Chapter 19
"Jangan pergi!"
Gilgamesh mengeratkan pegangan tangannya pada pergelangan Atha. Seperti sebelumnya, gadis itu hampir saja kabur. Layaknya tempo hari. Terkadang hal itu membuat Gilgamesh sedikit frustasi, karena pada akhirnya nanti pasti Atha akan menghindarinya.
Dan Gilgamesh bertaruh, mungkin kali ini Atha akan menghindarinya lebih lama dari sebelumnya.
"Iya, iya aku tidak akan lari!" Ucap Atha setengah protes. Sebelah tangannya yang bebas kini memegangi keningnya.
Gilgamesh menghela nafas panjang. "Kenapa kau selalu seperti ini, sih?"
Atha berusaha menghindari tatapan Gilgamesh, ia memalingkan wajahnya. "Kenapa, ya? Hmmm ... refleks, mungkin?"
Serius, Atha hampir saja mati konyol gara-gara serangan jantung!
"Kau membencinya?" Air muka Gilgamesh berubah muram, "Kalau begitu, maaf. Aku memang sering tidak dapat mengontrol emosiku jika ada kau. Terlebih sekarang kita hanya berdua disini."
Kedua ujung bibir Atha tertarik ke samping, membentuk seulas senyum yang sedikit terpaksa. Datar dan dingin. "A-aku mengerti. Ya, tidak apa-apa. Serius."
"Wajahmu menunjukkan yang sebaliknya." Gilgamesh mendengus sebal.
Atha membatu.
Sebenarnya sedang terjadi perang batin di dalam diri Atha. Jika diibaratkan sebagai sebuah program, hal ini setara dengan malfungsi. Terlalu banyak input yang tidak diperlukan masuk secara bersamaan dan membuat prosesornya hampir meledak.
"Bukan. Bukan begitu!" Serius, Atha tidak tahu menjelaskannya harus bagaimana, "Hanya saja, ya---"
Sekarang, Atha kehabisan kata-kata. Sialan. Sialan. Sialan.
Kenapa akhir-akhir ini dirinya selalu terperangkap dalam situasi seperti ini? Dipikir lagi ini sangat menyebalkan. Terlebih Atha tidak suka dengan sensasi yang ditimbulkan, karena itu bisa membebani pikirannya.
"Maaf..." hanya kata-kata itu yang berhasil meluncur dari bibir Atha.
Gilgamesh menghela nafas panjang. Tidak ada gunanya juga dia marah. Toh, memang Atha seperti itu. Ia hanya harus lebih bersabar menghadapinya.
"Hey, apa kau terbebani dengan pengakuanku waktu itu?"
Atha mengerjap kaget. Tebakan Gilgamesh hampir seluruhnya benar.
"Atha ... apa aku pernah menuntutmu untuk menjawabnya saat itu juga?" Kata-kata Gilgamesh melembut, "Aku tidak pernah, kan? Aku akui memang aku ini tidak sabaran, tapi---"
Gilgamesh menangguhkan kata-katanya, ia menatap Atha lekat-lekat. Masih banyak yang tidak ia ketahui soal gadis itu. Memang Atha tidak menyebutkan permasalahannya. Namun dari tatapan matanya saja, Gilgamesh tahu. Atha terlalu banyak menyembunyikan rahasia. Entah itu enggan atau ragu, Gilgamesh yakin hal itu sedikit sensitif.
Demi apapun, Gilgamesh hanya ingin Atha terbuka padanya. Menceritakan semua permasalahan yang membuatnya selalu ragu. Tapi, itu sulit. Itu karena Atha masih belum bisa memercayai orang-orang disekitarnya. Termasuk Gilgamesh.
"---aku tidak akan memaksamu."
Atha heran. Ada apa? Mengapa Gilgamesh melembut?
"Aku sadar, kau belum terlalu memercayaiku. Juga, mungkin termasuk teman-temanmu." Gilgamesh mencubit kedua pipi Atha pelan. Tidak sakit, malah cenderung geli.
"Ya, aku akan menunggu." Lanjutnya.
Atha membuka mulutnya, lalu karena ragu ia kembali urungkan. Mengepalkan tangan, ia mengumpulkan keberanian untuk tetap mengatakannya.
"Senpai ... kenapa kau menahan diri sampai seperti ini. Mengapa kau melakukannya untukku?"
Gilgamesh menghela nafas panjang. Mengerjap pelan, ia sedikit salah tingkah. Sebelah tangannya menggaruk tengkuk, "Itu karena, aku takut kau menghindariku."
"Hah?"
"Mungkin menyebalkan juga menunggu yang tidak pasti," Gilgamesh mendengus, "Tapi ada yang lebih membuatku takut. Aku takut kau menjauhiku bahkan mungkin tidak mau berada di dekatku lagi."
Frustasi? Atha tertegun.
Gilgamesh menggaruk kepalanya, gusar. "Aku memang menginginkan jawabanmu segera. Tapi jika jawabanmu sekarang berujung pada kau menjauhiku, lebih baik tetap seperti ini saja. Aku lebih tidak ingin kau menjauhiku."
Ingin rasanya Atha tertawa melihat ekspresi Gilgamesh yang gusar. Tapi ini bukan waktu yang tepat---
Jangan ngetawain anak Mamah Ninsun, Atha. Ingat, azab dari Emaknya lebih pedih!
"Maka dari itu ... terbukalah padaku. Ceritakan tentang dirimu. Semuanya. Aku janji tidak akan meninggalkanmu." Kata Gilgamesh.
"Yakin? Bahkan jika kau tahu kalau aku ini lebih buruk dari apa yang kau kira?"
"Aku tidak peduli."
Sekali lagi, Gilgamesh berhasil membuat Atha kembali berharap. Namun rasa ragu itu kembali datang, lagi dan lagi. Rasanya aneh. Sebuah kisah yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Atha, tanpa sadar malah menghampirinya secara langsung.
"Tidakkah kau terlalu berlebihan, senpai?" Atha menggigit bibir bawahnya, ragu. "Bukankah lebih mudah untuk menyukai orang lain yang juga menyukaimu dibanding dengan orang sepertiku yang masih setengah-setengah?"
Harus bagaimana lagi Gilgamesh menjelaskannya pada Atha. Jawabannya saja Gilgamesh tidak tahu. Mengapa Gilgamesh bisa menyukai Atha sampai seperti ini?
"Senpai?"
Gilgamesh nyengir, "Pertanyaanmu itu sulit. Ada bantuan tidak? Hint?"
"Lah?"
"Soalnya aku juga bingung, kenapa kau bisa membuatku jatuh bangun seperti ini?"
Atha tersenyum masam.
"Kau punya guna-guna, ya?" Gilgamesh mencoba mencairkan suasana.
"Guna-guna? Ingat aku hanya budak gacha."
Gilgamesh terkekeh. "Sudah. Yang jelas, kau tidak perlu bertanya lagi. Cukup seperti ini saja dulu."
"Ngomong-ngomong, kenapa kau tiba-tiba seperti ini?" Atha menatap Gilgamesh penuh selidik.
Tidak mungkin Gilgamesh menjawabnya dengan, "Itu karena aku kesal saat Charlemagne hampir saja bertemu denganmu." Gilgamesh membatin. Kekanak-kanakan sekali dia. Ditengah dilema-nya, Gilgamesh menemukan alasan yang lebih cemerlang dari rambut Merlin.
Emang Merlin cemerlang?
"Setelah festival ini sampai liburan musim panas, kelas tiga akan super sibuk dengan rentetan ujian dan tugas-tugas. Oleh karena itu, mungkin kita tidak akan bisa sering bertemu."
Atha melongo, "Hanya karena itu?"
Gilgamesh tersenyum, "Nah, aku hanya ingin membuatmu terus mengingatku sampai kita bertemu lagi nanti di liburan musim panas."
"Nge-bug dong?"
"Terserah." Gilgamesh gemas, ingin sekali ia mencuci otak Atha dan memasukkan virus cinta kedalamnya agar gadis itu lebih peka.
Atha tertawa, "Ya, aku akan mengingatmu. Ingatanku bagus, kok."
Gilgamesh mengangguk. Ia lalu menggoda Atha, "Kalau kau ingat, nanti jangan merindukanku, ya. Soalnya berat, kamu ngga akan kuat."
Lah, jadi Dilan?!
🗝
🗝
🗝
C h a p t e r 1 9
---Bitter---
🗝
🗝
🗝
"Mo-chan, dimana Galahad dan Mashu?"
Selesai pesta kembang api, para kawanan manusia yang tadinya berkumpul di lapangan mulai membubarkan diri. Oleh sebab itulah, Rei dan Mordred terpisah dari kelompoknya tadi. Saat ini pun mereka masih berdesakan membebaskan diri dari gelombang manusia yang mengarah ke pintu keluar akademi.
"Tidak tahu, Kay-niisan juga terpisah!" Jawab Mordred.
Rei tersenyum masam. Kalau saja tadi dia tidak tersedot ke dalam gelombang ini, mungkin sekarang ia sudah kembali di asrama. Namun karena ia tersedotlah, Mordred dan yang lain ikut panik hingga mereka menyusul Rei.
Mari ucapkan selamat pada Mordred karena ia adalah orang pertama yang menemukan Rei.
"Sekarang ayo kita tabrak paksa saja!" Kata Mordred.
"Hah? Caranya?"
Tanpa pemberitahuan lebih dulu, pergelangan tangan Rei sudah ditarik paksa oleh Mordred. Rei disini hanya bisa pasrah. Toh, seharusnya ia yang minta maaf. Masalah ini kan dibuat olehnya.
Walau memang tanpa sengaja.
Rei melirik kanan-kiri, berharap ia menemukan seseorang disana. Namun nihil. Kenapa semua wajah orang-orang yang tadi dilihatnya hampir sama? Oh, apakah ini karena matanya mulai bermasalah? Rabun ayam misalnya?
Rei mendengus. Pikirannya mulai absurd lagi.
Tiba-tiba, Mordred yang berjalan di depannya berhenti. Membuat Rei menabrak punggung Mordred dengan tidak indahnya. "Mo-chan?"
"Ah, itu Galahad!" Kata Mordred.
Rei memicingkan matanya, disana Galahad tengah berjalan bersama Mashu ke belakang gedung. Mau ngapain?
"Kok aku merasakan firasat buruk, ya?" Gumam Rei. Pasalnya seperti akan ada hal buruk yang terjadi.
Rei menarik tangan Mordred, "Mor, ayo ikuti. Aku punya firasat tidak enak."
🗝️
🗝️
🗝️
"Kau---"
Galahad menahan geram saat melihat dua orang menyebalkan yang berdiri dihadapannya. Mashu yang khawatir segera memegangi sebelah tangan Galahad, berusaha untuk meredam emosinya.
Mereka secara khusus dipanggil untuk menghadiri pertemuan singkat antara orang tua dan anak disini, di belakang gedung. Tadi sebenarnya Galahad ogah-ogahan menuruti perintah Lancelot, lebih baik ia kembali ke asrama dan tidur. Hari ini sangat melelahkan. Namun karena Mashu memaksa, Galahad jadi menyanggupi. Kadang ia tidak bisa menolak permintaan adiknya yang satu itu.
Namun sekarang, apa yang Galahad temukan?
Ingin rasanya ia meledakkan bom atom di depan kedua orang yang ada di hadapannya. Pasalnya, disana ada Lancelot dan Guinevere.
Nenek sihir Guinevere.
---Galahad sering menyebutnya demikian.
Guinevere tersenyum paksa, "Galahad ... aku bisa jelaskan---"
"Kau. Diam." Potong Galahad, "Sejak kapan aku mengizinkanmu memanggil namaku?"
"Galahad!"
"Oniichan!"
Mashu dan Lancelot berseru bak paduan suara. Tidak bisa dipercaya jika saking emosinya, Galahad bisa berkata seperti itu pada Guinevere.
"Oniichan, kumohon redam emosimu." Mashu berbisik, ia sebenarnya agak khawatir karena melihat perubahan di wajah Lancelot. Mungkin sebentar lagi ayah mereka murka.
Ck!
"Jadi, kalian mau mengatakan apa?" Galahad menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Lancelot memberi isyarat pada Guinevere untuk diam, biar ia sebagai ayah-nya yang menjelaskan. Lancelot tidak mau Guinevere terus-terusan menerima kebencian Galahad.
"Galahad, Ayah sudah memutuskan ini sejak lama. Kuharap kau bisa menerimanya." Lancelot berdeham, "Akhir liburan musim panas nanti ... Ayah sudah memutuskan untuk menikahi Guinevere."
---
"A-APA?!" Rei dan Mordred yang bersembunyi dibalik semak shock mendengar kata-kata Lancelot. Untung saja kata-kata spontanitas mereka tadi tidak terdengar, walau sebenarnya mereka tadi mengatakannya dengan cukup keras.
Pssst!
"Unbelievable." Bisik Mordred, "Drama ini bisa masuk nominasi piala Oscar."
"Lebih dari itu, kita harus diam. Nanti bisa-bisa ketahuan!" Rutuk Rei.
Hal yang---sangat---ditakutkan oleh Rei saat ini adalah: bagaimana jika Arthur tahu?
Rei tahu. Bahkan sangat tahu. Arthur menyukai Guinevere bahkan sejak ia masih berada di bangku SMP. Rei juga sudah kenyang mendengar celotehan Arthur ketika ia menceritakan soal Guinevere. Jujur saja, itu membuat hatinya terjun bebas jatuh ke dalam jurang derita.
Sekarang, jika Arthur tahu---
Tidak. Pasti cepat atau lambat Arthur akan tahu. Ini adalah berita besar. Berita soal perayaan yang sangat sakral tentang penyatuan dua insan yang berbeda.
Apa yang harus Rei lakukan untuk menghibur Arthur jika ia tahu soal ini?
Rei tidak bisa apa-apa.
Itu karena, yang bisa menghibur Arthur hanyalah Guinevere. Bukan seorang gadis urakan semacam Rei.
"Arthur..."
---
Galahad terperangah. Tidak, justru ia tidak tahu harus menanggapinya dengan ekspresi seperti apa. Mendadak waktu di sekitar Galahad seolah berhenti untuk beberapa detik. Kata-kata Lancelot tadi terus menggema di telinganya.
"Oniichan." Mashu mengguncang tubuh Galahad yang membatu, "Oniichan!"
Akhirnya kesadaran Galahad kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, sepertinya ia masih belum percaya dengan apa yang ia dengar. Sedetik kemudian, tubuhnya lemas. Jika tidak ada Mashu, mungkin ia sudah jatuh terjerembab diatas tanah. Menikah, katanya?
Menggelikan.
Tiba-tiba emosi Galahad kembali berubah. Ia sekarang tertawa seperti orang gila. Mashu yang melihatnya saja sudah ketakutan.
"Onii ... chan."
"Menikah katamu?" Galahad melirik Lancelot dan Guinevere dengan tatapan benci, "Jangan bercanda!"
"Galahad, aku---" ucapan Guinevere kembali dipotong oleh Galahad.
"Apa gunanya kalian memberitahu hal ini padaku? Apa untungnya?" Kata-kata Galahad terdengar penuh emosi, "Setelah apa yang pernah kau lakukan pada Ibu, sekarang kau memilih untuk menikahi wanita lain? Jangan harap aku peduli!"
Lancelot hampir saja kehilangan kendali jika saja Guinevere tidak menahannya. Akhirnya Lancelot kembali meredam emosinya, "Galahad, kau berhak tahu karena kau anakku!"
"Kau masih berani mengakui jika kau Ayahku?" Galahad memegangi kepalanya yang tiba-tiba pening, "Dulu kau meninggalkan kami tanpa alasan yang jelas, lalu ketika Ibu sakit pun kau jarang menjenguknya. Tiba-tiba seminggu setelah kematian Ibu kau dengan entengnya datang dan masih ingin mengakui aku sebagai anakmu?"
Jujur, dada Galahad terasa dihantam oleh benda yang sangat berat. Kenangan yang dulu pernah Galahad rasakan kembali muncul ke permukaan. Tentang bagaimana dulu Lancelot pernah meninggalkan Ibunya yang sedang sakit sampai akhirnya ia meninggal. Tentang Galahad juga yang pernah kehilangan sosok Ayah. Apa Lancelot lupa akan hal itu?
"Suka atau tidak suka, kau tetap anakku!" Lancelot berbicara dengan nada keras sampai-sampai Mashu yang mendengarnya merinding ketakutan. Baru kali ini ia melihat Ayahnya begitu marah.
Galahad kembali tersulut emosi, "Tidak! Kau sudah meninggalkan aku dan Ibu! Aku sudah tidak mau mengakui kau sebagai Ayahku!"
"GALAHAD!"
Guinevere memegangi tangan Lancelot lebih erat, "Galahad, kumohon beri Ayahmu kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Kau hanya salah paham."
Galahad mengepalkan kedua tangannya. Menahan amarah, Galahad kembali tersenyum. Namun kali ini senyumannya sangat berbeda, ada kebencian yang bercampur kesedihan disana.
"Jika itu pilihanmu, aku tidak punya hak untuk menghentikannya, bukan?"
Lancelot terperangah.
"Kau memilih dia ... berarti kau juga harus kehilangan aku."
Mashu menutup mulutnya, tidak percaya dengan kata-kata yang diucapkan oleh Galahad.
Bagi Galahad, memilih wanita lain itu artinya Lancelot sudah mantap untuk melupakan Ibunya---Elaine Corbenic. Setelah bertahun-tahun berlalu, Galahad sudah mulai menerima kenyataan jika Lancelot adalah Ayahnya. Namun di malam ini, semuanya hancur.
Untuk kedua kalinya, ia akan kehilangan sosok Ayah---
---Ayah yang mencintai Ibunya seorang.
Galahad tahu jika Lancelot memang kesepian setelah kematian Ibunya. Tapi mengapa Lancelot tiba-tiba memilih untuk menikah lagi? Galahad tidak mau. Ibunya hanyalah Elaine. Tidak ada yang boleh mengganti posisi Elaine.
"Jaga ucapanmu, Galahad." Kata-kata Lancelot begitu dingin bagaikan ribuan jarum yang menusuk dada Galahad.
"Ibuku, hanya Elaine Corbenic. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya." Galahad berkata setengah gemetar, "Kau boleh menikah lagi dengan wanita itu. Tapi jangan harap kau bisa membawaku masuk kedalam keluarga yang baru."
"Galahad---" Guinevere tidak pernah mengira akan berakhir seperti ini. Galahad benar-benar terlihat sangat rapuh.
"Kalau itu pilihanmu, silahkan hapus namaku dari daftar keluarga Du lac. Mulai hari ini, orang tuaku hanyalah Elaine Corbenic."
Lancelot sudah tidak tahan lagi. Kata-kata Galahad barusan sudah tidak bisa dimaafkan. Ia melepas pegangan Guinevere dan melangkah cepat ke arah Galahad---
Plak!
Lancelot menampar pipi Galahad dengan cukup keras, "Jaga ucapanmu. Tidak ada yang bisa menghapuskan hubungan darah kita!"
"Ayah..."
"Lancelot..."
Mashu tidak bisa menahannya lagi, ia bingung harus bagaimana. Antara Galahad dan Lancelot, keduanya adalah orang-orang yang ia cintai. Mereka berdua-lah yang telah menghadiahkan Mashu sebuah keluarga. Namun sekarang, keluarga yang begitu Mashu sayangi terpecah karena masalah ini. Karena seorang Guinevere.
"Galahad, biarkan aku yang menjelaskannya. Kau perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Tentang mengapa Lancelot meninggalkanmu juga Ibumu---"
"Tidak perlu." Galahad tertunduk lesu, "Aku sudah tidak peduli dengan keputusan kalian."
Galahad berbalik. Dengan langkah gontai ia berjalan menjauhi Lancelot dan Guinevere. Mashu segera mengejarnya.
Lancelot sendiri memandangi telapak tangannya yang memerah, ia tidak percaya telah menampar Galahad. Ia kesal. Sangat kesal pada dirinya sendiri. Andai saja ia lebih bersabar menghadapi Galahad, mungkin masalah yang pernah membuat hubungannya dengan Galahad merenggang akan bisa dihapus. Tapi sekarang?
Menjadi sangat buruk.
---
Galahad dan Mashu menghilang dibalik gedung. Karena tidak memerhatikan jalan, Galahad menabrak seseorang disana. Mendongak untuk menatap orang itu, Galahad semakin terkejut.
"Arthur ... Senpai?"
Arthur tersenyum aneh. Mungkinkah ia mendengar percakapannya tadi dengan Lancelot?
"Senpai---" Mashu ikut-ikutan terkejut melihat Arthur.
Tanpa sepatah katapun Arthur hanya menepuk puncak kepala Galahad dan Mashu, kemudian ia berjalan ke arah Lancelot dan Guinevere.
"Selamat malam, Lancelot-sensei." Kata Arthur.
Melihat sosok Arthur, Guinevere kembali harus merasakan kenyataan pahit. Ia belum siap untuk mengatakan soal pernikahannya pada Arthur. Tuhan, mengapa seperti ini? Apa Kau benar-benar membenciku?
"Arthur..."
Arthur tetap tersenyum, "Oh, ada Guine juga. Ngomong-ngomong maaf tadi aku menguping pembicaraan kalian."
Tatapan Arthur berubah suram, ia tetap tersenyum namun kesannya berbeda. Dingin. Bahkan benci.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat atas rencana pernikahan kalian."
Arthur kemudian melirik Guinevere. Pandangan Arthur saat itu membuat Guinevere membatu.
"Guine, kau kejam ya? Setidaknya jangan pernah membuat janji denganku jika akhirnya seperti ini."
Setelah mengatakannya, Arthur berlalu pergi.
Guinevere?
Menangis sejadi-jadinya di pelukan Lancelot.
🗝️
🗝️
🗝️
Arthur---
Yang ada di kepala Rei hanya tentang Arthur.
Tatapan dinginnya yang tadi ia perlihatkan pada Guinevere terasa sangat berbeda dan begitu menyakitkan. Hal itu membuat Rei semakin tidak bisa berpikir jernih.
Setelah badai tadi, Rei dan Mordred memutuskan untuk berpisah. Mordred menyusul Mashu dan Galahad sementara Rei mencari Arthur yang menghilang entah kemana. Ia tidak peduli dengan kedua kakinya yang sudah pegal, yang Rei khawatirkan adalah keadaan Arthur. Rei takut jika Arthur akan melakukan hal yang bodoh.
Malam semakin larut, keadaan di sekitar akademi sudah mulai sepi.
Rei sebenarnya sudah ingin pergi ke asrama. Mandi. Lalu rebahan diatas kasur empuk sampai ia terlelap tidur. Namun apa daya, rasa khawatirnya pada Arthur pada akhirnya mengalahkan semua keinginan Rei.
Rei berhenti sejenak di persimpangan jalan di dekat lapangan olah raga indoor. Ia melirik kanan-kiri, tidak ada seorangpun disana. Horor. Nafasnya terengah, dadanya serasa diremas karena kekurangan pasokan oksigen. Disaat itupula, tidak lama kemudian Rei menemukan seseorang yang tengah duduk di bangku taman, dekat dengan vending machine dan untungnya cahaya dari lampu tepat menerangi di tempat orang itu sedang duduk. Kalau saja tidak ada cahaya, mungkin Rei sudah mengurungkan niatnya untuk pergi kesana. Khawatir orang yang dimaksud bukanlah manusia, bahaya kalau itu mahluk astral. Nanti Rei bisa diculik.
Surai pirang yang tertimpa cahaya lampu taman semakin berkilau keemasan. Disana Arthur sedang termenung.
Apakah keputusan Rei tepat untuk menghampirinya? Entahlah, yang jelas sekarang kedua kakinya malah menuntunnya menuju Arthur.
Rei berdiri tepat dihadapan Arthur yang sedang tertunduk lesu.
"Arthur..."
Bahu Arthur naik turun dengan teratur seiring dengan tarikan nafasnya, ia kemudian mendongak.
"Rei, ternyata itu kau."
"Ka-kau tidak apa-apa, kan?"
Arthur terkekeh lemah, "Bohong kalau aku tidak apa-apa. Yang jelas, sekarang aku hanya ingin menyendiri."
Rei bingung harus mengatakan apa lagi. Ekspresi Arthur yang dilihatnya terlalu kompleks untuk digambarkan.
"Arthur, ayo kembali ke asrama. Kau harus istirahat. Kau pasti lelah." Rei berusaha untuk tersenyum.
Arthur tidak menjawabnya. Kedua tangan Arthur terkepal. Keheningan menyelimuti Rei dan Arthur.
"Rei ... kau mendengarnya juga, kan? Guine dan Lancelot---"
Rei memeotongnya cepat, ia tidak mau mendengar Arthur melanjutkan kata-katanya, "Aku tahu. Aku tahu karena tadi aku tidak sengaja mendengarnya."
Arthur terkekeh.
"Ironis bukan? Padahal Guine pernah berjanji padaku jika dia akan selalu bersamaku. Tapi kenyataannya ... dia malah..."
Dada Rei terasa nyeri mendengar kata-kata Arthur. Arthur sangat menyukai Guinevere. Bahkan keberadaan Rei disekitarnya malah dianggap sebagai serangga belaka. Jatuh-bangun Rei berusaha membuat Arthur melihat-nya, namun nyatanya sepasang mata Arthur hanya terus terfokus pada Guinevere tanpa melihat Rei sedikitpun. Sedikitpun.
"Arthur, ayo kembali." Rei memegang sebelah tangan Arthur dan menariknya pelan.
"Kau kembali duluan saja, ya. Aku masih ingin disini."
Rei menggigit bibir bawahnya. Wajahnya berubah murung. Rei benci Arthur yang seperti ini.
"Kau tidak seperti biasanya, Arthur..." gumam Rei pelan.
"Menggelikan bukan?" Arthur tertawa, "Biarkan saja aku disini. Aku hanya ingin meratapi kebodohanku saja."
"Kau memang bodoh, Arthur..."
Sialan. Rei kelepasan mengatakannya. "Ma-maaf, bukan itu maksudku." Rei menutup mulutnya dengan gugup.
Arthur berdiri dari tempat duduknya secara perlahan, membuat Rei semakin mematung. Apakah Arthur marah?
Alih-alih marah, dugaan Rei salah total. Kedua tangan Arthur malah merengkuh Rei kedalam pelukannya. Sepasang mata Rei terbelalak. Jujur, dulu Rei dan Arthur memang sering berpelukan---berpelukan antar saudara. Dan itu tidak lebih. Arthur melakukannya untuk menenangkan Rei yang selalu menangis karena dijahili oleh Gawain dan Tristan. Pelukan yang hangat.
Namun sekarang, mengapa rasanya menyakitkan? Kedua mata Rei bahkan berkaca-kaca. Ia tidak boleh menangis. Jangan!
"Sejak dulu, kau yang selalu ada disampingku jika aku sedang bersedih. Terimakasih, Rei. Aku harap selamanya akan tetap seperti itu. Kau adalah keluargaku yang berharga..."
Deg!
Rei tahu. Seperti apapun, walau waktu terus bergerak, musim berganti dan tahun-tahun berlalu, keberadaan Rei di dunia milik Arthur tidak lebih dari seorang adik perempuan-nya. Itu selalu membuat Rei sangat kesal. Mengapa Arthur tidak mengerti?
Kali ini pun, sama.
Rei sudah bosan mendengarnya.
Guinevere. Guinevere. Mengapa selalu orang itu yang mendapat perhatian lebih dari Arthur?
"Hey ... Arthur." Suara Rei terdengar serak.
"Hm?"
Rei melepaskan pelukan Arthur. Ia mendongak, menatap Arthur lekat-lekat dengan sepasang matanya yang sudah hampir memuntahkan air mata.
"Bisakah kau melupakan Guinevere?"
Oh tidak! Apa yang tadi Rei katakan?
Arthur terperangah. Membeku.
Sedetik kemudian, Rei tersenyum. Entah bagaimana senyuman yang dibentuk oleh Rei, ia tidak peduli. Suaranya semakin terdengar serak---
"Kenapa kau tidak pernah melihatku seperti kau melihat Guinevere?"
Rei terkejut dengan apa yang tadi ia katakan. Ia tidak berkata lagi setelah itu. Air matanya mulai mengalir. Ia terisak pelan. Lalu tanpa menunggu Arthur untuk berucap, Rei segera berlari pergi.
Kata-kata Rei terus terngiang di telinga Arthur.
Kilas balik tentang 'Rei' yang ada diingatan Arthur terputar kembali. Memori-memori yang mereka lalui sejak pertama kali mereka bertemu, saat di Camelot lalu hingga malam ini. Arthur memegangi kepalanya yang terasa overload.
"Begitu, ya---"
Arthur kembali menghempaskan tubuhnya diatas bangku taman.
"Rei, kau..."
🗝
🗝
🗝
Gilgamesh melirik kanan-kiri, depan-belakang dengan lirikan ala seorang detektif. Entah apa yang dipikirkan olehnya, Atha tidak peduli. Senpai emas absurd anaknya Mamah Ninsun sepertinya salah obat. Overdosis sepertinya. Tingkahnya membuat geleng-geleng kepala. Kalau saja Mamah Ninsun melihatnya, mungkin ia akan segera membawa Gilgamesh mengunjungi terapis sesegera mungkin.
Psikiater.
Atau yang lebih parah, membawa Gilgamesh ke hadapan Pendeta Chaldea---yang nyatanya sesat---untuk diberi terapi mapo tofu.
"Ngapain?" Atha yang sudah tidak tahan untuk tidak peduli akhirnya mengungkapkan pertanyaan yang ada dibenaknya.
Gilgamesh mendengus, "Memastikan tidak ada serangga disekitar sini."
"Heh? Senpai takut digigit nyamuk?"
"Nyamuk? Jangan membuatku tertawa."
"Kalo takut nyamuk, mending mandi pake pestisida satu bak aja, senpai."
"Ayo, tapi kau juga ikut!"
Atha menatap Gilgamesh horor, "OGAH!"
Merinding. Sumpah merinding!
"Kira-kira aja mandi berdua! Memangnya aku apa?!" Protes Atha.
Gilgamesh menatap Atha dengan tatapan bego, ia masih memproses apa yang tadi dikatakan. Beberapa detik kemudian, ia memalingkan wajahnya. Anjir, kelepasan!
"O-oke. Maaf. Itu tidak sengaja kuucapkan."
Atha menyipit kesal. "Ternyata benar, kau perlu di ruqyah."
"HAH?!"
"Ruqyah di tempat Kotomine-san mujarab kayaknya."
"Mujarab mbahmu! Adanya ususku melepuh."
"Gapapa. Jadi bisa meringankan peran bakteri disana."
---terus aja gitu sampai mulut berbusa.
Bugh!
Tiba-tiba Gilgamesh oleng kedepan. Punggungnya terasa ditabrak oleh seekor banteng. Gugalanna? Nggak mungkin. Banteng itu sudah dihilangkan Ishtar. Beruntungnya meski oleng, Gilgamesh masih bisa berdiri. Strong boy.
"Zassh---"
Api kemarahan Gilgamesh kembali padam saat melihat seonggok mahluk yang tadi menabraknya. Atha sendiri terkejut hingga ia terdiam untuk beberapa detik.
Rei disana. Menangis.
"Rei!!!!" Suara Gilgamesh dan Atha bersatu bak paduan suara.
"Ke-kenapa menangis? Kau terluka? Matamu kelilipan kembang api?"
Oke. Atha mulai konslet jika gugup.
"Kelilipan kembang api adanya dead, Atha sayang~" Gilgamesh gemas.
Atha menatap Gilgamesh horor, "Jyjyc."
"A-Atha..." Tiba-tiba Rei memeluk Atha dan menangis dipelukannya.
Bagaimana ini? Apa yang harus Atha lakukan? Ia tidak punya keahlian untuk menghibur orang yang sedang menangis. Quotes-nya payah, bahkan jika itu digunakan untuk menghibur, adanya malah membuat orang tersebut lebih terpuruk. Quotes Atha itu bagai racun mematikan.
"Re-Rei..." Atha melirik Gilgamesh yang berdiri di sampingnya.
Gilgamesh menghela nafas panjang. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada gunanya jika berkata pedas. Baiklah, ia akan lebih bersahabat.
"Chibi, kenapa tiba-tiba menangis seperti itu?" Tanya Gilgamesh.
Rei menggeleng.
"Rei, tidak apa-apa. Jika itu bersifat rahasia, kami berdua bisa menjamin hal itu tidak akan bocor." Kata Atha.
---
------Akhirnya, Rei mau bercerita.
Ia menceritakan seluruh kejadian yang ia lalui dimulai sejak berakhirnya pesta kembang api. Saat ia dan Mordred tidak sengaja menguping pembicaraan antar keluarga. Saat ia tahu alasan Guinevere datang ke Akademi. Saat mengejar Arthur. Lalu saat ia secara blak-blakan mengatakan Arthur bodoh dan memaksa Arthur untuk melihatnya sebagai seorang gadis.
Atha dan Gilgamesh mendengarkannya dengan sabar. Mereka tidak menyela sedikitpun agar Rei merasa lebih nyaman.
"Eto ... ini kompleks ya? NTR level EX." Gumam Atha.
Gilgamesh menggaruk belakang kepalanya, "Si bodoh itu, dasar!"
"Atha, aku harus bagaimana? Aku tidak sengaja mengatakannya pada Arthur. Bagaimana jika ia semakin merasa terpuruk karena mendengar ucapanku?" Rei mengelap air matanya dengan sebelah tangan.
Atha tersenyum tipis, "Kau masih bisa berkata seperti itu walau sedang patah hati? Pikirkan dulu dirimu. Kenapa masih memikirkan orang lain yang jelas-jelas tidak memikirkanmu?"
"Aku tahu..." Rei kembali terisak, "Walau begitu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Arthur---"
Puk!
Gilgamesh menepuk puncak kepala Rei pelan, "Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."
"Sen ... pai?"
"Biarkan dia sendiri dulu. Jangan dekati dia. Dia memang terlalu bodoh dalam urusan seperti ini." Lanjut Gilgamesh.
Tumben waras. Batin Atha bergejolak.
"Tapi..."
Gilgamesh tersenyum, "Arthur butuh waktu untuk berpikir. Kau juga tidak salah mengungkapkan hal yang terus-terusan mengganjal didalam hatimu. Itu tidak apa-apa."
Rei kembali memeluk Atha, "Aku takut Arthur membenciku..."
"Tidak akan. Percayalah padaku." Kata Gilgamesh.
Gilgamesh melirik Atha sejenak, lalu tatapannya kembali pada Rei.
"Arthur butuh waktu untuk membuka matanya lebih lebar lagi. Bertahun-tahun ia terlalu fokus pada satu titik. Guinevere. Jika ia sudah menemukan kuncinya, dia pasti bisa melihatmu."
"Tapi, aku hanya---"
Atha menepuk-nepuk punggung Rei, "Jangan pesimis. Rei yang kutahu bukanlah Rei yang seperti ini. Kau harus ceria."
"Nah, kau dengar kata-kata Atha!" Gilgamesh menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "Kau hanya perlu bersabar."
Atha tersenyum. Tumben Gilgamesh penuh barokah.
Meski masih ragu, entah kenapa kata-kata Atha dan Gilgamesh rasanya sangat hangat hingga membuat perasaan Rei yang gelisah menjadi lebih tenang. Mereka menguatkan Rei. Suatu hal yang diluar dugaan.
Gilgamesh yang di cap sebagai orang menyebalkan ternyata mempunyai sisi yang baik juga. Lalu Atha yang tadinya selalu mengejek malah menjadi figur sahabat impian.
Aneh, ya.
"Ayo kembali ke asrama!" Ajak Atha.
"Kuantar kalian berdua, ya!" Kata Gilgamesh.
Rei menyusut air matanya dengan baju Atha, "Ayo."
Heh?!
HEHHHH?!----
"Rei, kenapa ngelap ingus ples air mata pake baju aing? Pake baju sendiri napa!!!?"
Tadi melow, sekarang ngeselin. Sumpah, Atha menyesal sudah berbaik-hati pada Rei. Gilgamesh sendiri malah diam, sedang berusaha menahan gejolak hawa nafsu.
Nafsu ngakak fuhahahahahaha nista lebih tepatnya. Khawatir kalau dia kelepasan ngakak, malah dijawab sama Nyai Khunty. Udah malem. Waktunya mereka beroperasi, gaes!
Rei melirik Gilgamesh.
"Senpai, terimakasih." Rei tersenyum.
Gilgamesh mengangguk.
Lalu pandangan Rei tertuju pada Atha yang sedang menatap jijik baju yang ia pakai.
Melirik kembali Gilgamesh, Rei tersenyum manis---
"Kudo'akan semoga Atha cepat-cepat menyadari perasaannya padamu, ya! Senpai!"
🗝
🗝
🗝
Lama-lama ni FF ganti judul jadi Unlimited NTR Works dah 😩
Dengan demikian arc festival ditutup.
Hwhwhwhhwhwhw
Nantikan kelanjutannya dengan masalah lain yang tidak kalah kompleks. Banyak yang mau keungkap.
Bukan cuma soal Atha doang, ampir semua chara yang "punya masalah" bakal ke reveal satu per satu.
Maafkan FF ini sangat anu :"v
Makasih Buat semua reader yg udah mampir ya~~
Ki Murangen 👌
^baru belajar dikit bhs Sumer yg keinget banget cm ini. 😂🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top