4. Being Called Again

"The old me was gone with bad memories, welcome to the new me."
—Julian Rouvin.

• • • • •

Semenjak bertemu saat absen di depan ruangan Tata Usaha dan di sepanjang koridor sekolah menuju kelas, Syakilla tak henti-hentinya berbicara sesuatu yang tak dapat Claretta tangkap dengan jelas apa maksudnya.

"Retta! Lo dengerin gue gak sih!?" hardik Syakilla tak sabaran, karena Claretta sama sekali tak merespon omongannya.

Syakilla terpaksa menghentikan langkahnya karena langkah Claretta yang tiba-tiba terhenti.

"Kenapa sih lo?" Entah itu sudah pertanyaan ke berapa yang terucap dari bibir Syakilla.

Claretta memandangi lantai koridor dengan tatapan kosong, pikirannya seolah berada di awang-awang.

"Re!" pekik Syakilla, menghentakkan kedua bahu Claretta dan hampir membuatnya jungkir balik di koridor saking kagetnya.

"Kaget sih."

Ucapan yang terlontar dengan manisnya dari mulut Claretta malah jadi membuat Syakilla makin kesal bukan main. Seperti biasa, tingkah laku Claretta yang menyebalkan. Syakilla seketika berharap kalau Claretta terus diam saja dan tidak perlu berbicara dengannya.

Melihat wajah murung Syakilla, Claretta langsung merangkulnya. "Jangan ngambek elah," ucapnya.

"Ya lo abisannya ngeselin banget sih."

Claretta mengangguk tanda setuju. "Abisan gue kaget aja pas denger lo bilang nyokap gue minta maaf."

Mereka melalui anak tangga menuju kelas bersama-sama.

"Emangnya kenapa?" tanya Syakilla.

"Nyokap gue sama kayak gue, susah minta maaf."

• • • • •

Julian merasa risih karena di sepanjang perjalanannya menuju kelasnya di lantai tiga, hampir seluruh pasang mata tertuju kepadanya. Entah itu hanya sekedar melihat, atau memerhatikan secara menyeluruh yang membuatnya merasa seperti tengah dilucuti.

Karena enggan menjadi sorotan dengan tatapan yang Julian tidak ketahui pasti apakah tatapan itu menyukainya atau justru kebalikannya, Julian mempercepat langkahnya dan melompati dua sampai tiga anak tangga sekaligus untuk cepat-cepat naik ke atas.

Dan tepat sebelum sampai ke lantai tiga, Julian tersandung.

"Damn," umpat Julian, cepat-cepat bangkit dari posisinya selagi tidak ada orang yang melihatnya di tangga atau di koridor lantai tiga.

Selagi tangan kanannya memegangi lutut kanannya yang terasa nyeri bukan main, Julian melanjutkan langkahnya menuju kelas yang kemarin ia masukki.

Rupanya, penderitaan Julian belum berhenti sampai di situ. Karena, begitu ia sampai kelas, sama seperti sebelumnya ia kembali mendapati seluruh tatapan mata yang tertuju padanya. Julian merasa risih di sekujur tubuhnya, ia tidak biasa dengan keadaan seperti ini tapi ia masih mengingat dengan jelas perkataan kakak perempuannya malam tadi.

"You should trying to be cool, and untouchable."

Kata-kata itu kembali terngiang di kepalanya.

Dan dengan segenap usahanya, termasuk menahan rasa sakit di kakinya, Julian menetralkan ekspresinya kemudian berjalan dengan kaki panjangnya menuju kursinya yang terletak di paling pojok dan belakang ruangan kelas.

Meletakkan tasnya di atas meja, Julian langsung duduk di pinggir dan melipat celana panjangnya ke atas demi bisa melihat keadaan kakinya yang terbentur pinggiran tangga, namun telinganya mendengar suara-suara aneh.

"Anjir-anjir!"

"Itu dia mau buka di sini?"

"Ah, jangan dong! Jadi enak."

Julian mengatupkan rahangnya dan menolehkan kepalanya ke seluruh penjuru kelas yang seketika membuat suara-suara tadi meredam.

Tangannya lanjut melipat celananya sampai luturnya yang kebiruan terlihat. Ia mendesis pelan karena mendapatkan memar yang cukup besar dan serius.

Ia meraih tasnya dan membuka resleting kecil di bagian depan tas, yang terdapat perlengkapan yang selalu ia bawa: salep serba guna, obat merah, kain kasa, dan perekat. Ia  meraih salep dan kain kasa yang sudah terpotong-potong kecil kemudian ia membuka tutup salep dan meletakkannya di kain kasa untuk ia oleskan ke lututnya karena enggan tangannya terkena salep yang menimbulkan bau kurang sedap dan terkesan pedas kalau terkena mata.

Setelah selesai, Julian menurunkan lagi celananya dan merapihkan perlengkapannya, kala di rasa seseorang berdiri di hadapannya dengan kepala tertunduk.

Julian mendongakkan kepalanya dan mendapati anak laki-laki dengan kacamata yang Julian kira tebalnya mencapai dua senti itu tengah menatap lurus-lurus ke lantai di bawah.

"Permisi," ujarnya perlahan dan hampir tergagap.

Julian mendekatkan telinganya. "Apa?" tanyanya.

"Permisi," ucapnya lagi. "Itu tempat duduk saya."

Julian tidak yakin, apakah ini telinganya yang rusak atau anak laki-laki dengan seragam ekstra besar ini melantur dalam berbicara.

"Excuse me?" ulang Julian, memastikan pendengarannya. "This is just an empty seat yesterday."

Kepala anak itu terangkat sedikit. "E-eh?"

Julian memutar bola matanya, dan seketika terbesit di benaknya kalau ia pasti sudah benar-benar mendalami karakter barunya seperti yang Kezhia arahkan.

Julian memperhatikan seragam anak tadi dan melihat nametagnya. "Di sini kosong kemaren, Aldy Saputra," ucapnya memperjelas.

Suara-suara di balik punggung Aldy mulai terdengar kembali di telinga Julian.

"Mampus tuh si Aldy, abis dah."

"Iya ih, tadi aja pas nengok tatapannya tajem banget kayak nusuk hati gitu."

"Terpesona lu ya?"

Aldy nampak kikuk beberapa saat. "Itu—kemaren saya sakit, jadi nggak masuk."

Susah payah, Julian meneguk salivanya. "Yaudah duduk," paparnya.

Aldy sepertinya kalah telak dan enggan membuka suara lebih lanjut lagi, karena ia jalan memutar di belakang kursi Julian untuk mencapai tempat duduknya di pojok dan duduk serapat mungkin dengan dinding. Aura Julian begitu kuat dan hawanya begitu mengintimidasi bagi Aldy.

Tak lama setelah itu, bell sekolah berdering menandakan pelajaran yang akan segera dimulai. Julian menghembuskan napasnya panjang.

"Welcome the new me."

• • • • •

Matanya berubah sayu begitu guru masuk dan jam pelajaran telah dimulai. Syakilla menghela napasnya dan menyenggol bahu Claretta agar tidak tertidur saat mata pelajaran baru di mulai. Ditambah lagi, hukuman Bu Anita alias guru sastra bahasa tidak pernah main-main.

"Re, jangan tidur dulu," bisik Syakilla tanpa menoleh ke arahnya.

Claretta mengedipkan matanya beberapa kali. "Iya," jawabnya.

Bersusah payah untuk menahan rasa kantuknya, Claretta terus mengerjapkan matanya selama lima menit terakhir, dan ia sudah tidak tahan lagi menanggung rasa kantuk yang menjalar di sekelubung lingkar matanya.

"Claretta Damara."

Merasa namanya dipanggil, Claretta langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebelum Bu Anita menghujatnya dengan kata-kata.

"Bu, saya izin ke toilet ya, Bu!" pekik Claretta, teramat bersemangat sampai Syakilla harus menutup telinga kirinya sedikit dan membangunkan beberapa anak lain yang hampir tidak sadarkan diri.

Bu Anita mendesis pelan. "Ya udah sana, cuci muka biar nggak ngantuk!"

"Siap, Bu!" Claretta terlalu bersemangat sampai menyebabkan lututnya terbentur meja saat ia bangun dari posisinya.

"Ak!" pekiknya tertahankan seraya memegangi lututnya yang terasa nyeri.

Syakilla memukul lengannya saat sedikit memajukan kursi untuk membiarkan Claretta lewat. "Pelan-pelan apa sih jadi orang!"

Selagi terkekeh pelan, Claretta melaju dengan cepat keluar kelas walau kakinya terasa nyeri. Ia menuju toilet yang berada di pojok lantai tiga, tempat di mana kelasnya berada. Dan saat di perjalanan menuju toilet dengan langkahnya yang sedikit tertatih-tatih, Claretta berhenti melangkah karena seseorang menarik pergelangan tangannya yang bebas.

Andai saja kakinya sedang tidak sakit, Claretta pasti sudah akan menendang orang yang berani-berani menarik tangannya saat ia menoleh.

"Re," panggil seseorang yang suaranya sudah tidak asing lagi di telinga Claretta.

Claretta mendesis pelan dan menoleh ke arah suara tadi berasal. "Apa?" tanya Claretta langsung.

Cowok yang delapan senti lebih tinggi dari Claretta itu adalah Bastian, cowok yang bisa dikatakan menjadi seseorang yang paling diidam-idamkan di SMA Bhinneka karena perawakan dan juga wajahnya yang tampan. Tapi, tidak dengan Claretta, karena menururnya Bastian terlalu biasa saja untuk dijadikan gebetan atau bahkan pacar. Selera Claretta terlalu tinggi.

"Mau ke mana?" tanya Bastian, basa-basi.

"Ya menurut lo mau ke mana?" balas Claretta tidak sabaran.

"Nggak tau, makanya gue nanya."

"Kalo gue jawab, lo mau ngikutin gue gitu?"

Bastian mengangkat bahunya. "Bisa jadi."

Claretta menggigit bibir bawahnya sebentar, hendak membalas perkataan Bastian namun pikirannya teralihkan. Ia menghempaskan tangannya yang digenggam oleh Bastian dengan kencang.

"Gue kebelet, tai!" tukasnya kesal, dan langsung berlari dengan sedikit terpincang-pincang karena kakinya yang sakit.

Bugh!

Claretta terjatuh saat melewati toilet laki-laki di perjalanannya menuju toilet perempuan. Ia menabrak seseorang yang baru saja keluar dengan kerasnya.

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top