Chapter 27

Gilgamesh agaknya cukup merindukan pemandangan matahari yang terbit dari ufuk timur daratan Uruk. Seiring dengan matahari yang merangkak naik, cahayanya yang berwarna keemasan menyinari pegunungan Zagros yang ada di barat. Ketiadaan awan menjadikan pemandangan langit sangat bersih, saat menatap ke atas, tatapan kita akan langsung bersinggungan dengan hamparan langit biru yang membentang luas. Pemandangan pagi hari yang membawa kemerdekaan bagi Gilgamesh akhirnya tiba.

Setelah menghabiskan waktu tujuh belas jam di kursi pesawat, sekitar jam satu dini hari tadi, Gilgamesh bersama dengan keluarga tiba di Irak. Jika dipikir lagi, Gilgamesh hanya tidur selama lima jam di kasur kesayangannya, terhitung dari jam dua pagi setelah ia tiba di rumah. Namun anehnya, dengan keajaiban yang diberikan oleh Dewa, ia berhasil bangun pagi seperti sekarang. Merenung di balkon kamar, Gilgamesh sesekali menguap ketika memainkan ponselnya, tidak ada pesan baru, kemudian mengacak rambutnya dengan gusar.

Tadinya Gilgamesh pikir mungkin saja Atha mengirim pesan padanya, tapi ternyata tidak. So sad.

Oke, Gilgamesh berpikir positif. Atha tidak memberi pesan padanya karena saat ini belum sampai di Athena. Perjalanan dari Honolulu ke Athena kurang lebih menghabiskan waktu sekitar dua puluh empat jam, jadi jika kemarin pesawat Atha take-off jam sembilan pagi, maka Atha baru akan tiba di Athena sekitar dua jam lagi. Waktu di Irak dan Athena tidak berbeda karena berada dalam zona waktu yang sama. Jadi, Gilgamesh tidak perlu pusing memikirkan waktu yang tepat jika ingin bertukar pesan dengan Atha.

Selesai menikmati pemandangan sekitar lewat balkon kamarnya, Gilgamesh segera berbalik dan keluar dari kamar. Keadaan rumah masih sepi, tentu saja. Gilgamesh berjalan ke arah dapur lalu mengeluarkan satu buah butter cake utuh dengan nutella dan membawanya menyusuri lorong. Bukan membawanya ke kamar sendiri, Gilgamesh malah berhenti tepat di salah satu pintu kamar yang berbatasan langsung dengan taman belakang, kemudian tanpa izin ia langsung masuk.

Hal pertama yang menyambut Gilgamesh saat menginjakkan kakinya di ruangan itu adalah sambutan kurang bersahabat dari si penghuni kamar, "Sebagai seorang manusia yang termasuk pada golongan orang-orang yang terhormat, setidaknya kau tahu apa itu sopan santun!"

Si penghuni kamar ini enggan sekali untuk membuka gorden ataupun menyalakan lampu, ia memilih untuk membiarkan keadaan kamarnya gelap gulita. Sumber penerangan kamar ini hanya sebatas dari cahaya beberapa buah monitor komputer yang ada di sudut ruangan. Gilgamesh terkekeh angkuh, lalu meletakkan butter cake dan nutella yang tadi ia bawa di atas meja, ia kemudian berjalan menuju sudut ruangan untuk menghampiri si pemilik kamar yang sedang duduk berhadapan dengan monitor.

"Ada apa kau kemari?"

"Aku punya pekerjaan untukmu, Kingu." jawab Gilgamesh.

Kingu memutar kursinya hingga ia berhadapan dengan Gilgamesh. Ia memicingkan matanya dengan penuh selidik, "Tumben kau meminta bantuanku, biasanya Enkidu."

Kingu, atau hacker yang selalu menangani masalah-masalah khusus Enmerkar. Ia adalah spesialis pekerjaan kotor—bukan cleaning serviceyang menyangkut pembobolan sistem sampai informasi rahasia. Ajaibnya kloningan Enkidu ini walau pekerjaan sehari-harinya bergelut dengan dunia hitam—bukan dukundan kerjaan sampingannya selalu surfing di Deep Web, dia selalu selamat. Mungkin ia menggunakan present consealment level EX untuk berselancar di dunia maya.

Gilgamesh tersenyum jahil, "Itu karena hanya kau yang cocok. Kau bisa mencari informasi tentang seseorang, kan?"

Kingu mendengus sebal, "Tidak gratis."

Gilgamesh menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Butter cake dan nutella apa itu cukup?"

Kingu mengintip meja kecil yang ada di belakang Gilgamesh, setengah hatinya berbunga karena melihat makanan telah tersaji di sana. "Kau beli butter cake di mana?" tanyanya.

Gilgamesh memasang senyuman kemenangan, ternyata umpan yang di bawanya berhasil menjaring Kingu. Ia berusaha menahan tawanya yang hampir meledak, "Itu butter cake yang dibuat oleh Siduri."

Siduri. Mendengar nama itu Kingu tidak bisa berkomentar lagi. Butter cake buatan Siduri adalah butter cake terlezat yang pernah ia makan. Ditambah lagi dengan nutella, beuh, kelezatan hakiki.

Tanpa ingin beranjak, Kingu menyeret kursi berodanya ke dekat meja. Tangannya terulur meraih nutella lalu membuka penutupnya, "Jadi, siapa yang ingin kau ketahui?"

Gilgamesh berdeham, "Namanya Athaleta Leocadia, salah satu siswi Chaldea."

Kingu meraih sepotong butter cake dan mencelupkannya ke dalam nutella, setelah setengah dari kue dilumuri oleh lapisan nutella, Kingu langsung melahapnya dengan sekali gigit. Gilgamesh speechless sendiri karena baru tahu ada cara makan kue seperti itu. Di kira Kingu makan butter cake mirip oreo, gitu?

"Datanya akan siap nanti malam." kata Kingu.

Gilgamesh berdecak kesal, "Lama."

Kingu mendelik, "Aku juga perlu tidur, Tuan. Tiga hari aku tidak tidur dan makan gara-gara membobol situs sana-sini mencari data yang diperlukan Enmerkar."

"Tiga hari nggak makan aja belagu." cibir Gilgamesh.

Kingu balik mendecih, "Emang lu pernah lebih parah?"

Gilgamesh tersenyum bangga, "Lima hari nggak makan, uang saku abis gara-gara gacha, disiram air dingin sama Mamah Ninsun lalu dipaksa untuk makan mapo tofu sampai perut mendidih, namun sialannya chara yang diidamkan datang dengan bermodal satu tiket gratisan."

Kingu mengernyit ngilu, "Aku tidak tahu kalau pemilik golden rule sepertimu pernah mengalami pahitnya gacha."

Gilgamesh geli sendiri mengingat kelakuan sablengnya di masa lampau. Belajar dari pengalaman, untungnya sekarang ia tidak sebodoh yang dulu. Prioritas nomor satu bagi seorang Gilgamesh sekarang bukanlah gacha, melainkan Atha. Oke, sejak kapan Gilgamesh se-bucin ini? tanyakan saja pada rumput yang bergoyang, insyaallah nggak akan dijawab.

"By the way..." Kingu melirik Gilgamesh dengan raut wajah yang aneh, "aku sudah beli video game dan konsol baru."

"Beli dari gaji yang kau terima dari Kakek?" tebak Gilgamesh.

Kingu mengangguk.

"Apaan?"

Kingu membusungkan dada dan tertawa penuh kemenangan, "Beli Nintendo, PS4, Google Play Card sepuluh biji, Final Fantasy VII Remake sama Final Fantasy XV."

Gilgamesh geleng-geleng kepala mendengar jawaban Kingu, makin nolep aja ni anak. Apalagi, hal yang paling Gilgamesh kesalkan adalah ia juga sebenarnya ingin membeli hal yang sama seperti Kingu, namun terhalang oleh restu Ninsuna.

"Kampret!"

—hari ini sepertinya Gilgamesh akan belajar bagaimana caranya mengutuk seseorang hanya dengan menatapnya.

🍎

🍎

🍎

Merlin berdecak kesal, ia berjalan kesana-kemari tak tentu arah seperti orang yang sedang gelisah. Lagi, untuk kesekian kalinya ia menempelkan ponsel di telinga, namun sayang, yang menyapanya hanya sebuah nada tunggu dan berakhir dengan pesan dari operator yang berbunyi, "Maaf, nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan"

Ingin sekali Merlin membanting ponselnya. Tapi tidak, hal itu malah membuat masalah semakin runyam. Kemarin malam saat sampai di bandara Heathrow, Merlin benar-benar shock karena baru menyadari bahwa Rei—anaknya yang tercintamenghilang. Sempat ia mengira jika Rei jatuh dari pesawat, namun itu tidak mungkin. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa Rei kabur. Mengapa ia menyebutnya 'kabur'? itu karena Rei pergi tanpa meminta izin darinya.

Karena Rei yang tiba-tiba kabur, Merlin jadi kalang-kabut dan enggan meninggalkan London. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa Merlin belum pulang ke Avalon, itu karena ia tidak sanggup berhadapan dengan Viviane—kalau Viviane tahu Rei hilang, tamatlah riwayatnya.

"Merlin?"

Merasa terpanggil, Merlin menoleh dan menemukan Arthur tengah berdiri di belakangnya. Untuk sejenak Merlin melupakan fakta bahwa ia sebenarnya sedang numpang hidup di kediaman Pendragon, maka dari itu saat melihat Arthur ia sedikit heran sampai-sampai otaknya mendadak lelet.

"O-oh ... selamat pagi, Arthur!" sapanya kemudian.

Arthur memerhatikan Merlin sejenak, "Kau sedang berusaha menghubungi Rei?"

"Ya, aku sedikit khawatir karena kemarin dia tidak ikut pulang bersama kita." jawabnya setengah bohong. Faktanya Merlin lebih mengkhawatirkan nasibnya yang bisa tewas kapan saja di tangan Viviane karena ketahuan menghilangkan Rei.

Raut wajah Arthur berubah, ia seolah tengah menyesali sesuatu. "Maaf..." katanya.

"He?"

"Mungkin sebagian besar masalah yang menimpamu saat ini karena aku." lanjut Arthur.

Ingin membantah, namun Merlin tidak dapat menolak fakta. Yang dikatakan oleh Arthur memang benar. Alasan mengapa Rei kabur seperti sekarang memang disebabkan oleh faktor emosional Arthur. Merlin tahu jika selama ini Rei menyukai Arthur, namun hal itu tidak pernah ia tanggapi dengan serius karena melihat sifat Rei yang memang selalu sulit ditebak. Dan sekarang, Merlin menyesalinya. Merlin tidak menduga jika Rei nekat kabur hanya karena ingin menghindar dari Arthur. Alasan Rei menghindar pun Merlin dapat menebaknya dengan jelas, gadis itu pergi karena tidak mau terus-menerus melihat Arthur menderita karena disakiti oleh perasaannya sendiri.

Merlin menghela nafas panjang, "Sudahlah, jangan menyalahkan dirimu, Arthur. Sekarang mungkin Rei butuh waktu untuk sendirian. Ya ... kita berdoa saja semoga dia tidak bertindak bodoh!"

Arthur menatap Merlin sejenak, "Sekali lagi maafkan ak—"

Kata-kata Arthur tiba-tiba terpotong karena sesuatu membentur kepala belakangnya dengan cukup keras. Menoleh ke samping, sebuah bola sepak menggelinding di bawah kakinya.

"Kakakku ini memang bodoh!" Mordred muncul di belakang Arthur, "Sudah tahu cintanya bertepuk sebelah tangan, tapi masih saja mengharapkan hal yang tidak pasti."

Arthur mengusap belakang kepalanya pelan, rasa nyeri bercampur ngilu membuatnya meringis kesakitan. "Lalu apa maksudnya kau menendang bola sampai mengenai kepala belakangku? Kau benar-benar ingin kakakmu ini mati?"

"Ya!" jawab Mordred cepat.

Arthur merinding.

Kemudian Mordred melanjutkan kalimatnya tadi, "Yang aku inginkan adalah diri bodohmu itu yang mati!"

Arthur dan Merlin saling melirik.

Mordred mengambil bola yang jatuh di dekat kaki Arthur, "Karena bucin akut sama Guinevere bukan berarti kau harus menutup mata sampai tidak dapat melihat orang lain yang jelas-jelas menyukaimu."

Mendengar ucapan Mordred, Arthur ingin sekali menertawakan dirinya. Mordred saja mengerti dengan baik soal Rei, tapi mengapa ia tidak? Sebuta itukah arthur?

Arthur tersenyum kecut, "Ya ... aku memang bodoh."

Mordred mendengus, "Kalau seperti ini terus, pada akhirnya kau akan selalu menyesal. Itu karena kau akan menyadari betapa berartinya orang itu saat ia berjalan pergi meninggalkanmu ... dan sayangnya, kau tidak bisa mengejarnya."

Arthur terperangah.

"Maka dari itu, selagi masih ada kesempatan, cobalah untuk lebih membuka matamu!" Mordred nyengir, "Jika kau mau berubah dari sekarang, aku yakin kau masih bisa mengejarnya."

Mordred yang terkesan tidak pedulian itu ternyata lebih peka darinya, Arthur benar-benar merasa bodoh-bahkan lebih buruk dari ungkapan 'bodoh'. Diceramahin Mordred itu ... rasanya nano-nano tambah cabe.

Merlin mengusap air mata imajiner dari kedua sudut matanya, entah mengapa ia merasa terharu, Mordred yang barbar ternyata punya sisi lembut juga. Bahkan Merlin bertaruh, di antara ketiga anak Uther, Mordred lah yang paling peka.

Arthur mengacak rambutnya gusar, "Oke, aku minta maaf."

Mordred cemberut, "Maaf saja tidak cukup."

"Lalu kau mau apa? Mau aku bundir di Bigben?"

Mordred menatap Arthur jijik, "Dear kakakku tersayang, hamba sedang serius. Tolong jangan ngeluarin recehan nggak mutu! Lagipula kalau kau bundir di Bigben, adanya nanti pas mati wajah tampanmu sudah berubah menjadi lukisan abstrak. Itu nggak elit!"

Arthur dan Merlin terkikik geli.

"Siapa juga yang mau bundir? Masa depan hamba masih panjang! Kakakmu ini selain belum nikah, juga pengen liat kedua adik-adiknya nikah!" kata Arthur.

"Dengar, aku hanya ingin kau berjanji dua hal padaku." Mordred menatap Arthur lekat-lekat.

Arthur mengangkat sebelah alisnya, "Pertama?"

Mordred memutar-mutar bola yang ada di tangannya, "Jangan ganggu Guinevere lagi, kau harus sadar diri dan mundur dengan teratur, sekarang Guinevere sudah hampir menjadi milik orang lain, jangan coba-coba merusak momen berharganya!"

Arthur mengangguk setuju, toh itu memang sudah menjadi keputusannya. Sebelumnya Arthur tersiksa karena memikirkan hal ini, berpikir selama berhari-hari hingga berminggu-minggu, lalu akhirnya ia memilih keputusan yang membuatnya tidak tersiksa lagi—Arthur memilih untuk ikhlas. Lebih baik mendo'akan yang terbaik untuk pilihan yang telah Guinevere ambil.

"Kedua?" kata Merlin.

Mordred menyipitkan kedua matanya, menatap Arthur, "Aku ingin kau membuka matamu lebih lebar, kenalilah orang-orang yang benar-benar peduli padamu. Aku meminta ini demi dirimu juga. Itu karena aku cukup kesal saat melihatmu yang sudah terfokus pada satu hal, biasanya hal lain yang ada disekitarmu selalu tidak kau pedulikan."

Arthur menghela nafas lega, ia mengacak-ngacak puncak kepala Mordred, "Baru kali ini aku merasa kata-katamu lebih berkelas. Akan ku usahakan untuk merubahnya, terima kasih, Mor."

Mordred tersenyum lebar mendengar jawaban dari Arthur. "Kalau begitu, aku permisi. Ada janji dengan Gareth."

Merlin melirik Arthur dan Mordred bergantian, keberadaannya di sini tidak dipedulikan.

"Ngapain?" tanya Arthur penasaran.

"Aku janji mau main futsal bareng anak-anak Orkney dan juga yang lain. Mau ikut?"

Arthur speechless, sepertinya stamina Mordred itu berada di taraf yang lebih tinggi di bandingkan dengan yang lain. Baru saja kemarin malam tiba di London, sekarang sudah mau futsal lagi. Prinsip jet lag tidak berlaku untuk Mordred.

Arthur melirik Merlin, kemudian beralih pada Mordred, "Tidak ada salahnya untuk ikut, lagipula sekarang aku butuh sedikit me-refresh otakku."

"Kalau begitu, ayo!" Mordred segera menyambar lengan Arthur lalu setengah menyeretnya dengan tidak sabaran.

"Pelan, Mor!" rutuk Arthur.

Mordred nyengir. Berhenti sebentar, Mordred kemudian menoleh ke arah Merlin. "Ada pesan dari Rei untukmu, Merlin..." katanya.

Merlin mengerjap.

"Katanya, kau jangan terlalu khawatir. Rei ada di tempat yang aman, kok! Kemarin dia ikut Atha ke Yunani. Aku jamin jika di tangan Atha, Rei akan baik-baik saja." Mordred terkekeh, "Lalu, kau tidak perlu was-was karena Rei sudah mengantongi izin dari Viviane."

"Yunani?" Merlin dan Arthur berseru dengan kompak.

Mordred mengangguk.

"Katanya Rei mau nyari racun hydra, oleh-oleh buat Merlin."

🍎

🍎

🍎

Ramses menatap kosong ke arah pohon apel yang berdiri kokoh di sebuah pekarangan rumah. Ketika melihat pohon apel ini, Ramses seolah melihat kenangan masa kecilnya bersama dengan Nefertari. Dulu, Ramses dan Nefertari sering sekali memanjat ke atas pohon untuk memetik buah apel yang telah masak. Mengingat hal itu, Ramses tidak dapat menahan senyumannya. Ia tidak bisa melupakan keseruannya bersama Nefertari saat itu. Terutama ketika mereka saling melempar senyum karena mengetahui apel yang mereka petik cukup banyak, hingga dapat memenuhi keranjang yang mereka bawa. Setelah memetik banyak apel, Merit—pengasuh Nefertarimenyambut mereka di depan pintu dan membuatkan pie apel yang lezat untuk di makan bersama.

Aroma nostalgia ini membuat Ramses merindukan hari-hari itu. Namun sayangnya, ia tidak dapat mengulangnya kembali.

Rumah yang Ramses maksudkan saat ini adalah rumah Nefertari. Beberapa saat yang lalu ia baru saja bertamu ke sana, bermaksud untuk menemui Nefertari. Namun sekali lagi, harapannya menguap ketika Merit mengatakan bahwa Nefertari tidak ada di rumah. Merit mengatakan bahwa di liburan musim panas kali ini, Nefertari akan menginap di rumah salah satu temannya yang berada di Yunani. Itu artinya, Ramses tidak akan bisa bertemu dengan gadis itu.

"Tuan Ramses, apa sudah selesai? Sudah waktunya kita kembali." ucap seorang pemuda yang muncul di belakangnya, ia mengatakan hal ini dengan nada sedikit jahil.

Menoleh ke belakang, Ramses memaksakan untuk tersenyum pada pemuda itu, "Ya, kau benar ... Moses."

Pemuda bernama Moses itu mencibir, "Mau sampai kapan kau menatap rumah Nefer? Dia kan tidak akan pulang kemari, kau dengar kata-kata Merit tadi, kan?"

Ramses mengacak rambutnya dengan gusar, "Aku tahu, hanya saja ... aku tidak tahu, aku bingung dengan apa yang sebenarnya kurasakan saat ini."

Helaan nafas berat terdengar dari Moses. Jujur, pemuda itu gemas melihat hubungan Ramses dan Nefertari yang selalu saja dihalangi oleh hal-hal tak terduga. Moses tahu jika kedua teman kecilnya ini saling menyukai, tapi kenapa menyatukan mereka berdua sangatlah sulit? Ingin sekali ia berharap jika Iset tidak pernah ada.

"Aku tidak mau kehilangan Nefertari." kata Ramses.

"Tidak perlu mengatakannya pun aku sudah tahu." balas Moses cepat. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Ramses, "Tidak ada gadis lain yang menarik di mata seorang Ramses selain Nefertari, begitu kan?"

Ramses tertawa geli, Moses memang selalu bisa membaca pikirannya.

"Jika kau bertanya mengapa aku bisa tahu, alasannya sangat mudah." Moses menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Oya?" Ramses berujar.

Moses mengangguk-ngangguk, "Aku melihat dari cara Nefertari menatapmu, lalu kau balas menatapnya ... sederhana."

Ramses tidak bisa menahan tawanya karena mendengar ucapan Moses. Untunglah masih ada Moses di sini, jika tidak, mungkin Ramses akan berakhir depresi sampai kembali ke rumah. Moses seorang penghibur yang baik, kan?

"Aku ingin bertanya padamu, Moses..." kata Ramses.

"Katakan saja!"

"Menurutmu ... apa aku bisa bersama dengan Nefertari?"

Moses menerawang ke atas langit, "Kita tidak akan tahu, tapi jika kau terus berusaha, mungkin saja, kan?"

"Tapi kau lebih mendukungku dengan Nefertari atau Iset?"

Moses tersenyum jahil, "Iset? Siapa itu Iset? Aku hanya kenal dengan Nefertari!"

Ramses kembali tertawa.

"Tapi, ya ... bagaimana caramu untuk membatalkan pertunangan ini?" Moses menatap Ramses penuh selidik, "Aku yakin lebih banyak yang mendukung Iset daripada Nefertari."

"Nah, itu dia masalahnya! Pikiran orang-orang disini itu terlalu kuno dan masih saja mempercayai apa itu yang dinamakan kutukan." Ramses menghela nafas panjang, "Untuk sekarang, kita mundur dulu. Masih ada waktu dua minggu sebelum pesta pertunangan."

Moses menepuk bahu Ramses pelan, "Apapun yang akan terjadi, aku pasti akan mendukungmu dengan Nefertari."

🍎

🍎

🍎

Setelah keluar dari bandara Daskalogiannis, Atha, Rei, Nefertari dan Ritsu melanjutkan perjalanan mereka menggunakan bus. Beruntung saat masih di Athena—saat menunggu penerbangan domestik menuju pulau Kretamereka masih sempat untuk mengisi perut di salah satu café yang ada di bandara. Mengapa bisa dikatakan beruntung? Itu karena di bandara Daskalogiannis sendiri, fasilitas ekstra seperti café hampir tidak tersedia.

Perbedaan yang kontras ini di karenakan faktor bandara Daskalogiannis yang tergolong bandara kecil, jauh lebih santai daripada bandara Athena yang selalu terlihat penuh.

Berangkat menggunakan bus, mereka sedang menuju ke kota Chania—kota terbesar kedua yang ada di pulau Kreta. Di dalam bus sendiri, hampir semua penumpangnya terdiri dari wisatawan dengan berbagai bahasa yang membawa serta ransel dan koper. Maklum, bus yang mereka tumpangi memang selalu melewati kawasan penginapan dan wisata, jadi melihat wisatawan seperti ini sudah tidak asing lagi. Kota Chania tidak se-terkenal Athena, Santorini ataupun Mykonos, namun landscape kota ini tidak kalah saing dari ketiga tempat tersebut. Pemandangan yang paling jelas terlihat adalah tembok bangunan yang beraneka warna dan ada banyak penginapan mewah. Suasana Chania yang tenang dan asri juga menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan.

Pemberhentian terakhir mereka adalah pemukiman yang berada jauh dari kawasan wisata, terletak di kawasan perbukitan di antara kebun-kebun anggur.

Atha, Rei, Nefertari dan Ritsu turun dari bus. Hal pertama yang menyambut mereka adalah pemandangan ladang-ladang anggur yang tumbuh di lahan kosong sekitar pemukiman, pemandangannya begitu asri.

"Kita hanya tinggal berjalan lima ratus meter, barulah sampai di rumahku." kata Atha.

Rei, Ritsu dan Nefertari berseru kompak, "Wow..."

"Ayo, sudah dekat, kok!"

"Atha, tunggu! Aku ingin bertanya sesuatu." kata Rei tiba-tiba.

Atha menoleh, "Hm?"

Rei melirik Nefertari dan Ritsu bergantian, "Begini ... apa tidak merepotkan jika kami menginap di rumahmu? Sebulan, loh!"

Atha menjawabnya dengan santai, "Tidak perlu khawatir, aku sudah meminta izin dan orang-orang di rumahku setuju."

"Kami jadi tidak enak..." kata Ritsu.

"Tenang saja, tidak apa-apa. Lagipula aku curiga saat ini orang-orang di rumahku sedang menunggu kedatangan kalian."

"Bener, nih?"

Atha mengangguk, "Makanya ayo cepat! Aku tidak sabar mengenalkan kalian pada orang-orang rumah."

Tidak mau banyak berkomentar, keempat gadis itu menyusuri jalan setapak. Sampai di salah satu rumah bergaya tuscan mansion dengan pagar berwarna hitam, Atha berhenti. Mencocokan alamat yang ada di pagar dengan alamat yang ada di ponselnya, Atha yakin jika rumah inilah yang dimaksud oleh Valentine.

"Ini rumahnya." Atha berujar.

"Yakin?" Rei setengah tidak percaya. Masalahnya rumah ini sangat besar dan luas, Atha itu tajir, ya? Rei baru tahu.

Atha menggaruk-garuk pipinya dengam ujung jari, "Alamatnya sama, kok."

Nefertari mengernyit, "Kenapa kau terlihat tidak yakin ini rumahmu?"

Atha tersenyum masam, "Masalahnya kami baru saja pindah kemari seminggu yang lalu. Dan aku hanya diberi alamat, bentuk rumah dan yang lainnya aku tidak tahu."

Rei, Nefertari dan Ritsu speechless.

Ritsu menatap seluruh sisi rumah dari ujung kanan sampai kiri, luar biasa luasnya. Ini baru saja halaman luar, bagaimana di dalamnya?

"Memang dulu kau tinggal di mana?" tanya Nefertari.

"Dulu aku tinggal di Athena. Tapi karena satu dan lain hal, jadi pindah kemari."

Beberapa menit berlalu, namun keempat gadis itu enggan bergerak meninggalkan tempatnya saat ini. Mereka masih tetap berdiri di depan pagar. Atha sendiri sedang menghubungi seseorang lewat ponselnya—dan tidak lama kemudian, pintu depan rumahnya terbuka.

Seorang wanita bergaun merah marun muncul di balik pintu. Dari jauh saja parasnya sudah terlihat memesona. Surainya yang berwarna coklat kemerahan digelung rapi ke belakang kepala, melihat wanita itu rasanya seperti kembali ke periode abad pertengahan. Dia mirip dengan bangsawan-bangsawan Perancis di zaman itu.

"Atha, kaukah itu?" tanyanya.

Atha tersenyum lebar sampai kedua pipinya ikut merona. Ia melambaikan tangannya pada si wanita, "Aku pulang, Valentine!"

Oh, jadi wanita ini yang bernama Valentine? Rei manggut-manggut. Wanita itu menyapa Atha menggunakan bahasa Perancis yang fasih. Rei sendiri mengerti beberapa kalimat dalam bahasa Perancis, terima kasih pada Galahad yang sudah mengajarkannya—secara Galahad kan aslinya orang Perancis.

Valentine terhenyak, ia membatu untuk beberapa saat. Sepasang matanya yang berwarna biru kehijauan menatap Atha tanpa ingin mengedip, entah bagaimana menggambarkan ekspresinya, yang jelas reaksi Valentine saat melihat Atha seolah ia telah berpisah bertahun-tahun lamanya dan baru bertemu detik ini. Ada tatapan haru, sedih dan bahagia.

"Oh, Atha..." Valentine kemudian mengangkat sedikit gaunnya dan berlari menuju pagar, membukanya dengan tidak sabaran lalu segera memeluk Atha dengan erat, bahkan ia terlihat hampir menangis, "Selamat datang, Atha. Selamat datang!"

Atha tersenyum canggung. Ia melirik Rei, Nefertari dan Ritsu yang membuat ekspresi keheranan di wajahnya. Atha hanya bisa mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja dengan melempar senyuman.

Atha membalas pelukan Valentine dengan penuh rasa haru, "Aku pulang."

Valentine melepaskan pelukannya dan menatap Rei, Nefertari dan Ritsu. "Halo."

"Terima kasih telah mengizinkan kami untuk menginap di sini. Maaf jika keberadaan kami sedikit membuat kerepotan." Ritsu membungkuk beberapa kali karena merasa canggung—ciri khas orang Jepang sekali.

"Tidak usah sungkan begitu," kata Valentine, "terima kasih karena sudah mau berteman dengan Atha, ya!"

Rei mengangkat sebelah alisnya, ia merasa ada yang aneh dengan ucapan Valentine tadi. Berteman dengan Atha? Memang Atha kenapa?

"Perkenalkan namaku Ritsu—Fujimaru Ritsuko."

Valentine tersenyum, "Namaku Valentine Morrel. Salam kenal."

Nefertari lalu melanjutkan perkenalannya, "Namaku Nefertari."

Valentine terus tersenyum hangat. Lalu ia menatap Rei dengan penuh ketertarikan. Hal itu malah membuat Rei setengah merinding. Sepasang mata Valentine berbinar cerah penuh dengan ketertarikan saat memerhatikan Rei.

"A-ada apa?" Rei bertanya.

Valentine menoleh ke arah Atha, "Atha, apa gadis ini yang bernama Rei?"

Atha mengangguk.

Valentine balik menoleh ke arah Rei dan tersenyum manis, "Atha sering sekali bercerita tentangmu. Ternyata benar kau mungil, ya!"

Mungil

Rei melirik Atha yang langsung buang muka. Wahai Atha, apa saja yang sudah kamu katakan pada Valentine?

"Terima kasih karena sudah menjaga Atha." bisik Valentine.

Rei loading, sebenarnya ada apa dengan Atha? Mengapa ungkapan Valentine tadi seperti menyiratkan bahwa Atha itu salah satu manusia yang baru saja mengenal apa itu 'pertemanan'.

"Atha, kau bawa dulu teman-temanmu ke kamar," Valentine memberikan sebuah kunci pada Atha, "Emmanuel sudah menyiapkan tempat tidur tambahan di sana."

Atha mengangguk. "Yang lain di mana? Apa Ayah—"

Pertanyaan Atha keburu dijawab oleh Valentine, "Tuan sedang berada di ruang kerja bersama Nona. Sebentar lagi ia keluar untuk makan siang bersama kita."

Atha mengerjap, "Kalau begitu, kami beres-beres dulu. Terima kasih, Valentine."

Valentine pergi menuju halaman belakang, sementara itu Atha menaiki tangga diikuti oleh Rei, Nefertari dan Ritsu. Kata Valentine, kamar Atha ada di lantai dua paling ujung.

Ritsu bertanya setengah berbisik pada Atha, "Yang tadi itu siapa? Kakak?"

"Kami tidak ada hubungan darah, kok." jawab Atha.

"Lalu?" tanya Nefertari.

"Bagaimana ya menjelaskannya? Intinya, hampir semua yang ada di rumah ini tidak ada hubungan darah, namun kami sudah seperti keluarga. Yang pure punya hubungan darah hanya Julie, Maximillian, lalu aku dan sepupuku."

Rei memiringkan kepalanya, "Sepupu?"

Atha tersenyum, "Ya, umur kami berbeda empat tahun, sih. Aku sering memanggilnya 'Nona', mungkin kalian pernah mendengarnya."

"Lalu jika tidak ada hubungan darah—" Ritsu bergidik, tinggal satu atap lalu tidak punya hubungan darah, bisa di bilang haram, dong?

"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Ritsu!" Atha mendengus, "kami memang tidak ada hubungan darah, tapi beberapa orang di sini disatukan dengan hubungan pernikahan. Valentine yang tadi itu istri Maximillian, lalu adiknya, Julie adalah istri dari Emmanuel. Dan satu lagi, nanti bulan Desember, sepupu ku akan menikah dengan Ayah."

Berbelit. Rei dan Ritsu membatin.

"Menikah dengan Ayahmu?" Nefertari bingung.

Atha tersenyum masam, "Ingat, aku ini hanya anak angkat. Nanti lebih jelasnya akan kujelaskan."

Ketiga gadis itu mengangguk mengiyakan walau sebenarnya masih kebingungan. Hubungan keluarga Atha begitu rumit dan aneh.

"Sejujurnya..." Atha menatap wajah ketiga temannya, "mungkin kalian tengah bertanya-tanya mengapa aku mengundang kalian untuk liburan di sini, kan?"

"Akhirnya kau menyinggung soal itu juga." kata Ritsu.

Atha terkekeh pelan, "Ada beberapa hal yang ingin kujelaskan pada kalian, tapi tidak sekarang. Tidak masalah?"

Nefertari mengangguk, "Itu terserahmu. Kami siap mendengarkan kapan saja, kok."

Atha mengangguk, "Terima kasih."

🍎

🍎

🍎

Ada empat orang yang menyambut mereka di halaman belakang, salah satunya adalah Valentine. Berkebalikan dengan Rei yang mengerti bahasa Perancis, Ritsu dan Nefertari malah tidak bisa berbahasa Perancis. Maka dari itu mereka berdua terlihat canggung ketika Atha berbicara menggunakan bahasa Perancis untuk menyapa keempat orang tadi.

Atha berdeham, ia kemudian berujar menggunakan bahasa Inggris yang dapat di mengerti oleh semua orang, "Jadi, biar ku kenalkan ketiga temanku."

Atha menepuk bahu Rei, Nefertari dan Ritsu secara berurutan, "Ini Rei, Nefertari dan Ritsu. Mereka bertiga adalah teman sekamarku di Asrama."

Rei, Nefertari dan Ritsu berseru kompak, "Salam kenal."

Valentine kemudian memperkenalkan yang lainnya pada ketiga gadis itu, dimulai dari seorang pria yang tadi ada di sampingnya, "Ini suamiku, Maximillian. Lalu di sebelahnya ada Julie dan Emmanuel, adik iparku."

"Tuan Rumah sebentar lagi akan datang bersama dengan Nona." lanjut Maximillian.

Rei mengangguk-ngangguk. Ternyata benar, mereka berempat memang keturunan Perancis, dari namanya saja Rei sudah bisa menyimpulkan.

Sesuai ucapan Maximillian, tidak lama berselang setelah itu, tiba-tiba seorang gadis yang entah dari mana datangnya berlari ke arah Atha dan memeluknya dengan erat. Membuat ketiga gadis itu jantungan.

"Atha—" ucap Gadis itu di sela pelukan Atha, "selamat datang!"

Rei memerhatikan kedua gadis yang sedang berpelukan itu sejenak. Mungkin sepupu yang di maksud Atha adalah gadis ini. Gadis ini memakai gaun putih sederhana namun terkesan anggun dan berkelas. Namun mereka masih belum bisa melihat wajahnya karena terhalang oleh tubuh Atha. Gadis ini juga memiliki warna rambut yang sama seperti Atha, yang membedakannya hanya rambutnya yang bergelombang dan lebih panjang, beda dengan Atha yang memiliki rambut lurus. Untuk tingginya, Atha terlihat lebih tinggi beberapa senti.

"Siapa?" gumam Ritsu.

"Dia sepupu Atha, Nona di rumah ini." jawab Julie.

Entah apa yang dikatakan oleh gadis itu pada Atha, mereka tidak bisa mendengarnya karena ia berbicara setengah berbisik, juga menggunakan bahasa yang tidak mereka mengerti—bukan Perancis, Inggris maupun Jepang.

"Ah ... maaf, aku malah terbawa suasana." Gadis itu melepaskan pelukannya pada Atha. Ia lalu berbalik menghadap Rei, Nefertari dan Ritsu. Alangkah terkejutnya ketiga gadis tadi begitu sepupu Atha menatap mereka. Seulas senyum manis terukir di bibirnya yang ranum. "Selamat datang di rumah kami."

Baik Rei, Nefertari dan Ritsu terperangah kaget. Memang tidak sopan, tapi mereka bertiga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya sampai-sampai bibir mereka terbuka sedikit. Mereka berusaha memastikan apa yang dilihatnya saat ini bukanlah mimpi, beberapa kali mereka menatap Atha dan sepupunya secara bergantian. Ya, tidak ada yang berbeda. Atha dan sepupunya ... mereka berdua memiliki wajah yang sangat identik. Bahkan kemiripannya membuat Rei, Nefertari dan Ritsu semakin keheranan. Melihat Atha dan sepupunya bagai melihat pantulan cermin.

Sekilas mungkin tidak terlihat ada perbedaan lain pada wajah mereka yang sangat identik. Namun jika diperhatikan secara baik-baik, Atha dan sepupunya memiliki warna mata yang berbeda. Sepasang mata Atha memiliki warna biru cerah seperti warna langit pada umumnya, sedangkan sepupu Atha memiliki warna sehijau pucuk dedaunan—mirip seperti batu zamrud.

Sepupu Atha tersenyum, mengangkat sedikit gaunnya dengan anggun dan membungkuk hormat layaknya salam yang selalu dilakukan oleh para bangsawan. "Namaku Haydee Tebelin, putri Ali Pasha dari Janina."

Belum reda keterkejutan ketiga teman Atha, mereka kembali dikejutkan oleh kemunculan satu orang lagi. Dari arah pintu yang menuju taman belakang, muncul seorang pria bersurai putih. Dari perawakannya, ia terlihat seperti berumur akhir dua puluhan atau mungkin lebih tua dari itu. Dari balik lengan kemeja yang dia kenakan, kulitnya terlihat pucat seolah pria ini selalu terlindung dari cahaya matahari dalam waktu yang cukup lama. Matanya menggambarkan sorot kesedihan mendalam bercampur dengan kilatan kebencian.

Atha menatap pria itu dengan sorot mata yang tidak terbaca.

"Jadi, yang di bawa Atha kemari adalah kalian bertiga?" ucap pria itu. Nada bicaranya sewaktu-waktu terdengar lembut, tapi bisa berubah menjadi serak dan sedikit kasar.

Rei, Nefertari dan Ritsu tidak berani menatapnya secara langsung, mereka takut akan tatapan tajam pria itu yang terasa mengintimidasi.

"Terima kasih telah mengizinkanku membawa mereka kemari, Ayah." Kata Atha, bermaksud untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa berat.

Ayah katanya? Rei tidak bisa berkomentar apa-apa ketika menyadari jika pria mengerikan yang ada di hadapannya saat ini adalah 'Ayah' yang sering dibicarakan Atha.

Wajah yang tadinya terlihat keras itu berubah lembut, pria itu menatap Rei, Nefertari dan Ritsu bergantian. Ia tersenyum dan mengucap salam selamat datang—

"Selamat datang di rumah kami, mademoiselle. Aku Tuan Rumah sekaligus ayah dari Atha. Perkenalkan, namaku Edmond Dantes."

🍎

🍎

🍎

C h a p t e r 2 7
—Blume im Meer—

https://youtu.be/BNLJAi8YE8E


🍎

🍎

🍎

Malam hari di kediaman Lugalbanda. Sesuai janji, Gilgamesh menagih hutang Kingu. Kembali membawa satu loyang butter cake yang di buat oleh Siduri dan tidak lupa dengan eksistensi nutella, Gilgamesh kembali membawa kedua hal tersebut untuk sajen Kingu. Alasan mengapa Gilgamesh kembali memberi sajen untuk ritual Kingu seperti tadi pagi agaknya sangat menggelikan. Itu karena Kingu bilang yang tadi pagi hanya sebagai 'uang muka' dan yang malam ini adalah 'pelunasannya'.

Masuk ke dalam kantor pribadi Kingu, bocah hijau itu tengah menunggunya di dekat meja—ralat, bukan Gilgamesh yang ia tunggu, melainkan butter cake dan nutella yang menghampirinya.

"Ini datanya," Kingu menyodorkan print out pada Gilgamesh, "Itu data yang ku kumpulkan dari membobol data kepolisian Perancis."

Gilgamesh meletakan butter cake dan nutella di atas meja sebelum menerima kertas-kertas dari Kingu. "Perancis?" ujarnya heran.

Kingu mengambil sepotong butter cake dan mencelupkannya ke dalam nutella, "Data untuk Athaleta Leocadia tidak di temukan selain di sana."

Gilgamesh mengangkat sebelah alis, heran.

"Kupikir dulu nama gadis yang kau maksud bukanlah 'Athaleta Leocadia'. Itu juga yang kutemukan hanya info tentang seorang gadis bernama Athaleta." lanjut Kingu.

"Lalu kenapa kau memberikan informasi salah ini padaku?" rutuk Gilgamesh.

Kingu mendengus, "Gadis yang bernama Athaleta di laporan yang kuberikan padamu itu, memiliki cerita yang sama dengan Athaleta yang kau maksud. Jadi siapa tahu benar."

Gilgamesh mulai membaca laporan dari Kingu. Data yang Kingu berikan adalah tentang penangkapan seorang penyelundup senjata di pelabuhan Marseille, peristiwa ini terjadi di bulan Desember empat tahun yang lalu. Selain penyelundup senjata, si pelaku ini ternyata seorang kolektor budak. Kebanyakan budak yang ia beli adalah gadis remaja rentang usia sepuluh sampai enam belas tahun.

"Aku tanya saja intinya," Gilgamesh menatap Kingu dengan wajah serius, "kenapa kau memberikanku informasi soal pria ini?"

Kingu mendelik, ia tidak suka karena Gilgamesh mengganggu makan malam sakralnya. "Athaleta yang kau maksud adalah salah satu koleksi budaknya. Dan ... pria itu juga tewas di tangan Athaleta."

Gilgamesh membelalak.

"Hari itu ia berniat melarikan diri dari Marseille dengan menumpangi sebuah kapal kargo kecil. Ia hanya membawa serta satu koper berisi uang lima ribu franc dan berlian, juga satu orang budak. Namun sayang, sebelum ia tertangkap oleh kepolisian Marseille, ia sudah lebih dulu di bunuh oleh budaknya."

"Kenapa ia hanya membawa satu budak?" tanya Gilgamesh.

"Budak yang ia bawa adalah budak yang paling ia cintai." Kingu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Dia punya kebiasaan unik saat merawat budak-budaknya—selalu memberikan berbagai pelajaran juga keterampilan, hal itu diperlukan untuk menambah nilai mereka agar lebih mulia. Lebih singkatnya, ia seolah tengah memoles para budak agar statusnya lebih tinggi dan tidak layak disetarakan kembali dengan sebutan 'budak'."

"Dia melakukannya untuk menjual kembali budak itu?" gumam Gilgamesh.

Kingu menggeleng, "Ibaratnya ia sedang menumbuhkan pohon apel. Ia memberi pupuk kemudian menyiraminya agar pohon itu berbuah. Lalu setelah pohon itu berbuah, ia akan memetiknya lalu menikmati kelezatan buahnya."

Gilgamesh mengerti maksud Kingu, "Dia—"

"Seorang pria yang suka berhubungan dengan anak-anak di bawah umur." sela kingu cepat, "Athaleta yang ia bawa, adalah salah satu buahnya yang belum ia cicipi."

"Lalu?"

Kingu melanjutkan, "Tadinya Athaleta itu sempat mau di jatuhi hukuman karena telah membunuh seseorang. Akan tetapi tuntutan itu dicabut karena melihat faktor-faktor pelanggaran yang sudah di lakukan oleh si pelaku. Akhirnya ia di bebaskan dengan syarat harus melakukan rehabilitasi selama enam bulan."

Gilgamesh sekali lagi menatap kertas yang ada di tangannya, jadi begitu?

"Satu lagi! Aku tertarik dengan Athaleta yang kau maksud." kata Kingu, "Ada sebuah data usang yang ku temukan. Jika benar, 'Ayah' gadis itu memang sengaja menjualnya karena ia tidak mengharapkan eksistensinya."

Gilgamesh menoleh ke arah Kingu, "Kenapa kau bisa berspekulasi seperti itu?"

"Itu karena ia sudah memiliki seorang putra dan ia sangat menyayanginya. Ia melakukan pemberontakan karena diiming-imingi gelar kebangsawanan." jelas Kingu.

"Itu berarti, Atha punya seorang saudara?"

Kingu mengangguk, "Tepatnya seorang kakak laki-laki."

"Lalu ayahnya bagaimana?" tanya Gilgamesh.

"Ia sudah bunuh diri. Lalu istri dan anaknya menghilang entah kemana."

🍎

🍎

🍎

—Edmond Dantes—

—Haydee—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top