Chapter 31

Jari-jari lentiknya menari dengan lincah di atas deretan tuts piano berwarna hitam putih, mengumandangkan alunan musik yang dihasilkan oleh sebuah bösendorfer hitam. Ia memainkannya tanpa melihat partitur, hanya merefleksikan nada-nada yang sebelumnya pernah didengar dan terpatri di dalam memorinya. Namun walau begitu, harmoni yang dihasilkan tetap terdengar padu, menghasilkan getaran emosional hingga mampu mencampuradukkan emosi siapa saja yang mendengarnya. Terdengar riang, lalu berubah menjadi sendu. Ritme cepat, lalu berubah lambat. Terus seperti itu secara berulang-ulang.

Tanpa kata-kata yang terucap langsung oleh lisan, dalam permainannya, ia seolah tengah menceritakan sebuah dongeng. Terdiri dari prolog, klimaks dan diakhiri oleh epilog—setiap bagian lagu yang ia mainkan membuat satu kesatuan dongeng yang utuh.

Langit adalah pendengarnya.

Matahari musim panas yang bersinar cerah di angkasa adalah lampu panggung yang menyinarinya.

Angin yang bertiup, gemerisik dedaunan, kicauan burung serta nyanyian serangga adalah pengiringnya.

Dan di ruangan ini, walau jauh dari kata megah dan mewah—

—adalah panggungnya.

🎶

🎶

🎶

C h a p t e r 3 1
Wings of Piano

🎶

🎶

🎶

Masih dalam posisi duduk di atas piano bench, ia menolehkan wajahnya ke arah daun pintu. Seseorang ada di sana, memberikan tepuk tangannya sebagai tanda kekaguman pada si pianis sesaat setelah ia menyelesaikan permainan pianonya.

"Permainan pianomu selalu bagus seperti biasa."

————eh?

Atha mengerjapkan matanya beberapa kali, agaknya ia belum terbiasa ketika menerima kata-kata pujian dari Edmond Dantes. Sedikit canggung ia memaksakan untuk tersenyum, "Terima kasih ... Edmond."

Terlihat Edmond mendengus pelan, hampir tidak terlihat jika tidak terlalu memerhatikan. Sayangnya, Atha punya pengamatan yang bagus hingga ia bisa menyadari sikap Edmond di balik ekspresi dingin itu. Tidak sampai dua detik, pria itu kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan, menghampiri Atha yang masih terdiam di atas kursi.

Edmond menatap Atha lekat-lekat, "Tapi rasanya permainanmu kali ini agak berbeda."

Giliran Atha yang membeku, peka amat!

"Terlalu menghayati musiknya, atau ... ada alasan lain?" lanjut Edmond.

Sebentar, bagaimana menjelaskannya, ya? Atha sedikit sangsi jika mengatakan kejujuran pada Edmond mengenai alasan mengapa ia memainkan lagu itu. Pasalnya, memang ada sedikit emosi yang terbentuk karena ia teringat akan masa lalu—kisah hidupnya yang ngenes—dan selebihnya, Atha memang suka dengan musiknya. Ya, hanya itu. Lalu jika Edmond tahu bahwa Atha sedikit mellow ... rasanya tidak etis. Juga tidak elegan.

Tersenyum masam, akhirnya Atha menjawab pertanyaan Edmond berdasarkan alasan 'karena suka musiknya'.

"Begini..." Atha menggaruk belakang kepalanya, "sebenarnya lagu ini adalah salah satu lagu yang pernah aku mainkan di sebuah rhythm game. Karena terlalu sering mendengarnya, aku jadi suka dan jadilah tadi aku memainkannya. Selesai."

Atha tidak berbohong. Ini serius, jujur.

Edmond menghela nafas panjang, "Sejak kapan kau jadi penggila game?"

"Aku memainkannya saat waktu luang, kok."

"Waktu luang?" Edmond tersenyum angkuh, "bukannya kau sampai begadang juga?"

"Be—apa?"

———skakmat.

Mampus. Sejak kapan Edmond tahu jika Atha suka begadang gara-gara jadi romusha?

"Kau pasti heran karena aku tahu soal hal ini, kan? jangan remehkan kemampuanku, mademoiselle."

Keringat dingin keluar membasahi pelipis Atha. Gadis itu merasa jika setelah ini Edmond berencana untuk menguburnya hidup-hidup. Merutuki kebodohannya, Atha lupa jika ayahnya ini setengah detektif, juga memiliki jaringan informasi yang luas. Bayangkan saja, dari bangsawan hingga rakyat jelata, pasti ada saja yang jadi kenalannya—oh ... bahkan katanya Edmond juga kenal dengan bandit dan perompak.

Isn't that creepy?

Lagipula, apa salahnya dengan main game?

Holy grail is over, use technology!

"Kumaafkan." kata Edmond cepat.

Pria itu menyadari jika apa yang ia lakukan bisa saja berakibat fatal. Bagaimana jika ia malah kembali memperkeruh hubungan ayah-anaknya dengan Atha? sangat disayangkan jika itu terjadi. Pasalnya, hubungan Edmond dan Atha sekarang sudah berangsur membaik.

Atha lagi-lagi mengerjap tidak percaya, "Hah?"

Edmond menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kumaafkan."

Atha mengernyit, "Kebaikanmu malah membuatku merinding. Serius."

Edmond berdecak kesal, kali ini ia mengacak-ngacak rambut Atha dengan agak kasar. Membuat gadis itu mengaduh dengan sesekali merutuk kesal. Puas telah mengacak-ngacak rambut gadis itu hingga membuat ikatannya terlepas, Edmond mengalihkan pembicaraan.

"Kau ikut aku sekarang." katanya—lebih bisa disebut sebagai ucapan biasa daripada sebuah perintah.

"Jangan bilang kau mau mengirimku ke Tartarus?" Atha bergidik ngeri.

"Mademoiselle, aku bukan Hades." Protes Edmond.

Atha manyun, "Tapi kau mirip Hades—Hades yang quarantine di chateau d'if selama empat belas tahun."

Ucapan Atha membuatnya dihadiahi tatapan tajam dari Edmond.

"By the way ... Persephone-nya Haydee." tambah Atha.

Edmond geleng-geleng kepala, baru tahu jika sifat asli Atha se-absurd ini. "Oke. Lalu kau jadi siapa?"

"Yang jelas aku tidak mungkin jadi Cerberus..." Atha mengira-ngira, "Charon? Thanatos? Hermes?"

Edmond menyentil dahi Atha, "Bodoh! Jika aku Hades dan Haydee adalah Persephone, maka kau lebih tepat menjadi Hecate."

Atha mengerjap pelan, Hecate?

Bibir Atha setengah terbuka, ingin melayangkan protes pada Edmond. Masa iya dirinya disamakan dengan Hecate—yang notabenenya seorang Dewi? namun setelahnya, belum sampai kata-kata protes terucap, ia malah membisu. Dalam mitologi, Hecate merupakan salah satu dari tiga Dewi bulan. Ia adalah Dewi yang mewakili sisi gelap bulan. Sebagai hadiah dari membantu Demeter selama pencariannya atas Persephone, Hecate diberi tempat di dunia bawah—sebagai pendamping Persephone.

———dipikir-pikir, ucapan Edmond ada benarnya juga.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hubungan ayah-anak antara Atha dan Edmond, baru kali ini gadis itu setuju dengan pendapat sang ayah.

"Jadi, kita mau kemana?" tanya Atha.

Dengan santainya Edmond menjawab, "Bandara Daskalogiannis."

Mengapa Atha tidak terkejut dengan jawaban Edmond yang selalu di luar nalar manusia normal, ya? tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja mau ke bandara.

"Kau mau apa ke bandara? Ada pekerjaan mendadak?"

"Kita akan menjemput tamu."

Atha manggut-manggut. Ia tidak terkejut karena ini bukan pertama kalinya Edmond mengundang rekan bisnis ke rumah. Tapi untuk dirinya yang diminta untuk ikut serta menjemput tamu, rasanya sedikit aneh.

"Max tidak bisa mengantar?" tanya Atha kemudian.

"Ia mengantar Valentine pergi ke klinik untuk memeriksakan kandungannya."

Bibir Atha membulat, "Lalu Emmanuel?"

"Pergi berwisata ke Heraklion bersama keluarga kecilnya."

"Lalu kenapa tidak dengan Haydee?"

Raut muka Edmond berubah mengerikan saat Atha menyarankan Haydee yang seharusnya ikut bersama pria itu ke bandara.

"Kita akan membawa dua mobil. Jika aku membawa Haydee, memangnya kau mau membiarkan dia menyetir?"

Atha buru-buru menggelengkan kepalanya.

"Kau hanya menyetir sekali jalan. Saat pulang nanti, Concetta yang akan menggantikanmu."

"Concetta ikut menjemput juga?"

Edmond mengangguk, "Dia kuperintahkan untuk menjemput mereka sejak di Athena, lalu mengawalnya kemari."

Atha mengangguk, "Kalau begitu, baiklah. Jadi kita akan pergi jam berapa?"

"Setengah jam lagi kutunggu kau di garasi."

"Oke."

Edmond kemudian berbalik memunggungi Atha, "Oh iya, ngomong-ngomong soal lagu tadi, apa pesan yang terkandung di dalamnya?"

Atha mengulas senyuman masamnya, pria ini masih memikirkan soal lagu ternyata. Sudahlah, beritahukan saja. Toh Edmond memang kepo. "Ada dua makna." kata Atha.

Edmond melirik Atha lewat ekor matanya, menunggu kelanjutan kata-kata gadis itu.

"Pertama, menggunakan sayap malaikat untuk mencapai surga. Lalu yang kedua..." ada sedikit jeda serta keragu-raguan yang tersirat dari ekspresi Atha, "...di surga, yang tidak akan pernah bisa kucapai."

Atha menundukkan kepalanya, enggan untuk menatap Edmond. Terdengar helaan nafas berat, entah apa yang dipikirkan oleh pria itu ketika Atha memberitahu arti dari lagu tadi.

"Berhentilah menganggap rendah dirimu sendiri, Atha." kata Edmond, ada sedikit kemarahan dari nada suaranya.

Ucapan Edmond membuat Atha mendongak hingga kedua netra mereka bersirobok satu sama lain.

"Kadang kala, jika kau terlalu rendah diri, mungkin tanpa sadar kau telah melukai seseorang—karena sikapmu."

———maksudnya?

🎶

🎶

🎶

"Kau mau berangkat sekarang?" tanya Haydee.

Atha mengangguk. Ia kemudian melirik ke arah Rei, Ritsu dan Nefertari yang sedang asyik memetik buah beri di kebun belakang. Agaknya ketiga gadis itu terlalu asyik sampai-sampai tidak menyadari keberadaannya. Terlalu memerhatikan ketiga temannya, Atha sampai terkejut ketika Haydee tiba-tiba menangkup wajahnya. Menyentuhkan keningnya dengan milik Atha. Manik mereka bertemu. Ada cahaya keemasan seperti kunang-kunang yang berpendar di iris zamrud Haydee.

"Haydee?"

"Aku melihatnya..." bisik Haydee.

"Melihat? Melihat apa?"

Haydee melepaskan keningnya, menatap Atha sejenak. Seulas senyuman terukir di bibirnya, "Tamu Edmond kali ini, mungkin akan membuatmu terkejut."

———tunggu, kenapa Edmond dan Haydee bertingkah aneh hari ini?

Atha mengerjap, "Apa aku pernah bertemu dengannya?"

Haydee menganggukkan kepala, "Bukan hanya bertemu, tapi kau sudah mengenalnya."

Adalah hal yang sudah sering terjadi jika Haydee mengatakan ramalan kecilnya pada Atha.

Atha tidak menolak ramalan Haydee, sejak dulu ia selalu memercayai sepenuhnya ucapan sepupunya itu. Alasan mengapa Atha memercayai Haydee karena ia tahu, bahwa sepasang mata yang dimiliki oleh Haydee dianugerahi sebuah keistimewaan.

Haydee dapat melihat takdir

Meski begitu, hanya beberapa waktu tertentu saja ia dapat menggunakan keistimewaannya. Contohnya pada saat ini, sebelumnya Atha sudah tahu jika ada cahaya keemasan yang muncul di manik zamrud Haydee, itu berarti gadis itu baru mendapatkan suatu pandangan dari kejadian yang akan terjadi.

"Jika memang benar aku mengenal orang ini, apakah ... dia orang yang baik?" tanya Atha hati-hati.

Haydee menganggukkan kepala, "Dia orang baik. Kalau dia tidak baik, kau tidak mungkin merasa nyaman di dekatnya."

Atha lagi-lagi mengerjap heran. Haydee akhir-akhir ini sering sekali bermain teka-teki dengannya, mungkin hal ini terjadi karena Edmond yang menularkan sedikit sifatnya pada gadis itu.

"Pergilah, Atha. Edmond sudah menunggumu." ucap Haydee kemudian.

Atha menganggukkan kepala, "Kalau begitu aku pergi dulu, Haydee."

🎶

🎶

🎶

Sepasang netra merah delimanya menatap airport signage yang berada tepat di atas lorong arrival gate bandara—

"Welcome to Chania."

Batinnya menghela nafas lega. Setelah hampir sekitar lima jam terombang-ambing berpetualang di angkasa bersama si burung besi, akhirnya ia dapat kembali menapaki tanah. Memang pada dasarnya ini bukan kali pertama baginya pelesiran naik pesawat ke luar negeri, tapi tetap saja ia tidak suka lama-lama duduk di kursi pesawat. Hal yang paling ia tidak sukai dari duduk di kursi pesawat dalam waktu yang cukup lama adalah : rasa panas di punggung hingga pinggang dan kaki yang serasa keram. Penuaan dini dengan osteoporosis instan. Belum lagi jika penerbangannya harus transit di beberapa tempat, lalu kembali memakan waktu ketika dilanjutkan dengan penerbangan domestik.

Oh, ayolah...

Lama-lama rasanya ia ingin memiliki pintu ajaib Doraemon atau dapat menggunakan hiraishin no jutsu milik Hokage keempat agar dapat sampai ke tempat tujuan tidak sampai satu menit.

Tiba di lobi, suasana di bandara ini ternyata tidak seramai di Athena. Lengang dan rapi. Keseluruhan jumlah counter tiket kurang lebih ada tiga belas, dan hampir tidak ada antrean karena jumlah orang-orang di sana dapat dihitung menggunakan jari.

"Kita tunggu di sini saja."

Kata-kata sang ayah membuyarkan pikirannya.

Matanya mengerjap, hampir saja lupa jika ia tidak seorang diri datang ke tempat ini. Total rombongannya ada lima orang. Terdiri dari ayah, ibu, pria berklorofil, gadis yang mirip pria berklorofil dan dirinya. Dan untuk informasi tambahan, mereka akan menetap di Chania kurang lebih selama dua minggu dari hari ini. Tujuan mereka menetap pun bukan karena ingin liburan saja, namun lebih kepada urusan bisnis yang sedang digeluti oleh sang ayah.

Si pria berklorofil menyikutnya pelan, "Bocchan, tidakkah kau senang karena menginjakkan kaki di pulau Kreta?"

Menoleh, ia mendapati si pria berklorofil tengah menyunggingkan senyuman jahil padanya. Membuatnya sedikit sebal. "Memang kenapa kalau kita ada di pulau Kreta?"

Si pemuda berklorofil mendengus sebal. Jawaban yang ia peroleh dari si bocah emas tidak sesuai dengan harapannya. Tidakkah si bocah emas merasa sedikit lebih antusias karena baru saja menginjakkan kaki di kampung halaman sang Juliet?

"Nggak seru."

Si bocah emas menyeringai galak, "Lalu apa yang kau harapkan dariku, Enkidu?"

Pemuda berklorofil—Enkidu memutar bola matanya jengah dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. "Oh ayolah ... ceria-lah sedikit, wahai saudaraku Gilgamesh! Jangan galak-galak. Senyumlah karena itu ibadah. Siapa tahu Dewa yang melihat senyumanmu malah memberikan hadiah spesial karena terpesona akan ketampanan wajahmu saat ini."

Urat dahi si bocah emas agak berkedut, "Kau terlalu hiperbolis."

"Hey, hey, stop!" lerai gadis yang memiliki wajah serupa dengan si pemuda berklorofil—Shamhat.

Mendengar keramaian yang terjadi dari ketiga anaknya, sang ibunda—Ninsuna kemudian merangkul pundak Gilgamesh, "Benar yang dikatakan oleh Enkidu, Gil. Kita sedang liburan seharusnya ceria, apa salahnya untuk tersenyum? Pantas saja jones, kau terlalu galak!"

Gilgamesh memijat pangkal hidungnya, komplotan Ninsuna-Enkidu jika sudah julid damagenya nggak ngotak!

"Kalau aku sering tersenyum..." Gilgamesh melirik jahil ke arah Ninsuna, "aku takut aura ketampananku lebih menguar dan tidak dapat terkontrol."

————iyuwh, pede!

Ucapan Gilgamesh buru-buru ditepis oleh Ninsuna, "Tapi lebih ganteng Lugalbanda, serius!"

Enkidu dan Shamhat ngakak berjama'ah.

Lugalbanda agaknya tidak mau ambil pusing dengan percakapan yang didengarnya, ia memilih untuk menyibukkan diri dengan memerhatikan keadaan di lobi bandara. Mengedarkan pandangannya ke sekitar, ia mencari seorang gadis yang tadi sedang pergi mengantre di baggage claim area. Membawakan koper serta perlengkapan bertahan hidup mereka. Gadis itu berstatus sebagai 'pemandu' keluarganya sejak mereka sampai di Yunani.

"Tuan Lugalbanda, maaf menunggu lama."

Akhirnya gadis yang dicari datang juga.

Dia gadis berkulit eksotis, memiliki rambut berwarna coklat gelap yang digelung sedemikian rupa menggunakan jalinan rumit, dengan sebagian rambut dibiarkan bebas membingkai bagian kiri wajahnya. Selain itu, dia juga memakai anting-anting perak di daun telinganya. Iris-nya berwarna violet. Sekilas tatapannya terlihat kosong, namun jika diperhatikan lagi, tatapannya begitu meneduhkan. Selain itu dia juga mengenakan pakaian rapi ala butler, namun lebih sederhana.

Lugalbanda mengulas senyum, "Maaf merepotkan. Terima kasih karena telah membawakan koper-koper kami, Concetta."

"Itu sudah menjadi tugas saya, Tuan. Anda tidak perlu sungkan." jawab Concetta.

"Oh iya, ngomong-ngomong apa kita akan menyewa mobil untuk ke rumah Count?" tanya Ninsuna.

"Tuan dan Nyonya tidak perlu menyewa mobil," Concetta tersenyum, "itu karena Count sendiri yang akan menjemput Anda kemari."

Gilgamesh, Enkidu dan Shamhat terperangah. Perlakuan khusus macam apa ini?

"Count? Serius?" Ninsuna menatap Lugalbanda, "aduh ... rasanya malah semakin merepotkan."

Concetta kembali tersenyum, "Tidak perlu khawatir, Nyonya. Count memang orangnya seperti itu. Dulu saja saat menyaksikan karnaval Roma, Count pernah menawarkan tempat duduk di Palazzo Ruspoli kepada dua orang pemuda yang baru saja ia kenal secara cuma-cuma."

Ninsuna dan Lugalbanda saling menatap, memberi isyarat lewat tatapan mata jika mereka heran dengan si Count yang agaknya terlalu murah hati. Entahlah.

"Mungkin sebentar lagi Count akan tiba di sini, ia datang menjemput bersama putrinya." jelas Concetta.

Ninsuna mengerjap, "Tunggu, putri? Bukankah Count baru akan menikah musim dingin tahun ini di Paris?"

Concetta menggelengkan kepala, "Ini putri angkatnya, Nyonya."

Ninsuna manggut-manggut.

"Maaf, tadi kami sedikit terkejut karena sebelumnya tidak tahu jika Count memiliki seorang putri." kekeh Lugalbanda.

"Tidak apa, Tuan."

Gilgamesh malah sibuk dengan pikirannya sendiri, entah mengapa saat Concetta membicarakan soal anak angkat Count, terbersit pikiran jika yang sedang dibicarakan adalah gadis itu. Padahal ia tahu jika di dunia ini, orang yang mengadopsi anak itu bukan cuma satu.

"Oh, itu Count—"

Sepersekian detik setelah Concetta mengucapkan hal itu, kelima orang ini segera mengikuti arah pandangan si gadis. Tepat di arah pintu bandara, nampak seorang pria yang baru saja masuk dan tengah berjalan ke arah mereka. Pria itu berambut putih—agak berantakan—yang diikat ekor kuda dan mengenakan setelan semi-formal berwarna hitam. Walau Concetta tadi mengatakan jika Count akan datang bersama putrinya, di sini pria itu terlihat sendirian.

"Selamat datang di kota Chania, Monsieur dan Madame." ucap pria itu.

"Count!" Lugalbanda berpelukan singkat, "terima kasih atas undangannya. Maaf jika kami merepotkan anda."

Count terkekeh pelan, "Astaga, tidak perlu minta maaf seperti itu. Lagipula ini undangan santai dariku, jadi semoga anda dan keluarga dapat menikmatinya."

Count kemudian membungkukkan badan pada Ninsuna dan yang lainnya. Sadar jika ia belum memerkenalkan diri pada ketiga anak Lugalbanda dan memberi salam pada Ninsuna.

Lugalbanda merangkul Count pada pundak, penuh dengan kesan persahabatan, "Perkenalkan, anak-anak. Ia adalah Count yang mengundang kita kemari—Count of Monte Cristo."

Ninsuna menyunggingkan senyum, "Senang bertemu lagi dengan anda, Count."

"Saya juga, Madame."

Gilgamesh kemudian membungkukkan badannya dan meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri, memberikan salam. Untuk seorang putra dari Lugalbanda, ia sudah tidak canggung lagi jika memberi salam secara formal pada rekan bisnis ayahnya. "Gilgamesh, senang bertemu dengan anda, Count."

Enkidu dan Shamhat pun menyusul Gilgamesh untuk memerkenalkan diri.

"Enkidu, salam kenal, Count."

"Shamhat, senang bertemu dengan anda, Count."

"Senang bertemu dengan kalian juga," Count terkekeh pelan, "Ngomong-ngomong, jika di Yunani kalian bisa memanggilku dengan Edmond Dantes. 'Count of Monte Cristo' adalah salah satu sebutanku yang terkenal di Prancis."

Lugalbanda terperangah, "Wow ... namamu terkesan Prancis sekali, ternyata."

"Kampung halamanku memang Prancis, tepatnya di pelabuhan Marseille."

———tunggu, Marseille?

Gilgamesh tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari Edmond kala pria itu menyebutkan nama daerah bernama Marseille. Ia ingat jika di laporan Kingu tempo hari, daerah itu merupakan tempat Atha ditemukan oleh ayah angkatnya.

Concetta menyela, "Maaf Count, tadi Anda bilang jika Nona juga ikut—"

"Oh, itu..." sela Edmond, "tadi dia masih memarkirkan mobilnya, mungkin sebentar lagi sampai di sini."

"Eh, jadi Nona yang menyetir?"

Edmond mengangkat kedua bahunya, "Tadinya aku akan meminta Morrel atau Herbault untuk menemaniku kemari, tapi karena mereka ada urusan, jadi ya..."

"Kukira putrimu masih balita..." gumam Ninsuna.

Edmond menggelengkan kepala, "Dia remaja, sekarang usianya enam belas tahun."

"Wow ... berbeda dua tahun dengan putraku."

"Oh iya, ngomong-ngomong maaf sebelumnya," Edmond menatap Lugalbanda dan Ninsuna sejenak dengan lirikan serius, "aku terkejut ketika menemukan nama Lugalbanda di buklet Akademi Chaldea."

Lugalbanda dan Ninsuna saling melirik, heran. Memang benar jika sebelumnya Edmond tidak pernah diberitahu tentang Akademi Chaldea yang di kelola oleh yayasan mereka. Lalu bicara soal buklet—

"Tunggu, apa mungkin ... ada kenalanmu yang bersekolah di Chaldea?" akhirnya pertanyaan tersebut meluncur dari bibir Ninsuna.

Enkidu, Gilgamesh dan Shamhat terus memerhatikan tanpa ingin ikut bersuara. Juga, rasanya kurang sopan jika mereka ikut pembicaraan para orang tua yang ada di hadapannya. Yang ada, mereka bertiga sesekali hanya melempar isyarat berupa lirikan mata.

Concetta mewakili Edmond untuk menjawab pertanyaan Ninsuna, "Putri Count merupakan siswa di sana sejak bulan April tahun ini."

———wait what?

Gilgamesh mengerjapkan mata, bolehkah ia sedikit berharap?

"Adik kelas kami?" Shamhat bergumam pelan.

"Maaf, tapi..." Enkidu mengangkat sebelah tangannya, "kalau boleh tahu, siapa namanya?"

"Oh itu—"

Belum saja Edmond menjawab, kelima pasang mata tamunya kini terfokus pada satu titik di sisi sebelah kanannya. Rona heran, kebingungan serta tidak percaya tercermin dalam sorot mata mereka. Mengikuti arah pandangan, Edmond menemukan sosok seorang gadis yang sudah begitu familiar. Gadis itu memakai setelan pakaian berwarna hitam, terdiri atas kaos lengan pendek dan celana jins panjang, serta tidak lupa sepasang sepatu kets putih sebagai alas kakinya. Memiliki surai caramel dengan sepasang mata berwarna biru.

———gadis itu, anaknya.

Atha.

🎶

🎶

🎶

Skenario Tuhan itu ... benar-benar tidak bisa ditebak, ya?

Netra merah delimanya bersitatap langsung dengan netra biru si gadis, saling terpenjara dalam pandangan masing-masing. Menyelami pikiran untuk sekedar memastikan jika apa yang sedang terjadi di hadapannya merupakan sebuah kenyataan. Bukan fatamorgana, ataupun mimpi belaka.

Atha. Gadis itu, ada di depan matanya. Bertatapan langsung dengan dirinya, Gilgamesh.

"Sebentar..." Edmond memijat pangkal hidungnya pelan, "dari ekspresi kalian, aku berasumsi jika kalian semua mengenal putriku. Apa itu benar?"

Perkataan Edmond barusan berhasil membawa kembali kesadaran Gilgamesh dan Atha ke dunia nyata.

Ninsuna mengerjap masih setengah percaya dengan apa yang dilihatnya, "Jadi ... putrimu itu—"

Normalnya, jika terjadi kasus seperti ini pada orang lain mungkin mereka masih bisa bersikap biasa. Namun lain halnya dengan keluarga Lugalbanda yang baru merasakan ada di posisi seperti ini. Pasalnya ada dua alasan yang membuat mereka terkejut :

Pertama, karena Atha adalah putri dari Edmond Dantes. Baik Lugalbanda, Ninsuna, Enkidu maupun Shamhat, mereka sama sekali tidak tahu jika Atha merupakan anak adopsi. yang tahu tentang status Atha hanya sebatas Gilgamesh. Itupun Gilgamesh tidak pernah memberitahukan ulang informasi ini dengan tujuan menjaga privasi Atha.

Kedua, karena Atha merupakan gadis yang sedang diincar oleh Gilgamesh. Kebetulan seperti ini sangat langka, bahkan sangat-amat-jarang. Bisakah keempat orang itu berasumsi jika ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah takdir?

"Atha adalah salah satu anggota Klub Jurnalis, sama seperti kami." ucap Shamhat. Enkidu mengangguk mengiyakan.

Edmond melirik Atha tidak percaya, "Aku tidak tahu jika kau ikut Klub Jurnalis."

Atha mengernyit.

Ninsuna tersenyum, "Astaga, aku masih tidak percaya jika bisa bertemu denganmu di sini, Atha."

Lugalbanda menambahkan, "Edmond, ketahuilah, kami semua di sini sudah familiar dengan putrimu."

Concetta berujar, "Ternyata Nona bisa terkenal juga. Selamat ya, Nona."

Atha berdeham, ia kemudian melirik Edmond dan berbisik menggunakan bahasa Prancis, "Kenapa tidak bilang kalau yang datang itu mereka?"

Edmond membalas pertanyaan Atha menggunakan bahasa Prancis, "Kau kan tidak bertanya dan tidak pernah mau mencari tahu soal rekan-rekan bisnisku."

Atha pasrah. Ingin mengacungkan jari tengahnya pada Edmond namun ia urungkan mengingat azab yang mungkin akan menimpanya nanti. Atha juga sebenarnya ingin meracau lebih panjang, namun karena sekarang ia menjadi pusat perhatian bagi kelima orang anggota keluarga Lugalbanda, kata-katanya tercekat. Dipandangi oleh mereka—terlebih lagi oleh Gilgamesh—setidaknya berhasil membuat gadis itu gugup setengah mati. Belum lagi karena ketidaksopanannya tadi, berbisik-bisik menggunakan bahasa Prancis agar tidak ada yang mengerti apa yang ia keluhkan. Bisa jadi Edmond benar-benar menguburnya nanti.

Edmond merangkul bahu Atha, "Lebih baik sekarang kau memerkenalkan dirimu pada mereka. Bukan sebagai murid Chaldea, tapi sebagai putriku."

Atha menghela nafas pelan. Menuruti perintah Edmond adalah prioritasnya sekarang. Ia kemudian segera menata emosi, sama seperti Gilgamesh, Atha menyilangkan tangan kanannya di depan dada kiri—itu merupakan simbol penghormatan serta kebanggan. Selain itu, sikap tersebut juga dapat membantu seseorang lebih terlihat bermoral.

Seulas senyum terukir di bibirnya, "Maafkan atas ketidaksopanan saya tadi, Monsieur dan Madame. Athaleta Leocadia, putri dari Edmond Dantes, senang dapat bertemu dengan anda."

Ninsuna menutup bibirnya yang setengah terbuka menggunakan tangan, "Astaga, tidak perlu terlalu sopan. Bukankah kita sudah saling kenal?"

Atha dan Edmond saling melirik singkat.

"Maaf, tadi aku yang menyuruhnya," kata Edmond, "tapi jika kalian merasa canggung dengan sikap Atha yang seperti ini, mungkin nanti Atha bisa merubahnya sesuai dengan situasi."

Atha membatin, ucapan Edmond barusan benar-benat terdengar menenangkan hati. Out of character sekali. Ironis.

Enkidu dan Shamhat terkekeh melihat Atha yang masih canggung.

"Hari ini benar-benar penuh dengan kejutan," Lugalbanda menatap Atha singkat, "kami sangat beruntung bisa mengenal anda, Count."

Tunggu, apa maksud tatapan Lugalbanda tadi? Atha merasakan aura aneh yang menguar dari tubuh Lugalbanda. Terlebih lagi, sejak tadi ternyata Gilgamesh belum berhenti menatapnya.

"Lebih baik kita lanjutkan perbincangan kita di rumah," Edmond tersenyum, "kami sudah menyiapkan pesta penyambutan kecil untuk kalian."

"Mari Tuan dan Nyonya, kita berangkat sekarang." timpal Concetta.

"Ah, satu lagi—"

Edmond menatap Lugalbanda dengan tatapan aneh, "maaf jika kondisi rumahku nanti agak sedikit ramai."

Atha mengernyit, tahu apa maksud Edmond mengatakan hal itu.

"Tidak masalah." kata Lugalbanda.

Ninsuna balik bertanya, "Memangnya kenapa?"

Edmond melirik Atha sejenak, "Di sana, ada tiga orang teman Atha."

"Eh, kau bawa teman?" Shamhat heran.

Atha mengangguk, "Ada Ritsu, Nefertari dan Rei."

Enkidu tersenyum lebar, "Wow ... ini akan menjadi liburan musim panas yang seru."

Lugalbanda menyikut pinggang Gilgamesh dan mengedipkan matanya. Sementara itu putra yang diberi isyarat oleh ayahnya malah gagal paham, apa maksudnya coba?

Setelah itu, mereka langsung menuju pintu keluar bandara, dipandu langsung oleh Edmond dan Concetta. Sementara barisan para orang dewasa berjalan duluan, keempat remaja nampaknya sedang asyik dengan obrolannya sendiri. Mereka berjalan beberapa meter di belakang Edmond.

Enkidu melirik Atha, "Mimpi apa aku semalam bisa bertemu denganmu."

"Pertanyaanmu mewakili pertanyaanku, senpai." ucap Atha.

Shamhat memberi isyarat lewat pandangannya pada Atha agar gadis itu lebih memerhatikan Gilgamesh, "Nampaknya ada yang benar-benar senang karena bertemu denganmu, Atha."

Iya. Atha mengerti dengan ucapan Shamhat. Pertanyaannya adalah, mengapa Gilgamesh mendadak jadi pendiam? Biasanya dia sedikit lebih cerewet.

Atha melirik Gilgamesh, "Gil ... kau aneh."

Gilgamesh mengerjap singkat, lalu berdeham, "Justru aku sedang kebingungan karena tidak tahu mau mengatakan apa."

Ah, akhirnya dia bicara. Atha kemudian kembali bertanya, "Memang kenapa sampai bisa bingung begitu?"

Gilgamesh menatap Atha sejenak, mata ke mata. Ujung bibirnya kemudian terangkat ke atas—

"Aku terlalu senang sampai-sampai tidak tahu mau mengatakan apa ... karena bisa bertemu denganmu."

🎶

🎶

🎶

"...after this I’ll continue being lost again
Inside this unknown scenery I’ve grown used to seeing."

[Hello, world! by BUMP OF CHICKEN]

🎶

🎶

🎶

Halo gaes, ada yang masih inget FF ini? Wkwkwkwk

Maaf karena ngaret update gara" banyak urusan RL

NIH YANG MAU GIL NIH, DI CHAP INI DIA MUNCUL AHAHAHAHAHAHA щ(˚ ▽˚ щ)

Aku takut digebug kalean kalo ga munculin Gil cepet-cepet, www

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top