Chapter 18

Guinevere menatap pemandangan di luar jendela, walau masih masuk jam istirahat, keadaan disana masih terlihat ramai. Riuh ramai dari para pengunjung maupun siswa akademi tidak henti-henti terdengar. Hebat bukan? Padahal Guinevere sedang di lantai tiga gedung. Dasar anak muda, semangat mereka tidak perlu diragukan lagi. Lihat saja, bahkan terik matahari tidak menyurutkan semangat mereka untuk meramaikan festival.

Setelah puas melihat suasana di luar gedung, Guinevere beralih mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Sebuah ruangan kosong yang hanya ada dia sebagai penghuninya. Tidak lama kemudian, tatapannya tertuju pada satu titik di pojok ruangan, disebuah meja kerja yang bersebelahan dengan rak buku. Guinevere melangkahkan kakinya, lalu berhenti tepat didepan meja.

Tangannya terulur meraih sebuah figura berukuran sebesar buku tulis yang terpajang diatas meja, posisi figura tersebut menghadap langsung ke arah kursi. Guinevere yakin si pemilik ruangan ini memang sengaja meletakkannya disini agar ia bisa selalu memandangi foto itu.

Guinevere tersenyum.

Berulang kali melihat foto yang ada di figura tersebut saja selalu membuat hati Guinevere menghangat, bahkan ia terbawa suasana hingga bibirnya membentuk seulas senyuman tipis.

Di dalam foto itu ada dua---tidak, tiga orang yang bisa dikatakan sebagai keluarga kecil. Ada sosok ayah, ibu juga buah hati mereka. Tidak ada ekspresi lain yang tergambarkan selain kebahagiaan disana. Ya, kebahagiaan karena mereka telah dianugerahi seorang pangeran kecil oleh Sang Pencipta. Tepat di pojok kanan foto terdapat tulisan tangan yang ditulis dengan tinta putih---

"Peu importe la gravité de votre situation, votre famille est votre endroit pour réparer tous les dégâts que vous avez causés."

---ditulis dalam bahasa Perancis.

Ah ... Guinevere jadi terbawa suasana. Kesadarannya ditarik oleh sebuah memori kecil di masalalu. "Lady Elaine ... sudah hampir sembilan tahun kau pergi meninggalkan kami." Bisiknya pelan.

Kesadaran Guinevere kembali saat ia mendengar suara derap kaki dari arah koridor yang mendekat---dengan sedikit tidak sabaran, atau mungkin bisa dikatakan setengah berlari. Semakin mendekat, lalu tepat didepan pintu ruangan ini suara itu berhenti. Dengan tidak sabaran, orang itu membuka pintu.

"Guine, kenapa kau tiba-tiba---" ucapan orang itu tercekat.

Guinevere tersenyum, "Selamat siang, sensei. Eh, tidak." Guinevere menggeleng, "Selamat siang, Lancelot."

Lancelot---siapa lagi jika bukan Lancelot du Lac. Lancelot terkejut karena tadi tiba-tiba mendapat pesan jika Guinevere ada di akademi, parahnya gadis itu sudah ada di ruangannya. Tanpa basa-basi, setelah mendapat pesan itu Lancelot segera melesat pergi menuju ke kantornya. Padahal tadi ia sedang bertugas mengawasi acara di panggung pentas.

"Terkejut?" Ucap Guinevere.

"Tentu saja, astaga!" Lancelot menghela nafas panjang, "Kenapa tidak mengabari?"

Guinevere tidak menghiraukan kata-kata Lancelot. Ia mengeluarkan selembar kertas bercorak indah dari dalam tas selempang yang ia bawa lalu menunjukkannya pada Lancelot. "Aku tidak sabar memberitahumu soal ini..." kata Guinevere.

"Kau..." Lancelot menatap kertas tadi yang kini sudah berpindah ke tangannya lalu Guinevere bergantian, "Kau ... lulus?"

Guinevere tersenyum bahagia, pipinya merona merah, "Ya, sidang skripsi baru saja selesai ... lalu aku dinyatakan lulus."

"Astaga! Kenapa kau tidak bilang kalau hari ini sidang?"

"Aku hanya ingin membuat kejutan." Guinevere menatap lurus Lancelot yang ada di hadapannya, "Karena aku tidak sabar memberi tahumu soal ini, aku jadi nekat pergi ke akademi. Untuk menemuimu ... dan juga mungkin Galahad dan Mashu."

Ekspresi Lancelot segera berubah setelah Guinevere menyebutkan nama Galahad dan Mashu. Ada beberapa hal yang mengganjal sampai-sampai tidak bisa Lancelot ungkapkan mengenai kedua anaknya, terlebih untuk Galahad.

"Kau ... belum mengatakan itu pada mereka?" Tanya Guinevere.

Lancelot menggelengkan kepalanya, "Aku harap Galahad mendengarkan kata-kataku. Namun ternyata itu sulit."

Guinevere sudah menduganya. Sejak dulu hubungan ayah-anak antara Galahad dan Lancelot memang buruk. Ia malah tidak mengira jika hingga saat ini hubungan mereka masih belum berubah. "Apa keputusan kita ini kurang tepat, ya?"

"Tidak ada yang kurang tepat, Guine." Lancelot mengelus puncak kepala Guinevere. Ini adalah kebiasaannya untuk menenangkan Guinevere yang resah.

"Kali ini mungkin aku akan lebih egois."

💐

💐

💐

C h a p t e r 1 8
---...of Disaster---

💐

💐

💐

"Guinevere..."

Rei buru-buru bersembunyi dibalik punggung kay. Sementara Mordred, Galahad dan Mashu seakan melupakan eksistensi Guinevere karena tidak ingin berurusan dengannya---lebih tepatnya, menolak untuk berurusan dengan Guinevere.

"Yo, Guine!" Kay mencoba mencairkan suasana. "Kupikir kau tidak akan kemari." Lanjut Kay sedikit basa-basi.

Tidak ingin mood-nya hancur, Galahad segera melakukan sesuatu. "Maaf, kami tidak bisa lama-lama disini. Jadi permisi." Galahad menarik tangan Mashu berbalik menjauhi Guinevere.

"Maaf, Guinevere-san. Sampai jumpa!" Ucap Mashu.

"Kami juga izin pergi. Ayo Enkidu-senpai, Atha!" Ucap Mordred.

Enkidu dan Atha tidak berani protes ataupun mengutarakan pendapat mereka. Melihat dari air muka dan situasi saat ini saja mereka tahu, keberadaan Guinevere saat ini adalah hal yang tidak diharapkan.

"Ah, benar juga. Kami juga." Kay meraih tangan Rei, "Sampai jumpa nanti, Guine. Selamat menikmati festival." Lanjutnya.

---dan berakhirlah Guinevere berdiri seorang diri.

Ia sangat menyedihkan.

Tidak disangka sambutan mereka untuknya akan seperti itu.

Guinevere tersenyum pahit, mengolok dirinya yang seakan hina dihadapan mereka.

"Sabarlah, Guine..."

💐

💐

💐

"Itu Alice!!! Whoaaaaa!!!!"

"Tuan Kelinci! Tuan Cheshire!"

"Tweedledee! Tweedledum!"

---penyambutan yang sungguh luar biasa dari tiga bocah ubanan yang entah dari mana asalnya terdampar di kedai klub koran.

Enkidu membatin, "Diantara semuanya, hanya aku saja yang tidak mereka kenali."

Atha tersenyum masam, "Sabar, senpai."

Ingin tertawa sih, tapi tidak etis. Enkidu yang sebenarnya sudah mirip dengan si Ulat---bahkan rambutnya saja hijau---tidak dikenali oleh ketiga bocah tadi. Di dongeng Alice ternyata si Ulat tidak terlalu terkenal, padahal perannya kan lumayan bagus. Ulat yang bijaksana.

"Akhirnya kalian datang juga." Holmes tiba-tiba muncul di belakang ketiga bocah tadi. "Kerja bagus!"

"Terimakasih, sensei." Seru Mashu dan Mordred.

"Ngomong-ngomong, mereka siapa?" Galahad masih penasaran dengan ketiga bocah tadi.

Holmes tersenyum, "Oh iya, kalian belum kenal dengan mereka ya?"

Enkidu menimpali, "Mereka kouhai kita dari klub koran SMP Chaldea."

"He? SMP?" Rei sewot. Masalahnya dia tidak bisa terima kenyataan kalau ketiga gadis tadi lebih manis dari pada dirinya.

Kay yang mengerti pikiran Rei mulai mengompori, "Mereka lebih terlihat berseka daripada dirimu."

Njir. Jahad.

Andrivete segera mencubit pinggang Kay hingga pemuda itu kesakitan. Antara geli dan sakit bercampur jadi satu. "Kay, berhenti mem-bully Rei."

"Maaf, kami belum memperkenalkan diri." Ucap seorang gadis bersurai pirang. Ia muncul dibelakang Holmes. "Aku ketua klub koran dari SMP Chaldea, namaku Abigail Williams."

"Salam kenal." Seru Mordred.

"Aku tidak tahu kalau kalian dari SMP Chaldea. Maaf." Mashu terkekeh.

"Salam kenal juga!" Ucap Galahad.

"Namaku Alice." Ujar bocah berkepang dua. Lalu disebelahnya, si bocah rambut pendek dengan plester di wajahnya ikut memperkenalkan diri, "Aku Jack."

Perhatian Atha kemudian tertuju pada satu bocah lainnya. Dilihat sekali saja Atha sudah dapat menebak siapa bocah ini. "Kau ... adiknya Jalter dan Jeanne, ya?"

Si bocah tersenyum lebar dan mengangguk cepat, "Namaku Lily."

Sudah kuduga. Atha membatin. Perlukah Atha bertanya pada kedua orang tua Jalter mengapa ketiga anaknya bisa memiliki wajah yang sama? Mungkin saja mereka punya cetakan khusus untuk ketiga anaknya tersebut. Yang bisa membedakannya hanya sifat mereka saja.

Masih sedikit membatin, suara lain yang tidak kalah cempreng-nya dari Rei mengganggu perhatian mahluk-mahluk yang ada disana, "Obaue! Siapa dia? Boleh kubawa pulang?"

Atha kicep, "Siapa lagi?"

Bocah ini jidatnya lebar.

"Chacha, dia bukan untuk dibawa pulang." Nobu dengan sigap segera menyentil jidat bocah itu hingga memerah.

Chacha setengah merengek, "Kupikir bisa. Padahal aku ingin menjadikannya sebagai butler pribadiku!"

Nobu geleng-geleng kepala, "Astaga!"

Okita menghampiri Atha dan yang lain. Ia lalu menjelaskan pada Atha siapa bocah tadi, "Itu keponakan Nobu, namanya Chacha. Dia murid tahun pertama SMP Chaldea."

"He? Aku baru tahu Nobu-senpai punya keponakan." Ucap Mordred.

"Maaf ... membuat berisik." Abigail menundukkan kepalanya berkali-kali.

"Tidak masalah kok, tenang saja. Tenang." Kata Mashu.

Pasti ngebatin, ya. Punya anak buah yang rata-rata over seperti mereka. Maklum bocah SMP. Tapi, klub koran SMP dan SMA Chaldea tidak jauh beda sih. Toh ada biang onar juga---banyak!

Enkidu melihat Shamhat yang sedang membawa nampan dari kejauhan, ia segera menghampirinya dan membantu gadis itu membawa pesanan para tamu.

"Apa tadi disini ramai?" Tanya Mordred.

Okita mengangguk, "Kami sedikit kewalahan. Bahkan aku dan Nobu hampir terus-terusan harus berdiri karena banyak yang meminta kami untuk berfoto."

"Nah, berhubung kalian sudah ada disini. Ayo kita foto bersama di booth Isao." Ujar Holmes.

Okita seakan baru ingat setelah Holmes mengatakan hal itu, "Benar juga! Mumpung keadaan disini belum terlalu ramai, ayo kita berfoto!"

"Tadi pagi kan sudah, senpai." Kata Galahad.

"Pagi ya pagi! Ayolah, kita foto sebanyak-banyaknya." Okita tersenyum lebar, "Bagi kelas tiga, ini adalah tahun terakhir mereka di akademi. Jadi sebagai kouhai, kita harus membuat kenangan yang
paling bagus untuk mereka."

Mashu, Mordred dan Rei membulatkan bibirnya.

"Kalau begitu, ayo. Tapi ... Isao-senpai bagaimana? Dia tidak bisa terfoto karena dia juru fotonya." Kata Rei.

Kay mengajukan diri, "Kalau tidak keberatan, biar aku saja yang foto kalian. Bagaimana?"

Menoleh ke arah Kay, semua kicep.

"Tenang saja, Kay kan dulunya mantan anggota klub fotografi." Kata Andrivete.

"Ah, benar juga! Aku baru ingat kalau Bang Kay kan mantan anggota klub fotografi. Dasar aku, pelupa! Padahal dulu aku sering menemani Bang Kay untuk mencetak hasil fotonya." Rei geleng-geleng kepala. "Tapi ngomong-ngomong kenapa hasil foto Bang Kay didominasi oleh foto Andri---"

Kay buru-buru membungkam mulut Rei. Memalukkan. Nanti kalau aku ketauan bucin Andrivete gimana?

"Sudah, jangan dilanjut."

Galahad, Mordred dan Mashu menahan tawa. Soalnya Kay yang terkenal sangar dan agak barbar itu ternyata lemah jika berurusan dengan Andrivete.

"Jadi, foto apa itu?" Andrivete tersenyum manis---namun mengintimidasi.

"Bukan foto apa-apa." Kay membuang muka.

"He ... foto gadis-gadis hasil kekerdusanmu ya?"

"Tolong hentikan pembahasan ini." Kay tidak kuat, serius.

Sepertinya mulai sekarang kebiasaan Andrivete bertambah satu: mengerjai Kay.

---
-----

Seolah kejadian tadi hanya dianggap sebagai iklan tak bermutu, baik Rei, Mordred, Mashu dan Galahad, enggan untuk membahas soal Guinevere. Begitupula Kay dan Andrivete yang menyesuaikan pembicaraan agar tidak mengungkit kembali soal tadi.

Sekarang malah mereka sedang menggila di klub koran. Saling ledek antara Kay dan Rei sudah masuk di babak ketiga. Atha tidak habis pikir, sebanyak apa tabungan kata-kata mutiara diantara Rei dan Kay sampai bisa saling balas mem-bully seperti itu. Dari sini Atha berani menyimpulkan jika keahlian julid Rei adalah bakat yang diwariskan dari Kay.

"Atha!" Panggil Enkidu.

Atha menoleh, "Ya?"

"Bantu aku mengantar ini, ya." Enkidu memberikan sebuah keranjang piknik berukuran sedang pada Atha.

"Apa ini, senpai?"

Enkidu tersenyum, "Hadiah untuk Salieri-sensei."

Atha merasa bodoh sampai-sampai lupa akan hal ini, ia tepuk jidat. "Astaga aku hampir lupa! Aku belum berterimakasih pada Salieri-sensei."

"Nah, kalau begitu, lebih baik sekarang kita ke tempat Salieri-sensei. Kau bawa keranjang itu sementara aku membawa gelato."

"Gelato?"

"Kenapa?"

Atha mengerjapkan mata, "Memang Salieri-sensei suka gelato?"

Enkidu membisikkan sesuatu pada Atha, "Ini rahasia. Holmes-sensei yang mengatakan kepadaku kalau Salieri-sensei itu sangat suka gelato. Dia seorang maniak."

Tidak bisa dipercaya. Atha tersenyum datar, orang ngeselin sekelas Salieri suka makanan manis? Tau gini, dulu suap aja langsung pake gelato. Beres kan, masalahnya.

"Baiklah, ayo senpai."

Enkidu tiba-tiba tersenyum. Aneh. Atha merinding dibuatnya. "Senpai, sehat?"

"Ngomong-ngomong, ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu. Tidak apa, kan?" Kata Enkidu.

Atha mengerjap. Ada apa gerangan dengan Enkidu?

"Masalah apa, ya?"

"Tenang saja, bukan hal yang terlalu sensitif. Jika sekiranya kau tidak ingin menjawabnya pun tidak apa."

Sempat ragu, Atha melirik Enkidu sejenak. "Oke."

💐

💐

💐

Selepas meninggalkan klub dan segala kehebohan didalamnya yang sudah layak disamakan dengan sebuah chaos, Atha dan Enkidu sedang berjalan santai menyusuri jalan yang lumayan tidak terlalu ramai oleh pengunjung.

Sepertinya mayoritas para pengunjung memadati area depan dimana banyak stan yang menjual camilan, selain itu disana cukup strategis untuk melihat perform di atas panggung. Hari yang panas mendorong orang-orang untuk menghemat energi dengan cara mengurangi aktivitas. Hanya ungkapan berkedok modus. Bilang aja mager.

"Ngomong-ngomong ... tadi aku sedikit terkejut." Ucapan Enkidu mencairkan suasana.

Atha melirik Enkidu lewat ekor matanya, "Memang kenapa?"

Enkidu tersenyum masam, "Kau lihat orang tadi, kan? Ituloh ... Guinevere."

"Memang kenapa?"

"Aku hampir tidak mengenalinya jika tadi Rei tidak menyebutkan namanya."

Atha mengangkat sebelah alis matanya, "Serius, apa lagi aku yang tidak tahu itu siapa."

Enkidu terkekeh pelan, "Ya ... sebenarnya tidak terlalu penting, sih. Eh, tunggu. Mungkin sekarang baru bisa disebut penting."

Oke, Atha mulai bingung dengan kata-kata Enkidu yang semakin berbelit seperti teka-teki silang. Seseorang tolong bantu Atha untuk paham!

Enkidu menengadah ke atas langit, "Pertama kali aku tahu Guinevere adalah saat melihat isi ponsel Arthur. Dia punya sedikit koleksi foto orang itu."

---Enkidu menyamarkan bahwa setidaknya ada satu folder berisi foto Guinevere.

"Eh?" Atha mengernyit, heran, "Arthur-senpai? Dia stalker? Atau---"

Ucapan Enkidu memotong kata-kata Atha, itu terdengar seperti petir di siang bolong. "Arthur menyukai orang itu, Guinevere."

Atha membelalak. Rei tidak pernah mengatakan soal ini!

"A-apa?!"

Enkidu mengangguk, "Yah ... awalnya akupun tidak percaya. Perbedaan umur mereka terpaut enam tahun."

Jadi, apakah ini bisa Atha artikan sebagai "faktor penyebab Rei selalu galau?"

Saat membicarakan soal Arthur, Rei selalu mengalami perubahan emosi yang cukup drastis. Umpamanya seperti dilambungkan ke atas langit lalu dijatuhkan secara tiba-tiba ke atas tanah. Emosi Rei naik-turun. Tadinya berbunga kemudian berubah menjadi putus asa. Lalu kata-kata Rei terlintas di benak Atha---

"Arthur tidak lebih menganggapku sebagai seorang anak kecil. Sebagai adiknya."

Atha terperangah. Begitu, ya.

Enkidu melirik Atha yang berjalan di sampingnya, "Sekarang kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?"

Atha mengerjap, kesadarannya dipaksa untuk kembali. "A-ah ... itu, aku baru menyadari sesuatu. Ini soal Rei..."

Enkidu tersenyum lemah, "Daya berpikirmu sangat lambat jika menyangkut hal seperti ini, ya?"

"Maaf. Karena aku tidak terbiasa berpikir soal hal ini."

"Bukan tidak terbiasa..." Enkidu menghela nafas, "Kau hanya menolak untuk memikirkannya."

Atha mengerjap tidak percaya.

"Benar, kan? Kau hanya tidak mau memikirkan hal seperti itu, karena emosi mu bisa terganggu."

"Aku tidak---"

"Atha, kenapa kau mengekang perasaanmu sampai seperti itu?"

Belum dijawab, Enkidu terus melayangkan pertanyaan susulan pada Atha. Tanpa ingin memberi gadis itu celah untuk menjawabnya. "Apa kau tidak lelah menahan keinginanmu sendiri?"

Memerhatikan Atha yang terus terdiam, Enkidu menghela nafas panjang. "Jika kuperhatikan, aku sedikit mulai mengerti seperti apa dirimu."

Atha mati kutu.

"Dibandingkan dengan dirimu, kau lebih peduli pada permasalahan orang lain." Kata Enkidu.

Atha berhenti melangkah, diikuti oleh Enkidu yang sekarang berdiri didepannya.

"Atha..." Enkidu menepuk pelan puncak kepala Atha, "...inikah alasan dirimu menghindari Gil?"

Faktanya, Atha hanya tidak mau mencari keributan. Ia benci menjadi orang yang dibenci. Lebih dari itu, ada beberapa hal yang Atha ragukan dari dirinya sendiri sehingga membuatnya enggan pergi dari kondisinya saat ini.

Ya, Atha hanya takut.

"Menurutmu, Gil itu seperti apa?" Tanya Enkidu.

Atha mendengus, "Senpai, kau bertanya hal ini karena alasan tertentu? Apa karena Gilgamesh-senpai adalah sahabatmu?"

"Untuk hal ini, tidak. Aku bertanya padamu secara pribadi."

"Kau sudah tahu sejauh mana?"

Enkidu memasang pose berpikir, "Sampai dimana, ya? Mungkin lebih jauh daripada apa yang kau pikirkan."

Atha meringis. "Jadi, apa kau tahu soal Arthuria-senpai juga?"

"Ya, aku tahu. Apa karena itu juga kau sedikit ragu?"

Atha tidak mau menjawabnya.

"Kau sudah tahu kan, dulu Gil memang menyukai Arthuria?" Enkidu terkekeh, "Bahkan dia rela melakukan hal bodoh agar dapat perhatian darinya."

"Eh?"

"Aku juga tidak terlalu tahu bagaimana ceritanya dia tiba-tiba menyukaimu." Enkidu memasang wajah horor yang membuat Atha sedikit geli, "Itu benar-benar hal aneh."

Atha terkekeh, "Ya ... sama sepertimu. Akupun tidak percaya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu padaku sementara dia belum tahu bentuk-ku yang sebenarnya."

"Kalau begitu, bagaimana jika kau sedikit lebih terbuka?"

Atha meringis, "Aku ... masih ragu."

"Tapi kau tidak membenci Gil, kan?"

"Tidak. Mana mungkin aku membencinya!"

Enkidu mengerjap lantas menyipitkan kedua mata, ujung bibirnya tertarik ke atas. "Jadi, kau menyukainya?"

Atha melongo parah, "Hah?"

Ngga gitu juga!

Melihat reaksi Atha yang begitu priceless, Enkidu tidak tahan untuk menggodanya lebih jauh.

"Aku hanya menganggapnya sebagai teman! Itu karena nasib kita sama. Sama-sama budak gacha." Jawab Atha cepat.

"Ayolah, jangan terlalu denial, Atha."

"Serius, senpai!."

Enkidu terkikik geli.

Ingin rasanya Atha ngarungin Enkidu saat ini juga. Jadiin samsak tinju enak kayaknya.

"Pokoknya, kalau kau terus membandingkan cocok atau tidaknya dirimu dengan Gil, itu tidak akan pernah berakhir." Kata Enkidu.

Atha mendengus sebal. Kadang, Enkidu jaug menyebalkan dari Gilgamesh. Atau mungkin sama menyebalkannya.

"Arthuria adalah Arthuria. Atha adalah Atha. Walau bagaimanapun kalian berbeda. Tapi jika Gil sudah memilih, kau tidak bisa menyangkalnya kan?"

"Senpai, lebih baik ayo cepat mengantarkan makanan ini untuk Salieri-sensei." Atha berusaha menghindar dari topik.

Enkidu lagi-lagi menepuk puncak kepala Atha, kali ini terasa sedikit berbeda. Atha sampai tertegun dibuatnya.

"Terkadang, tidak apa-apa untuk sedikit lebih egois."

---
-----Atha speechless. Kata-kata Enkidu pernah Atha dengar sebelumnya.

"Sudah yah. Ceramahnya hanya sebatas ini dulu." Kata Enkidu.

Atha tersenyum masam.

"Oiya, satu lagi."

"Hm?"

Enkidu nyengir, "Kalau kau masih ragu akan perasaanmu, lebih baik kau bertanya pada dirimu sendiri."

"Caranya?"

"Apakah kau nyaman jika berada di dekat orang itu? Lalu apakah saat bersama dengannya kau tetap menjadi dirimu sendiri?"

"Nggak ngerti, sumpah!"

"Kau tidak perlu mengertipun tidak apa. Ini bukanlah suatu teori yang ada di dalam buku. Kau hanya perlu merasakannya."

Enkidu menekankan kembali, "Bertanyalah pada dirimu sendiri."

💐

💐

💐

"Salieri-sensei, selamat sia---"

Enkidu dan Atha saling tertegun. Keduanya tidak percaya dengan apa yang dilihat.

Kembali ke tugas, tadi mereka baru saja sampai di gedung ruangan musik Salieri, begitu terkejutnya saat Enkidu membuka pintu ruangan, ternyata ada orang lain yang menemani Salieri disana.

"Mozart-sensei?" Ucapan Atha tidak dapat terkontrol saking terkejutnya.

Pria bersurai pirang itu melambaikan tangan sambil tersenyum. "Halo!"

Atha dan Enkidu berkeringat dingin. Apa artinya semua ini?

"Mozart-sensei, kalian ... sedang apa?" Tanya Enkidu hati-hati.

Salieri yang kesal mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. "Masuklah, ada keperluan apa?"

Atha membatu.

Begitupula dengan Enkidu.

Melihat reaksi kedua anak manusia dihadapannya, Mozart terkekeh geli. Ia tahu apa yang kedua mahluk itu pikirkan. "Tidak apa-apa, aku hanya sedang berbincang dengan teman lama."

Atha dan Enkidu sama-sama kaget, "Hah?!"

Salieri menyipit sebal, "Berbincang? Seenteng itu? Kita bahkan sudah tidak saling bicara sejak setahun yang lalu."

"Empat belas bulan, Antonio Salieri-san!" Ralat Mozart. Dengan sedikit bumbu ejekan.

"Terserah, masih termasuk setahun juga, kan!"

"Setahun itu dua belas bulan."

Atha dan Enkidu saling berpandangan.

"Ma-maaf sensei ... tapi kenapa kalian bisa bersama disini?" Tanya Enkidu.

Mozart tersenyum lebar, bangga akan sesuatu. "Jadi, anak-anakku sekalian. Dengan bangga aku menyatakan jika hari ini, aku berhasil berbaikan dengan temanku yang satu ini."

Atha melongo.

"Berbaikan?" Enkidu membeo.

"Kalian tahu masalah yang menyebar itu, kan?" Mozart menyilangkan kedua tangannya didepan dada.

Atha dan Enkidu mengangguk.

"Selama setahun ini, diam-diam aku menyewa seorang detektif untuk menyelidiki kasus itu dan mengumpulkan barang bukti. Lalu, tepatnya kemarin, tuntutan Salieri akhirnya dicabut dan pelaku utamanya sudah ditangkap." Tutur Mozart dengan bangga.

Atha dan Enkidu tersenyum datar.

"Sekarang, giliranku untuk memperbaiki hubungan dan membersihkan nama baik sahabatku yang satu ini." Lanjut Mozart.

"Diam kau." Salieri kesal.

"Kau sendiri malah pasrah setelah terjerat kasus itu. Apa untungnya mengurung diri seperti orang frustasi?"

Mozart tersenyum pada Atha dan Enkidu.

"Tenang. Aku dan Salieri disini sedang berdiskusi soal konser epic-comback Mozart dan Salieri yang mungkin akan diselenggarakan akhir tahun nanti."

Atha dan Enkidu menghela nafas lega.

Mozart kemudian menatap Atha dan Enkidu dengan tatapan hangat. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke arah mereka. Mozart berdiri dihadapan mereka lalu menepuk masing-masing bahu Atha dan Enkidu.

"Terimakasih." Katanya.

Enkidu dan Atha tertegun.

Mozart tersenyum. Tidak ada kata-kata lain setelah itu. Ia kembali duduk di kursi yang berseberangan dengan Salieri.

"Ngomong-ngomong, kalian mau apa? Konsernya berhasil, kan?" Kata Salieri setengah ketus.

Atha dan Enkidu saling melempar senyum. "Terimakasih, sensei. Konser kami berjalan dengan baik." Kata Atha.

Enkidu menambahkan, "Walau sepertinya masih buruk jika dinilai olehmu, sensei."

"Tapi kalian menikmatinya, kan?" Tanya Salieri.

Atha dan Enkidu mengangguk.

"Syukurlah kalau begitu."

"Lalu, kalian kemari untuk apa?" Tanya Mozart.

Gara-gara terbawa suasana, mereka gampir lupa tujuan aslinya---

Atha dan Enkidu meletakkan makanan yang mereka bawa di atas meja.

"Atas nama seluruh anggota klub koran dan juga klub doujin, terimalah oleh-oleh dari kami, sensei." Kata Enkidu.

"Ah, ada gelato juga untuk Salieri-sensei." Tambah Atha.

Gelato. Kedua mata Salieri terlihat sedikit berbinar ketika mendengar kata-kata Atha.

"Ngomong-ngomong, sensei. Siapa detektif yang membantumu? Kudengar bukannya pelaku itu orang penting, ya?" Enkidu sedikit kepo.

Mozart tersenyum bangga, "Tentu saja semua ini tidak lepas dari perannya Holmes."

Sudah Enkidu duga. Awalnya Enkidu sedikit curiga dengan keuangan klub yang lumayan membaik, ternyata Holmes mendapatkan hibah dari penyelesaian kasus yang menjerat Salieri.

Sekarang Enkidu seolah bisa mendengar suara tertawa Holmes diputar di kepalanya.

"Lalu soal pelakunya?" Atha ikutan kepo.

"Beberapa trik dari Moriarty membuat pelakunya mengakui perbuatannya." Jawab Mozart.

Haih---

---kasusnya ngga se-greget Detective Conan.

💐

💐

💐

Seperti tradisi sebelumnya, festival amal yang setiap tahun dilaksanakan oleh Chaldea akan ditutup dengan pesta kembang api. Ini juga sebagai acara simbolik penyambutan musim panas.

Festival amal yang diselenggarakan dibulan Juli bertepatan dengan pergantian musim. Maka dari itu, karena Chaldea tidak mengadakan matsuri, penutupan festival ini di meriahkan dengan pesta kembang api.

Pukul enam sore, kedai-kedai setiap klub ditutup secara serentak. Para siswa mengakhiri peran mereka hari ini dan segera berganti pakaian dengan pakaian yang lebih santai. Istirahat sejenak, pada pukul tujuh malam akan ada upacara penutupan yang diawali dengan pidato dari pemilik yayasan Chaldea---

Ninsuna.

Para pengunjung tengah memadati area lapangan olah raga, mengambil tempat terbaik untuk melihat kembang api. Tinggal tiga puluh menit lagi sebelum upacara penutupan dimulai.

Beberapa anggota klub koran sudah berkurang satu per satu meninggalkan klub. Tinggal tersisa beberapa orang saja disana.

"Atha, kenapa kau masih disini?"

Shamhat yang baru saja ganti baju menatap Atha heran. Pasalnya tadi Rei, Mordred, Galahad dan Mashu sudah pergi duluan ke lapangan olah raga bersama dengan Kay dan Andrivete. Ditinggalin ceritanya?

Atha tersenyum masam, "Mereka melupakanku."

Apa daya tadi Atha terlalu sibuk membantu Jalter dan Osakabe membereskan properti dan menaruh kostum-kostum kembali ke dalam boks. Tahu-tahu saat Atha selesai mengganti pakaiannya, dia sudah ditinggalkan. Sialan.

"Kalau begitu cepat, bisa-bisa kau ketinggalan pesta kembang api!"

"Tenang saja, senpai. Tidak apa-apa, kok."

"Kalau begitu, aku duluan ya. Enkidu sudah menungguku di dekat kantin." Shamhat tersenyum ramah.

Atha membalasnya dengan anggukan.

"Atha, biar kami yang bereskan sisanya." Seru Osakabe dari kejauhan. Disana ia sedang mengangkut gelas-gelas dan piring kotor bersama dengan Oui.

"Apa tidak apa-apa?" Tanya Atha meyakinkan.

Oui tersenyum, "Serahkan ini pada senpai mu. Ini pertama kalinya kau melihat pesta kembang api di Chaldea, kan? Jadi jangan sampai kau lewatkan."

"Jangan lupa berikan foto kembang api yang bagus, ya! Lumayan untuk buletin minggu depan." Tambah Osakabe.

"Siap, senpai!"

---
---
------

Lampu-lampu dipinggir jalan sudah menyala, langit diatas sana yang semula berwarna jingga sudah berubah warna menjadi biru pekat. Titik-titik cahaya mirip kunang-kunang mulai muncul satu per satu, memancarkan cahayanya dengan malu-malu.

Keadaan di dekat lapangan olah raga sudah mirip seperti matsuri yang biasa Atha lihat lewat artikel di internet. Lautan manusia---tidak, itu berlebihan. Setidaknya ada dua kali lipat murid Chaldea yang tumpah disana. Penuh. Sesak. Juga ramai.

Atha celingukan. Dimana Rei dan yang lain?

Menggaruk belakang kepalanya, Atha sudah mirip seperti anak hilang.

"Ayo ikut."

Atha kaget saat tangan kanannya ditarik oleh seseorang. Ia mendengus sebal ketika mengetahui siapa si pelaku utama, "Tunggu, aku sedang mencari Rei dan yang lain!"

Orang itu berbalik.

"Kau!" Tunjuknya. "Diam dan ikut saja! Anggap aku menculikmu. Hanya malam ini saja, oke!"

Atha geli mendengar ungkapan seperti itu. "Kau seperti anak kecil, Gilgamesh-senpai."

Si pelaku utama, Gilgamesh.

Awalnya Atha tidak tahu siapa orang yang menarik tangannya, salahkan kurangnya peneragan di tempat tadi yang membuatnya linglung.

"Jadi, kita mau kemana?" Tantang Atha.

Gilgamesh terus menarik Atha tanpa menoleh, "Kutunjukkan tempat yang bagus untuk melihat kembang api."

"Kenapa tidak ke tempat Enkidu-senpai dan yang lainnya saja? Kurasa mereka ada disekitar sini."

Gilgamesh mengacak rambutnya, kesal. "Sudah, ikut saja."

Mana mungkin Gilgamesh mengatakan jika ia gelisah karena tahu akan Charlemagne yang tadi berada tepat di belakang Atha--- sedang mengincarnya. Hal itu membuat Gilgamesh berfirasat buruk. Untungnya ia lebih cepat beberapa detik untuk menculik Atha dan keluar dari kerumunan.

---
----

Tinggal lima belas menit lagi sebelum pesta kembang api. Di arah lapangan olah raga, Ninsuna sedang berpidato singkat menceritakan kesan-kesannya soal festival.

Atha dan Gilgamesh? Sedang mendaki anak tangga menuju atap gedung.

"Senpai, bukannya atap gedung itu area terlarang untuk para siswa, ya?" Atha tersenyum masam.

Gilgamesh mendengus sebal. "Dengar. Untuk pertama kalinya aku, sebagai Ketua Osis. Melanggar peraturan demi kau!"

Atha mengerjap, "Kenapa demi aku? Kalau mau bikin kasus jangan ngajak-ngajak. Mamah Ninsun kalau marah serem, tau!"

Persetan!

Gilgamesh tidak peduli. Dengan tidak sabaran, ia membuka pintu atap gedung. Hal yang menyambut mereka disana adalah hembusan angin malam yang terasa sejuk. Berbeda dengan keadaan dibawah sana yang meriah, diatap sini lebih hening dan tenang.

"Nah, disini sepertinya bagus." Gumam Gilgamesh.

Atha tertegun. Bukan melihat Gilgamesh, ia malah melihat ke atas langit. Karena Chaldea berada di atas pegunungan dan di daerah ini minim polusi udara, pemandangan galaksi bima sakti nampak jelas jika dilihat dari atap gedung.

"Kau suka?" Gilgamesh setengah bangga.

Atha melirik Gilgamesh, "Kau tahu pemandangannya akan seperti ini, senpai? Ini indah sekali."

Gilgamesh menggaruk pipinya, "Tidak juga. Bahkan aku baru tahu pemandangan di atas sini akan terlihat sangat bagus."

Stargazing adalah salah satu hal yang disukai oleh Atha. Ia sendiri memiliki sebuah teleskop berukuran sedang untuk mengamati keadaan langit di malam hari.

"Senpai, lihat!" Atha menunjuk ke satu titik.

Melihat ke arah yang Atha tunjukkan, Gilgamesh tersenyum. "Segitiga musim panas, kan?"

Atha mengangguk. "Terlihat jelas sekali."

Summer triangle---

Ketiga bintang terang tersebut terdiri dari Altair yang merupakan bintang dari rasi Aquila, Vega dari rasi Lyra dan Deneb dari rasi Cygnus. Apabila rasi tiga bintang ini sudah muncul di langit, itu merupakan pertanda bahwa musim panas akan segera tiba.

Masih dalam keadaan dimana tangan kanannya masih belum dilepaskan oleh Gilgamesh, Atha teringat akan sesuatu. Pembicaraan singkatnya tadi dengan Enkidu.

Ia memang masih ragu.

Apakah orang sepertinya layak dicintai?

Di lain sisi, Atha ingin sekali menceritakan tentang semua hal. Tapi itu berarti Atha harus menceritakan juga rahasia yang ia pendam. Atha akui ia tidak lebih dari seorang pengecut. Atha benci mengakuinya jika ia senang saat bersama dengan Gilgamesh---

"Hey..."

Atha mengerjap. Kesadarannya dipaksa untuk segera kembali.

"Y-ya?"

"Pesta kembang apinya sebentar lagi dimulai."

Atha melirik Gilgamesh yang ada di sampingnya. "Senpai ... kenapa kau sangat ingin tahu tentang aku?"

Gilgamesh menghela nafas panjang, "Bukankah itu normal? Kau pasti ingin mengetahui lebih banyak tentang orang yang kau sukai."

"Tapi, kenapa aku? Kau tidak menderita suatu kelainan, kan? Atau mungkin kau salah menyukai orang?"

Ck!

"Apa yang membuatmu ragu?" Suasana hati Gilgamesh sedikit terganggu.

Atha berusaha memilih kata-kata yang tepat, "Bagaimana jika saat kau tahu semuanya, kau malah akan kecewa?"

Gilgamesh mengalah. Tidak ada gunanya jika ia marah saat ini. "Atha, terlepas dari kekurangan atau kelebihanmu. Entah menurutmu kau layak atau tidak. Sejujurnya aku tidak peduli. Sama sekali tidak peduli."

Atha melongo.

Kedua pasang mata mereka saling bertatapan, seolah menyelami diri masing-masing. Mencari sebuah celah untuk memasuki pintu rahasia yang ditutup rapat.

Kembang api pertama diluncurkan. Merekah sempurna mewarnai langit malam. Disusul dengan riuh suara dari para penonton yang bersorak dari arah lapangan. Lalu kembang api yang kedua kembali diluncurkan---

"Jika kau menanyakan alasan mengapa aku menyukaimu ... aku tidak punya alasan khusus."

Atha membelalak.

Gilgamesh tersenyum hangat. Bahkan saat melihat senyumannya, Atha sampai-sampai lupa untuk bernafas dan jantungnya berdetak lebih cepat.

"Tidak perlu alasan untuk menyukaimu, Atha."

Deg!

Tangan Gilgamesh terulur menyentuh pipinya. Lembut dan membuat Atha merinding. Akan tetapi tubuhnya tidak menolak.

Bersamaan dengan kembang api keempat yang merekah di angkasa, detak jantung Atha seakan berhenti.

Malam itu---

Gilgamesh mengecup keningnya.

💐

💐

💐

Dengan demikian chap ini kembali dipotong---

Terus aja gitu.
😩😩😩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top