8. Preparation
"Is it just me, or there's so many crazy people around me?"
—Claretta Damara.
• • • • •
Claretta menggaruk poninya yang sedikit gatal, sepertinya dia ketombean lagi saat ini. Ia benar-benar bingung dalam memilih shampoo yang sekiranya cocok di rambutnya, sampai-sampai terus berganti shampoo yang malah menyebabkan ketombe di kepalanya semakin banyak.
"Selama gue nggak punya pacar mah selo aja mau rambut bau apek kek, bau minyak kelapa kek, bau kecut kek. Bodoamat," gumamnya, menghibur diri sendiri.
Baru saja ia hendak mencari posisi senyaman mungkin untuk tiduran di atas karpet yang ia gelar di belakang kelas, sebuah suara membuatnya tersentak kaget.
"Re! Retta!"
Claretta tau betul siapa pemilik suara itu.
Cepat-cepat, Claretta menggelepakkan tangannya ke samping tubuhnya dan menutup mata serta membuka mulutnya, berpura-pura untuk tidur dengan nyenyak.
"Re, gausah belagak tidur dah. Lo itu kalemnya kalo tidur doang, gak mungkin lo tidur begitu."
Matanya lantas terbuka. Ia tertangkap basah.
Claretta beralih dan duduk. "Ngapa?" tanyanya cetus, paling sebal kalau waktu tidurnya diganggu seperti biasa.
Syakilla ikutan duduk di atas karpet. "Ah, gue benci banget waktu makan gue diganggu," gerutu Syakilla. "Lo dipanggil Bu Anita sekarang."
Claretta mendesis pelan. "Ah elah apaan lagi sih tuh guru? Gak tau apa gue tuh butuh istirahat."
"Sekarang." Syakilla tak mendengarkan celotehan Claretta dan langsung bangkit untuk menuju mejanya yang sudah terisikan mangkuk berisi somay dan es teh yang ia peroleh dari hasil menitip teman kelasannya.
Merajuk kesal, Claretta berdiri dan memakai sepatunya dengan asal kemudian berjalan keluar kelas untuk segera turun ke lantai satu dan menemui salah satu guru yang selalu mengganggu waktu tenangnya di sekolah, selain Bu Jena dan Pak Rizal.
• • • • •
Mimpi buruk bagaikan menghantam keduanya sekeras Thor yang jatuh ke bumi beserta palunya.
"Ha?!"
"Mwo?!"
Keduanya berseru di saat yang bersamaan.
Itu Claretta dan Jichan, yang saat ini duduk di masing-masing kursi lipat yang terletak di depan meja Bu Anita. Entah Claretta dalam bahasa Indonesia, atau Jichan dalam bahasa Korea, tidak ada yang menggunakan kata baku maupun formal—semuanya bahkan terdengar informal kalau mereka yang mengucapkan.
Bu Anita mengerutkan dahinya.
"Anya.. geuge—"
"Bahasa Indonesia, Jichan," potong Bu Anita, yang seketika menyadarkan Jichan dan menampar mulutnya sendiri.
Walau sudah enam tahun tinggal di Indonesia dan bahasa Indonesianya sudah benar-benar lancar tanpa meninggalkan logat yang begitu jelas, Jichan kadang-kadang masih suka keceplosan dalam berbicara.
"Gini, Bu. Saya yakin ibu salah orang, iya kan?" tanya Jichan, yang sebenarnya bertujuan untuk menghibur dirinya sendiri. "Ibu tau kan saya gimana.. kok bisa-bisanya saya tiba-tiba ikut olimpiade? Woah, ini bener-bener nggak masuk akal, Bu."
"Saya juga berpikiran seperti itu, Jichan," jawab Bu Anita, jujur sejujur-jujurnya.
Jichan menepuk tangannya secara spontan. "Dangyeonhaji.. Saya nggak cocok buat ikut olimpiade itu tandanya, Bu."
Bu Anita tersenyum sesaat. "Kamu tetap ikut."
Jichan melorot di tempatnya. "Tapi, kenapa, Bu?! Kenapaaaa?"
"Karena Ibu udah ngeliat semua kartu perpustakaan kamu," jawab Bu Anita. "Next, Claretta Damara."
Claretta menghembuskan napasnya lega karena akhirnya gilirannya untuk berbicara telah tiba. Ia tidak tahan untuk diam sejak tadi, dan Claretta bukan tipikal orang yang suka untuk berdiam di saat seperti ini.
"Bu—"
"Saya tidak menerima protes lainnya," pungkas Bu Anita. "Silahkan, kalian bisa melanjutkan kegiatan belajar kalian dan mengenai kegiatan selanjutnya kalian akan diberitahu oleh Julian Rouvin dari kelas bahasa satu. Saya sudah menjelaskan semuanya ke dia, dan ini—" Bu Anita membagikan selembaran kepada Jichan dan Claretta yang menerimanya dengan pasrah. "Materinya."
Claretta benar-benar ingin marah-marah dan mengumpat kepada siapa saja sekarang juga. Ia membutuhkan seseorang untuk menjadi pelampiasan amarahnya. Bagaimana bisa, Claretta ikutan olimpiade sastra?
"Ingat, kalian membawa nama sekolah. Dan setiap tahunnya, sekolah kita selalu menang dan bisa mengikuti tahap sampai seleksi se-DKI Jakarta. Ibu berharap banyak sama kalian," peringat Bu Anita.
Selang beberapa saat kemudian, Claretta dan Jichan melangkahkan kakinya keluar dari ruang guru. Dan saat sudah sampai di koridor, Claretta menghentikan langkahnya secara tiba-tiba dan menatap Jichan dengan sinis.
"Lo!" papar Claretta, menunjuk Jichan dengan kertasnya yang sudah ia gulung. "Ngomong mulu sih, gue jadi nggak kebagian ngomong kan!"
Jichan mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Ah, ngeselin banget sih!" pekik Claretta tak tertahankan. Ia menghentakkan kakinya dan melangkah menjauh.
Sementara Jichan, masih terdiam di tempatnya dengan perasaan bingung. "Ini gue yang ngeselin, atau siapa?"
• • • •
Julian sedang membuka pintu mobilnya saat seseorang menyerukan namanya dari pintu masuk parkiran.
"Julian!"
Julian baru saja hendak kabur kala sadar itu Jichan, dan kini tengah berlari ke arahnya dengan tas gendol yang hanya ia kenakan di bahu sebelah kanan dan seorang gadis yang mengikutinya dengan langkah malas di belakang.
Julian melepas selempangan tasnya yang sebelah kiri.
"Kenapa?" tanya Julian, begitu Jichan mendekat.
Jichan yang baru saja berlari tidak terlihat lelah sama sekali sedangkan Claretta yang baru datang kelihatan lebih lelah dari sekedar jalan mengekor dan kelihatan seperti orang yang sudah benar-benar lelah dengan hidupnya sendiri.
"Pake nanya kenapa," gerutu Claretta, berdecih pelan.
Jichan menoleh sebentar ke arah Claretta dan menatapnya dengan tatapan aneh, lalu berpaling ke arah Julian.
"Kita ikut lomba sastra, kan. Kapan mau belajar?" tanya Jichan. "Gue bener-bener gak tau harus ngapain dan mulai dari mana."
Julian terlihat berpikir selama beberapa saat.
"Sekarang aja udah," cetus Claretta.
"Sekarang?" ulang Julian.
Claretta memandanginya dengan sinis. "Ya iya, sekarang. Mau kapan lagi? Mumpung gue lagi mood."
Julian menatap Claretta dengan seksama, memandanginya dari atas sampai bawah. "Lo nggak keliatan lagi mood sama sekali."
Jichan mengangguk setuju. "Sama sekali."
Claretta mendesis pelan dan memutar bola matanya malas. "Yaudah terus mau kapan?" tanyanya tidak sabaran.
"Besok kan weekend tuh, besok aja gimana?" usul Jichan.
"Iya, besok aja." Julian setuju. "Hari ini gue ada latihan soalnya."
"Latihan apaan?" tanya Jichan, menatap Julian dan tiba-tiba bersemangat.
Julian menatapinya dengan tatapan curiga dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Boxing," jawabnya. "Kenapa?"
Jichan menepuk tangannya semangat. "Ikut dong!" pekiknya.
"Yaudah besok," pungkas Claretta, yang sudah tidak tahan lagi untuk berlama-lama. "Jam 10 di Café Hangtuah, tau kan?"
"Kirim aja alamatnya," ujar Julian, berusaha keras menjaga nada dalam suaranya agar tidak bergetar.
"Oke, nanti gue bikin grup line," putus Claretta, berbalik dan hendak berjalan menjauh.
"Jangan lupa bawa temen yang cantik-cantik ya!" pelik Jichan, membuat Claretta ingin berbalik dan menginjak lehernya.
Sementara Julian, tengah berpikir keras dan bertanya-tanya harus menggunakan pakaian apa yang cocok untuk keluar esok hari.
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top