The Only Thing I Had Was Nothing

Namjoon saat ini sibuk memperhatikan sang adik yang mengobrak-abrik beberapa berkas kepolisian. Lho, kok boleh?

Jelas, Namjoon adalah seorang detektif, divisi pembunuhan. Membuatnya mudah mendapatkan akses keluar-masuk ke dalam kantor polisi. Namun, bukan berarti ia semena-mena. Katakanlah, Taehyung menyelundup masuk saat Namjoon meminta izin masuk ke dalam ruang penyimpanan. Jika sang kakak adalah detektif handal, maka sang adik saat ini seperti maling yang handal.

"Bodoh, jangan masuk sembarangan ke dalam sini!"

"Shht, diamlah! Kau hanya akan membuat kita ketahuan di sini!"

Namjoon terlihat gelisah, hendak hati menendang sang adik. Namun, melihat keseriusannya menangani kasus, membuat Namjoon mengurungkan niatnya.

"Sebenarnya apa yang kau cari dari data penduduk sipil, huh?"

"Aku ingin mencari profil Jeon Jungkook."

"Ha, siapa tuh?"

"Teman satu sekolahku."

"Kau mencurigainya?"

"Entahlah, itu baru dugaan. Makanya, bantu aku supaya cepat selesai!"

Sembari misuh-misuh, Namjoon ikut mengobrak-abrik data para penduduk sipil. Keduanya mencari sembari memperhatikan keluar, Namjoon sudah siap menendang sang adik jika mereka nyaris ketahuan. Seperti saat ini, saat seorang berpangkat jendral memasuki ruangan, Namjoon menyepak sang adik dan membuat Taehyung bersembunyi dalam tumpukan kardus yang disusun seperti batu bata.

"Halo, Namjoon."

"Hormat pada Jendral Lee!"

"Tak perlu seformal itu, haha. Sedang apa kau di sini?"

"Saya sedang melakukan penyelidikan mengenai kasus pembunuhan di suatu sekolah, saya butuh beberapa data para penduduk sipil. Hanya untuk berjaga-jaga, mungkin ada yang terlewatkan."

"Ah begitu, bisa kau ceritakan."

Sang jendral menyimak paparan kasus yang diceritakan Namjoon padanya, sang jendral mendengar dengan seksama sembari memijat pelipisnya. Mendadak, sang jendral menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu, kau tadi menyebut Bunny JK."

"Ya, ada apa?"

"Bukankah dia adalah sang pembunuh bayaran yang sudah meninggal 15 tahun yang lalu?"

"Huh?"

...
..
.
..
...

Jungkook berlari menjauhi kerumunan saat terpergok oleh Jimin tadi, tampangnya pasti seperti orang gila saat ini. Namun, di saat pelariannya. Ia tak memperhatikan jalan hingga menabrak sesuatu.

"Maaf, ak-"

"Kenapa kau justru meminta maaf pada tembok?"

"Eh?"

Jungkook membuka mata dan melihat bahwa di hadapannya saat ini adalah sebuah dinding berwarna putih, ia juga mendengar tawa geli seseorang di sampingnya.

"Kau ceroboh, seperti biasa."

Jungkook menoleh, ia dapat melihat Hoseok dengan cengiran khasnya. Jungkook segera menutup wajahnya malu dan hendak berbalik, namun Hoseok sudah menahan kepergiannya dengan menarik sebelah tangan Jungkook.

"Apa ada yang menjahilimu lagi?"

"Etto..."

Jungkook menyatukan jari telunjuk sebelah kanan dan kiri sambil menunduk, tampak gelisah hendak menjawab apa.

"Sudah, ayo ikut aku."

"Tu-tung-"

Tangan Jungkook sudah ditarik oleh Hoseok menuju ruang UKS, pemuda itu mengambil kotak P3K dan meletakkan itu di hadapan Jungkook.

"Oke, mana yang sakit?"

Hoseok memeriksa dengan seksama, matanya cukup jeli hingga bisa melihat luka memar di lengan Jungkook. Namun, yang membuatnya meringis ngeri adalah saat melihat luka di kaki Jungkook.

"Astaga, siapa yang melakukan ini?"

Jungkook terdiam, Hoseok juga tak memaksanya menjawab. Ia dengan telaten mengobati luka Jungkook, meniupnya untuk mengurangi rasa perih saat Jungkook meringis kesakitan. Tak lupa ia juga membantu Jungkook tuk berbenah diri, setidaknya penampilan fisiknya sudah tidak sekacau tadi. Ia mengusap rambut Jungkook, mengambil sebuah karet rambut dan menguncir rambut Jungkook berbentuk pony tail.

"Nah, begini lebih baik."

Jungkook tersenyum manis hingga memperlihatkan gigi kelincinya, membuat Hoseok mau tak mau tersenyum juga.

"Terima kasih seonbae, padahal ku kira seonbae akan mengiraku pasien rumah sakit jiwa."

Hoseok tertawa lepas, bahkan nyaris terjengkang karenanya.

"Jujur saja, aku memang mengiramu salah satu dari pasien rumah sakit jiwa. Tapi tenang saja, aku tak setega itu kok."

Hoseok buru-buru menambahkan saat melihat Jungkook memberengut, tapi kemudian gadis itu mengedikkan kedua bahunya.

"Ngomong-ngomong, berminat tuk menceritakannya?"

Karena merasa percaya, Jungkook pun menceritakan alasan mengapa ia bisa berakhir seperti ini. Tentu saja, ia harus menceritakan dari akar permasalahan agar Hoseok mengerti. Tentu saja dengan beberapa titik air mata lolos, karena bagaimana pun rasa sakit itu masih membekas. Hoseok terlihat marah sekali saat Jungkook selesai menceritakannya.

"Gila! Jahat sekali Lee biadab itu! Apa aku perlu membalasnya dengan beberapa pukulan untukmu?"

"Tidak perlu seonbae, orang seperti itu tidak penting."

"Tapi di-"

"Aniya, seonbae. Kenapa jadi kau yang marah, hng?"

"Yah... aku kesal saja, rasanya ingin kurobek mulutnya. Apa lagi setelah apa yang ia perbuat pada kakimu, ingin kucambuk dengan tali yang dilapisi duri."

"Woahhh~ seonbae seram sekali, haha! Tapi sudahlah, itu tidak perlu."

Hoseok memandang Jungkook ragu, seolah ada makna tersirat di balik tatapan itu. Tapi Hoseok segera memutusnya, ia justru mengusap lembut kepala Jungkook. Membuat Jungkook kebingungan dan mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Lain kali, jangan jadi orang yang terlalu baik. Jika memang ada masalah, langsung cerita padaku. Ara?"

Jungkook segera mengangguk patuh, membuat Hoseok tersenyum. Mendadak sentakan dari Jungkook mengagetkan Hoseok.

"Seonbae, aku masih ingat tadi ada panah lho yang menolongku. Apa itu panah peri echo?"

Panah?

Hoseok mengernyitkan kening, jangan-jangan...

"Panah apa?"

"Panah biasa, tapi ada tulisannya."

Jungkook berusaha melafalkan isi dari surat tersebut pada Hoseok, berusaha mengingat apa isi surat yang tertera pada panah tersebut.

"Terus, panah itu dimana?"

"Masih di koridor sepertinya, tapi di sebelahnya kan ada tanaman itu yang aku bilang aku dijatuhkan ke sana, sepertinya masih menancap di sana. Tadinya mau ku ambil, tapi karena tiba-tiba ada satpam lewat aku langsung lari. Penampilanku pasti akan membuatku segera ditendang dari area sekolah."

Hoseok terlihat berpikir, namun ia mendadak berdiri dan membereskan kotak P3K yang ia gunakan untuk mengobati Jungkook tadi.

"Maaf tapi aku rasa aku ada urusan, aku pergi dulu. Hubungi aku jika kau butuh sesuatu, annyeong!"

Jungkook hanya melongo saat melihat kepergian Hoseok yang tiba-tiba, ia meringis sedikit sembari berkata...

"Bagaimana caraku menghubungimu kalau aku tak memiliki kontakmu, seonbae?"

...
..
.
..
...

Jimin baru melepaskan pelukan saat Yoongi menjawil bahunya, ia bisa melihat wajah galak Yoongi yang seolah siap menerkamnya.

"Siapa yang memberinu izin memelukku, huh?"

'Wadawwww!'

"Ah... hahahaha... tidak ada sih,"

Tak.

"Auw!"

Yoongi menjitak Jimin hingga membuat Jimin sedikit tersentak ke belakang, namun rona wajah Yoongi sempat terlihat oleh mata jeli Jimin.

"Minggir, kau menggangguku."

"Tunggu, Yoongi!"

"Panggil aku seonbae, dongsaeng kurang ajar."

"Eh, iya, maaf. Yoongi seonbae, kau sibuk setelah pulang sekolah nanti?"

"Sibuk, ada urusan OSIS yang harus ku selesaikan."

"Aku akan membantumu."

"Tidak perlu."

"I insist."

"Darimana kau belajar bahasa Inggris, huh?"

"Tentu saja darimu, Yoongi seonbae~"

"Tch, dasar menjijikkan!"

"Tidak peduli, yang penting aku akan membantu seonbae nanti."

"Memangnya ada apa?"

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

...
..
.
..
...

Dan berakhirlah kedua pasangan Yoongi dan Jimin ini, mereka pergi menuju sebuah taman bermain. Oke, ini terdengar kekanakan. Namun, Jiminlah yang memaksa mengajak Yoongi ke sini.

"Jim, kau sungguh tidak ingat umur ya?"

"Jangan bohong seonbae, aku tahu kau suka bermain ayunan."

Holy crap! Darimana ia tahu aib Yoongi yang satu itu?

"Ayo! Setelah puas bermain, kita akan pergi ke destinasi selanjutnya!"

"Kau cocok berprofesi sebagai pemandu wisata, Jim."

"Kuanggap itu pujian."

"Sialan."

Tapi peduli setan, Yoongi begitu menikmati momennya bersama Jimin hari ini. Ia tak percaya anak ingusan itu membawanya ke tempat yang sangat ingin ia singgahi sejak kecil. Di sekolah memang ada ayunan dulunya, namun taman bermain itu dibongkar dan dijadikan tribun sepak bola. Dulu saat kelas 2 SMA, Yoongi beberapa kali mampir ke sana. Namun setelah dirombak, Yoongi tak pernah lagi menginjakkan kakinya ke sana. Ternyata Jimin yang saat itu masih kelas 1 SMA menyadari kebiasaannya berada di sana.

Hampir 1 jam mereka menghabiskan waktu di sana, dengan Jimin yang setia bertengger di sebelah tiang ayunan. Sebenarnya ayunan itu bisa untuk dua orang, namun Jimin terlihat enggan tuk duduk di sana karena takut menyinggung perasaan Yoongi nantinya.

"Hei, bantet."

Astaga, jika bukan Yoongi yang memanggilnya seperti itu pasti sudah Jimin maki-maki. Padahal dilihat dari segi manapun, Yoongi juga termasuk pendek.

"Duduk."

Jimin melongo, pasti wajahnya terlihat bodoh sekali saat ini. Namun, Yoongi yang mendadak menyuruhnya duduk di sampingnya tentu mengejutkan Jimin. Bolehkah ia berharap?

"Tidak enak membiarkanmu berdiri terus, duduklah."

Jimin dengan gaya elegan (padahal dalam hati sudah melakukan marching band) mendudukkan dirinya di samping Yoongi, suasana sempat canggung sampai Yoongi kembali berusaha membuka percakapan.

"Kau tidak takut dengan ayunan, bukan?"

"Tentu tidak, ken- WUAA!"

Mendadak saja Yoongi mendorong ayunan tersebut dengan kuat, membuat Jimin yang tak siap akhirnya terjungkal ke belakang. Yoongi segera melompat turun dari ayunan dan menghampiri Jimin yang terkapar di tanah.

"Astaga, kau baik-baik saja?!"

Tuhan, tolong biarkan waktu berhenti saat ini juga. Memandang Yoongi dari jarak sedekat ini membuat jantung Jimin terasa melompat keluar, ia dapat memandang Yoongi dengan seksama. Garis wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya... semua begitu memesona baginya. Membuat Jimin mendadak canggung, sedangkan Yoongi sibuk memeriksa apakah Jimin mengalami gegar otak atau hal lainnya.

"Jimin, kumohon katakanlah sesuatu. Astaga, apa aku sudah membuat syaraf otakmu terputus?"

'Bahkan hanya dengan melihatmu, aku telah kehilangan akal sehatku.'

Tidak mungkin Jimin katakan terang-terangan, karena ia tahu betapa ganasnya Yoongi saat digoda. Akhirnya, ia mencoba bangun dan mengumpulkan tenaga untuk berbicara.

"Aku baik-baik saja, tidak ada hal serius."

"Oh."

Agak nyakitin sih cuman dijawab 'oh', namun itu lebih baik dari pada hanya dianggap angin. Jimin hanya berusaha optimis.

"Apa kau masih ingin naik ayunan?"

"Lalu kau bagaimana?"

"Tidak apa, aku hanya terkejut karena kau mengayunkannya tiba-tiba."

"Ah, baiklah kalau begitu."

Sebenarnya ada satu kata lagi yang Yoongi enggan tuk ucapkan, yaitu maaf. Sepatah kata sederhana, namun sanggup membuat lidahnya kelu.

Mereka lanjut menaiki ayunan, Jimin mengayunkan lebih kuat sehingga membuat mereka terasa seperti di atas angin. Itu membuat Yoongi melupakan kejadian tadi, bahkan kali ini gadis itu tertawa puas dengan wajah ceria yang langsung Jimin rekam dalam memori otaknya.

"Ini mengasyikkan!"

Ayunan itu akhirnya berhenti setelah Yoongi mendadak mengeluh lapar, Jimin menghentikan ayunan tersebut. Tak ia sangka, bermain ayunan seperti ini saja membuat mereka berkeringat. Jimin mengeluarkan persediaan tissue miliknya, ia terlebih dahulu menyerahkan selembar pada Yoongi dan selembar lagi ia gunakan untuk dirinya. Seruan Yoongi berhasil membawanya pada alam sadar.

"Jim, ada tissue di keningmu."

"Eh, dimananya?"

"Diam sebentar."

Yoongi mengarahkan tangannya tuk mengambil tissue tersebut, bagai di slow motion hal ini membuat Jimin gelisah. Setelah Yoongi sukses memengambil tissue tersebut, tangan Jimin dengan tiba-tiba mencengkeram lengan kiri Yoongi yang tadi ia gunakan untuk mengambil tissue.

Yoongi terkejut, tak menyangka Jimin akan melakukan hal seperti ini. Apa dia marah? Apa dia merasa terganggu karenanya? Ataukah... Entahlah, yang pasti saat ini matanya membola dan itu menambah kadar imutnya (bagi Jimin).

"Seonbae,"

"Hn, ya?"

"Jangan marah ya."

Belum sempat merespon, Jimin sudah terlebih dahulu maju dan mencium kedua pipi Yoongi. Tak ada reaksi yang Yoongi lakukan, bahwa gadis itu nyaris tidak menyadari Jimin yang sudah mengendap lari setelah mencium pipinya tanpa izinnya.

RIP keperawanan pipinya.

"YAAA, PARK JIMIIIIIN!"

...
..
.
..
...

Seokjin saat ini sedang sibuk menangani beberapa pasien lain, dirinya terkejut saat melihat kehadiran sang pasien tak terduga yang memasuki ruangannya. Orang itu terlihat terburu-buru memasuki ruangan dan itu membuat Seokjin keheranan.

"Ada apa? Apa kau PTSD mu kambuh?"

"PTSD apanya? Konyol sekali, haha. Aku hanya ingin bertanya padamu."

"Apa?"

"Apa kau sudah tahu apa rencana terbarunya?"

Lidah Seokjin kelu sejenak, namun ia tetap mengangguk dan orang itu terlihat sangat gelisah.

"Lalu bagaimana bisa kau hanya diam saja di sini?!"

"Kau mengharapkan aku melakukan apa?! Bahkan dinding memiliki telinga, aku saja tak yakin di sini kau bisa berbicara sebebas itu!"

Orang itu segera menyadari kesalahan yang ia perbuat, ia berdeham sejenak dan kembali menatap tajam Seokjin.

"Apa dia tahu?"

"Tentu tidak."

"Sampai kapan kau akan terus seperti ini?"

"Aku tidak tahu, aku bagai terjepit saat ini. Melangkah kemana pun, hanya akan membuat kedua orang yang kusayangi terluka."

Wajah orang itu mendadak sedih, ia menggenggam kedua tangan Seokjin. Seolah ingin menyerap dan berbagi rasa sakit dengannya.

"Aku tahu ini sulit, namun setidaknya kau harus berbuat sesuatu. Jujur saja, aku pribadi tak menyukai hal ini."

"Itu karena kau memiliki jiwa keposesifan tinggi, jujur saja itu sangat mengherankan bagiku. Bahkan sebagai doktermu, belum pernah kutemui orang sepertimu."

Orang itu tertawa sedangkan Seokjin hanya berdecak kesal saat mendapati tanggapannya yang begitu santai.

"Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa sih yang membuatmu seperti ini?"

Orang itu menampilkan seringai tipisnya, membuat Seokjin menyadari apa maksud seringai seorang di hadapannya saat ini.

"Jangan bilang karena sekotak susu itu?"

"Nah, itu tahu."

"Astaga! Itu sudah 11 tahun yang lalu, kau masih mengingatnya?"

"Tak akan kulupakan anak berumur 6 tahun itu seumur hidupku, sekotak susu dingin satu-satunya miliknya diberikan padaku. Bahkan untuk menghadapi matahari saja, aku sudah merasa tidak layak. Namun, sosok malaikat kecil itu..."

"Berhentilah berfilosofi, aku mual mendadak mendengarnya."

Orang itu terlihat misuh-misuh sejenak, sekilas orang ini sepertinya cukup normal.

"Oh, ya. Apa rencanamu?"

"Huh?"

"Kau bukan orang yang akan menerobos masuk tiba-tiba tanpa permisi saat aku masih jam praktek, jadi katakan apa alasanmu sembarang menerobos ke sini. Kumohon jangan lakukan hal konyol lagi karena aku l-"

"Aku akan mengikuti permainannya."

"KAU APA?!"

"Dengar Jinnie, aku tahu ini terdengar gila. Tapi aku harus, ini demi kebaikan kita. Aku bisa meringankan pikulan kita, tidak hanya duduk dan berpangku tangan. Lagi pula,..."

Orang itu terdiam sejenak, ia menundukkan wajahnya.

"Hanya kaulah yang bisa menanganinya, tentu ini akan semakin merepotkanmu tapi aku akan mengusahakan yang terbaik. Lagi pula aku tidak sendiri, ada Black Bow yang akan membantuku. Ia tak akan segan menghamtam kepalaku jika perlu."

Seokjin tersenyum, nama itu begitu membekas bagi mereka. Namun Seokjin yakin, rencana mereka pasti akan berhasil. Hanya saja mereka tidak mengetahui, betapa pahit dan manisnya hasil akhir yang akan mereka terima.

"Kau bisa bergantung padaku, dan aku akan mengusahakan... tidak, tapi aku akan memastikan ini akan menjadi yang terakhir kalinya. Selama ini kita tak pernah gagal, dan tidak untuk kali ini."

...
..
.
..
...

Ia mencampurkan senyawa nitrogen, potasium, S8, arang kayu, dan CAS04 ke dalam kaleng bekas yang kering.

Setelah itu, ia mengambil ponsel symbyan yang telah ia preteli. Menyolder konektornya menggunakan kabel yang telah ia sediakan pada relay, mengaktifkan aplikasi Anti thef. Terakhir, ia membungkus semuanya dengan rapi.

Ia berjalan menuju sebuah rumah, meletakkan "bingkisan" dan mengetuk pintu. Dengan tenang, ia berbalik dan meninggalkan pintu. Tepat saat ia menghilang, pintu terbuka dan seseorang keluar dari sana.

"Apa ini?"

Ia meraihnya, membawanya ke dalam rumah dengan rasa penasaran. Sepucuk surat sempat ditempelkan pada bingkisan itu, ia membuka dan membaca isi surat tersebut.

Imbalanmu.

Satu kalimat sederhana yang membuatnya kegirangan, ia segera membuka bingkisan tersebut dengan terburu-buru.

"Akhirnya! Aku akan menjad-"

BOOM!!

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

( A/N )
Adakah yang penasaran siapa yang terbunuh di cerita ini ? 😂

Like I say, author akan berusaha menantang diri sendiri untuk bisa membuat cerita misteri riddle (dikit). Ngomong-ngomong, mohon perbaiki jika ada yang salah, soalnya author pure nyari di internet semua ._.

Disclaimer tentu bukan murni author dari segi pengetahuan yang tak diketahui anak sekolah, ini dari hasil googling semua ._. Mohon perbaiki jika ada kesalahan yap^^ dan ada beberapa revisi di cerita sebelumnya karena author telah merombak alur cerita. Author hanya meng-edit, maaf juga bila ada yang tertinggal.

Fyi: mungkin bakal ada banyak flashback, semoga kalian tidak bosan membacanya o_o

Oh iya, sama maaf ya telat banget update T^T. Author baru libur dan kebut2an ama tugas, bagi kalian yang masih ingat, terima kasih lho TT. Mungkin ini akan sangat slow update, mohon maklumi karena saya mulai lupa sama cerita ini 😭.

Terakhir, mari kita bermain! ^^

# Quote Collection ~ #

Ini spesial untuk Tae-V ssi, sebenarnya ini saya udah lama kirim, tapi saya pikir Tae-V ssi lagi sibuk banget jadi saya post di sini aja. Semoga Tae-V ssi suka ^^ ~ Saya penggemar berat misterinya Tae-V ssi~

Semoga ini bisa jadi penyemangat~

kim-tae-v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top