu itu aku sedikit marah karena kau mengabaikanku tapi tidak dengan Charlemagne." Gilgamesh kembali melirik Atha yang kini memasang ekspresi aneh, "bukankah di minggu-minggu itu kau dekat dengannya? Bahkan kau sampai meminjam gitar padanya untuk latiha—"
"Tu-tunggu sebentar!" Atha memotong ucapan Gilgamesh dengan tergesa, "apa maksudnya Charlie-senpai menyukaiku? Kau tidak bohong, kan?"
Gilgamesh memasang wajah cemberut lantas menatap Atha, "Apa wajah ini terlihat berbohong di matamu?"
Bibir Atha mendadak kelu. Ia kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Gilgamesh barusan. Perihal Charlemagne dan segala tek-tek-bengek romansa ala SMA itu benar-benar membuat akal sehatnya sedikit terguncang. Pasalnya, bagaimana bisa dirinya yang tidak populer ini bisa menggaet lelaki? Oh ... apakah ini ada sangkut pautnya dengan kebocoran feromon? HELP!
"Saat itu aku bingung dan takut." Gilgamesh kembali memfokuskan pandangannya ke jalan raya, "bingung karena dirimu yang tiba-tiba saja menjauhiku dan takut jika kau—"
Gilgamesh menggantung kata-katanya. Ia frustasi.
Atha bertanya tanpa dosa, "Takut kenapa?"
Gilgamesh manyun, "...takut jika kau malah memilih Charlemagne daripada aku."
What the———
"Astaga..." Atha memijat pelipisnya pelan, "kau memilih menciumku karena itu?"
"Maaf." sesal Gilgamesh, "tapi jujur aku memang melakukannya karena itu. Dan tidak ada pilihan lain selain itu."
"Kenapa kau tidak bilang langsung saja jika kau menyukaiku tanpa ada embel-embel ciuman segala?"
"Masalahnya, Atha sayang..." Gilgamesh menatap lekat Atha, "kau tidak akan memercayai ucapanku dengan semudah itu—ucapan saja tidak cukup untuk meyakinkanmu."
Ah ... benar juga.
Atha tepok jidat, meratapi jalan pikirannya yang terlalu kompleks. Ia ingat jika Haydee juga pernah menyesalkan dirinya untuk poin yang satu itu.
"Asal kau tahu, aku menciummu bukan bermaksud untuk melecehkan atau merendahkanmu." jelas Gilgamesh.
"Oke, cukup. Aku mengerti." Atha mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat pada Gilgamesh untuk berhenti menjelaskan. Ia tidak mau mendengar alasannya lebih lanjut karena—dapat dipastikan—akan berakhir membuatnya malu.
"Kau yakin penjelasanku tadi sudah cukup?"
Atha mengangguk cepat. "Yap. Aku sudah mengerti."
"Kau tidak membenciku?"
"Tidak. Aku tidak mungkin membencimu hanya karena hal itu—apalagi setelah penjelasanmu tadi ... aku tidak bisa membencimu." jawab Atha dengan beberapa penekanan.
Gilgamesh kembali memerhatikan Atha, "Kau bilang tidak benci tapi air mukamu mengatakan sebaliknya."
"Aku tidak benci, Gil! Tidak denganmu ataupun dengan ciuman itu."
"Lalu kenapa kau terlihat masih ragu?"
Atha buang muka, rasanya ia ingin sekali mengambil sekop lantas mengubur dirinya hidup-hidup. Benar-benar frustasi!
"Apa waktu itu yang pertama?" Gilgamesh menahan senyumannya, "...jika iya, maaf karena ciuman pertamamu kurebut dengan cara seperti itu."
Atha buang muka, enggan menanggapi si Goldy. Ia bertaruh jika wajahnya sekarang kembali memerah. Sudah cukup dengan perkara ciuman!
Gilgamesh tersenyum menggoda, tidak tahan menjahili Atha yang sedang hampir bertransformasi menjadi tomat masak. "Mau diulang tidak?"
"Apanya?"
"Ciumannya."
Atha melolot sempurna, "OGAH!"
Gilgamesh tergelak, "Aku kan ingin membuat kenangan yang tidak mungkin bisa kau lupakan, terutama ini soal first ki—"
"STOOOOOPPP!!!"
Ingin rasanya Atha berteriak menggunakan toa masjid tepat di telinga Gilgamesh. Adalah kebodohannya karena secara tidak langsung mengarahkan pembicaraan tadi pada insting liar Gilgamesh yang sangat-ingin-Atha-hindari melebihi musuh bebuyutannya ; angsa.
"Lalu kapan kau akan memberiku lampu hijau?" Gilgamesh setengah merajuk, "tidakkah kau ingin memberiku penghargaan karena kesabaran yang sudah kucurahkan padamu?"
Atha kembali tepok jidat. "Gil, dengar. Kita tidak punya hubungan apa-apa, jadi untuk perkara ciuman, tidak ada acara pengulangan!"
"Jadi kapan?" tanya Gilgamesh sekali lagi. Tidak peduli jika pertanyaannya tadi menampar sisi moralitas Atha. "Kapan kau akan menerimaku?
"Yang pasti tidak sekarang." jawab Atha datar.
"Aku tidak menerima penolakan."
"Aku masih di bawah umur, Om!"
———Om.
Urat dahi Gilgamesh berkedut kesal. Entah mengapa jika berdebat dengan Atha selalu saja berakhir dengan unfaedah seperti ini?
"Aku harus melakukan apa lagi untuk meyakinkanmu?"
"Kenapa kamu ngebet banget, sih?!"
"Pada dasarnya aku ini orangnya nggak sabaran, loh!"
—
—
———dahlah.
Atha menyerah. NYERAH, BUNG!
Tidak ada pilihan lain. Setelah menimbang-nimbang beberapa opsi yang telah Atha pikirkan sebelumnya—persiapan jika saat seperti ini tiba—ia memutuskan untuk memilih opsi yang paling aman.
"Akhir musim panas." Atha menganggukkan kepalanya mantap, "aku janji di akhir musim panas tahun ini, kau akan menerima jawaban dariku."
"Kupegang janjimu."
Atha menghela nafas panjang, entah mengapa ada suatu perasaan di hatinya terasa semakin berat.
"Ya, akhir musim panas."
🍀
🍀
🍀
C h a p t e r 3 6
—Nemesis—
"Please, deceive me! Laugh, and say it’s love
Until we fade away, stay just like that..."
[Shunrai by Kenshi Yonezu]
🍀
🍀
🍀
"Atha, Gilgamesh-senpai tidak melakukan hal yang buruk padamu, kan?"
"Kalian kemana saja seharian tadi?"
"Atha, jika Gil-senpai berani berbuat macam-macam padamu, aku akan minta bantuan Bunda dan Panda buat nyantet dia!"
Ingin rasanya Atha menyumpal kedua lubang telinganya menggunakan jari atau benda lain yang dapat melindunginya dari bahaya budeg. Baru saja keluar dari kamar mandi, ia sudah diberondong pertanyaan dari ketiga sobat sukses-nya dengan volume suara seakan tengah mengumandangkan kampanye menggunakan pengeras suara. Berisik dan mengganggu.
"Hanya melakukan satu dan lain hal," jawab Atha setengah ambigu, "Gil tidak melakukan hal yang aneh, kok. Jadi kalian tidak perlu khawatir."
Mana mungkin Atha mengatakan yang sejujurnya pada ketiga gadis ini bahwa, "Hei, tadi aku menjemput Pangeran kalian loh, di bandara!"
Lawak!
"Gil-senpai tidak membawamu ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Rei.
"Tidak." Atha menghela nafas panjang, "asal kalian tahu, seharian tadi kami berdua berakhir terdampar di Ithaca karena disuruh Penelope-san untuk fitting kostum yang akan dipakai saat festival."
Nefertari, Rei dan Ritsu sejenak saling tatap sebelum akhirnya ketiga pandangan mereka kembali terpusat pada Atha. Tampaknya mereka masih meragukan penuturan tadi.
"Kamu nggak bohong, kan?" tanya Ritsu dengan hati-hati.
"Kalian bisa tanya pada Penelope-san atau Althea-senpai jika tidak percaya."
"Kamu nggak histeris berduaan dengan Gil-senpai? Kalian di satu mobil yang sama, kan?"
Atha menjawab cepat, "Nggak kok, sans aja."
"Kau tadi satu mobil dengan Gil-senpai ... Kok aku jadi takut kalau Gil-senpai memberimu guna-guna, ya?" serobot Rei tanpa akhlak.
"...the fuck!?" semprot Atha tidak kalah sengit.
Ritsu memasang gestur layaknya seorang detektif yang baru saja menemukan kepingan terakhir untuk pemecahan kasusnya, berspekulasi, "Berarti apa itu artinya kau ... sudah sembuh?"
Atha menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, "Belum, Ritsu—belum sepenuhnya."
"Lantas?"
Atha mengusap tengkuknya yang tidak gatal, "Sejauh ini lelaki yang tidak membuatku takut hanya Edmo—Ayah, Max, Emmanuel dan ... Gil."
Tiba-tiba saja air muka Rei, Ritsu dan Nefertari berubah. Salah satu ekspresi yang sangat ketara dari ketiga gadis itu adalah keterkejutannya.
Sebelumya, Atha sudah menduga jika ketiga sahabatnya ini akan menghadiahinya tanggapan demikian. Dia dapat membacanya setelah tahu bagaimana karakter mereka masing-masing. Juga, ia tahu apa yang sedang mereka pikirkan terkait pembicaraan tadi.
"Ironis, ya?" gumamnya kemudian, "diantara semua lelaki yang pernah dekat denganku, aku malah lebih nyaman bersama dengan lelaki yang paling berbahaya."
Gilgamesh itu berbahaya, catat!
Tidak jarang Atha menjadi korban dari dorongan hati pemuda itu yang kadang menggebu tanpa bisa terkontrol. Contohnya adalah soal ciuman di malam itu—dan itu yang menurut Atha paling parah dari perlakuan Gilgamesh padanya.
Nefertari duduk di samping Atha, "Kau pasti punya alasannya, kan?"
Atha mengangguk, "Entah kenapa, aku kurang nyaman jika berhadapan dengan pemuda yang 'baik'. Aku takut jika kebaikan yang ia tunjukan di depanku—juga orang banyak—adalah bagian dari kamuflase. Aku takut sikapnya akan berubah tiga ratus enam puluh derajat apabila hanya ada kami berdua di satu ruangan yang sama. Membayangkan hal semacam itu ... tidak jarang membuatku merinding."
"Ah ... aku mengerti. Muka dua." desis Ritsu.
Seperti kata Ritsu barusan, "muka dua". Di kehidupan Atha beberapa tahun ke belakang—sebelum ditemukan oleh Edmond—ia sudah terlalu kenyang dikelilingi oleh orang-orang seperti itu. Dan karena alasan itulah, menjadikan Atha kesulitan saat memulai interaksi dengan orang baru.
Rei manggut-manggut, "Biar kusimpulkan. Kau merasa nyaman di sisi Gil-senpai itu gara-gara dia memang bertindak sejalan dengan wataknya tanpa menutup-nutupi kejelekannya, kan?"
Atha mengangguk, agak ragu. Tapi sepertinya ucapan Rei itu memang benar.
"Antara Charlemagne dan Gilgamesh, kau pilih yang mana?" tanya Rei kemudian.
Atha mengerjap. Lagi-lagi soal Charlemagne.
"Gil." jawabnya mantap, "jujur, jika bersama Charlie-senpai, aku kurang nyaman jika mengacu pada hubungan yang lebih sensitif. Alasan mengapa aku bisa bersikap biasa saja didepannya hanya karena ia sudah kuanggap sebagai senior di Akademi. Tidak kurang dan tidak lebih. Hanya hubungan simbiosis mutualisme antara junior dan senior."
Charlemagne baik. Ya, dia baik. Atha tidak bisa menampik kenyataan itu. Namun entah kenapa, sikap pemuda itu terkadang membuatnya sedikit was-was. Seolah jika ia lengah sedikit saja lantas memercayai segala kebaikan serta kelembutan si pemuda itu, maka mimpi buruk akan segera menyapanya.
Dan itu membuat Atha semakin muak.
Di lain sisi, Nefertari dan Ritsu agaknya malah setengah bego gara-gara pertanyaan Rei yang tiba-tiba saja menyangkut-pautkan hubungan diantara Atha, Gilgamesh dan Charlemagne. Masalahnya adalah, baik Ritsu maupun Nefertari, keduanya tidak tahu mengenai peran "Charlemagne" dalam hubungan Atha dan Gilgamesh.
"Tu-tunggu, apa maksudnya Charlemagne?" tanya Nefertari cepat.
Ritsu kicep.
Atha dan Rei saling lirik untuk beberapa saat, seolah tengah mencoba bertukar info melalui tatapan mata.
Atha bertanya penuh selidik, "Rei, sejauh mana kau tahu soal Charlie-senpai?"
"E-eh!?" giliran Rei yang mendadak bodoh gara-gara pertanyaan Atha yang tiba-tiba. "Aku hanya berspekulasi. Soalnya, ya—dia itu sering sekali mencuri pandang ke arahmu dengan tatapan yang ... mendamba?"
Atha tepok jidat. Bahkan insting Rei saja bisa sensitif saat mencium bau-bau romansa, tapi mengapa tidak dengan dirinya?
Ritsu dan Nefertari setengah histeris, "Jadi intinya ... ini cinta segitiga?!"
"Lah, kalian baru sadar?" Rei balik bertanya tidak kalah histeris.
Terima kasih, Gil. Agaknya Atha berhutang budi gara-gara percakapan tadi di dalam mobil, ia jadi tahu jika alasan mengapa selama ini Charlemagne mendekatinya karena pemuda itu memang punya maksud tertentu.
Kedua tangan Ritsu mengguncangkan kedua bahu Atha dengan gemas. "Serem, sumpah kamu serem amat deh, Atha! Bisa disukai dua cowok sekaligus kayak di anime reverse harem!"
Atha membela diri, "Oi, ini bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan!"
Rei kemudian melirik Atha, "Jawab dengan jujur! Siapa yang membantu menyadarkanmu akan Charlemagne?"
Atha berdecak sebal, "Gilgamesh yang memberitahuku tadi. PUAS?!"
Giliran Nefertari yang pusing akibat mendengar racauan Atha, Rei dan Ritsu yang saling sindir masalah romansa. Lucu sekali.
"Bestie, udahan dulu debatnya, deh!" lerai Nefertari sembari memijat pelipisnya yang mendadak pening. Ia lantas melempar tatapan pada Atha, "By the way, tadi Lady Haydee menitipkan pesan pada kami jika kau sudah pulang, dia ingin kau segera menemui Count di ruang kerjanya."
Sebelah alis Atha terangkat, "Ke ruangan kerja Edmo—Ayah?"
"Ah, benar! Tadi ia berpesan seperti itu pada kami." imbuh Rei sembari manggut-manggut.
Atha menghela nafas panjang. Sebal. Ia merutuki sifat pikun dari ketiga sohib-nya ini yang selalu telat memberitahukan hal-hal penting padanya.
"Kenapa nggak bilang dari tadi?!"
🍀
🍀
🍀
Kenapa perasaanku tidak enak, ya?
Atha merasa jika kedua kakinya dililiti oleh sulur pohon tak kasat mata hingga rasanya sulit sekali untuk melangkah. Berat. Menyusuri lorong yang mengarah ke ruangan Edmond kini terasa berkali-kali lipat lebih jauh dari biasanya.
Dari arah jendela, Atha dapat melihat jika sang surya kini telah kembali ke peraduannya. Semburat jingga keemasan di langit mulai memudar digantikan oleh warna biru temaram. Angin sejuk menyapu daratan, menyingkirkan suhu panas yang menguasai Chania. Malam sedang mengumandangkan kehadirannya.
Masih ada waktu setengah jam sebelum makan malam, pikirnya.
Kira-kira apa maksud Edmond mengundang Atha untuk datang ke ruang kerjanya, ya?
Jika maksud Edmond adalah mengungkit soal "kencan palsu"-nya dengan Gilgamesh, itu tidak mungkin. Pasalnya sebelum mereka berdua berangkat pagi tadi, Atha sudah memberitahu Edmond bahwa apa yang ia sebut dengan "kencan" hanya sebatas alibi untuk ketiga sohibnya agar mahluk-mahluk itu tidak ada yang curiga. Kembali ke maksud yang sebelumnya, mana mungkin Atha akan berkata dengan enteng pada Ritsu, Rei dan Nefertari bahwa ia dan Gilgamesh sebenarnya pergi berdua untuk menjemput "para-Pangeran-terlantar" di bandara.
Kemudian jika Edmond menginterogasi-nya terkait "hal apa yang ia lakukan dengan Gilgamesh?"
Maka Atha dengan mantap akan menjawab jika ia lebih lama menghabiskan waktu di tempat Penelope ketimbang main-main tidak jelas di jalanan. Simpel, Atha dan Gilgamesh hanya pergi berdua tanpa ada bumbu-bumbu R18. Stay HALAL, bestie!
"Atha! Kapan kau tiba?"
Haydee yang baru saja keluar dari ruang kerja Edmond tersenyum riang saat menyadari kehadiran Atha.
"Sekitar setengah jam yang lalu," balas Atha tanpa basa-basi. "Ngomong-ngomong, tadi katanya Ayah menyuruhku kemari. Kira-kira ada apa, ya?"
Haydee melirik ke arah pintu ruang kerja yang tertutup, "Edmond ingin mengenalkanmu pada salah satu teman lamanya yang baru saja datang dari Perancis."
"Quoi?" Atha mengangkat sebelah alisnya, heran. "Bertemu dengan temannya? Aku?"
Ekspresi Atha nampak kebingungan gara-gara mendengar penuturan dari Haydee. Pasalnya, adalah hal yang tidak biasa bila Edmond tiba-tiba saja melibatkan dirinya dalam lingkaran pergaulannya.
Salah satu teman—atau mungkin bukan—dari Edmond yang pernah berkenalan dengan Atha adalah Dumas. Itupun karena tidak sengaja, dan pertemuan itu sekitar tiga tahun yang lalu. Dan tolong jangan bertanya soal kesan dari pertemuannya, karena Atha malah berakhir terus menempel di sisi Edmond gara-gara ketakutan. Dumas—si "Penulis Sableng" itu dengan seenak jidatnya mengklaim jika dalam beberapa tahun kedepan ketika Atha sudah cukup umur dan menjadi gadis yang cantik, ia akan menikahinya. HUEK!
Reaksi Edmond soal ucapan Dumas ; absolutely, no. BIG NO!.
Dan, sejak kejadian "laknat" itu, Edmond memasukkan Dumas ke dalam kategori orang-orang yang diblacklist untuk bertemu dengan Atha.
Atha kembali bertanya, "Siapa?"
Seakan Haydee tahu apa yang ada di pikiran Atha, ia segera menjawab pertanyaannya. "Tenang saja, ini bukan Dumas."
Oke, setidaknya Atha bisa sedikit bernafas lega untuk sekarang.
"Dia salah satu teman kami saat di Perancis. Dulu kami tidak sempat mengenalkanmu padanya karena ia sudah lebih dulu pergi mengikuti pelatihan militer." jelas Haydee kemudian.
Atha manggut-manggut. Walau sebenarnya ia belum mengerti apa perannya saat ini.
"Teman baik?"
Senyuman Haydee semakin terkembang, "Ya."
Tunggu, militer?
"Apa dia juga kenal dengan Max?"
Satu-satunya anggota militer yang dikenal baik oleh dirinya dan Edmond hanya ada Maximillian Morrel—ya, walau sekarang sudah pensiun karena memilih beralih profesi jadi bawahan Edmond—siapa tahu saja, kan, ia kenal dengan tamu yang dimaksud oleh Edmond. Jika ada testimoni "baik" lebih dari dua orang yang Atha percaya, maka dipastikan orang tersebut memang baik. Tanpa terkecuali.
"Max dan Valentine juga kenal dengan dia." kata Haydee meyakinkan, "hmmm bagaimana ya menjelaskannya ... bisa dikatakan jika ia teman seperkumpulan kami dulu."
Atha manggut-manggut. Oke, ia sudah yakin jika tamu Edmond yang akan diperkenalkan padanya memang bukan orang yang problematik seperti Dumas. Jadi, tidak ada salahnya setuju untuk bertemu. Lagipula, pasti Edmond punya maksud tertentu mengapa ia harus bertemu dengan tamu ini.
Haydee menepuk bahu Atha, "Masuklah duluan, Edmond sudah menunggumu sejak tadi. Aku akan ambilkan beberapa camilan dan teh dulu di dapur."
"Biar aku—"
"Tidak." tolak Haydee cepat, "lebih baik kau segera temui Edmond. Aku khawatir dia akan marah."
Atha tersenyum kecut mendengar penuturan Haydee. Ia tidak bisa menampik fakta bahwa ketika Edmond marah, pria itu seolah dirasuki oleh monster paling berbahaya sejagat raya. Haha. Bahkan katanya, dulu Edmond pernah mengalahkan seorang Dead Apostle seorang diri.
Serem, sih. Tapi bagi Atha, masih lebih seram Fernand dibanding Edmond. Sejak dulu, Fernand sudah menempati takhta nomer wahid "manusia-paling-dibenci-Atha".
🍀
🍀
🍀
"Kenalkan, ini putriku. Namanya Atha."
Menggunakan bahasa Perancis, Edmond memperkenalkan Atha lantas merangkul bahu gadis itu hingga merapat padanya. Posisi mereka sekarang sedang duduk di sofa, Atha duduk bersebelahan dengan Edmond sedangkan si Tamu duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka.
"Salam kenal. Senang bertemu dengan anda, Monsieur."
Sekilas Atha memerhatikan si Tamu. Entah hanya perasaan atau bukan, tapi pria itu sejak tadi menatapnya dengan pandangan yang aneh. Bukan pandangan yang nakal, tapi lebih pada tatapan teduh yang sedikit sendu.
"Senang bertemu dengan anda, Mademoiselle. Nama saja Alb—Alphonse Herrera. Tidak usah sungkan jika memanggil saya dengan nama depan."
Entah karena Atha kurang fokus atau apa, saat memerhatikan Alphonse lebih dalam, tiba-tiba saja ia jadi teringat akan sosok "hantu dari masa lalu" yang tadi sempat terlintas di benaknya. Hey, mengapa Alphonse tiba-tiba saja terlihat seperti Fernand?
Atha segera menghilangkan pikiran negatifnya barusan. Jelas-jelas pria yang ada di hadapannya sekarang merupakan orang yang berbeda dengan Fernand. Ya ... walau sedikit, Atha dapat melihat persamaan garis wajah dari Alphonse dengan Fernand. Tapi sedikit, SEDIKIT. Lainnya tidak ada. Warna mata dan rambut sudah berbeda, pun dengan umur yang jelas tidak dapat dibandingkan.
Alphonse masih muda. Jika tebakan Atha benar, maka pria ini berusia akhir dua puluhan—hampir sebaya dengan Valentine dan Maximillian. Bertubuh tegap, kira-kira tingginya hampir sama dengan Gilgamesh. Rambutnya berwarna coklat yang dipotong pendek, agak berantakan. Iris matanya berwarna biru pucat—biru yang mengingatkan Atha pada langit bersalju di musim dingin. Dan hal yang paling membuatnya tertarik adalah adanya bekas luka melintang di sekitar mata kanannya.
Jelas sekali jika Alphonse bukanlah Fernand. Dasar Atha bodoh!
Mari salahkan masa lalu Atha yang penuh dengan kegilaan!
Tentang mimpi buruk bernama masa lalu, sampai saat ini, Atha masih menyimpan baik kenangan tentang dirinya dan Fernand. Tepatnya sudah bersusah-payah untuk melupakannya pun, Atha tetap akan mengingatnya. Ciri fisik Fernand yang paling mencolok adalah rambutnya yang merah menyala seperti bara api dan iris mata berwarna senada dengan Atha. Ironis, bukan? Satu-satunya hal yang diwariskan oleh Fernand padanya hanyalah sepasang matanya yang berwarna biru. Mengingat kembali fakta ini malah membuat Atha jijik. Sial!
"Tadinya saya sempat meragukan Count tentang anda, Nona." kata Alphonse, "saya pikir Count bercanda ketika mengatakan bahwa anda mirip sekali dengan Putri Haydee."
Atha hanya bisa menanggapi ucapan Alphonse dengan senyuman terpaksa. Ia sudah kenyang ketika ada orang asing yang baru pertama kali bertemu dengannya pasti menyangka dia adalah kembarannya Haydee.
"...tapi setelah diperhatikan lebih lama, anda ternyata tidak semirip itu dengan Putri." tutur Alphonse kemudian.
"Bagaimana, apa kau sudah puas memerhatikan Putri-ku?" Edmond menginterupsi. Bahkan ia memberi intonasi tambahan pada saat mengucapkan kata "Putri" seolah tengah menegaskan bahwa Atha adalah putrinya.
Oh ... bulu kuduk Atha merinding ketika mendengar penuturan Edmond. Bukan karena takut, tapi karena ada gelenyar aneh yang merayap di dada. Mengenai "Putri", berada di dekat Edmond, Atha merasa jika ia memiliki sosok seorang ayah yang selama ini begitu ia dambakan.
Alphonse yang baru menyadari ketidak-sopanannya karena tidak dapat memalingkan pandangan dari Atha kini berubah kikuk. "Astaga, maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud tidak sopan pada Anda. Sekali lagi maaf bila saya membuat anda kurang nyaman."
Atha memasang senyuman paling ramah, "Tidak perlu minta maaf, itu sudah biasa."
Edmond melempar pandang bergantian pada Atha dan Alphonse. Ia tersenyum. "Masih ada waktu satu jam sebelum makan malam. Apa kita lanjutkan saja perbincangan ini? Lagipula aku yakin banyak hal yang ingin Alphonse tanyakan padamu. Apa kau tidak keberatan, Atha?"
Atha mengerjap. Heran.
"Maksudnya aku akan ikut mengobrol dengan kalian sampai waktu makan malam?" celetuk Atha.
Edmond berdeham, "Ya, apa kau keberatan?"
Jika ini permintaan Edmond ... maka hukumnya wajib! Mau tidak mau, Atha harus menurutinya.
"Aku tidak punya pilihan lain, kan?"
Baik Edmond maupun Alphonse, keduanya terkekeh geli ketika melihat raut wajah Atha yang memelas gara-gara titah si Ayah.
🍀
🍀
🍀
Namanya Alphonse Herrera. Sama seperti Maximillian, ia adalah mantan prajurit militer. Satu tahun yang lalu ia memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai prajurit karena khawatir dengan kondisi kesehatan ibunya yang kadang sakit-sakitan. Pikirnya tetap berada di sisi ibunya walau dengan tunjangan pas-pasan lebih baik ketimbang nasibnya sebagai pasukan perdamaian di medan perang yang tidak menentu. Ia belum mau mati karena jika ia tinggal nama, maka tidak ada orang lain yang dapat menjaga ibunya. Ya, mereka hanya tinggal berdua tanpa sanak saudara.
Setelah resmi pensiun dari militer, untuk menambah pundi-pundi perbendaharaan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia dan ibunya membuka toko roti sederhana di daerah Marseille—kampung halaman Edmond. Hanya toko roti sederhana, tanpa ada etalase menarik seperti di Salon. Walau bagaimanapun, ia dan ibunya hanya rakyat biasa, bukan turunan ningrat. Hanya mengandalkan tunjangan tidak akan cukup untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga perlu banting tulang agar asap dapur tetap mengepul.
Sepanjang obrolan tadi, Atha menyadari ada satu hal yang tidak pernah disinggung oleh Alphonse ; mengenai Ayahnya. Agaknya topik itu terlalu sensitif untuk dibahas. Atha memaklumi, toh dirinya pun enggan untuk mengangkat topik seputar Fernand. Setiap orang pasti memiliki cerita yang tidak mau mereka bagikan pada orang lain, maka satu-satunya cara untuk menghormati keputusan mereka adalah dengan bersikap tidak mau tahu.
Alasan mengapa Alphonse datang ke Chania tidak lain karena Edmond. Mahluk satu itu selalu memberi banyak kejutan apabila ada orang baru yang ia rekrut bergabung ke lingkaran bisnisnya. Karena hal tersebut, terkadang Atha sampai dibuat kagum dan ngeri akan kejeniusan Edmond dalam merekrut orang. Terlebih dengan relasi yang begitu beragam, hal ini memudahkan Edmond di berbagai aspek.
Singkat cerita, perbincangan mereka berempat—ditambah Haydee—dijeda oleh interupsi dari Concetta yang mengabarkan jika makan malam sudah siap.
Atha, Edmond dan Haydee hendak pergi ke ruang makan, namun saat mengajak Alphonse untuk ikut serta, pria itu dengan berat hati menolak ajakan mereka. Ia meminta izin untuk beristirahat di kamarnya. Nampaknya, tubuhnya sudah tidak dapat diajak kompromi lagi, kelelahan akibat menempuh penerbangan yang cukup panjang dari Paris ke Chania membuat staminanya berkurang hingga hampir mencapai titik nol.
Dan begitulah akhir dari obrolan sore mereka.
To be continue.
🍀
🍀
🍀
Malam hari, di sebuah kamar—
"Bagaimana kesan pertamamu saat bertemu dengan Atha?"
Menggunakan bahasa non-formal, Edmond membuka topik pembicaraan dengan seorang pria berambut merah yang sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Membelakanginya.
"Count ... aku masih tidak percaya dengan eksistensi gadis itu." jawab si pria dengan nada suram.
"Itu wajar." Edmond menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "jika saja Haydee tidak meyakinkanku, akupun pasti akan berpendapat sama denganmu."
Pria berambut merah itu menundukkan kepalanya dalam. Rahangnya mengeras sementara kedua tangannya terkepal erat. Ia seolah sedang menahan diri agar tidak dikuasai oleh berbagai macam emosi negatif yang bergejolak di dalam diri. Frustasi.
"Satu hal yang ingin selalu kuperingatkan padamu, jangan sekali-kali berani keluar dari kamar ini dengan penampilan yang seperti itu! Aku tidak mau kau mengejutkan Atha." lanjut Edmond kemudian.
Pria itu tenggelam dalam pikirannya karena ucapan Edmond. Ia memerhatikan sebuah benda yang tergeletak di atas lantai ; sebuah rambut palsu berwarna coklat. Selintas memori akan pertemuan di ruang kerja Edmond kembali muncul ke permukaan.
Ia masih ingat bagaimana ekspresi Atha saat pertama kali bertatap muka dengannya. Ada perasaan tidak enak saat melihat gadis itu sempat terlihat ketakutan karena duduk berhadapan dengannya. Apakah barusan ia menakuti Atha? Oh ... Ini buruk!
"Atha ... dia memiliki warna mata yang sama seperti Ayah." tuturnya kemudian.
Edmond menganggukkan kepala, "Ya, aku tahu."
"Count ... jika Atha tahu tentang identitas asliku, apakah ia akan menerimaku?"
Menghela nafas berat, Edmond mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku tidak bisa menjamin apakah traumanya sudah sembuh sepenuhnya atau belum."
"Count ... aku ingin meminta maaf pada gadis itu, atas nama Ayahku—Fernand Mondego." tuturnya dengan tulus.
"Aku tahu."
Alphonse meremas kemeja yang ia kenakan, tepat di arah jantungnya. "Dibandingkan dengan diriku, gadis itu sudah terlalu banyak menghadapi masa-masa sulit. Hatiku hancur, Count."
"..."
"Atha—Adikku. Adik perempuanku. Meski kami berbeda Ibu, aku memiliki ikatan yang kuat dengannya." tutur Alphonse dengan nada gemetar.
"Alphonse—tidak, Albert Herrera." Edmond menyela, "tahan dirimu sebentar lagi. Pada saat yang tepat, aku akan memberitahu Atha semua tentangmu."
Ya, tunggu sebentar lagi—
Meski frustasi, namun Albert—identitas asli Alphonse—mengamini kata-kata Edmond.
🍀
🍀
🍀
Heyo gaes, pakabar kalean? Semoga sehat selalu, ya!
Update singkat sebelum diri ini kembali hibernasi gara-gara disibukkan dengan aktivitas di dunia nyata :")
Sekedar info, chapter ini dibuat sebagai "prolog" dari special story-nya OC saya ᕕ( ᐛ )ᕗ
Okei see you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top