Chapter 23
Bagi seorang Ninsuna, bepergian menggunakan pesawat adalah hal yang biasa. Hampir setiap negara dari belahan bumi bagian utara hingga selatan sudah pernah ia jelajahi, entah itu seorang diri atau ditemani oleh suami tercinta. Menghadapi perbedaan zona waktu di setiap negara bukan masalah bagi Ninsuna, tubuhnya sudah memiliki kekebalan untuk hal itu. Namun perjalanan kali ini sedikit berbeda. Seumur hidupnya, baru kali ini Ninsuna merasakan apa itu yang disebut dengan jet lag—satu hal yang belum pernah ada dalam kamusnya.
Ada satu faktor yang menurut Ninsuna menjadi alasan utama penyebab ia jet lag: sebelum ke Honolulu, beberapa hari yang lalu Ninsuna berkunjung ke Yunani, tepatnya di kota Athena. Disana ia bersama Lugalbanda menghadiri beberapa acara terkait dengan penandatanganan kerja sama bisnis antara Lugalbanda dengan salah seorang pengusaha kaya di sana. Setelah selesai menandatangani kontrak perjanjian, barulah Ninsuna berangkat ke Honolulu.
Tahukah berapa lama waktu perjalanan dari Athena menuju Honolulu?
Dengan menggunakan pesawat, perjalanan dari Athena menuju Honolulu kurang lebih dua puluh empat jam—sekali lagi, dua puluh empat jam. Dan dalam waktu yang selama itu, Ninsuna harus betah untuk tetap duduk manis. Bagaimana tidak pegal dan bosan, coba? Maka dari itu, saat Ninsuna tiba di bandara Honolulu, ia merasa sangat bahagia karena kedua kakinya dapat berpijak kembali di atas tanah. Faktor kepalanya yang sedang pening, Ninsuna pikir kakinya akan lumpuh karena terlalu lama duduk. Bodoh sekali.
Butuh waktu sekitar tiga puluh menit dari bandara Honolulu menuju hotel Enmerkar. Dan untuk Ninsuna, hampir di sepanjang perjalanan menuju ke hotel ia habiskan dengan tidur di dalam taksi. Alasannya tidak lain karena pening—kepalanya sangat pening.
Setelah tidur sebentar dan pening di kepalanya mereda, Ninsuna perlahan membuka kedua matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah pemandangan laut biru serta hamparan langit yang bersih, gedung hotel yang menjulang tinggi sudah mulai terlihat dari kejauhan. Saat Ninsuna mengumpulkan nyawanya yang masih berkelana, seseorang mengusap lembut puncak kepalanya.
Ah ... hampir saja lupa—
Ninsuna ingat ia tidak pergi seorang diri ke Honolulu.
Ninsuna menoleh ke samping, ia baru ingat jika sepanjang perjalanan tadi telah menjadikan bahu milik pria yang duduk di sampingnya sebagai bantal. Saling tatap selama beberapa detik terjadi di antara mereka. Pria itu tersenyum geli melihat Ninsuna yang masih setengah sadar.
"Aku tidak tahu ternyata seorang Dewi bisa mabuk perjalanan juga," kata pria itu dengan nada jahil.
Mendengar kata-kata menggemaskan yang diucapkan oleh pria itu, tangan Ninsuna mendadak gatal ingin mencubit hidungnya yang mancung. "Lama-lama kau jadi mirip seperti Gilgamesh. Tengil."
"Salah!" Pria itu melepaskan kaca mata hitamnya, menampakkan sepasang matanya yang berwarna azure. Dengan genit ia mengedipkan sebelah matanya, "Yang tepat itu, Gilgamesh yang faker. Aku kan ayahnya, berarti pelopor tengil paling pertama itu aku, bukan Gilgamesh."
Wahai para Dewa, seandainya pria yang di sampingnya ini bukanlah suaminya, mungkin dari tadi Ninsuna sudah mengacungkan jari tengah padanya—kalau bukan sama suami, ogah amat Ninsuna digombalin.
Bicara soal suami, pria ini adalah Lugalbanda, ayah dari Gilgamesh. Setelah melewati beberapa purnama, sosoknya yang sama sekali jarang terlihat akhirnya menampakkan diri—ceritanya ini penampilan perdana Lugalbanda di depan murid-murid tahun pertama Akademi Chaldea—pekerjaannya sebagai seorang pengusaha yang hobi mengunjungi negara-negara tetangga membuatnya tidak bisa menetap di satu tempat. Karena kesibukannya itu, Lugalbanda jadi jarang menampakkan diri di Chaldea dan perannya selalu diwakilkan oleh Ninsuna.
Ninsuna menarik nafas dalam-dalam, "Kau tidak lelah, Lugalbanda?"
Lugalbanda memerhatikan Ninsuna yang masih tampak lelah, ia kemudian tersenyum, "Lelah? Karena kau ada di sampingku, aku tidak mungkin kelelahan. Melihatmu itu sama saja seperti recharge energi."
Ninsuna mengerjap, sejak kapan Lugalbanda ketularan virus Dilan? Kalau saja keadaan Ninsuna masih remaja, mungkin kata-kata Lugalbanda tadi sudah membuatnya meleleh. Namun untuk ukuran umurnya yang sekarang, hal itu malah membuatnya geli—sebenarnya Ninsuna ingin naboq, tapi Lugalbanda itu limited edition, jadi ia urungkan.
"Lugal ... kumohon, ingat umur!"
Lugalbanda terkekeh, "Bicara apa kau ini, kita berdua kan forever seventeen."
Urat kesabaran Ninsuna hampir saja putus jika tidak dapat memaklumi kelakuan suaminya yang semakin mirip Gilgamesh. Dewa, mengapa Lugalbanda jadi semakin tengil? Ninsuna tidak henti-hentinya merutuk dalam hati, kata-kata Lugalbanda yang tidak terduga tadi malah menguji kesabarannya.
"Sudah, sudah, tadi itu hanya sedikit hiburan. Sekali-kali kita tidak harus selalu serius, candaan juga penting, terlebih lagi..." Lugalbanda menatap Ninsuna yang cemberut, "penelitian mengatakan jika orang yang sering tertawa itu bisa awet muda."
Astaga. Ninsuna hanya bisa tersenyum masam, "Kau sepertinya memang butuh istirahat. Otakmu ngaco. Ingat juga orang yang banyak tertawa itu kadang bisa dicap seperti orang sakit mental—alias gila."
Lugalbanda terkekeh, "Itu sih yang tertawa tiba-tiba, kita kan tertawa karena ada alasannya. Jadi normal, mental kita masih waras."
Sudahlah, berdebat dengan Lugalbanda kali ini malah membuat Ninsuna mengusap dada. Ia harus sabar dan memaklumi, kadang-kadang sifat Lugalbanda berubah menjadi seperti anak kecil. Walau begitu, jika menyangkut bisnis dan tanggung jawab, Lugalbanda adalah seorang pria yang dapat dipercaya. Sebutan workaholic sangat cocok disandang oleh Lugalbanda.
"O iya, kau sedang apa?" Ninsuna baru sadar jika sejak tadi Lugalbanda tidak melepaskan perangkat tablet dari tangannya, "Kau sedang bertukar e-mail?"
Lugalbanda menganggukkan kepala, "Kau ingat soal pertemuan kita kemarin dengan Count, kan? Dia memberiku e-mailnya untuk bertukar pesan."
Ninsuna membulatkan bibirnya, "Lalu?"
"Katanya, jika ada waktu luang musim panas ini, dia mengundang kita untuk menginap di rumahnya." Lugalbanda nyengir.
"Eh? Serius? Menginap?"
"Ya, bukan kita berdua saja, dia juga mengundang anak-anak. Kita bisa membawa Gilgamesh, Enkidu dan Shamhat kesana—oh, jika mau mungkin Siduri juga."
"Bukannya itu merepotkan? Maksudnya—"
Lugalbanda memotong perkataan Ninsuna, "Ninsuna, menolak undangan dari Count itu tidak baik. Itu sama artinya dengan kita tidak menghormati maksud baiknya."
Jika Lugalbanda sudah berkata seperti itu, Ninsuna tidak bisa protes lagi, "Lalu ... kenapa Count tiba-tiba mengundang kita? Apa ini bagian dari kontrak kerja sama kalian?"
Lugalbanda mengusap-ngusap dagunya, "Mungkin ya dan mungkin juga tidak. Ada beberapa hal lain yang akan kami bicarakan juga. Selebihnya, dia ingin menjamu kita di rumah barunya."
Ninsuna tersenyum, dia tidak menyangka jika sosok Count yang menurutnya mirip dengan Lucifer itu ternyata lebih baik dari apa yang ia kira. Seharusnya Ninsuna tidak menilai seseorang dari sampulnya, kadang yang berwajah malaikat itu malah sosok 'iblis' yang sesungguhnya.
"Nah sekarang, lebih baik kita bersiap untuk turun. Sebentar lagi kita sampai di hotel." Lugalbanda menunjuk ke arah pelataran hotel yang semakin dekat di depan sana.
"Ngomong-ngomong soal hotel..." Ninsuna memerhatikan ekspresi Lugalbanda yang tiba-tiba berubah, "kenapa kau terlihat was-was?"
Lugalbanda tersenyum hambar, "Terlihat jelas, ya?"
Ninsuna mengangguk.
"Aku khawatir pada anak-anak Chaldea. Aku tidak bisa berhenti memikirkan soal itu dari tadi." Lugalbanda menggaruk pipi kanannya dengan jari telunjuk, "Bagaimana ya ... tadi aku bercanda denganmu itu untuk sedikit menghilangkan prasangka negatif yang ada di kepalaku."
Ninsuna menggenggam tangan Lugalbanda, dingin. "Tidak usah khawatir, aku yakin Ayah tidak akan memangsa mereka."
Lugalbanda malah meragukan kata-kata Ninsuna. Faktanya, mana mungkin ia bisa tenang saat anak-anaknya yang manis dan menggemaskan masuk ke dalam kandang singa. Semoga mereka semua baik-baik saja, batin Lugalbanda.
Melihat gelagat Lugalbanda yang tidak kunjung membaik, Ninsuna mulai tertular was-was. "Tu-tunggu ... apa kau terlibat sesuatu hal yang—"
"Sebelumnya, aku belum bilang soal mengapa Ayah mengizinkan hotelnya dijadikan tempat menginap untuk para anak-anak Chaldea padamu, kan?"
Keringat dingin tiba-tiba membasahi pelipis Ninsuna, mendadak bibirnya tidak bisa berkata-kata.
Lugalbanda tersenyum miris, "Faktanya, Ayah itu sebenarnya setengah ikhlas. Jika kujawab dengan jujur, Ayah mau meminjamkan hotel dan memberi akomodasi pada seluruh siswa itu karena ... dia kalah dariku saat main golf."
—hah?
🎐
🎐
🎐
C h a p t e r 2 3
—Goldys—
🎐
🎐
🎐
Jadi ... bagaimana caranya untuk mendapatkan ampunan dari Enmerkar?
Sederhana, ikuti saja permainannya.
Atha tersenyum miris. Sekarang ia sedang berdiri di ujung lapangan voli, mengambil ancang-ancang untuk melemparkan bola voli yang ada di tangannya. Di depannya, Gilgamesh sedang melirik ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sungguh, Atha bingung mengartikannya, antara tatapan kasihan, miris tapi bersemangat. Entahlah.
Singkat cerita, Atha dan Gilgamesh sedang mengerjakan sebuah tantangan yang diberikan oleh Enmerkar. Kakek muda itu berjanji akan memberikan maafnya jika mereka bisa memenangkan pertandingan voli yang dirancang oleh Enmerkar. Mirisnya, di pertandingan ini lawan yang Atha dan Gilgamesh hadapi adalah pasangan ganda campuran yang merupakan calon atlet voli asli—ya, pemain voli asli. Atha tidak tahu harus berekspresi apa karena sebagian besar malapetaka yang sedang mereka hadapi ini sangat tidak menguntungkan pihak Atha dan Gilgamesh.
Enmerkar tidak berniat memberikan kata maafnya dengan mudah. Dasar kakek-kakek keras kepala.
Belum lagi, sekarang Gawain tengah menjadi sebuah tontonan orang banyak. Kakak dari Gareth dan Gaheris itu sedang dipenjarakan di sebuah tong kayu layaknya permainan black beard. Jadi, pertandingan voli ini juga sedang menentukan apakah Gawain akan berakhir ditusuk-tusuk layaknya sate, atau bebas seperti merpati.
Alasan mengapa Atha dan Gilgamesh berakhir menjadi rekan satu tim di arena voli ini sungguh menggelikan, Atha terpilih karena diantara gadis-gadis yang terlibat dalam masalah ini, ia yang paling tinggi. Sialan memang. Untuk Gilgamesh sendiri, ia malah mengajukan diri dengan sukarela. Katanya, ia akan membuat kesepakatan lain dengan Enmerkar jika seandainya bisa menang. Ya, seandainya. Dilihat dari manapun, dari segi pengalaman, Atha dan Gilgamesh masih pemula. Pertandingan ini berat sebelah—mungkin.
Atha melihat Gilgamesh lagi, sorot mata lelaki itu seolah mengatakan padanya agar ia jangan khawatir. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling, Atha heran sendiri karena yang menonton mereka banyak sekali. Bukan hanya siswa Chaldea saja yang menonton, tapi beberapa turis juga ikut bergabung memenuhi barisan penonton. Sorak-sorai terdengar silih berganti, membuat Atha sedikit pesimis.
Dilihatnya kembali bola voli yang ada di tangannya, Atha menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Ekspresi Atha berubah serius, ia tidak boleh sampai kalah.
Enmerkar menunjuk Romani sebagai wasit, dilihatnya wakil kepala sekolah itu cukup dapat diandalkan dan cocok menjadi wasit dalam pertandingan ini. Sebelum membunyikan peluit tanda dimulainya pertandingan, Romani yang duduk di atas kursi wasit menatap satu per satu pemain untuk melihat kesiapan mereka. Setelah mereka terlihat siap, Romani pun memulai pertandingan ini dengan membunyikan peluitnya.
Set pertama, dimulai.
Dalam pertandingan ini, Atha dan Gilgamesh akan bermain tiga set. Untuk menang, setidaknya mereka harus mengalahkan lawan sebanyak dua kali. Set pertama dan kedua berlangsung sampai dua puluh lima poin, sedangkan untuk set ketiga hanya lima belas poin saja.
Atha sebenarnya tidak mengkhawatirkan Gilgamesh, dilihat dari kondisinya saat ini, lelaki itu terlihat bersemangat dan penuh percaya diri, bahkan aura ketampanannya bertambah dua kali lipat. Turis-turis perempuan sedikitnya dibuat histeris karena melihat Gilgamesh. Atha yang melihatnya sampai geleng-geleng kepala, berasa lihat drama. Ironisnya, meski yang lain banyak yang terpesona dengan pesona si Ketua Osis, Atha malah sebaliknya, gadis itu malah tidak terpengaruh dan melihat Gilgamesh seperti Gilgamesh yang biasa. Hal yang mengganggu pikirannya saat ini hanyalah kondisinya, jujur, Atha tidak kuat jika kelamaan dijemur di bawah sinar matahari—harap memaklumi, mungkin dia turunan vampir.
Bola voli berhasil masuk di daerah lawan, tengah di oper oleh lawan untuk dikembalikan ke daerah Gilgamesh. Atha dan Gilgamesh berdiri bersebelahan di depan net, tengah bersiap untuk mem-blok pukulan.
"Hei Gil..." ucap Atha dengan nada sedikit resah.
Masih fokus dengan bola voli yang tengah menyentuh daerah lawan, Gilgamesh menjawab tanpa melihat ke arah Atha, "Hm?"
"Boleh aku minta tolong?"
"Katakan, kukabulkan."
"Seandainya setelah permainan ini selesai aku ambruk ... maukah kau—" kata-kata Atha segera dipotong oleh Gilgamesh.
"Menggendongmu?"
Atha mengernyit mengiyakan.
Gilgamesh melirik Atha sejenak, "Itu hal yang mudah. Tidak diminta pun akan kulakukan. Lagipula, aku sudah tahu jika kau tidak bisa bertahan lama dibawah sinar matahari."
Ada sedikit perasaan lega saat Atha mendengar jawaban Gilgamesh. Atha tersenyum tipis, "Apa kau yakin kita akan menang?"
"Jangan remehkan kemampuan kita."
Atha terkekeh, "Bukankah lawan kita itu lebih hebat?"
Gilgamesh menghela nafas panjang, "Mereka memang lebih berpengalaman. Tapi aku yakin kita menang."
"Optimis sekali, memangnya apa alasanmu sampai begitu percaya diri?"
Gilgamesh nyengir, "Karena aku bersamamu."
—ya, ya, ya ... sialannya kata-kata itu malah membuat kedua pipi Atha semakin memanas.
🎐
🎐
🎐
"Permisi! Permisi! Izinkan kami lewat!"
"Beri kami jalan!"
Osakabe dan Oui menerobos masuk ke dalam kerumunan para penonton, mencari-cari Enkidu yang berada di barisan paling depan, sementara Alice, Jack dan Lily mengekor dibelakangnya.
Beberapa saat yang lalu, Oui dan Osakabe tengah menikmati parfait yang ada di kafetaria hotel, lalu tiba-tiba Jack, Lily dan Alice dengan panik memberitahu mereka tentang kemalangan yang menimpa sebagian anggota Klub Jurnalis. Tanpa pikir panjang, mereka berdua segera pergi dengan ketiga bocah itu ke arah arena voli yang sudah penuh sesak oleh orang-orang.
Tidak disangka lagi, di belakang mereka muncul beberapa sosok lain, dua orang dari klub kendo ikut menerobos kerumunan—mereka adalah Bedivere dan Arthur.
"Enkidu! Enkidu! Enki—" hampir saja Osakabe jatuh karena tersandung kaki seseorang jika saja Galahad tidak menahannya.
"Senpai, tidak apa-apa?" tanya Mashu.
"Lebih dari pada itu, bagaimana keadaannya?" sahut Oui.
Enkidu memasang senyuman manis yang membuat Osakabe sedikit geram, bisa-bisanya ulat pucuk yang satu itu masih bisa tenang dalam situasi yang seperti ini. "Kenapa kau masih bisa tenang-tenang begitu?" kata Osakabe.
"Tenang saja, kita percayakan semuanya pada Gil." ucap Enkidu enteng.
Percayakan mbahmu! Osakabe memijat-mijat pelipisnya pelan, "Astaga, ingin sekali aku memukulmu."
"Lagipula, dari cerita Alice, Lily dan Jack sebenarnya Klub Jurnalis tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Tapi kenapa malah salah satu anggota kita ada yang terseret untuk menangani insiden ini?" tambah Oui.
Rei mengangkat tangannya, "Itu karena ... Atha satu-satunya gadis yang paling tinggi diantara kami."
Ritsu ikut berujar menambahkan, "Juga, Atha punya kemampuan atletik yang mumpuni dan diatas kemampuan kami."
Osakabe dan Oui saling menepuk kening masing-masing.
"Mor!" Arthur tiba-tiba muncul mengagetkan Mordred dengan menepuk bahunya dengan sedikit keras.
Rei yang melihat Arthur segera bersembunyi dibalik Galahad. Untung saja Galahad bisa mengerti dan menyembunyikan Rei agar tidak bisa bertatap muka dengan Arthur.
Bedivere muncul di belakang Arthur, "Dimana Gawain?"
Gareth menunjuk ke arah tong besar yang diletakkan disamping Enmerkar yang sedang duduk santai mengamati pertandingan. Kakek muda itu duduk di kursi pantai dengan berlindung di bawah payung sambil menikmati segelas minuman dingin. Gawain sendiri sebenarnya lebih miris, sudah dipenjara dalam tong, dia dijemur pula—rasanya mungkin sudah seperti dimasukkan ke dalam oven.
Bedivere menepuk dahinya pelan, "Astaga..."
Osakabe kembali bertanya pada Enkidu, "Ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya si Ketua Osis bisa ikutan terlibat?"
"Begini, sederhananya Atha dan Gilgamesh disini punya tujuan masing-masing." kata Enkidu.
Shamhat melanjutkan, "Atha menjadi perwakilan kita untuk meminta restu maaf dari Enmerkar dan membebaskan Gawain yang mungkin sebentar lagi jadi sate. Sedangkan Gil punya maksud lain yang aku dan Enkidu tidak tahu."
Oui dan Osakabe geleng-geleng kepala, Enmerkar—kakek Gilgamesh ini sungguh menyebalkan.
"Permisi..." Lily menarik baju Enkidu pelan. Enkidu segera menoleh ke arah belakang, menatap Lily. Lily melanjutkan kata-katanya, "Enkidu-senpai, ada yang mencarimu."
Shamhat dan Enkidu terkejut melihat dua orang manusia yang sedang berdiri di belakang Lily, bersebelahan dengan Jack dan Alice. Ah, benar-benar ... Enkidu merutuk dalam hati.
Shamhat tersenyum kaku, "Ma-maaf, kami tidak tahu jika anda ada disini..."
Semuanya segera menoleh ke arah yang sama dengan Enkidu. Disana ada Ninsuna yang sedang tersenyum manis, lalu disebelahnya, seorang pria yang mirip dengan Enmerkar sedang memerhatikan Gilgamesh yang sedang bertanding di tengah lapangan.
Arthur terkejut bukan main, "Lugalbanda ... sama?"
He?
—————HE?
Osakabe dan Oui hampir saja menjerit mendengar sebuah nama yang diucapkan Arthur. Lugalbanda, pemilik yayasan Chaldea, sekaligus ayahnya si Ketua Osis.
Alasan mengapa hampir dari semua siswa yang ada disana tidak mengenali Lugalbanda sangatlah sederhana. Lugalbanda hampir tidak pernah menampakkan dirinya secara langsung, baik di Akademi maupun di acara lain, hampir semua acara yang seharusnya dihadiri oleh Lugalbanda selalu diwakili oleh Ninsuna. Jadi wajar jika mereka tidak mengenali Lugalbanda.
Kedatangan Lugalbanda dan Ninsuna berbarengan dengan peluit tanda berakhirnya set pertama. Selesai dengan kemenangan pihak lawan.
🎐
🎐
🎐
Atha menempelkan dua kaleng minuman dingin di kedua pipinya, rasanya sungguh menyegarkan. Istirahat beberapa menit sebelum mereka masuk set kedua, Atha dan Gilgamesh saling berpandangan heran dengan keberadaan dua orang lain yang bergabung dengan kelompok mereka.
Atha berbisik pada Gilgamesh, "Biar kutebak ... yang di samping Ibumu itu, Ayahmu?"
Gilgamesh hanya tersenyum tipis, mengisyaratkan jika dugaan Atha benar.
"Enkidu sudah menceritakan kronologinya," Lugalbanda menatap Gilgamesh, "Kakekmu sepertinya tidak berubah, selalu saja membuat ulah."
Alice memberikan minuman dingin pada Gilgamesh, lalu diterimanya dengan penuh syukur. Hampir saja ia dehidrasi karena matahari bersinar dengan terik, belum lagi mengendalikan diri di pertandingan voli tadi sungguh menyiksa. Arena yang berpasir sedikit menyulitkan, sehingga butuh stamina lebih. Gilgamesh melirik Atha lagi di sampingnya, dilihat saja ia sudah mengerti jika gadis itu sedang kepanasan, kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus.
"Apa mau kugantikan di babak selanjutnya?" tanya Arthur.
"Tidak usah," jawab Gilgamesh cepat, "aku masih bisa bertahan."
"Lalu Atha?" tanya Nefertari.
Atha mengerjap pelan, "Aku juga masih bisa, sepertinya..."
Ninsuna menghela nafas panjang, "Astaga, kenapa Ayah malah semakin sangar, ya?"
Bicara soal Enmerkar, Lugalbanda diam-diam memerhatikan gerak-geriknya sejak tadi. Salah satu yang membuat Lugalbanda tertarik adalah, lawan yang Gilgamesh dan Atha hadapi. Dibandingkan dengan panik, Lugalbanda malah bersikap lebih tenang dari yang lain.
"Gil, kalian melawan bocah itu?" tanya Lugalbanda.
"Ya, calon atlet voli. Lawan yang sungguh menggemaskan."
Lugalbanda menanggapi ucapan Gilgamesh dengan tawa, membuat semuanya terheran-heran. "Astaga ... ayah itu benar-benar, ya!" ucapnya mirip seperti bermonolog.
"Ada apa dengan bocah itu?" tanya Ninsuna penasaran.
Lugalbanda sekarang sudah merasa lega karena mengetahui maksud tersembunyi Enmerkar yang menyuruh Gilgamesh dan Atha untuk melawan pemain yang dipilihnya secara langsung.
"Ayah, jelaskan! Waktu istirahat kami sebentar lagi selesai." kata Gilgamesh tidak sabaran.
Lugalbanda tersenyum, "Dengar ya, anak-anakku. Aku bisa pastikan sebenarnya Enmerkar sudah memaafkan kalian. Dia hanya belum mengatakannya secara jelas saja."
"Kok bisa?" Gareth dan Mordred mengatakannya secara spontan karena terkejut.
Lugalbanda menunjuk ke arah si calon atlet voli dengan pasangannya yang sedang tertawa bangga karena merasa mereka akan memenangkan pertandingan ini. "Orang itu ... adalah target yang sebenarnya sedang Enmerkar jebak."
Atha mengerjap, "Dijebak?"
Lugalbanda menatap Atha sejenak, selama beberapa detik memerhatikannya tanpa berkedip. Namun karena situasi sedang tidak mendukung maka tidak ada yang menyadarinya.
"Dengar, bocah itu adalah anak dari salah satu pengusaha yang baru saja masuk ke dalam kerajaan bisnis Enmerkar. Kalau tidak salah mereka baru bergabung sekitar satu bulan yang lalu, Enmerkar berinvestasi di salah satu bisnis pariwisatanya," Lugalbanda tersenyum, "dilihat dari keadaan saat ini, aku berani menyimpulkan jika Enmerkar sedang melakukan seleksi. Dengan kata lain, ia sedang bersandiwara."
Gilgamesh yang mendengar penjelasan Lugalbanda terdiam, ia kemudian mencerna kata-kata itu di otaknya.
"Jadi sebenarnya ... Enmerkar sedang memanfaatkan insiden ini untuk menyeleksi mereka?" tanya Enkidu.
Lugalbanda mengangguk, "Benar sekali."
"Kalau tidak salah, Enmerkar hanya akan menyeleksi rekan bisnisnya jika mereka sedikit nakal, bukan?" tanya Ninsuna.
"Begitulah. Dugaanku saat ini, mereka pasti sedang melakukan kecurangan dalam bisnisnya. Dan tanpa mereka ketahui, sebenarnya Enmerkar sudah mengetahui kecurangan itu dan memasukkan mereka dalam blacklist-nya."
Gilgamesh berujar, "Dalam menghukum musuhnya, Kakek bukan saja ingin membuat mereka jera..."
Lugalbanda menjentikkan jarinya, "Ya, kata 'jera' tidak cukup untuk memuaskan Enmerkar. Dia butuh lebih dari jera, sederhananya, itu disebut dengan mempermalukkan."
"Astaga ... jadi lawanku ini berani mencurangi Kakek?" Gilgamesh tersenyum menyeramkan, "berani sekali."
Selain si keluarga Goldy, yang lainnya malah tidak mengerti maksud percakapan mereka. Rasanya otak mereka belum mampu berpikir hingga setinggi itu. Bisnis. Curang. Lalu seleksi. Astaga, sepertinya pikiran mereka hanya cocok memikirkan sesuatu yang lebih sederhana.
"Aku tidak mengerti arah percakapan mereka." bisik Ritsu.
"Memangnya aku mengerti?" Rei menimpali.
Lugalbanda menepuk bahu Atha dan Gilgamesh, membuat keduanya heran. "Kalian pasti menang, aku jamin itu."
Sekali lagi Lugalbanda menatap Atha, dan kali ini Atha menyadarinya. Gadis itu bingung dengan tatapan Lugalbanda padanya, namun ia tidak mau bertanya lebih jauh. Mungkin itu hanya perasaannya saja.
🎐
🎐
🎐
Set kedua akan segera dimulai. Para pemain mulai memasuki lapangan. Gilgamesh kembali berdiri di depan net, dengan Atha yang kembali mendapat bagian sebagai pemukul serve untuk memulai pertandingan.
Berbeda dengan babak pertama, tiba-tiba si bocah lelaki bernama Ash ini mengajak Gilgamesh berbincang sebentar.
"Hei, apa kau mau membuat kesepakatan lain denganku?" katanya angkuh.
Gilgamesh mendelik tajam, "Apa maksudmu?"
"Aku akan memberi penawaran menarik jika kau bisa menang melawan kami, lalu sebaliknya, jika aku menang kau harus memberiku sesuatu yang menarik."
Gilgamesh memerhatikannya sejenak, nada bicara orang itu sangat angkuh. "Apa yang kau inginkan dariku?"
"Cukup sederhana, kau adalah cucunya Enmerkar, bukan? Kau kaya dan pasti mudah mendapatkan apa saja yang kau mau."
Gilgamesh merasakan firasat buruk.
"Hey..." Ash melirik Atha sejenak, "jika aku menang, boleh kan aku sedikit bermain-main dengan gadis itu?"
Ucapan Ash tadi berhasil membuat Gilgamesh murka. Rahangnya mengeras dan wajahnya berubah menyeramkan. Kurang ajar, Gilgamesh bersumpah untuk membuat bedebah satu ini menyesali kata-katanya tadi. Ucapannya yang menyinggung Atha memuat Gilgamesh geram tak terkira.
Dari jauh, Enmerkar bisa melihat dengan jelas perubahan raut muka Gilgamesh yang membuatnya tertegun. Ternyata cucunya bisa membuat ekspresi yang seperti itu juga—jujur, hal ini membuat Enmerkar sedikit tertarik. Tanpa sadar, kedua ujung bibir Enmerkar tertarik keatas.
Beberapa saat kemudian, Gilgamesh bisa kembali meredam amarahnya, ia tersenyum angkuh, layaknya Lucifer yang sedang mengutuk surga.
"Persiapkan dirimu, aku tidak akan main-main sekarang."
🎐
🎐
🎐
"Lugalbanda, aku perhatikan kau sepertinya tertarik dengan Atha. Ada apa sebenarnya?" ucap Ninsuna sedikit berbisik.
Lugalbanda tersenyum, "Jadi nama gadis itu Atha, ya?"
Ninsuna tertegun, merasa heran dengan sikap suaminya yang mendadak main teka-teki.
"Aku merasa pernah bertemu dengannya di Santorini. Tapi sepertinya gadis itu bukan Atha, hanya saja mereka sangat mirip."
"He? Benarkah? Apa aku pernah bertemu juga dengannya?"
"Sepertinya tidak. Aku hanya sekali berpapasan dengannya saat di pertokoan Santorini, ia membantuku saat tersesat disana." Lugalbanda melanjutkan, "Setelah kuperhatikan, mereka ternyata memang orang yang berbeda. Gadis yang pernah kutemui itu memiliki sepasang mata zamrud, sedangkan gadis yang kau panggil Atha itu memiliki warna mata yang berbeda—biru, seperti warna laut Aegea."
Ninsuna manggut-manggut, "Oh iya, kau ingat soal hadiah bulan madu kedua kita dari Gil?"
"Aku ingat."
"Nah, katanya Atha itu ikut membantu Gil untuk mencari hadiah yang tepat untuk kita."
Lugalbanda tersenyum simpul, "Lebih dari itu, apa kau sadar jika Gil terlihat begitu tertarik dengannya?"
Ninsuna menghela nafas panjang, "Sayangku, putra kita memang menyukainya. Memang dia belum mengatakannya secara langsung padaku, namun naluriku mengatakan jika ia memang menyukainya."
Lugalbanda terkekeh geli.
Kembali ke lapangan, saat ini Atha sedang berusaha mengimbangi kecepatan Gilgamesh yang mendadak bertambah cepat. Wajah serius Gilgamesh membuat Atha takut, jarang-jarang Gilgamesh membuat ekspresi seperti itu. Atha menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak perlu, sekarang ia harus kembali fokus.
Berbanding terbalik dengan skor di babak pertama, kali ini mereka berhasil menyusul ketertinggalannya, dan Atha merasa jika fortune telah berada di pihak mereka.
Tinggal membuat dua skor lagi, maka mereka bisa memenangkan set kedua.
—ah tidak. Satu skor lagi. Gilgamesh baru saja mencetak skor, tepat kurang dari tiga detik yang lalu.
Atha tersenyum masam, memang hal membanggakan jika mereka dapat memenangkan pertandingan ini. Tapi rasanya melelahkan. Stamina Atha lumayan terkuras gara-gara permainan Gilgamesh yang cepat—oh ... mungkin beginilah rasanya bermain voli fullset. Ayolah, masih ada set terakhir yang menunggu, mengapa Gilgamesh terkesan seperti terburu-buru? Atha tidak yakin dapat bermain dengan prima di set terakhir jika Gilgamesh memaksa dirinya harus bermain cepat seperti ini.
Atha. Bukan. Robot.
Atha juga bisa kelelahan. Lihat, keringat tidak henti-hentinya membasahi kaos hitamnya.
Beberapa detik setelahnya, Gilgamesh kembali mencetak skor.
Set kedua, berhasil mereka menangkan.
🎐
🎐
🎐
Diam-diam Lugalbanda sudah ada di samping Enmerkar, ia tersenyum hangat, namun Enmerkar tahu itu hanya kedoknya saja. Walaupun Lugalbanda terlihat ramah, sebenarnya ia lebih berbahaya. Jika boleh dibandingkan, sebenarnya Enmerkar dan Lugalbanda sama-sama berbahaya. Yang membedakannya hanya jalan yang mereka pilih.
Enmerkar memilih untuk apa adanya, ia tidak menyembunyikan sifat aslinya yang memang kejam. Sementara Lugalbanda memilih untuk menutupi sifat kejamnya dengan kedok berupa ekspresi ramah.
Jika seseorang selalu menebar senyum, orang lain yang ada di sekitarnya pasti menilainya sebagai pribadi yang bersahabat. Hal itulah yang dianut oleh Lugalbanda.
"Ada apa?" ujar Enmerkar ketus.
"Bolehkan aku dengar alasan Ayah tentang insiden ini?"
Enmerkar menyeruput jus jeruknya hingga tandas, "Alasan apa?"
"Alasan mengapa Ayah menjebak Ash dengan kedok balas dendam pada anak-anakku."
Enmerkar mengerti maksud Lugalbanda. Anak-anak adalah sebutan Lugalbanda untuk siswa Chaldea.
"Aku tahu ini bukan sekedar balas dendam karena kau terpukul oleh bola voli saja, kan?" lanjut Lugalbanda.
Enmerkar tersenyum penuh arti, "Kau benar-benar sudah tahu sifatku, ya?"
"Tentu saja, itu karena kita mirip." Lugalbanda membalasnya dengan senyuman hangat.
Enmerkar menepuk kursi sebelahnya yang kosong, mengisyaratkan Lugalbanda untuk duduk.
"Karena kau sudah tahu apa yang aku rencanakan, maka dengan senang hati akan kukatakan sejujur-jujurnya..."
🎐
🎐
🎐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top