Chapter 20

Ada satu hal yang tiba-tiba saja Galahad ingat jika ia melihat bunga hortensia. Bunga yang mempunyai nama latin hydrangea macrophylla itu memiliki makna yang beragam berdasarkan dari keyakinan dan cerita yang berbeda di tiap tempat. Di negara Jepang sendiri bunga hortensia mempunyai makna 'permintaan maaf'.

Menurut legenda Jepang, bunga hortensia dikaitkan pada permintaan maaf dari kaisar Jepang yang telah mengabaikan wanita yang dicintainya karena urusan negara dan menunjukkan betapa ia sangat peduli dengannya.

—sebelah alis Galahad terangkat ketika tiba-tiba mengingat hal itu. Mengapa sangat cocok dengan keadaan Ayah dan Ibunya, ya?

Galahad kembali memberengut. Dipikir lagi, itu tidak mungkin. Sebuah pertanyaan kembali muncul di benak Galahad, apa benar Ayahnya peduli? Galahad rasa tidak. Ia tidak bisa membaca pikiran Lancelot. Jika peduli pun, mengapa ia bisa mengambil keputusan untuk menikah lagi?

Luka satu minggu yang lalu masih bisa dirasakan oleh Galahad. Sakit di pipinya akibat tamparan Lancelot tidak seberapa jika dibandingkan luka di hatinya. Galahad menyayangi Lancelot. Iya, ia akui. Butuh bertahun-tahun untuk Galahad menerima Lancelot hadir dalam hidupnya sebagai figur 'Ayah'. Galahad kecil hanya tahu jika Elaine Corbenic adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki.

Itu karena Lancelot yang selalu menghilang. Hal itu bahkan menimbulkan pemikiran negatif bahwa Lancelot telah mengabaikan Galahad dan Elaine karena kondisi mereka saat itu. Sudah. Galahad tidak mau mengingat tentang hal itu lagi. Luka di hatinya yang sudah tertutup bisa terbuka lagi.

Satu minggu berlalu setelah festival.

Hari berganti. Tanpa sadar, sekarang sudah masuk pergantian musim. Sejak lima hari yang lalu, cuaca di Chaldea selalu murung. Langit biru diatas sana selalu diselimuti oleh awan kelabu. Hujan yang ringan hingga lebat membuat udara disekitar sini menjadi lembab.

Ah, musim panas segera datang. Pikir Galahad. Ia mulai menutup kedua matanya. Setiap ia menutup kedua matanya, ia dapat melihat kenangan dari hari-hari yang sangat dirindukannya, dan kenangan itu ada banyak. Sangat banyak hingga ia tidak mampu untuk mengatakannya satu per satu. Suara hujan yang turun di luar gedung membuat ritme yang konstan, menyamarkan suara berisik dari arah kelas-kelas yang berjejer di lorong. Karena hal ini, Galahad tenggelam semakin jauh dalam lautan kenangannya. 

Kemudian, Galahad melihat suatu mimpi, sebuah khayalan yang disebut 'masa lalu'. Sebuah mimpi yang mengingatkannya kembali tentang kenangannya di musim panas sembilan tahun yang lalu.

Walau sudah bertahun-tahun berlalu, Galahad tidak mungkin lupa tentang hal ini. Sebuah musim panas dimana cahaya matahari hangat bersatu dengan hujan rintik menghiasi bumi—

Musim panas.

Bunga matahari.

Hari ulang tahun.

Hadiah yang tak terduga dari Ibunya yang paling ia kasihi—

Hadiah sederhana: senyuman manis yang membawanya menuju keabadian.

C h a p t e r 2 0
---Hydrangea---

"Ayo cepat, Atha!" Rei mendorong tubuh Atha dengan tidak sabaran hingga mendekati pintu kamar.

"Iya, iya, aku tahu! Tenang, Rei! Stok bento di kantin pasti masih ada banyak. Jadi jangan takut kehabisan begitu!" ucap Atha geli.

Rei mengerucutkan bibirnya, "Habisnya kau terlalu santai! Kau tahu keadaanku sekarang, 'kan? Aku tidak bisa ke kantin dan kaulah satu-satunya harapanku!"

Atha terkekeh, "Kau yang tidak sabaran, Rei! Lagipula, kata-katamu tadi terlalu melankolis."

"Masalahnya, ini bento edisi musim panas yang hanya dibuat Tamamo-san dalam jumlah yang terbatas setiap harinya! Aku tidak mau kehabisan lagi untuk kedua kalinya!"

"Kalau soal makanan kau langsung semangat begitu, ya? Beda dengan saat mengerjakan soal matematika dari Nikola-sensei." Atha heran sendiri melihat kelakuan Rei. Apalagi dia bingung, darimana mahluk ubanan ini tahu soal bento musim panas?

Rei mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna ucapan Atha. "Soalnya ... cacing diperutku sudah mengambil alih otakku." jawab Rei enteng.

Atha hanya tersenyum masam, yah apa yang bisa ia harapkan dari jawaban Rei? Lama-lama jawabannya semakin absurd.

"Aku mengerti," Atha meraih jaketnya yang tergantung dibelakang pintu, "empat bento, 'kan?" tanyanya kemudian.

"Tambahan! Onigiri, lima!"

"Rei ... aku tahu kamu sedang patah hati, tapi kenapa semakin parah, ya? Mau kubawa ke Kotomine-san tidak? Atau konsultasi dengan Ayahmu?"

"Buat apa konsultasi sama mereka berdua. Yang ada aku tambah sesat!"

"Terus, kenapa makanmu jadi lebih banyak?"

Rei menjentikkan jarinya, "Dengar Atha ... aing emang lagi galau, tapi bukan berarti mau mogok makan terus bundir, 'kan?"

"Oke, aku mengerti. Jadi Nona Rei, kau diam saja dikamar, oke! Tunggu Nefer dan Ritsu kembali dari gedung utama. Nanti kubawakan makan siang untuk kalian." Atha mengusap-ngusap kepala Rei bagai mengusap lampu ajaib milik Aladdin.

"Mentang-mentang aku pendek bukan berarti kau harus memperlakukanku seperti anak kecil, ya!"

"Siapa juga yang menganggapmu anak kecil?"

"Lalu apa maksudnya mengusap kepalaku seperti mengusap lampu ajaib milik Aladdin?"

Sekarang, Atha yang bingung. "Kepalamu kan bukan lampu Aladdin ... tapi bola kristal milik cenayang."

Sialan. Ingin sekali Rei menghancurkan senyuman manis Atha yang tanpa bersalahnya terulas setelah mengatakan hal itu pada Rei. Rei mendengus, "Aku nggak botak, Atha! Mustahil kepalaku rasanya seperti bola kristal!"

"Kata Valentine, orang yang terlalu stres rambutnya bisa rontok, loh!" Atha menepuk pundak Rei dengan sedikit keras, "jadi, bersiaplah untuk kemungkinan terburuk, Rei. Mungkin sebentar lagi kamu botak!"

—Atha, entah apa yang merasukimu. Rei kesal.

"Atha, aku sedang tidak mau berdebat tapi kenapa kau malah mengundang setan yang ada dalam diriku untuk bangun, ya?" urat kesabaran Rei hampir saja putus. Kalau saja perutnya dalam kondisi kenyang, mungkin Rei akan serius meladeni Atha. Lalu Valentine, siapa dia?

Atha kembali tertawa, "Maaf. Oiya, kalau tidak salah kau tambah tinggi dua mili, ya? Omedetou!"

Dari ucapan Atha barusan, Rei tidak bisa membedakan antara meledek atau memuji. Jadi Rei harus bagaimana? Sepertinya Rei harus menerbitkan kamus khusus yang memuat tentang 'fifty shades of Athaleta'. Siapa tahu Gilgamesh juga membutuhkan kamus itu, 'kan?

"Sudah cepat sana! Aku lapar!" Rei kembali mendorong tubuh Atha agar gadis itu cepat-cepat pergi ke kantin.

"Iya, aku berangkat sekarang," Atha melirik ke arah kaki kanan Rei yang terbalut perban, "jangan terlalu banyak bergerak, ya. Tidur saja sana!"

Rei cemberut, kedua pipinya bersemu merah. Ia kemudian menarik kaki kanannya kebelakang, menyembunyikannya dari Atha, "Aku mengerti. Lalu ... terimakasih untuk yang tadi."

Atha membuka pintu, "Sama-sama." jawabnya.

Setelah Atha keluar dari kamar, Rei berbalik hendak kembali menuju tempat tidurnya. Ia berpegangan pada dinding dan berjalan dengan sedikit tertatih bahkan sesekali ia harus berjalan dengan kaki kirinya saja karena jika kaki kanannya menyentuh lantai, rasa nyeri itu makin menggila.

Mari sedikit bercerita tentang kronologi dibalik kaki kanan Rei yang cedera—

Selepas kegiatan belajar di gedung utama, karena kegiatan klub diliburkan selama kelas tiga mengikuti ujian dan kegiatan konsultasi dengan para guru, Atha dan Rei segera kembali ke kamar asrama untuk mengganti seragamnya dengan baju kasual. Setelah itu, mereka berniat untuk pergi ke kantin untuk membeli makan siang. Namun, Rei yang terburu-buru saat menuruni tangga terkena sial. Rei ceroboh saat menuruni tangga, alhasil ia terpeleset dan jatuh dari tangga. Ironisnya adalah, ia jatuh menimpa Atha yang ada didepannya. Alhasil kedua gadis ini jatuh dengan tidak elit.

Masih beruntung saat jatuh tidak ada orang lain selain mereka yang menuruni tangga, lebih tepatnya tidak ada orang lain yang berjalan di depan Atha. Karena jika ada, mungkin akan terjadi efek domino—baca: tabrakan beruntun.

Tapi tetap saja yang dirugikan disini adalah Atha!

Karena tadi Atha mendarat dengan bagian wajah yang mencium lantai, akhirnya ia harus rela menerima konsekuensinya: hidungnya, berdarah. Dan masih beruntung Atha tidak berubah jadi Voldemort. Rei sendiri hanya terkilir.

Meski begitu, Atha tidak menyalahkan Rei. Tadi saja Atha langsung menggendong Rei kembali ke kamar lalu mengobatinya, padahal hidungnya sendiri belum diobati. Karena itulah Rei merasa—sangat—bersalah. Lalu saat Rei berkali-kali meminta maaf pada Atha, tebak apa yang terjadi?

Atha malah mengancamnya!

Dia berkata jika Rei tidak berhenti diam, dia tidak segan untuk melempar Rei keluar jendela. Sadis memang. Karena Rei masih sayang nyawa—belum nikah juga—akhirnya ia memilih untuk menuruti kata-kata Atha. Jika melihat dari reaksi Atha yang tiba-tiba panik, akhirnya Rei menyadari sesuatu dari gadis itu. Selama ini, dugaannya benar. Atha lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri.

Apa ini juga alasan mengapa Atha tidak mau jujur pada perasaannya sendiri? Karena jika ia jujur, mungkin Arthuria akan terluka.

Rei menghempaskan dirinya diatas tempat tidur, terlentang disana kemudian menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih pucat. Hujan diluar sana semakin terdengar bising. Tunggu, apa Atha membawa payung, ya?

Rei meraih ponselnya dan mengetikkan sesuatu, lalu mengirim pesan itu pada yang bersangkutan. Ia mengulas senyum. Sebenarnya Rei sudah memantapkan hati untuk merancang sebuah misi rahasia. Ia ingin mencoba peruntungan sebagai cupid bagi Atha dan Gilgamesh. Melihat mereka berdua yang sudah sangat dekat dan tidak pernah ada kemajuan lain membuat Rei semakin bernafsu untuk menjodohkannya.

Lagipula ... dibanding dengan Arthuria, Rei lebih suka jika Atha yang bersama Gilgamesh. Padahal Arthuria itu teman masa kecilnya, persetan! Bukankah sebelumnya juga Arthuria sudah mengabaikan Gilgamesh? Perkara ia yang sekarang jatuh cinta pada Gilgamesh berarti sudah terlambat. Walaupun Atha mengalah, Rei yakin Gilgamesh tidak akan tinggal diam.

Mendengus sebal, sekarang Rei menatap sebuah kontak di ponselnya: Arthur Pendragon.

"Arthur bodoh! Mati aja sana!"



"Yah ... makin deras," Atha menatap langit kelabu yang tidak henti menurunkan tetesan hujan di atas sana. Ia sedang berada di ambang pintu kantin, berteduh, menunggu hujan sedikit reda.

Bento yang diinginkan oleh Rei sudah ia beli bersama onigiri, bahkan tadi Tamamo menambahkan bonus untuknya berupa dua buah roti melon dan baumkuchen. Sekarang ia tinggal kembali ke asrama namun terjebak hujan. Kembali, Atha menoleh ke arah counter Tamamo yang masih dikerubungi oleh para siswa kelaparan. Lalu, ia menemukan Mashu disana, sedang kebingungan.

Menghampiri Mashu, Atha menepuk bahunya pelan. Ekspresi terkejut langsung tergambar dari wajah gadis itu ketika menoleh ke arahnya, "Hai, sedang apa?" tanya Atha.

"A-ah ... Atha. Kukira siapa," Mashu menghela nafas lega kemudian mengelus dadanya pelan, "aku terkejut."

Atha tersenyum, "Kenapa kau ada disini?"

"Begini..." Mashu melirik sekilas pajangan bento yang ada di counter, "tadinya aku mau membeli bento spesial itu, tapi ... kehabisan."

Atha mengerjap pelan, "Kau benar-benar ingin memakan bento itu, ya?"

Air muka Mashu kemudian berubah murung, "Bukan begitu ... hanya saja, aku ingin membelikannya untuk Nii-san. Kau tahu kan, soal seminggu yang lalu?"

Ah, Atha mengerti maksud Mashu. Atha mengangguk, "Lalu, sekarang Galahad bagaimana? Aku belum bertemu lagi dengannya."

"Nii-san masih shock. Tadi saja aku dapat kabar dari Gaheris kalau ia belum makan sejak kemarin. Aku khawatir. Maka dari itu aku ingin membelikannya bento spesial itu, siapa tahu Nii-san mau makan." Mashu tersenyum kecut, "tapi sayangnya aku kehabisan."

"Kalau begitu," Atha merogoh isi paper bag yang ia bawa, mengeluarkan sekotak bento kemudian memberikannya pada Mashu, "kau bisa ambil punyaku."

"Eh?!" Mashu ragu menerima pemberian Atha, "tapi itu punyamu. Aku tidak bisa—"

"Sejujurnya aku tidak terlalu ingin memakannya." potong Atha cepat. Masalahnya adalah, bento itu terlalu 'penuh' untuk ukuran Atha. Ia tidak yakin dapat menghabiskannya seorang diri.

"Tapi Atha ... aku tidak bisa menerimanya dengan cuma-cuma—"

"Ayolah Mashu-chan, terima saja! Aku tidak mengharap bayaran, kok." Atha sedikit menggoda Mashu.

"Rasanya aku tidak enak padamu..."

"Sudah, tidak apa. Perutku bukan seperti perut Rei yang isinya peternakan ular boa, jadi terima saja!"

Mashu menatap Atha sekilas sebelum menerima bento itu dari Atha, "Kalau begitu ... terimakasih."

"Nah, gitu dong! Sekalian ini, sebagai pencuci mulut. Tadi aku dapat bonus lumayan banyak, jadi kubagi." Atha memberikan dua potong baumkuchen pada Mashu.

"Terimakasih."

"Sekalian sampaikan salamku pada Galahad, ya! Bilang padanya jangan terlalu stres, nanti dia bisa botak."

Mashu terkekeh, "Baiklah, akan kukatakan padanya nanti."

Atha mengangguk.

"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Sekali lagi terimakasih." lanjut Mashu.


———

Setelah Mashu pergi, sekarang Atha kembali menunggu hujan reda di dekat pintu kantin. Merutuk dalam hati, kenapa ia lupa membawa payung? Sebenarnya bukan lupa, Atha memang sengaja tidak membawa payung karena tadi hujannya tidak terlalu deras. Tapi sekarang? Deras tak terkira. Menyesal.

"Kau ada disini, rupanya."

Menoleh ke arah suara, Atha menemukan Gilgamesh disana, sedang berdiri kurang dari satu meter disampingnya. Ini bukan fatamorgana, 'kan? Bukannya kelas tiga sedang sibuk kerja rodi, ya?

Mendadak Atha canggung, "Jadi ... kenapa Senpai bisa berkeliaran disini? Bukannya seminggu lalu kau bilang akan sangat sibuk dan mungkin kita tidak akan bisa bertemu sampai liburan musim panas nanti, 'kan?"

Gilgamesh menggaruk belakang kepalanya, "Aku sudah merdeka dari tugas. Lalu aku yang kelaparan pergi ke kantin. Kemudian ... aku melihatmu sendirian, akhirnya kuhampiri."

Detail amat! Atha terkekeh pelan. Seminggu tidak bertemu rasanya jadi canggung lagi. Apalagi saat terakhir bertemu, Gilgamesh memberi 'salam perpisahan' yang sangat diluar akal sehat. Sekarang, bagaimana ia bisa berlagak normal seperti yang dulu-dulu?

"Kau sudah membeli makanannya?" tanya Gilgamesh.

Atha mengangguk, "Sudah, hanya saja aku terjebak disini jadi belum bisa kembali ke asrama."

"Kalau begitu ... mau ke asrama berdua, tidak?"

Atha mengedipkan matanya beberapa kali, mencerna ucapan Gilgamesh yang tiba-tiba. Apalagi, si Pirang Emas ini menyunggingkan senyuman yang sedikit ambigu.

"Aku bawa payung. Sekalian saja aku mengantarmu sampai asrama, bagaimana?" lanjut Gilgamesh.

"Memangnya Senpai sudah selesai disini?"

Gilgamesh menunjukkan kantong belanjaannya pada Atha, "Sudah. Jadi ayo."

Melihat ke arah langit yang masih mendung, hujan yang masih mengguyur daratan, akhirnya Atha tidak bisa menolak. Apalagi, ia takut jika ketiga teman sekamarnya sudah kelaparan dan sedang menunggu kedatangannya.

"Kalau begitu ... baiklah. Maaf kalau merepotkan." Atha tersenyum lemah.

Gilgamesh tertegun. Tumben sekali Atha langsung menerima tawarannya. Biasanya gadis ini selalu mencari seribu satu alasan untuk menolak dan mereka berdua pasti terlibat perdebatan kecil. Dan setiap kali mereka berdebat, yang menang pasti selalu Gilgamesh.

Andai dari dulu Atha seperti ini, mungkin Gilgamesh tidak usah menarik tudung atau tangan Atha dengan paksa agar gadis itu mau menurutinya.

"Tumben kau jinak." ucap Gilgamesh.

Mendengus, Atha malah menyesali pilihannya. Sebenarnya mau Gilgamesh apa?

"Ayo Senpai, jangan banyak ngoceh!" Atha menarik tangan Gilgamesh dengan tidak sabaran.

Gilgamesh tersenyum sekilas kemudian menatap Atha, meski samar ia bisa melihat kedua pipi gadis itu bersemu merah. Serius, perasaannya memang benar, akhir-akhir ini Atha semakin manis. Eh ... apa?

"Oke, Nona..." Gilgamesh terkekeh.

Membuka payung, Gilgamesh menatap ke arah langit untuk beberapa detik. Terimakasih, hujan! ungkapnya dalam hati.



Mashu berlari-lari kecil disepanjang koridor lantai paling atas, ia berusaha memelankan suara langkah kakinya agar tidak terlalu berisik. Disini ada kelas tiga yang sedang serius menjalankan tugas negara di perpustakaan. Maka dari itu, tidak boleh ada kebisingan, jangan buat konsentrasi para kelas tiga hancur.

Sampai di ujung lorong, Mashu menaiki satu per satu anak tangga menuju ke atap. Di puncak anak tangga, dekat dengan pintu atap, ada Galahad yang sedang tertidur dengan posisi duduk bersandar pada tembok.

Dengan hati-hati, Mashu duduk disamping Galahad. Memerhatikannya sejenak, Mashu dapat melihat jejak air mata diujung mata Galahad. Pasti ia kepikiran Elaine lagi, bisiknya dalam hati.

Mashu mengguncang pelan tubuh Galahad hingga ia terbangun.

"Nii-san, ayo makan!" Mashu berusaha mengatakannya dengan wajah yang tetap ceria, ia tidak mau membuat Galahad semakin kacau.

Galahad mengusap kedua matanya yang sedikit perih, "Kenapa kau ada disini, Mashu?"

Mashu memiringkan wajahnya, "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu! Apa yang menarik tidur di tempat seperti ini?"

Galahad terkekeh, "Astaga ... ngomong-ngomong kau tahu aku ada disini dari siapa?"

Mashu cemberut, "Aku pasang pamflet orang hilang di mading."

"Hah?"

"Bercanda, kok!" Mashu tertawa, "tadi aku bertanya pada Svin. Nii-san tahu hidungnya bermanfaat untuk melacak keberadaan seseorang, 'kan?"

Galahad semakin tidak tahan untuk tertawa karena mendengar jawaban Mashu. Namun sayangnya, saat ini ia tidak bisa tertawa karena sedang menahan sakit di perutnya. Bodoh sekali ia sampai-sampai mogok makan. Alhasil cacing-cacing diperutnya banyak yang dibantai oleh asam lambung.

Galahad memejamkan mata sembari menekan-nekan perutnya yang terasa semakin sakit. "Jadi, kau kenal Svin dari siapa? Dia tidak satu kelas dengan kita, 'kan?" tanya Galahad.

"Aku minta bantuan Gray ... lalu ia mengenalkanku pada Svin." jawab Mashu.

Galahad tersenyum lemah, "Jadi ... kau mau apa kemari?"

Mashu membuka tutup bento yang tadi dihibahkan oleh Atha padanya. Ia kemudian meletakkannya dipangkuan Galahad.

"Aku disini sebagai relawan pembawa amunisi untukmu. Nii-san harus makan!" kata Mashu berapi-api.

Galahad tertegun memerhatikan satu per satu lauk yang ada di bento-nya. Isinya terlalu banyak untuk dimakan seorang diri. Tamago-yaki, tempura, salad, karaage—sial, banyak sekali.

"Ini terlalu banyak..." Galahad mengernyit.

"Kita makan bersama!" Mashu merogoh isi saku rok-nya, mengeluarkan dua buah pil berwarna putih dan menyodorkannya pada Galahad, "tapi sebelum itu, Nii-san harus makan obat sakit perut dulu."

"Maaf merepotkanmu." Galahad tertawa lemah, "aku benar-benar bodoh, ya?"

"Nii-san tidak bodoh!" Mashu berkata dengan nada lumayan tinggi, sampai-sampai Galahad terkejut mendengarnya. Jarang sekali Mashu meninggikan suaranya.

Mashu menatap Galahad sejenak, "Aku mungkin tidak tahu bagaimana perasaan Nii-san saat ini ... tapi tolong, jangan membuatku khawatir."

Dada Mashu terasa sesak. Tidak, bukan hari ini saja dadanya terasa sesak. Sejak seminggu yang lalu, saat akhir festival dan terjadi 'perang' di antara Galahad dan Lancelot, sebenarnya Mashu sudah tidak tahan untuk menangis. Namun selama ini ia terus menahannya. Ia tidak mau membebani Galahad. Galahad adalah sosok 'kakak' yang paling pengertian.

Mashu dan Galahad memang tidak ada hubungan darah, mereka lahir dari orang tua yang berbeda. Mashu merupakan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya saat perang Holy Grail. Ia diadopsi oleh Lancelot saat berusia delapan tahun, tepatnya satu tahun setelah kematian Elaine.

Mashu yang masih berduka dan menderita post-traumatic stress disorder, dikenalkan oleh Lancelot pada Galahad yang kondisinya hampir sama. Saat itu Galahad seakan tidak mempunyai semangat hidup, maka dari itu Lancelot mengadopsi Mashu untuk menjadi 'adik' bagi Galahad. Adik sekaligus teman. Harapannya, Galahad bisa terhibur dengan kehadiran Mashu. Alasan lain mengapa Lancelot mengadopsi Mashu adalah karena saat itu, hubungannya dengan Galahad benar-benar buruk. Maka dari itu Lancelot butuh 'perantara' untuk memperbaiki hubungannya dengan Galahad. Perantara itu, adalah Mashu.

Dan ... tanpa disangka, Galahad menyambut kehadiran Mashu dengan mudah. Bahkan tidak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk dekat.

Hal yang paling membuat mereka 'sangat' terikat adalah: mereka berdua lahir di tahun, bulan dan tanggal yang sama. Hal inilah yang membuat Galahad dan Mashu beranggapan jika mereka sepasang anak kembar yang dipertemukan oleh takdir.

Galahad mengelus puncak kepala Mashu dengan lembut, "Maafkan aku, ya ... aku telah membuatmu khawatir."

Mashu menatap Galahad dengan mata yang berkaca-kaca, ia kemudian terisak pelan, "Jika Nii-san merasa terbebani oleh sesuatu, setidaknya aku harus tahu. Kumohon, bagi sedikit keluh kesahmu padaku. Jangan di pendam sendiri! Bukankah kita ini saudara?"

"Maaf..."

"Aku seperti tidak dianggap olehmu ... dan itu rasanya tidak enak." cicit Mashu.

Galahad tersenyum, "Maaf membuatmu khawatir, Mashu. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi."

Mashu menatap Galahad sejenak, seulas senyuman hangat terukir di wajahnya. Jika bisa, Mashu ingin melihat Galahad selalu tersenyum—

"Nii-san, kalau tidak keberatan, apa boleh aku tahu bertanya soal Nona Elaine?"

Galahad terkekeh, "Itu cerita yang lama."

Mashu tertunduk lesu, "Tapi aku ingin tahu—"

Galahad buru-buru memotong ucapan Mashu, "Akan kuceritakan padamu ... tentang Ibuku. Aku janji."



"Jadi ... bagaimana hari-harimu tanpa bertemu denganku?" Gilgamesh melirik Atha lewat ekor matanya, "apa kau merindukanku?"

Atha tersenyum masam. Ternyata satu payung berdua dengan Gilgamesh adalah hal terburuk. Si Pirang terus-terusan mengoceh dan itu hampir membuat telinga Atha pecah. Bayangkan, setiap hari ia harus tahan mendengar ocehan Rei, lalu sekarang Gilgamesh. Oh telinga, kau sudah bekerja sangat keras! Terimakasih.

Atha mengerucutkan bibir, "Maaf ... tapi satu-satunya yang aku rindukan adalah rainbow spark saat summoning gacha. Dengan kata lain, aku merindukan SSR."

"Tidak seru."

"Jadi kau berharap aku menjawab apa?"

Gilgamesh tersenyum menggoda, "Aku harap kau merindukanku."

"Minta restu sama Mama Ninsuna, sana." cibir Atha.

Hanya perasaan atau langkah yang diambil oleh Gilgamesh semakin lambat, ya? Rasanya mereka berdua lama sekali sampai di asramanya. Atha menipiskan bibir, menyadari sesuatu. Apa ini bagian dari rencana Gilgamesh?

"Hey ... jangan diam terus." kata Gilgamesh.

"Jadi aku harus bagaimana? Menari?"

"Ide bagus. Mau mencoba menari ala film Bollywood? Lagi hujan, lho! Scene-nya tepat."

"Aku tidak mau menyiram kuah air hujan pada bento di tanganku."

"Kalau begitu, bagaimana kalau bernyanyi?"

Atha melirik Gilgamesh dengan tatapan aneh, "Hah?"

Gilgamesh terkekeh melihat ekspresi Atha, "Ayolah, suaramu bagus. Aku ingin mendengarnya dari dekat."

Atha mengerutkan kening, rasa aneh apa yang dirasakan olehnya saat ini? Kedua pipinya terasa memanas. "Kau kan sudah mendengarnya saat pentas? Jadi maaf, tidak ada siaran ulang." katanya.

"Ini permintaan ... kabulkan untukku. Aku ingin mendengar suara merdumu," setelahnya Gilgamesh berbisik, "suara yang hanya aku yang mendengarnya."

Tunggu, apa yang dikatakan oleh Gilgamesh? Gara-gara hujan, bagian bisik-bisiknya tidak terdengar oleh Atha. Memerhatikan diam-diam Gilgamesh yang sedang menatap lurus kedepan, tiba-tiba jantung Atha kembali berdegup tidak normal. Buru-buru Atha memalingkan wajahnya.

"Nanti saja, tidak apa? Rasanya tidak akan terdengar jelas jika ditengah hujan seperti ini." ucap Atha.

Gilgamesh menoleh ke arah Atha, kedua pipi gadis itu semakin memerah. "Oke. Itu hutang, ya."

"O iya, bagaimana keadaan si Chibi?" lanjut Gilgamesh.

"Rei?" Atha mengerjap, "dia ... ya, begitulah. Masih jadi sad girl. Bahkan tadi dia jatuh dari tangga asrama."

"Hah?" Gilgamesh terperangah, "jatuh? Lalu?"

Atha tersenyum miris, "Rei hanya terkilir."

"Hanya?"

"Itu karena dia jatuh menimpaku. Tadi aku cosplay jadi cushion."

Gilgamesh tiba-tiba panik, ia membalik tubuh Atha agar berhadapan dengannya. Sebelah tangannya menyentuh pipi Atha, membuat gadis itu membatu seketika ketika kedua mata mereka saling bertatapan.

"Kau ... ada yang sakit?" tanyanya.

Gilgamesh memerhatikan setiap inci wajah Atha dengan seksama, sampai tidak ada satupun yang terlewat dari pandangannya. Diperhatikan seperti ini justru membuat Atha semakin membeku, rohnya bahkan hampir keluar dari raga.

Ini aneh, hanya ada suara Gilgamesh yang terdengar oleh Atha, padahal keadaan saat ini mereka sedang berada di tengah-tengah guyuran hujan. Tidak ada peredam suara, yang melindungi mereka hanyalah sebuah payung berukuran sedang yang sekarang dipegang oleh Gilgamesh. Ditambah lagi, ada sesuatu yang bergejolak dalam diri Atha, dan Atha tidak tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Emosi-emosi aneh mulai bermunculan sehingga ia hanya bisa membeku.

Tatapan mata Gilgamesh yang selalu terlihat menyebalkan, mengapa kali ini terasa berbeda? Wajahnya, semuanya ... mengapa baru kali ini Atha melihatnya sebagai sesuatu yang indah? Ah, dasar bodoh. Atha memang selalu terlambat, ia bahkan baru menyadari jika si Pirang ini memiliki wajah yang diatas rata-rata.

"Disini rupanya..." Gilgamesh menemukan sisa darah dihidung Atha, dan kondisinya sudah mengering, "apa tadi hidungmu berdarah?"

Tarik nafas, Atha! setelah mengatur nafasnya, Atha dapat menetralkan kembali emosi-emosi aneh yang hampir membuatnya gila. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu menoleh ke arah lain. Ia tidak mau lama-lama menatap sepasang mata seindah batuan berwarna merah delima yang ada dihadapannya.

"Ta-tadi sempat berdarah, tapi sekarang sudah tidak." kata Atha.

Gilgamesh menghela nafas panjang, "Tidak ada bagian lain yang sakit? Bagaimana jika kuantar ke UKS?"

"Tidak usah." jawab Atha cepat.

Gilgamesh menyipitkan kedua matanya, ternyata benar, hari ini ada yang aneh pada Atha. "Kau benar-benar aneh hari ini."

Atha menipiskan bibirnya, mengapa si Pirang selalu bisa menyadari dengan cepat? Apa mungkin Atha memang tidak pandai untuk menyembunyikan emosinya?

"Senpai, lebih baik ayo cepat kita kembali ke asrama. Nanti bento yang kubawa keburu dingin." ucap Atha asal.

Gilgamesh terkekeh, sadarkah gadis itu jika sekarang kedua pipinya sudah berwarna seperti buah apel? Ia kemudian kembali menggoda Atha, "Apa kau ... mulai menyukaiku?"

Atha mengulas senyum datar, "Maaf ... anda bilang apa?"

Serius, setiap kali Atha berusaha denial akan fakta itu, Gilgamesh semakin gemas. Padahal sudah jelas-jelas gadis itu mulai menyukainya—setidaknya akhir-akhir ini baru terlihat—tapi mengapa ia masih tidak bisa jujur? Gilgamesh memang tidak suka menunggu lama, tapi untuk gadis ini, ia mau bersabar. Bahkan setiap hari, ia semakin menyukai Atha.

"Sudahlah, ayo segera ke asrama. Gedungnya sudah terlihat, tuh!" tukas Gilgamesh.


———

"Terimakasih, Senpai. Maaf merepotkan." ucap Atha.

"Sudah kubilang tidak merepotkan. Astaga!" Gilgamesh geleng-geleng kepala.

Atha terkekeh pelan.

Disini, didepan asrama putri. Mereka berdua tengah berdiri berhadapan dan mengucap beberapa kata perpisahan sementara. 

"Kalau begitu, aku kembali ke kamar, ya! Senpai juga cepat kembali ke asrama. Maaf sudah mengganggu waktu makan siangmu, ya." kata Atha.

"Sebelum itu," Gilgamesh menyerahkan kantung belanjaannya pada Atha, "ambilah, kau harus memakannya!"

Tunggu, apa maksudnya Gilgamesh memberikan makan siangnya pada Atha? Otak Atha kembali memproses apa yang sedang terjadi, "Heh? Bukannya ini punyamu?"

Gilgamesh memasang cengiran menyebalkan, "Aku melihatnya tadi. Kau memberikan bagianmu pada Mashu, kan?"

Atha mengerjap tak percaya. "Kau ... melihatnya? Tunggu, tadi sebenarnya sudah berapa lama kau ada di kantin?"

"Tidak usah dibahas. Sekarang cepat kembali sana!" Gilgamesh memutar tubuh Atha seratus delapan puluh derajat, membelakanginya. Ia kemudian mendorong punggung Atha, mengisyaratkan gadis itu untuk cepat masuk ke gedung asrama.

"Tetap saja aku tidak mau menerima jika alasannya tidak jelas begini!"

Gilgamesh mendecakkan lidahnya, "Kalau kau tetap tidak mau, bagaimana jika kita buat sebagai pertukaran saja?"

"Heeeeeh? Pertukaran?"

"Kau terima makan siangku, sebagai gantinya nanti buatkan aku makan malam. Bagaimana, setuju?"

Atha mengerutkan alis, "Makan malam?"

Gilgamesh tertawa, "Nanti malam aku menunggumu di dekat persimpangan asrama."

Atha mengalah, malas juga lama-lama berdebat dengan Gilgamesh. Ia menganggukkan kepalanya pelan, "Baiklah. Jadi, kau mau kubuatkan apa? Indomie? Samyang?"

"Itumah makanan instan. Aku juga bisa membuatnya sendiri!"

Atha menjentikkan jari, "Mapo tofu?"

"Apapun asal jangan ramuan jahanam itu!"

"Jadi?"

Gilgamesh menimbang-nimbang pilihannya. Susah juga. Ia sendiri tidak tahu makanan favoritnya apa. Saat di rumahnya di Uruk, yang sering ia makan hanya makanan buatan Siduri. Bukan hanya Gilgamesh, tapi hampir setiap orang rumahnya mem-favoritkan makanan buatan Siduri. Jadi apa?

"Aku sendiri kurang tahu makanan favoritku apa." gumamnya pada Atha.

"Berarti mapo tofu saja, ya?"

"Tolong jangan buat aku semakin trauma."

Atha menggaruk belakang kepalanya, "Apapun boleh, kan? Tapi kalau tidak enak jangan salahkan aku, ya."

Gilgamesh nyengir, "Apapun yang kau buat pasti akan kumakan dengan sepenuh hati."

"Kalau begitu beneran kubuatkan mapo tofu nih, ya!" kata Atha cepat.

Gilgamesh tidak tahan, akhirnya mencubit kedua pipi Atha dengan gemas. Kenapa juga gadis ini selalu memancing keributan dengannya?

"Iya, iya tidak mapo tofu!" Atha melepaskan kedua jepitan tangan Gilgamesh dipipinya dengan sekuat tenaga, "Kubuatkan bento lagi saja, ya. Makanan Jepang, yang netral. Soalnya kalau yang lain, aku takut tidak sesuai dengan lidahmu."

"Terserah kau saja."

Atha mengelus-ngelus pipinya yang masih sakit. Menatap Gilgamesh sekilas, Atha tertegun sebentar. Kenapa rasanya ia masih ingin lebih lama mengobrol dengan Gilgamesh?

"Ayo sana!"

Kata-kata Gilgamesh membawa Atha kembali ke dunia nyata. Berbalik, Atha mulai melangkahkan kakinya menuju pintu asrama. Namun setelah beberapa langkah, ia menghentikan langkahnya kemudian berbalik pada Gilgamesh. Pemuda itu masih tetap berdiri ditempatnya, memerhatikannya.

"Kenapa kau berbalik?" tanya Gilgamesh.

"Kau sendiri kenapa masih disana, Senpai?" Atha mendengus.

"Aku hanya memastikan kau masuk ke pintu asrama dalam keadaan selamat."

Lagi-lagi Atha melihat senyuman itu di wajah Gilgamesh. Senyuman ini berbeda dari yang biasanya, membuat sensasi aneh di dadanya. Rasanya hangat, dan Atha menyukainya.

"Senpai—"

Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Gilgamesh memotong perkataan Atha. "Hey, Atha. Bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan 'Senpai'? Jujur, rasanya aneh." ucap Gilgamesh.

Atha memiringkan kepalanya, "Kenapa? Aku hanya bersikap sebagai seorang adik kelasmu yang sopan. Normal, bukan?

"Kau tahu ... rasanya ada pembatas diantara kita jika kau memanggilku dengan sebutan itu."

Ya, mereka sudah cukup dekat—bahkan sangat dekat—untuk dikatakan sebagai teman atau senpai-kouhai.

Atha mengangguk, ia tersenyum. "Kalau begitu, bagaimana jika 'Gil' saja?"

Diluar dugaan, Atha menyetujuinya dengan mudah. Membuat Gilgamesh tidak perlu susah-susah membujuknya. "Begitu lebih baik." tukasnya.

"Kalau begitu, aku masuk sekarang. Terimakasih sudah mengantarku kembali ke asrama," jeda sejenak, Atha kemudian memanggil nama Gilgamesh, "Gil."

Senyuman Atha bagaikan virus yang membuat Gilgamesh ikut-ikutan tersenyum. "Sampai nanti. Jangan lupa buatkan makan malam, ya!"

Atha mengangguk, "Aku janji."

Setelah itu Atha berbalik, berlari-lari kecil menuju pintu asrama. Gilgamesh memerhatikan punggung gadis itu yang semakin menjauh hingga menghilang dibalik pintu.



Gilgamesh sedang berjalan menuju asrama lelaki, ia menempelkan ponselnya di telinga. Tidak sampai lima menit setelah meninggalkan asrama putri, ia segera menghubungi seseorang.

"Hoi, Chibi!"

Dari seberang sana, terdengar suara seorang gadis yang lumayan heboh—

"Yo, Rei disini! Bagaimana? Senpai sudah bertemu Atha, kan?"

"Sudah. Tadi aku mengantarnya sampai asrama. Mungkin sebentar lagi dia sampai ke kamar."

Perlu diketahui, si pengarang skenario ini adalah Rei. Tadi, tepatnya setelah Atha pergi ke kantin, Rei tiba-tiba menghubungi Gilgamesh. Gadis itu berkata, "Atha lupa membawa payung". Beruntungnya Gilgamesh yang baru saja keluar dari perpustakaan segera berlari menuju kantin untuk menemui Atha. Dan tanpa diduga, ia dapat menemukan gadis itu disana dengan mudah. Saat itu Atha sedang mengobrol dengan Mashu dan memberikan makan siangnya pada gadis itu, segera setelah melihatnya, Gilgamesh berinisiatif untuk membeli makanan siang pengganti untuk diberikan pada Atha.

Beruntung tadi Gilgamesh membawa payung. Jika tidak, mungkin cerita tadi tidak mungkin berjalan dengan lancar.

"Lain kali berhati-hatilah saat menuruni tangga!" kata Gilgamesh.

"Maaf..." kata Rei disana, sedikit menyesal.

"Kau boleh memikirkan Arthur, tapi jangan lupa memikirkan diri sendiri juga."

Tidak ada jawaban dari Rei untuk beberapa detik. Setelah menunggu sedikit lama, Rei kembali membalas kata-kata Gilgamesh.

"Iya. Atha juga sering menceramahiku dengan berkata seperti itu padaku. Maaf..."

"Kalau bisa jangan hubungi Arthur dulu. Dia masih sedikit kacau."

"Eh? Lalu bagaimana dia—"

"Tidak usah khawatir. Dia baik-baik saja. Hanya saja mentalnya saat ini masih belum stabil." Gilgamesh terkekeh, "jika ada sesuatu padanya, aku akan segera memberitahumu."

"Terimakasih, Senpai."

"Anggap ini bayaran atas hutang budiku. Karena kau, aku bisa bertemu dengan Atha."

Terdengar suara cekikikan diseberang sana. Rei sepertinya sedang tertawa.

"Senpai, sepertinya sampai sini dulu. Atha baru saja sampai di kamar."

"Oke, sampai nanti."

"Byebye!"

Setelah itu sambungan telepon terputus.

Gilgamesh geli sendiri mengingat percakapannya dengan Rei. Kenapa juga gadis itu mau repot-repot ikut turun tangan mengurusi hubungannya dengan Atha? Mungkinkah ia sendiri gemas dengan kelakuan teman sekamarnya yang satu itu? Benar juga, siapa yang tidak gemas jika berhadapan dengan Atha.

Menatap ke arah langit mendung yang masih menurunkan air hujan, Gilgamesh kembali tersenyum. Rasanya baru kali ini ia merasa senang ketika dibawah guyuran hujan. Yang membuatnya seperti ini adalah gadis itu ... ya, hanya Atha.

Suara hujan kembali memutar memori Gilgamesh tentang sebuah cerita yang masih hangat diingatannya, sebuah kanvas putih diingatannya kini melukiskan sosok dua orang insan.

Jalanan yang basah, disana bermekaran bunga hidrangea yang cantik. Bersama dengan dedaunan yang basah terkena guyuran hujan, berdua dengan gadis itu dibawah sebuah payung, dan yang terakhir ... adalah senyuman gadis itu yang merekah secerah sinar mentari.

Gilgamesh yakin, hari ini akan menjadi hari yang tidak mungkin ia lupakan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top