6. Who Are You?

"Sometimes, hiding is the best choice."
—Julian Rouvin.

• • • • •

Julian membelalakkan matanya, dan langsung berlari melewati celah yang berada tepat di sampingnya—celah yang berada di dekat dinding, tanpa harus melewati seseorang yang tanpa sengaja ia lembari dengan buku super tebal miliknya itu.

"Heh! Siapa lo, ha!?" teriak seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Claretta.

Julian bersembunyi empat rak jauhnya dari tempat perkara. Ia meraih buku dengan asal seolah-olah sedang membaca buku tersebut dan menyamarkan dirinya sebagai 'bukan siapa-siapa' dan si 'tidak tahu apa-apa'.

Namun, ada satu ke khawatirannya: bukunya masih berada di dekat Claretta.

Claretta memegangi perutnya yang kena lempar buku super duper tebal dan meraih buku tadi dengan kesal. Ia tidak habis pikir dengan orang yang bisa-bisanya melemparinya dengan buku setebal ini. Apa orang itu memiliki dendam pribadi terhadapnya, barangkali?

Dengan kesal, Claretta meraih buku tadi dan memasukkannya secara asal ke dalam rak buku.

"Ah geblek, sakit banget," keluh Claretta.

Kehilangan seleranya untuk berbaring di pojok dan tidur, Claretta melangkahkan kakinya keluar dan hendak mengganti haluannya untuk tidur. Sepertinya menggelar tikar di belakang kelas adalah ide yang bagus untuk saat ini.

Begitu Claretta melewatinya, entah apa yang membuat Julian susah payah menahan napas dan mencoba fokus pada tulisan yang ia baca secara terbalik itu karena ia tidak memposisikan bukunya dengan benar.

"Buku lo kebalik tuh," ujar seseorang yang entah sudah sejak kapan berada di samping Julian.

Julian tersentak sedikit dan menoleh untuk memerhatikan salah seorang siswa yang tingginya tidak berbeda jauh dengannya dan ukuran mata yang tidak terlalu besar itu. "Iya, sengaja," jawab Julian sekenanya.

"Oh, lagi jaman ya baca buku kebalik? Gaya-gaya anak tumblr?"

Alis kanan Julian terangkat.

"Bercanda," tambahnya. "Gak lucu ya?"

Julian menggelengkan kepalanya. "Enggak."

Cowok itu mengangguk paham. "Baiklah kalau seperti itu, anggap saja kita tidak pernah bertemu."

Begitu cowok tadi melenggang pergi ke rak selanjutnya. Julian hanya bisa diam dan mengerjapkan matanya selama beberapa kali.

"Sakit ya tuh orang?" gumamnya.

"Eh bentar-bentar!"

Julian tersentak.

Murid tadi tiba-tiba sudah berasa di hadapannya lagi dan menatap Julian dengan seksama.

"Oh my, God," desis Julian, memejamkan matanya dan mencoba menetralkan jantungnya yang berpacu kian cepat karena terkejut. "Apa?"

"Lo anak baru yang jadi hot topic itu kan?" tanya cowok itu yang sepertinya sudah memiliki jawabannya tersendiri. "Gue Jichan Lee, salam kenal!"

Sekarang Julian paham kenapa mata Jichan yang bermarga Lee itu tidak terlalu besar dan tidak memiliki lipatan kelopak mata. Dan saat Jichan kembali melangkah pergi, Julian baru sadar kalau di telinganya yang sebelah kiri terdapat sebuah anting.

Mencoba biasa saja dan tidak begitu perduli, Julian mulai melangkah menuju rak paling pojok tempatnya sebelumnya dan mencoba untuk mencari bukunya yang saat ia mengintai Claretta tadi, Claretta letakkan secara asal di dalam rak, dan karena kedatangan Jichan yang tak diundang membuat Julian lupa dengan tata letaknya.

"Ah, di mana ya."

"Hm, gue baru tau kalo di perpus ini ada buku karya Agatha Christie? Yang Towards Zero pula!? Gila, ini siapa yang nyumbang?!"

Julian mendongakkan kepalanya dalam hitungan detik dan mendapati Jichan tengah memegang buku miliknya. Secepat kilat, ia mendekat ke arah Jichan dan hendak meraih bukunya, namun Jichan berjingkat dan meletakkan bukunya tinggi-tinggi di udara.

"Ngapain lo?" tanya Jichan, memperhatikan Julian dengan mata elangnya.

"Itu buku gue." Julian langsung menjawab tanpa ragu, dan tidak membalas tindakkan Jichan seperti ikut berjingkat dan berusaha meraih bukunya. Bukan itu yang seharusnya ia lakukan.

Jichan menurunkan kakinya. "Buku lo? Gue gak yakin kalo lo tipikal orang yang suka baca buku beginian."

Julian mendesis pelan. "Gue juga gak yakin kalo lo tipikal orang yang tertarik sama buku yang udah ditulis sebelom Indonesia merdeka."

"Bener." Jichan mengangguk setuju. "Gue bukan orang kayak gitu."

• • • • •

Mata Syakilla tak dapat berpaling dari jam dinding yang berada di atas papan tulis kelas, dan tepat di bawah simbol burung pancasila seperti kelas-kelas di hampir seluruh sekolah di Indonesia. Matanya dengan jeli mengikuti pergerakkan jarum paling panjang yang bergerak setiap detiknya.

Triiiiiinnngg!

Syakilla berhore ria dalam hati. Tepat waktu.

Tangannya dengan lincah memasukkan seluruh perlengkapan sekolahnya yang hanya terdiri dari satu pulpen, satu pensil, satu penghapus, satu tip-ex, satu buku catatan campur-aduk, dan note kecil. Ia memasukkan seluruh buku paket pelajarannya ke kolong meja dan menyenggol siku Claretta selama beberapa kali seraya menyusun bukunya.

"Bangun, Re. Pulang."

Mata Claretta langsung terbuka lebar mendengar kata pulang. Yang Syakilla selalu bingungkan sejak dahulu karena Claretta tidak membuka matanya saat bell berdering dengan kerasnya.

Claretta itu susah tidur, dan susah bangun.

Dengan cepat, tangan Claretta langsung menyambar peralatan belajarnya yang tidak terpakai dan menjejalkannya masuk ke dalam tas.

"Buru-buru amat." Syakilla melirik sebentar. "Ngapa dah?"

Claretta tak menggubris selama beberapa saat lantaran sibuk dengan peralatannya. "Ini hari Rabu kan? Mampus dah gue."

Syakilla menutup resletingnya dan menoleh ke arah Claretta, menatapnya dengan tatapan sebal. "Lo mau bolos ekskul lagi, Re? Ish, serius apa, kalo nilai lo kosong nanti raport lo gimana?"

Claretta balas menatapnya dengan sinis. "Sejak kapan lo jadi maksa gue masuk ekskul gini?"

Syakilla mengetuk kepala Claretta dengan silikon ponselnya yang entah sudah sejak kapan ia lepaskan. "Gue yang kena omel terus, tai!" tukasnya. "Lo tau sendiri gue gak pinter jawab di depan guru, nggak kayak lo yang ngomong seenak jidat."

"Sakit!" Claretta memegangi kepalanya. "Lagian ngomong ya tinggal ngomong, susah amat. Lo juga, ngapain sih sok-sok an ikutan cheers segala? Badan lo aja kaku gitu."

Pletak!

Lagi. Kepala Claretta kena hantam.

"Jangan jujur gitu napasih!" pekik Syakilla, kesal. "Masih mending gue, biar kaku usaha ampe bisa. Dari pada lo, nggak kaku tapi gamau gerak."

Claretta merebut silikon ponsel Syakilla dan langsung balas menghantamnya. "Sakit!" tukasnya, seolah menyuruh Syakilla agar turut merasakan penderitaannya.

"Alesan aja lu kan biar ketemu Jichan!?" cecar Claretta kemudian.

Syakilla menepuknya dengan membabi buta. "Awas cepu lo ya!" pekik Syakilla tak tertahankan.

"Lagian, kebaca banget sih lu jadi orang. Itu ekskul cheers penuh sama fans-fansnya Jichan tau gak sih."

Syakilla menghela napasnya panjang. "Iya sih, mau gimana juga kecil kemungkinan buat gue dilirik sama dia. Gerakkan gue aja kaku banget, malu-maluin yang ada. Udah gitu, Jichan gak punya temen deket yang bisa gue pake sebagai koneksi antara hubungan gue dengan Jichanku yang tampan."

"Najis," umpat Claretta spontan, keluar begitu saja dari mulutnya tanpa diminta.

Syakilla menoleh dengan mata sendunya. "Iya, najis banget kan ya? Yaudahlah gue keluar aja dari cheers kalo gitu."

Pletak!

Satu hantaman mendarat di kepala Syakilla dan membuatnya meringis.

"Apa-apaan sih lo? Semangat lo bisa langsung padam gitu. Emang dasar ya, ayok dah gue ikut ekskul."

Mata Syakilla berubah jadi berbunga-bunga. "Beneran?"

"Cepet, sebelum gue berubah pikiran," papar Claretta, jelas.

"Siap! Ajarin gue ya ntar!"

Mereka pun berlalu meraih pakaian latihan yang sudah usang milik Claretta karena jarang dipakai dan segera menuju ke lapangan tempat anak-anak ekskul cheers latihan dan mendapat banyak perhatian dari siswa-siswi yang sedang menunggu waktu pulang dan beristirahat sejenak dari kegiatan menonton anak-anak ekskul basket.

"Eh, ada Claretta yang badai, yang nggak pernah masuk ekskul," sapa salah seorang anggota cheers yang sudah mengenakan seragam latihannya.

Claretta tersenyum masam ke arahnya. "Iya nih, Nesya. Gimana dong ya? Nanti posisi lo ilang lagi kan kalo ada gue."

Nesya menggeretakkan giginya dan bersiap untuk menyerang Claretta saat sebuah tepukkan tangan terdengar.

"Ayo-ayo sini kumpul!" teriak Bu Diana sebagai pelatih cheers.

Mereka pun beralih dan melangkah mendekat ke arah Bu Diana yang duduk di pinggir lapangan, di atas kursi yang terbuat dari bata yang menjadi ukuran seni lapangan.

Namun, saat Claretta melangkah, kepalanya terbentur bola basket yang entah datang dari mana sampai ia terhuyung jatuh. Syakilla cepat-cepat berlari ke arahnya.

Sementara Nesya baru saja hendak berbahagia dan menertawakan penderitaan Claretta saat ia melihat siapa yang tengah berlari ke arahnya, atau lebih tepatnya ke arah Claretta.

"Sorry," ucapnya, mencoba meraih tangan Claretta dan membantunya selagi Syakilla mematung di tempatnya. "Lo gapapa?"

Itu Jichan.

Claretta melirik tajam ke arahnya. "Bisa main basket gak sih lo?" tanya Claretta yang sukses membuatnya semakin menjadi sorotan mata.

Jichan menghela napasnya. "Kayaknya gue gak bakat main basket, ya?" tanya Jichan.

Claretta meraih basket dan melemparnya ke arah Jichan sekeras mungkin. "Nah, pake nanya!" tukasnya kesal.

Untung saja, Jichan cekatan dalam meraih basketnya. Dan selagi meraih basketnya, Jichan perlahan memerhatikan Claretta. Apa dia yang sedang dipermalukan di depan umum sekarang? Jichan hampir berdecak tak percaya. Cuman ini cewek yang bisa dan berani giniin gue.

Sementara dari koridor lantai dua, di depan perpustakaan, seseorang tengah memerhatikan keduanya.

• • • • •

Fantagio's Visual Seo Kangjoon as Jichan Lee!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top