5. Unpretty Idol School

"I don't think I am pretty. I am just too gorgeous to be pretty."
—Claretta Damara.

• • • • •

Claretta memejamkan matanya dan berharap seluruh kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk di siang bolong belaka.

Ada apa dengannya hari ini? Kenapa ia merasa begitu sial?

Gadis dengan tinggi seratus enam puluh tiga senti meter itu hendak memaki-maki orang yang keluar dari toilet dengan seenaknya tanpa memberi sen itu, namun kantung kemihnya sudah tidak dapat lagi ia tahan.

"Ahelaahh."

Claretta susah payah berdiri dan lanjut berlari untuk masuk ke toilet meninggalkan cowok yang kini tengah memegangi perutnya yang baru saja ditubruk oleh Claretta.

"Gak minta maaf?" tanya cowok itu kepada hembusan angin.

Sementara Claretta menyelesaikan urusannya dengan perutnya, ia beralih ke wastafel dan membasuh wajahnya dengan air dingin berkali-kali agar tersadarkan sepenuhnya. Setelah itu, ia mengangkat sedikit rok spannya dan terbelalak mendapati lebam yang sangat besar di lututnya, ibaratkan sudah jatuh tertiban tangga pula.

"Ah, sakit banget gila," umpat Claretta, mengalihkan keran dari air dingin menjadi air panas. Ia menunggu dan kemudian meraih tisu untuk ia basahi dan ia letakkan pada kakinya yang bengkak.

Setelah selesai, Claretta menurunkan kembali roknya dan berjalan keluar dari toilet dengan langkah yang tidak seimbang.

"Pake jatoh segala tadi, makin sakit aja dah," gerutu Claretta tak kunjung henti.

Claretta berjalan keluar dengan kepala yang tertunduk karena sibuk merapihkan roknya yang sedikit lecek sehabis ia angkat dan lembab akibat bekas air hangat.

Brugh.

Kepala Claretta menubruk sesuatu yang tidak begitu keras, namun tidak juga lembut seperti bantal. Claretta meyakini kalau itu adalah sebuah dada yang bidang, barang kali.

"Aw." Claretta memegangi kepalanya yang tertubruk dan mendongakkan kepalanya secara dramatis.

"Punya mata nggak dipake?"

Claretta menyerngitkan alisnya. Bukan karena pertanyaan yang diajukan cowok di hadapannya kini, tapi lebih ke memerhatikan wajah cowok ini dengan seksama karena ia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

"Lo siapa dah?" Malah itu yang justru keluar dari mulut Claretta.

Kini giliran alis cowok itu yang bertautan. "Lo masih nanya itu lagi?"

Kalimat ganjal barusan tertangkap oleh telinga jeli Claretta. "Lagi?" ulangnya. "Ohiya, lo cowok sok ganteng yang kemaren di perpus 'kan?"

Itu Julian.

Serius, mendengar ucapan yang dengan mudahnya meluncur dari bibir Claretta membuat Julian ingin tertawa seperti kemarin, namun kata-kata kakak perempuannya masih terngiang dengan jelas di telinga Julian, jadi ia hanya memasang ekspresi biasa saja.

"Lo udah nabrak gue dua kali, dan lo masih gak mau minta maaf?" tanya Julian, mengalihkan topik pembicaraan.

Claretta terkekeh pelan. "Gila lo ya?" tanyanya. "Pertama, lo keluar dari toilet gak pake liat kanan kiri dulu, langsung nyerobot keluar gitu aja, udah tau jalanan sempit. Ke dua, ngapain coba lo diem di tengah jalan? Emang koridor punya nenek moyang lo? Minggir aturan."

Julian kehabisan pikirannya. Ini cewek masih nggak berubah juga ternyata.

Otaknya berputar, mencari kata-kata yang tepat untuk bisa membalas perkataan pedas dari Claretta. Julian masih newbie dalam bidang seperti ini. Ini hari pertamanya mencoba seperti ini. Ini kali pertama baginya memunculkan jati diri barunya.

Dengan susah payah, Julian menghela napasnya. "Yakin bukan lo yang gila?" balas Julian setelah berpikir keras. "Pertama, lo lari kenceng banget kayak jalanan punya nenek moyang lo, jadi gue nggak mungkin bisa mengantisipasi kedatengan lo. Kedua, gue diem aja kan? Berati seharusnya apa? Kalo lo liat tiang yang lagi diem gitu aja, berati lo bakalan bodo amat dan lewat nabrak tiang itu?"

Claretta menyisir rambutnya dengan jemarinya. "Bahasa lo berat banget kayak buku cetak sejarah, nggak ngerti."

Julian memijat pelipisnya.

"Lagi pula, emangnya lo tiang?"

Mata Julian terbelalak mendengar pertanyaan yang mencelos dari Claretta.

"Susah banget minta maaf?" tanya Julian hampir kehabisan kesabarannya.

"Gak penting," kata Claretta. "Bye." Dan ia melenggang pergi.

Sementara Julian, masih termenung di tempatnya. Apa itu yang bisa dilakukan oleh the most wanted boy di sekolah? Dia mendapat pelajaran baru kali ini. Pelajaran yang bisa ia petik untuk menjadi apa yang dimaksud oleh Kezhia. Ia mulai paham sekarang.

• • • • •

Bell pertanda istirahat terdengar lebih nyaring dibandingkan dengan suara bell-bell lainnya di telinga para siswa dan siswi. Mereka langsung merengek-rengek ketika ada guru yang sengaja memperpanjang waktu mengajar mereka dan mengambil jam istirahat.

"Duh laper."

"Yah perut gue dempet dah."

"Yah somay mang ujang keburu dingin dah."

"Yaelah kalo begini gue bakal keabisan kuah bakso dah."

"Mas Tatang nge-line gue nih katanya esnya bentar lagi cair."

Begitu terus sampai mereka berhasil mendapat perhatian dari  guru yang mengajar dan langsung berhambur keluar kelas begitu sang guru mengatakan kalau waktu belajar telah berakhir.

Julian masih terdiam di tempatnya dengan tatapan lurus ke depan.

Sementara Aldy, terlihat ragu di tempatnya. "Ehm.. Julian?" panggilnya dengan ragu.

Awalnya, Aldy berpikiran memanggil Julian dengan embel-embel di depannya. Seperti kak, tapi ia ingat kalau mereka jelas seumuran karena berada di kelas yang sama. Sedangkan pak, tidak mungkin karena Julian tidak setua itu dan yang ada Aldy malah kena maki seperti pagi tadi.

Aldy sedikit tersentak saat Julian menolehkan kepalanya. "Kenapa?" tanya Julian.

"Ng—anu.. nggak ke kantin? Sudah jam istirahat," ucapnya ragu-ragu.

Julian hampir saja tertawa di tempatnya. Kenapa juga Aldy malah jadi takut kepadanya? Memangnya apa yang Julian lakukan sampai-sampai sikapnya seperti itu?

"Duluan aja," balas Julian.

Aldy menghembuskan napasnya lega. Setidaknya Julian menjawab baik-baik sekarang ini.

"O-oke," ujarnya. "Saya duluan ya."

Begitu Aldy keluar, Julian termangu di tempatnya. "Apaan dah dia ngomongnya pake saya."

Dan setelahnya, Julian meraih bukunya dari dalam ransel dan bangkit untuk menuju perpustakaan.

Begitu sampai di perpustakaan, Julian terdiam sebentar di hadapan jejeran kursi dan meja belajar yang tersedia untuk para pembaca. Namun setelahnya, ia lanjut berjalan di atas karpet merah yang menutupi seluruh lantai perpustakaan menuju tempat di mana ia bertemu dengan Claretta pertama kali. Julian duduk bersandar dan menyelonjorkan kaki panjangnya.

Hendak melanjutkan bacaannya, pikiran Julian malah justru kabur ke mana-mana di saat matanya tertuju pada cetakan tulisan di buku setebal empat ratus delapan puluh tiga halaman yang berada di genggamannya.

Julian kehilangan fokusnya.

"Ah! Kenapa dia bisa cantik gitu sih pas lagi ngatain orang?!"

Tangannya tanpa sadar melempar buku tebalnya ke depan dan mengenai seseorang yang sedang berjalan melewati rak buku tempat Julian berada.

"Ak! Sakit!"

Yang menjadi masalah besar sekarang adalah fakta bahwa Julian mengenali suara itu.

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top