Chapter 29
Arthur mencuramkan alisnya dengan sesekali mendengkus. Sejujurnya ia ingin sekali meluapkan kekesalan yang ada di dalam hatinya. Tapi apa daya, tubuhnya menolak menuruti kata hati dan lebih memilih untuk tetap diam. Masih belum hilang dalam ingatannya, perlakuan Igraine yang main membangunkannya dengan metode kasar : memilin sebelah daun telinganya dan menariknya kuat-kuat. Capitan jari Igraine tidak main-main, bahkan membekas hingga membuat ruam kemerahan yang terasa panas seperti dilumuri cabai. Arthur masih bersyukur telinganya hanya memerah, jika sampai memanjang seperti telinga Elf, itu horor.
Lalu mengapa Arthur sampai mengalami tragedi yang tidak mengenakan sampai-sampai membuat pagi harinya menjadi kelabu?
Singkat cerita, kemarahan Igraine terjadi karena menemukan snack yang ia simpan di dalam lemari makanan tiba-tiba lenyap. Lalu Igraine yang curiga mulai menggeledah satu per satu kamar anaknya. Igraine melakukan ini karena mengingat nafsu makan ketiga anaknya yang lebih mirip seperti orang kelaparan—siapa lagi pelakunya jika bukan salah satu dari mereka.
Kamar Arthuria : save.
Kamar Mordred : save.
Lalu terakhir, saat masuk ke dalam kamar Arthur, Igraine menemukan bungkus-bungkus snack—yang entah jumlahnya ada berapa—memenuhi tong sampah. Belum lagi, remahan snack mengotori permukaan karpet. Igraine murka. Tidak hanya membuat sebelah telinga Arthur menderita, hukuman Igraine dilanjutkan dengan memberi Arthur hadiah berupa sapu taman dan gunting rumput.
Maksud hadiah yang berupa sapu taman bukan untuk menyuruh Arthur bermain quiditch seperti di Harry Potter—toh sapunya nggak bisa terbang melawan gravitasi—tapi lebih tepat menyuruh Arthur untuk membersihkan taman belakang yang kondisinya cukup tidak terawat karena Igraine belum sempat membersihkannya sejak musim semi.
Dasar Mamah mageran.
"Menyebalkan."
Hanya kata itu yang terucap dari bibir Arthur sebagai ratapan penderitaannya. Menderita karena sebenarnya, Arthur bukan pelaku utama dalam kasus ini. Dengan kata lain, ia difitnah. Lalu siapa pelaku utamanya?
Pelaku utamanya adalah si bungsu dari keluarga Pendragon—Mordred.
Mengenai hal ini, Arthur berani menyimpulkan bukan karena asal tuduh. Hal ini didasari oleh peristiwa tadi malam saat Mordred datang ke kamarnya dan meminta izin menggunakan play station untuk main The last of us part 2. Alasan mengapa Mordred main game di kamar Arthur adalah : satu-satunya play station yang dimiliki rumah ini ada di sana. Bukti ini semakin menguatkan dugaan jika Mordred-lah pelaku yang sebenarnya. Akan tetapi, walau Arthur telah mengungkapkannya pada Igraine, deduksi yang ia simpulkan segera ditolak mentah-mentah. Igraine malah membalasnya dengan,
"Jangan melemparkan kesalahan yang kau buat pada adikmu!"
How sad.
Kemudian soal Mordred, gadis itu sudah lebih dulu memperkuat alibi. Ketika Arthur bertanya di mana Mordred, Igraine menjawabnya dengan,
"Pagi-pagi sekali adikmu sudah meninggalkan rumah untuk bersepeda bersama anak-anak dari keluarga Orkney."
Modus Mordred : level EX.
Entah kenapa sebagai anak sulung, Arthur lebih sering menderita daripada bahagia. Bukannya memperbudak adik-adiknya, ia malah berakhir diperbudak oleh mereka. Pada dasarnya Arthur adalah tipe seorang kakak yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Negatifnya, Arthur itu ... mudah dimanfaatkan oleh kedua adiknya.
Arthur menarik nafas dalam-dalam, daripada terus meratapi nasib, lebih baik ia mulai bekerja.
Mengedarkan pandangannya ke sekeliling, Arthur memutuskan untuk lebih dulu memotong rumput liar baru setelahnya ia menyapu taman. Untuk itu, sekarang Arthur sedang mencari pemotong rumput di gudang.
"Berapa lama aku tidak ke gudang, ya? Rasanya jadi semakin sempit," Arthur mengerjap, "atau mungkin karena aku yang bertambah tinggi?"
Terakhir kali Arthur bermain di gudang adalah saat ia masih berada di sekolah dasar. Gudang ini merupakan markas rahasia tempat di mana Arthur, Kay dan Rei menyimpan harta karunnya.
Ujung bibir Arthur terangkat ke atas, "Atmosfir gudang ini membuatku sedikit bernostalgia..."
Tiba-tiba Arthur teringat sesuatu, "Tunggu, apa kotak itu masih ada di sini, ya?"
Arthur melirik kesana-kemari, mencari sebuah kotak yang dulu pernah digunakan sebagai tempat harta karun. Seingatnya, isi kotak itu hanya benda yang tidak bernilai namun sangat berarti bagi Arthur, Rei dan Kay. Setengah mengobrak-abrik isi gudang, akhirnya ia menemukan kotak tersebut, tertimbun di bawah guci tua. Mengambilnya, Arthur kagum karena kotak tersebut kondisinya masih bagus bahkan gemboknya pun masih dalam keadaan terkunci. Karena kuncinya sudah hilang saat Arthur pindah kamar, lantas ia mengambil gergaji besi dan memotong gemboknya. Samar-samar Arthur ingat jika di dalam kotak ini ada empat buah benda masing-masing milik Arthur, Rei dan Kay.
Di dalam kotak tersebut ada dua ukiran kayu, satu berbentuk pedang dan satu lainnya tidak jelas karena terlalu abstrak. Kemudian, ada batu kristal yang ketika disinari oleh cahaya akan memantulkan warna pelangi. Terakhir, ada sebuah foto tua yang menampilkan tiga orang bocah—dua di antaranya laki-laki dan satu perempuan.
Arthur terkekeh ketika melihat dua ukiran kayu yang ada di dalam kotak, "Ini harta milikku."
Dua ukiran kayu tersebut adalah hadiah dari Kay dan Rei saat Arthur sakit—masing-masing ukurannya sekitar sepuluh senti. Ukiran yang berbentuk pedang adalah hadiah dari Rei, sedangkan yang abstrak dari Kay. Arthur memerhatikan ukiran abstrak itu sejenak, "Kalau tidak salah, ukiran dari Kay-niisan itu katanya ukiran berbentuk singa. Tapi beberapa kali aku perhatikan, ukiran ini tidak pantas disebut singa ... malah mirip kucing, atau anjing?"
Kemudian Arthur beralih memerhatikan batu kristal, itu adalah harta milik Kay. Dulu mereka menemukan batu tersebut di sebuah sungai saat main bersama. Terakhir, ada sebuah foto yang diambil saat Arthur dan Kay menghadiri acara di sebuah teater. Foto tersebut menampilkan tiga bocah. Dua anak lelaki yang berdiri di samping kanan dan kiri adalah Arthur dan Kay, lalu ada satu anak perempuan yang diapit oleh mereka. Ditengah Arthur dan Kay, gadis kecil itu berdiri, mengenakan kostum berupa tutu model romantis berwarna putih, rok panjangnya terbuat dari kain tulle yang disusun berlapis-lapis dan dihiasi dengan aneka payet serta berlian imitasi. Gadis ini mungil dan manis, rambutnya yang sewarna salju sangat cocok dipadukan dengan kostumnya.
Balerina kecil yang memerankan Odette, si Putri Angsa.
Arthur menatap foto itu dalam diam. Melihat kembali ke arah foto, kemudian ukiran kayu pemberian Rei, sebuah suara dari seorang anak kecil tiba-tiba terngiang di telinga Arthur—
"Jika suatu hari nanti kau bersedih, akulah orang pertama yang akan membuatmu kembali tersenyum, Arthur!"
🍎
🍎
🍎
C h a p t e r 2 9
—Daisy [1]—
🍎
🍎
🍎
"Ini teh apa? Harum sekali..."
Rei menyeruput kembali teh yang baru saja dihidangkan oleh Haydee. Mereka baru saja selesai sarapan.
"Itu darjeeling." jawab Haydee.
Nefertari mengerjap tidak percaya, "Darjeeling? Benarkah?"
Haydee tersenyum, "Itu first flush, darjeeling yang dipetik saat musim semi."
"Kukira ini earl grey..." gumam Nefertari.
Atha menambahkan, "Karena first flush dipetik saat musim semi, aromanya sedikit lebih lembut, lalu rasanya tidak terlalu sepat dibandingkan dengan dua varian darjeeling lainnya. Oleh karena itu, Nefer menebak ini earl grey."
"Memang darjeeling ada berapa macam?" tanya Ritsu.
Lebih tepatnya, Ritsu bertanya karena ia tidak terlalu mengerti soal teh yang biasa dinikmati oleh orang-orang Eropa sebagai minuman yang dihidangkan bersama sarapan pagi. Baru dari rumah Atha, Ritsu mulai sedikit mengenal kebiasaan mereka. Misalnya untuk menu sarapan orang Prancis, mereka tidak terlalu suka makanan dalam porsi besar, oleh karena itu untuk sarapan, mereka lebih suka memakan roti seperti french toast dengan minum secangkir espresso. Khusus untuk kelima gadis yang sedang berada di ruang makan, mereka sengaja memilih untuk minum teh karena tidak terlalu suka dengan kopi.
Haydee tersenyum menanggapi pertanyaan Ritsu, "Jenis darjeeling ada tiga, dibedakan berdasarkan waktu pemetikannya. First flush dipetik pertengahan Maret, tepatnya saat setelah hujan di musim semi. Second flush dipetik bulan Juni, pemetikan di bulan ini menghasilkan kualitas tertinggi dan dikenal memiliki aroma muscatel. Lalu terakhir, autumnal flush, dipetik pada musim gugur dan kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan teh di dua musim sebelumnya, harganya juga lebih murah. Biasanya autumnal flush lebih sering dijadikan milk tea karena aromanya terlalu kuat."
Mendengar penjelasan dari Haydee, ketiga gadis itu mengangguk mengerti.
"Haydee!"
Menoleh ke arah suara, Edmond muncul menuruni tangga. Pria itu sudah berdandan rapi dengan setelan kemeja beserta jas lengkap.
"Apa kau ada urusan pagi ini, Edmond?" tanya Haydee.
Edmond mengangguk, "Mungkin aku akan pulang saat makan malam. Ada beberapa urusan yang harus kukerjakan."
Haydee mengangguk kemudian tersenyum, "Aku mengerti. Hati-hati di jalan."
Edmond kemudian melirik ke arah Atha, "Atha, bisa kau bawakan dokumen yang ada di kamarku? Aku lupa membawanya."
Atha mengangguk canggung.
"Kuletakkan di atas nakas. Aku menunggumu di halaman depan."
"Baik."
Buru-buru sekali, batin Atha.
Tidak ingin membuat Edmond menunggu lama, Atha segera melesat ke arah kamar Edmond. Seperti yang telah dikatakan oleh pria itu sebelumnya, berkas-berkas yang di maksud memang diletakkan di atas nakas. Atha tiba-tiba memikirkan sesuatu, tidak biasanya Edmond melupakan barang bawaannya. Yang Atha tahu, Edmond adalah tipe-tipe orang teliti yang selalu ingat dengan apa yang di simpannya. Mendengar suara mesin mobil yang menyala di arah halaman depan, Atha tersadar dari lamunannya. Ia segera meraih berkas dan lekas membawanya menuju Edmond.
Di halaman, Edmond tengah menunggu Atha sembari bersandar di pintu mobil. Sejak Atha keluar dari dalam rumah hingga ia berdiri tepat dihadapan Edmond, tatapan pria itu tidak mau lepas memerhatikannya.
"Ini dokumen yang Ayah maksud?" Atha menyerahkan beberapa lembar map pada Edmond.
Edmond menerima dokumen yang dibawa oleh Atha tanpa berkata apa-apa, membuat gadis itu mengerutkan alis. Apa mungkin mengambil berkas hanya akal-akalan Edmond karena ia ingin mengatakan sesuatu pada Atha? Posisinya saat ini, mungkin Edmond tidak ingin Haydee mengetahui apa yang ingin ia katakan pada Atha. Atau jangan-jangan, Edmond ingin menceramahi Atha karena gadis itu telah melakukan sesuatu yang membuatnya kesal? Keringat dingin keluar membasahi pelipis Atha, ia tiba-tiba teringat peristiwa di Honolulu. Pasalnya, gadis itu tidak sengaja terlibat dalam aksi kekerasan fisik pada si kampret-bedebah-jahanam bernama Ash.
Mampus. Wajah Atha berubah pucat.
Setelah beberapa detik berlalu, Edmond tidak menunjukkan tanda-tanda luapan kemurkaan. Ia malah balik bertanya, "Kudengar dua hari yang lalu, kau pergi ke Kedutaan untuk konsultasi, ya? Bagaimana hasilnya?"
Atha berdeham pelan, berusaha untuk tetap tenang walau hatinya masih was-was karena takut tiba-tiba Edmond murka. "Aku masih harus memeriksakan diri. Tapi overall, Ophelia mengatakan jika perkembangan ku lumayan bagus. Hanya butuh penyesuaian tambahan untuk mengatasi faktor yang dapat membangkitkan traumaku kembali."
Edmond tersenyum tipis, "Bagus. Aku yakin sebentar lagi kau akan segera pulih."
Atha hampir saja menganga jika ia tidak segera meredakan keterkejutannya. Jujur, perlakuan Edmond yang sedikit melembut malah membuat Atha bergidik ngeri. Adalah hal yang tidak lucu jika Edmond mendadak baik hati karena sebentar lagi ia akan dijemput oleh malaikat maut—kalau mati sekarang, kasian Haydee, bisa-bisa gadis itu nasibnya tragis seperti Giselle.
"Edmo—maksudku, Ayah." ralat Atha, "Apa ada yang mengganggumu? Rasanya pagi ini kau aneh sekali."
Atha mengernyit. Karena terlalu terkejut, ia sampai lupa memanggil pria yang kini berstatus sebagai ayahnya itu dengan nama aslinya.
Edmond mengangkat sebelah alisnya, "Jika kita sedang berdua, aku tidak keberatan jika kau memanggilku dengan panggilan biasa. Aku tahu kau masih kurang nyaman saat memanggilku dengan sebutan 'Ayah'."
Atha tersenyum masam, tidak ingin berlama-lama terjebak dalam kecanggungan seperti ini, ia hanya mengangguk pelan.
Menyadari ketidak-nyamanan Atha, Edmond akhirnya mencairkan suasana dengan cara mengalihkan pembicaraan. Ia merogoh sesuatu dari dalam saku kemejanya, mengeluarkan sebuah amplop bersegel lilin stempel Kedutaan kemudian menyerahkannya pada Atha.
"Apa ini?" tanya Atha saat menerimanya.
Edmond menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kirschtaria pernah memberitahuku tentang tugas non-akademik yang memengaruhi kelulusan siswa Chaldea. Dia bilang, setiap siswa Chaldea harus berpartisipasi setidaknya pada satu acara kesenian yang diselenggakan oleh pihak di luar akademi sebagai salah satu syarat kelulusannya, apa itu benar?"
Atha mengangguk, "Itu ... memang benar. Lalu kenapa?"
Edmond menunjuk ke arah amplop yang dipegang oleh Atha, "Amplop itu berisi brosur acara pagelaran seni yang akan diselenggarakan oleh Kedutaan."
Atha menatap Edmond dengan tidak percaya, "Darimana kau mendapatkannya?"
Edmond terkekeh, "Aku mendapatkannya dari panitia perencana pentas kesenian di Kedutaan."
Atha terperangah, "Jadi—"
"Jika kau berminat, kau bisa mengikuti pentas di sana. Acaranya akan diselenggarakan pada akhir musim panas," potong Edmond, "aku tahu jika kelulusanmu masih lama, tapi tidak ada salahnya juga jika kau ikut pentas di acara seni dari sekarang, kan?"
Terkait dengan persyaratan kelulusan yang diwajibkan oleh Chaldea, berpartisipasi dalam acara seni merupakan bentuk keaktifan para siswa dalam kegiatan sosial. Dan dalam hal ini, pihak akademik Chaldea mewajibkan seluruh siswanya untuk mengikuti setidaknya satu kali acara tersebut sebagai salah satu syarat kelulusan mereka. Tugas ini sebenarnya tidak terlalu rumit, para siswa bisa mencicilnya sejak berada di tingkat satu atau dua—walau tidak jarang pula beberapa siswa baru mengerjakannya saat berada di tingkat tiga—biasanya siswa yang baru mengerjakan tugas ini di tingkat tiga adalah siswa yang hobi berleha-leha. Untuk seterusnya, jika berminat, siswa bisa berpartisipasi dalam acara seperti ini lebih dari satu kali.
"Edmond..." Atha menatap Edmond dengan agak ragu, "terima kasih."
Edmond menepuk puncak kepala Atha pelan, "Hari ini, pergilah ke Kedutaan bersama Haydee, jangan lupa untuk mengajak ketiga temanmu untuk mendaftarkan diri."
Atha mengangguk cepat, "Tentu."
"Dan satu lagi, aku ingin minta tolong sesuatu padamu."
"Hm?"
"Selama aku tidak ada, tolong jaga Haydee untukku."
Atha menelan ludahnya, mengapa ucapan Edmond membuat firasat Atha tidak tenang? Semakin lama mereka mengobrol, Edmond seolah sedang memberikan Atha wasiat sebelum kematiannya menjemput. "Edmond ... kau berubah baik bukan karena sebentar lagi akan ada malaikat maut yang menjemputmu, kan?"
Edmond tertawa mendengar ucapan Atha, "Ya Tuhan. Jadi sejak tadi kau kikuk itu gara-gara memikirkan jika aku sebentar lagi akan mati?"
"Bagaimana tidak, perubahan sikapmu terlalu mengejutkanku."
Edmond berdeham pelan, senyuman masih belum lepas terukir di bibirnya, "Itu cuma perasaanmu saja."
"Hah?"
"Asal kau tahu, aku berbicara padamu seperti biasa."
Atha tertegun.
"Sadar atau tidak, yang membuatmu mengira jika aku berubah adalah anggapan dari dirimu sendiri." lanjut Edmond.
Edmond masuk ke dalam mobil tanpa memerdulikan Atha yang mematung karena mencerna ucapan Edmond. Jika Edmond mengatakan hal ini sudah biasa, berarti selama ini, sensor Atha-lah yang bermasalah.
"Kenapa?" tanya Edmond, "Masih tidak sadar jika kau sudah mulai terbiasa denganku?"
Atha menatap Edmond tidak percaya, benarkah?
"Jika saja sejak dulu kita bisa mengobrol seperti ini, mungkin kita sudah akrab sekarang." lanjutnya.
Akrab, katanya? Atha membatin.
Edmond memakai sabuk pengamannya dan segera bersiap mengemudikan mobil, "Jika nanti kalian bepergian, jangan biarkan Haydee mengemudikan mobil."
Atha mengangguk, "Aku mengerti. Kemarin aku yang menyetir, kok."
"Bagus. Kau tahu, terakhir kali Haydee menyetir, ia membuat pagar rumah kita yang dulu menjadi benda rongsokan."
Atha tersenyum masam. Ternyata keputusannya kemarin tidak salah. Terima kasih, Athena. Engkau telah menyelamatkan kami dari Hades.
🍎
🍎
🍎
Terletak di sayap barat kompleks Kantor Kedutaan, terdapat sebuah gedung bercat putih yang dikenal sebagai Aula Kesenian dan Budaya. Gedung ini luasnya dua kali lipat lebih besar dari gedung Kedutaan. Arsitektur bangunan yang bergaya neo-klasik dengan struktur bangunan yang terbuat dari batu kapur putih, merepresentasikan bentuk paling murni dari karya seni arsitektur klasik. Di kelilingi oleh taman bunga ala Eropa dan air mancur di tengah-tengah taman, membuat gedung ini terlihat semakin elegan dan megah. Sekilas Aula Kesenian ini terlihat menyerupai Bolshoi Theatre—salah satu gedung opera paling populer di dunia—yang berada di Moskow, Rusia.
Rei, Ritsu, Nefertari, Atha dan Haydee baru saja sampai di gedung Kedutaan ketika waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Berhubung hari ini weekend, tidak terlihat adanya kesibukan di gedung utama, hanya ada dua resepsionis yang berjaga di lobi. Untuk sampai di Aula Kesenian, kelima gadis itu mengambil jalan pintas melalui lorong yang terletak di sebelah kiri lobi. Lorong tersebut mengarah ke taman belakang gedung yang tersambung dengan taman Aula Kesenian.
"Kira-kira siapa yang akan kita temui di aula, ya?" tiba-tiba saja Ritsu sedikit gugup ketika beberapa meter lagi mereka sampai di aula.
Haydee terkekeh, "Entahlah. Lagipula ini pertama kalinya aku berkunjung ke sana."
"Apa tahun lalu kau ikut pagelaran seni di sini, Atha?" tanya Rei.
Atha menggelengkan kepala, "Tahun kemarin aku masih tinggal di Athena, lalu aku tidak ikut festival apapun karena sibuk menjalani rehabilitasi."
"Jadi bisa di bilang tahun ini adalah tahun pertama kau berpartisipasi dalam acara seperti ini?" tanya Ritsu.
Atha mengangguk.
Nefertari ikut berujar, "Sama seperti Atha, tahun ini adalah tahun pertamaku ikut berpartisipasi dalam acara pagelaran seni."
"Eh, Nefer juga?" Ritsu heran.
"Ya," Nefertari terkekeh, "musim panas di Mesir itu suhu udaranya tidak pernah di bawah tiga puluh derajat, apalagi jika di gurun bisa mencapai lebih dari lima puluh derajat celcius. Karena cuaca yang panas itu, mayoritas orang-orang mesir jarang keluar rumah dan hampir tidak ada acara yang diselenggarakan pada siang hari."
Rei menelan ludah, "Ingatkan aku untuk tidak pergi ke Mesir saat musim panas! Bahaya jika tubuhku semakin mengecil karena kepanasan."
Keempat gadis tadi tertawa mendengar ucapan Rei. "Lalu, apa Rei pernah ikut acara seperti ini?" tanya Haydee.
Rei menganggukkan kepala, "Tahun kemarin aku tidak ikut karena sibuk belajar untuk tes masuk ke Chaldea. Tapi beberapa tahun kebelakang, aku pernah ikut sekali saat ada festival musim panas."
"Keren!" kata Ritsu, "Aku baru tahu jika di London juga ada festival musim panas."
"Seperti di Jepang, perayaan musim panas juga banyak dinanti oleh orang-orang London, hampir setiap daerah selalu menggelar acara festival." ucap Rei berapi-api. "Tahun kemarin, Arthur dan yang lainnya ikut pagelaran musik di Regent Street. Festival ini juga diselenggarakan untuk sekalian merayakan ulang tahun Regent Street yang ke dua ratus tahun."
Ritsu bertepuk tangan kagum.
"Kalau tidak salah, di Jepang selalu merayakan musim panas dengan festival kembang api, kan? Apa Ritsu pernah kesana?" tanya Atha.
Ritsu mengangguk cepat, sepasang matanya berbinar cerah ketika mendengar kata 'kembang api'. "Ya. Tahun kemarin aku melihat festival kembang api bersama Nenek. Di festival itu juga aku ingat pernah jatuh karena tidak biasa memakai geta." kata Ritsu sembari terkekeh.
Rei menimpali perkataan Ritsu, "Oh, apa di festival sana ada ringo ame? Aku ingin mencobanya."
Ritsu mengangguk cepat, "Ya. Walau agak sulit untuk memakan ringo ame karena lapisan permennya yang keras, jajanan ini terbilang cukup populer saat di festival, jadi pasti mudah untuk ditemukan."
Perbincangan kelima gadis itu terhenti ketika memasuki area lobi gedung. Sayup-sayup terdengar suara dari beberapa instrumen musik yang sedang dimainkan di dalam gedung. Keadaan di dalam gedung sepertinya lebih ramai daripada yang mereka pikirkan, pasalnya dari luar, aula ini terlihat sepi.
"Permisi, apa ada yang bisa kubantu?"
Kelima gadis itu menoleh ke arah suara, seorang wanita berparas jelita berambut pirang yang muncul dari koridor samping menyambut mereka dengan ramah.
"Selamat pagi," Atha membungkukkan badannya, "apa pendaftaran untuk mengikuti pentas seni masih di buka?"
Wanita itu malah balik bertanya, "Kalian mau mendaftar?"
Kelima gadis tadi mengangguk cepat.
Sepasang manik amethyst itu berbinar cerah, kedua ujung bibirnya melengkung ke atas. "Oh ... selamat datang! Perkenalkan, namaku Europa, panitia acara pentas seni." katanya.
"Salam kenal, Nona ... Europa?" Rei agaknya sedikit ragu memanggil wanita ini dengan sebutan 'Nona'.
Europa terkekeh pelan, "Tidak usah canggung begitu. Kalian boleh memanggilku dengan Europa-sensei. Mungkin kalian tidak terlalu familiar denganku, tapi asal kalian tahu, beberapa bulan yang lalu aku pernah menjadi guru freelancer yang mengajar kesenian di Chaldea."
"Guru pembantu Da Vinci-sensei?" tukas Ritsu.
Europa mengangguk mengiyakan.
Nefertari membungkukkan badannya singkat, "Perkenalkan, nama saya Nefertari."
Memulai perkenalan oleh Nefertari, yang lain pun mengikuti.
"Nama saya Ritsu."
"Rei, salam kenal."
"Saya Athaleta."
Haydee melakukan curtsy singkat—dengan satu kaki di belakang, Haydee mengambil masing-masing tepi rok di samping kiri dan kanan lalu membentangkannya sedikit, menekuk lututnya kemudian tersenyum pada Europa. "Nama saya Haydee Tebelin, Putri Ali Pasha dari Janina."
Keempat gadis yang datang bersama Haydee memerhatikan gadis itu dalam diam, mereka terpukau akan cara Haydee yang menyapa Europa. Cara salam yang digunakan oleh Haydee adalah gerakan hormat yang sering digunakan oleh para bangsawan saat menyapa orang yang lebih tua. Perbedaan cara menghormat seperti ini seolah menunjukkan status sosial Haydee yang lebih tinggi dibandingkan dengan keempat gadis sebelumnya.
Sejenak, Europa terlihat terkesiap saat Haydee memperkenalkan diri. Pasalnya ia tidak percaya jika yang ada di hadapannya sekarang adalah calon istri dari Edmond Dantes—Count of Monte Cristo. Merasa tersanjung, Europa membalas salam Haydee dengan cara yang sama.
"Seharusnya aku mengucapkan perkenalan yang lebih formal pada Nona Tebelin." katanya.
Haydee mengerjap, pipinya merona merah. Ia memang sering melakukan curtsy gara-gara Edmond yang memintanya untuk bersikap layaknya seorang Putri. Edmond memintanya demikian karena didasari oleh latar belakang Haydee yang memang seorang Putri dari salah satu bangsawan yang pernah berkuasa pada masanya. "Astaga, tidak usah memanggilku seformal itu. Cukup panggil Haydee saja." protes Haydee.
"Aku merasa terhormat," kata Europa, "tapi jika Nona yang meminta, maka akan kupanggil demikian."
Eksistensi keempat gadis lain yang berada di antara Haydee dan Europa cocok diibaratkan seperti rumput liar yang tumbuh di antara dua bunga yang sedang bermekaran—tidak menarik.
Europa tersenyum jahil, "Kalau begitu, bagaimana jika kupanggil 'Madame Dantes'?"
Ucapan Europa semakin membuat kedua pipi Haydee memanas hingga warnanya merah padam, "A-aku belum resmi menikah, jadi tolong jangan memanggilku seperti itu."
Atha dan ketiga gadis lainnya terkekeh geli melihat Haydee yang salah tingkah karena dijahili Europa. Madame dalam istilah Prancis adalah sebutan yang ditujukan sebagai sapaan pada wanita dewasa yang sudah menikah. Kebalikannya adalah Mademoiselle, sebutan yang di tujukan sebagai sapaan pada wanita dewasa yang belum menikah. Pantas saja Haydee salah tingkah dibuatnya.
"Ayolah, jangan terlalu merendah! Bukankah beberapa bulan lagi statusmu akan berubah menjadi 'Madame Dantes'?" ujar Europa tidak mau kalah.
Tidak beberapa lama, Europa kemudian memerhatikan Atha dan Haydee, menatap kedua gadis itu secara bergantian, "Ternyata benar, ya, kalian berdua memiliki wajah yang identik. Kupikir Count mengatakan lelucon saat memberitahuku soal ini."
Haydee dan Atha saling bertatapan sekilas dan mereka berdua tersenyum singkat.
Cukup menjahili Haydee dan Atha, Europa kemudian mengalihkan pembicaraan ke arah yang agak serius. Europa menatap keempat gadis yang mengaku sebagai siswa Chaldea, "Karena kalian berempat merupakan siswa Chaldea, sebelum masuk ke tempat latihan, lebih dulu kalian harus mengisi biodata, ya!"
"Biodata?" Ritsu membeo.
Europa mengangguk, "Biodata diperlukan untuk kepentingan pembuatan sertifikat."
Virus Ritsu menular pada Rei, "Sertifikat?"
Europa terkekeh pelan, "Setiap siswa Chaldea yang ikut berpartisipasi dalam acara seni, akan diberikan sertifikat sebagai tanda bukti jika mereka pernah ikut serta dalam acara. Lalu sertifikat yang diperoleh oleh siswa akan dikumpulkan di bidang akademik dan disimpan sebagai arsip pribadi milik siswa yang bersangkutan."
"Ho..." keempat gadis itu manggut-manggut.
"Jadi bisa dikatakan, dari sertifikat yang kita peroleh tadi, kita sudah memenuhi syarat kelulusan dengan memberikan bukti keikutsertaan dalam acara seni, begitu?" ujar Atha.
Europa menjentikkan jari, "Tepat sekali."
"Jika tidak ada sertifikat, bagaimana kalian membuktikan keikutsertaan kalian dalam acara?" lanjut Europa.
————iya juga, ya.
"Kalau begitu, sekarang ikuti aku dulu ke kantor untuk mengisi biodata. Setelahnya baru kita ke aula utama."
🍎
🍎
🍎
Selesai mengisi biodata, Europa mengajak berkeliling dengan sesekali membahas kegiatan yang dilakukan di dalam gedung. Aula Kesenian merupakan tempat yang terbuka untuk umum, bukan hanya para magus, tidak jarang pula penduduk lokal dapat dijumpai di gedung ini. Kedua golongan berbeda status ini pun tidak jarang terlihat saling berbaur dan melakukan kegiatan bersama.
Untuk susunan acara festival sendiri, Europa mengatakan bahwa rencananya event ini hanya akan berlangsung dalam satu hari, dengan dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama akan dilaksanakan di halaman gedung pada siang hari sampai matahari terbenam, acaranya berupa permainan anak, pameran kostum hingga pesta kuliner, bahkan katanya akan ada banyak stand yang menjual oleh-oleh khas Yunani. Sedangkan untuk sesi kedua, akan di mulai menjelang malam hari, dengan acara yang lebih formal. Di sesi kedua, acara akan digelar di panggung utama yang ada di bagian dalam gedung, dengan pertunjukan berupa pagelaran seni tari dan musik.
"Maaf, Europa-sensei..." Ritsu menyela Europa yang masih menjelaskan panjang lebar soal urutan acara, "...kalau boleh tahu, jika kami ikut di festival ini, kami tampil di sesi berapa, ya?"
Europa menghentikan penjelasannya, ia kemudian menjawab pertanyaan Ritsu. "Kalian akan tampil di sesi kedua." jawabnya ramah.
"Sesi kedua?"
"Ya. Sesuai rapat, para panitia setuju untuk memberikan sesi pertama pada penduduk lokal. Sebagai pihak pelaksana, kami hanya akan menyediakan lahannya saja. Sisanya, tinggal mereka yang mengatur penampilan apa saja yang akan diberikan pada para pengunjung."
Nefertari menyahut, "Jika di sesi kedua ... berarti kami akan tampil lebih formal?"
Europa mengangguk.
"Kalau boleh tahu lebih spesifiknya, acara di sesi kedua itu apa saja, ya?" tanya Rei.
"Acaranya lebih ke pertunjukkan seni gabungan dari beberapa negara, sih." Europa menyentuh dagu menggunakan jari telunjuknya seolah sedang mengingat sesuatu, "Ada lima pementasan di sesi kedua. Acara pembuka adalah pertunjukan dari tujuh tari tradisional Yunani dengan diiringi musik Kreta—untuk pementasan ini mayoritas yang menampilkannya terdiri dari para penduduk lokal. Disambung setelahnya, ada pementasan taiko oleh Pepe lalu pementasan harpa olehku."
"Ada taiko?" Ritsu berseru penuh dengan antusias.
Europa mengangguk, "Ini karena ide dari Pepe ketika melihat taiko di gudang yang hampir tidak pernah terlihat digunakan. Daripada terus terbengkalai, tidak ada salahnya kita menggunakannya untuk acara seperti ini, kan?"
"Jika itu acara pembuka ... lalu acara intinya apa?" tanya Atha.
Europa menyunggingkan senyuman lebar. Dari ekpresi yang ditunjukkan oleh Europa, kelima gadis tadi dapat menebak jika wanita ini terlihat sangat excited dengan acara inti di sesi kedua. "Kalian tahu, aku sangat tertarik dengan acara inti dan penutup di sesi kedua." katanya dengan penuh penekanan.
Sebelah alis Atha terangkat.
Europa menghela nafas panjang untuk menenangkan hatinya yang menggebu, "Akan ada pementasan balet dan waltz."
——
——————eh?
"A-apa?" Rei mendadak tergagap mendengar pernyataan dari Europa. Begitupula Atha, ia terkejut sampai-sampai membatu.
Europa mengangguk cepat, "Ya. Kita akan mengadakan pementasan balet. Lalu untuk penutupnya, akan diisi dengan tarian waltz seperti di Vienna."
Ternyata acara yang akan ditampilkan bukan main-main. Setara dengan bentuk bangunan yang bergaya ala teater opera, pertunjukan yang akan ditampilkannya pun tergolong ke dalam karya seni tingkat tinggi—sungguh selera yang bagus.
Setelah dibawa oleh Europa menjelajahi auditorium yang diisi dengan lukisan-lukisan indah serta patung-patung dengan pahatan estetik, kelima gadis itu berhenti di depan dua pintu besar. Kesan megah begitu kental terasa saat melihat ukiran-ukiran rumit yang dipahat pada kusen maupun pintu tersebut.
"Nah, di sinilah tempat kalian tampil."
Europa membuka lebar-lebar pintu tersebut. Kelima pasang mata yang ada di belakangnya tidak berkedip karena terlalu takjub melihat interior ruangan yang bagaikan sebuah lukisan.
Yang dimaksud panggung utama ternyata merupakan sebuah hall—ruang terbuka yang luas di sebuah area indoor—yang arsitekturnya didominasi oleh warna putih dengan pilar-pilar penyangga yang diukir sedemikian rupa hingga menyerupai pilar-pilar di Acropolis. Di kanan dan kiri terdapat tiga lantai khusus penonton, sementara di tengah-tengahnya adalah atrium beratap kaca dengan sebuah chandelier yang terbuat dari kristal menawan yang digantung di langit-langit. Pada siang hari, cahaya matahari dapat langsung menyentuh bagian dalam atrium, membuat orang-orang yang ada di dalam hall dapat merasakan suasana outdoor dari dalam ruangan.
"Inilah panggung utama. Megah, kan?" lanjut Europa.
Antara takjub dan takut, Atha membatin parah. Takjub karena sekarang Atha tidak heran ketika banyak orang yang menilai jika Yunani adalah negeri lahirnya para cendekiawan, filsafat, seni sastra, seni arsitektur, kedokteran dan matematika—tidak salah jika disebut sebagai icon bagi peradaban barat. Dan takut, karena Atha tidak mengira jika konsep seni yang dianut oleh Yunani ternyata begitu megah dan menyilaukan mata.
"Yakin tampil di sini?" wajah Atha mendadak pucat pasi.
Rei agaknya sependapat dengan Atha, "Panggung ini tidak cocok untuk para kerikil seperti kita..."
🍎
🍎
🍎
Karena part ini lebih panjang dari apa yang aku perkirakan, akhirnya, aku membaginya menjadi 2 bagian.
Untuk part ini, mungkin banyak penjelasan yang nggak berguna, jadi tolong maafkan—
Jumlah kata di part ini : 4450
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top