7. Go Ahead
"You'll never know untill you figure it out by yourself."
—Julian Rouvin.
• • • • •
Julian membalikkan tubuhnya dan tanpa sengaja menabrak salah seorang guru yang baru saja keluar dari perpustakaan, menjatuhkan setumpukkan buku yang sebelumnya berada di pelukan sang guru dan tiga buku tebalnya sendiri yang sebelumnya ia genggam.
"Maaf, Bu," ucap Julian, langsung menunduk dan membantu membereskan buku-buku milik guru tadi dan memisahkan tiga bukunya sendiri.
"Makasih ya," ujar guru tadi, kemudian memperhatikan Julian dan ketiga bukunya. "Kamu baca Ivanhoe sama Towards Zero?"
Julian terkesiap selama beberapa saat. "Iya, Bu," jawabnya sekenanya.
"Kamu anak baru ya?" tanya guru itu lagi dan dibalas anggukkan oleh Julian.
"Iya, Bu. Saya Julian Peter Rouvin, baru pindah beberapa hari lalu."
Guru tadi mengangguk paham. "Saya Anita, guru Sastra Bahasa, kalau kamu tertarik untuk ikut lomba Sastra, bisa hubungin saya langsung di ruang guru Sastra," ujar Bu Anita yang rambut pendek hitamnya dijepit menyamping, sekilas usianya yang sudah menginjak kepala empat terlihat seperti baru menginjak kepala tiga.
"Dan kalau kamu punya teman yang bisa diajak untuk ikut olimpiade, kamu bisa merekomendasikannya juga. Saya butuh kurang lebih tiga orang."
Julian tersenyum dan hanya menganggukkan kepalanya. Setelah Bu Anita melenggang pergi, mood Julian kembali terpuruk dan ia melanjutkan langkahnya untuk masuk ke perpustakaan.
Julian melepas sepatunya dan masuk dengan langkah lunglai. Seleranya untuk membaca jadi hilang seketika. Ia meletakkan tas dan ketiga bukunya ke dalam loker.
Duduk di pojok ruangan perpustakaan, Julian meraih asal buku yang berada paling dekat dengan jangkauannya. Ia mendesis pelan saat sebuah kertas jatuh dari sisipan buku tebal yang kini berada di genggamannya.
Kartu member tanda siapa saja yang sudah pernah membaca buku ini.
Julian baru saja hendak memasukkan kembali kertas tadi ke selipan buku tebal di genggamannya ini kala matanya menangkap nama yang sepertinya dapat ia kenali dengan jelas.
Claretta Damara, 18 Agustus 2015 | Selesai
Dan setelah melihat nama itu, Julian menyusuri nama lainnya yang hanya berada dua di bawah nama Claretta yang membuatnya tak kalah terkejut lagi.
Jichan Lee, 4 May 2016 | Selesai
Mata Julian hampir terbelalak tak percaya, terlebih saat matanya menoleh dan melihat judul buku ini dengan seksama: Les Misérables, by Victor Hugo.
Ia cepat-cepat meletakkan buku tadi ke dalam rak dan bangkit dari posisinya. Jemari dan matanya bergerak dengan cekatan untuk menyusuri buku-buku di dalam perpustakaan ini dengan lebih lanjut.
Dan di sisi lain rak buku, terletak di rak paling atas, mata Julian mendapati buku series pertama dari The Chronicels of Narnia, yang berjudul The Lion, the Witch and the wardrobe. Dengan cepat, tanpa perlu berjingkat, tangan kanan Julian meraih buku tersebut dengan mudahnya. Dan ia cepat-cepat mencari kartu member di dalam buku tersebut.
Jichan Lee, 5 Oktober 2015 | Selesai
Matanya mencari lagi, dan menemukan series keduanya yang berjudul Prince Caspian.
Jichan Lee, 21 Oktober 2015 | Selesai
Julian hampir saja menggeleng tak percaya. Jadi, itu yang harus most wanted boy di sekolah lakukan, selain ikutan ekskul yang terkenal? Dan dengan cekatan, tangannya mencari lima buku tersisa.
• • • • •
Claretta harus rela waktu istirahatnya diganggu oleh Syakilla yang enggan pulang dari rumahnya.
"Re, kenapa lo bisa-bisanya berlaku seperti itu terhadap Jichanku yang tampan!?"
Lagi. Entah sudah keberapa ratus kalinya pertanyaan itu Claretta dengar keluar dari mulut sepupunya itu.
"Bodo amat ah, Kill. Suka-suka lo."
Syakilla menghadang arah pandang Claretta yang sedang menonton televisi dan berhenti mengunyah popcorn caramelnya.
"Minggir gak." Claretta menggetok kepala Syakilla dengan tutup toples plastik. "Minggir."
Syakilla memegangi kepalanya, namun masih tetap dalam posisinya semula. Ia meraih popcorn dari dalam toples dan memakannya.
"Kenapa lo nggak bisa pilih-pilih sih jadi orang?" tanya Syakilla dengan nada putus asa. "I mean, lo emang kayak gitu orangnya—iya gue akuin, tapi—"
"Emang gue orangnya kayak gimana?" potong Claretta, menatap Syakilla dalam-dalam.
Syakilla meneguk salivanya. "Begitu dah pokoknya," jawabnya cepat-cepat.
"Gue kayak gimana!!!!?" cecar Claretta, yang membuat Syakilla mundur dari tempatnya.
Syakilla memutar dan berdiri di belakang sofa, bersiap kalau Claretta yang kini tengah berdiri di depan sofa akan menyerangnya kapan saja, terlebih setelah ini.
"Lo ngeselin, Re! Nyolot!" tukas Syakilla, langsung berlari menuju tangga dan naik ke atas.
Jelas Claretta mengejarnya.
"Lo bilang apa!!?" pekik Claretta tak percaya. Ia menaiki dua anak tangga sekaligus untuk menghampiri Syakilla.
"Serius, Re. Lo rata kayak begitu ke semua orang," ungkap Syakilla, berlari masuk ke dalam kamar Claretta dan menutupnya.
Claretta menggedor pintu kamarnya. "Buka gak!!!!!"
"No way!" Syakilla berdiri di balik pintu dan langsung menguncinya. "Kalo lo janji nggak kayak begitu lagi ke Jichan, baru gue buka pintunya!"
"Dia tuh tadi emang pastes digituin!" tukas Claretta. "Lagian, ngapain juga gue gituin dia lagi kalo dia nggak salah? Belom tentu juga gue ketemu lagi sama dia."
Syakilla terdiam sesaat. "Iya juga ya.."
• • • • •
Julian masih kurang terbiasa dengan tatapan memuja yang dilontarkan kepadanya dan masih merasa kurang nyaman karena dapat mendengar bisikkan-bisikkan orang yang membicarakan dirinya. Apakah ini hal yang wajar? Julian tidak tau pasti itu.
Jadi, yang Julian lakukan setelah turun dari mobil dan memasukkan kunci mobilnya ke saku celana abu-abunya adalah berjalan secepat mungkin dengan kaki panjangnya, melewati orang-orang yang menatapnya dan berusaha sekeras mungkin agar tidak menundukkan kepalanya saat tengah berjalan.
Julian meletakkan ibu jari kanannya untuk absen di mesin finger print yang berada di depan ruangan tata usaha, tapi tidak terbaca karena keringat yang membasahi tangannya begitu banyak. Selain baru saja menyetir, Julian juga masih harus terbiasa dengan perlakuan seperti tadi, jadi ia mengepalkan tangannya erat-erat. Julian mencoba lagi, namun kali ini dengan jari telunjuknya, dan berhasil hanya pada percobaan ke dua.
Begitu selesai, ia melanjutkan langkahnya dan berhenti di ruang guru. Pikirannya melayang kemana-mana, dan mulai berpikir keras.
Baru saja ia hendak menjejalkan kakinya masuk dan melangkah lebih jauh, sebuah suara menghentikan pergerakkannya.
"Julian Peter Rouvin."
Julian menoleh dan mendapati Bu Anita dengan tasnya dan kunci mobil serta ponsel yang masih berada di genggamannya. Rupanya Bu Anita juga baru datang.
"Ayo, silahkan masuk," ujar Bu Anita dengan percaya diri, yakin kalau kedatangan Julian adalah untuk menemuinya.
Akhirnya, mereka masuk ke dalam ruang guru dan menuju salah satu pintu lainnya untuk memasuki ruangan khusus guru sastra di setiap tingkatannya.
Julian duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Bu Anita.
"Gimana? Udah mutusin?"
Jadian aja belom, masa udah mutusin.
Julian mengangguk perlahan. "Saya juga udah nemuin dua orang lainnya yang cocok, Bu."
"Bagus," ungkap Bu Anita dengan semangat. "Jadi, siapa aja pilihan kamu? Yang menurut kamu bisa ikutan olimpiade ini bareng sama kamu."
"Yang pertama: Jichan Lee, Bu."
Alis Bu Anita terangkat. "Jichan Lee? Kelas bahasa dua?" tanya Bu Anita, hendak memastikan.
"Saya kurang tau dia kelas berapa, Bu. Tapi, iya, Jichan Lee."
"Kenapa kamu milih Jichan Lee dari 75 murid kelas bahasa?" tanya Bu Anita. "Jichan Lee itu pemalas, dia bahkan tidak pernah mengerjakan tugas sekolahnya."
Seperti yang sudah Julian duga. Pasti orangnya akan seperti itu.
"Tapi, Jichan tau banyak soal sastra terlebih novel. Buktinya dia bisa tau karya Agatha Christie, dia juga baca hampir seluruh novel lama di perpustakaan."
"Kamu yakin?" Bu Anita sepertinya mulai goyah, dan tentu saja langsung dibalas anggukkan oleh Julian. "Lalu, yang satu lagi?"
Julian tersenyum. "Claretta Damara, kelas bahasa tiga."
• • • • •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top