2. Strangers

"People we don't know is just a strangers."
—Claretta Damara.

• • • • •

"Lo siapa?"

Berhubung Claretta bukan tipikal orang yang pemalu, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Tanpa ada getaran di nadanya.

Cowok itu nampak terkejut dengan pertanyaan yang Claretta ajukan dan nada bicaranya. Ia hampir tertawa saking tidak percayanya dengan kenyataan yang ia hadapi sekarang ini.

"Lo nggak kenal gue?" tanya cowok tadi, kini berusaha mendekatkan diri dengan perlahan.

"Lah, situ oke?"

Akhirnya ledak tawanya lepas begitu mendengar pertanyaan dari Claretta yang sebenarnya ditujukan untuk menjatuhkan dirinya. Namun entah kenapa, kata-kata itu malah terdengar lucu di telinganya. Nampaknya, gadis di hadapannya ini benar-benar tipikal perempuan yang mengeluarkan segala sesuatu yang ia pikirkan.

"Bukan-bukan," katanya, berusaha meredam tawa. "Lo bener-bener gak tau gue siapa?"

Claretta menyerngitkan dahinya. "Emangnya lo penting banget sampe gue harus tau lo siapa?" balasnya.

Baru saja laki-laki dengan perawakan tinggi itu hendak mengajukan kembali pertanyaan kepada Claretta, gadis itu keburu bangkit dari posisinya dan meletakkan buku yang sebelumnya ia banting secara asal di salah satu rak buku dan berjalan menjauh dari laki-laki yang dinilainya aneh itu.

"Sok ganteng banget tuh anak baru," gerutu Claretta, mencari spot lainnya yang dikiranya nyaman untuk ia gunakan sebagai persembunyian terbarunya.

Baru saja Claretta duduk dan meraih buku untuk menutupi wajahnya, Syakilla datang dengan terengah-engah ke arahnya—sehabis mengitari perpustakaan besar ini demi bisa menemukan keberadaannya.

"Re, disuruh balik ama Bu Jena sekarang."

Claretta menggeretakkan giginya. "Ah elah, kenapa gak ada orang yang bisa biarin gue tidur tenang si!? Sepuluh menit aja gitu! Sirik banget dah orang-orang ama hidup gue!" pekik Claretta tak tertahankan.

Mendapat caci makian yang terlalu tiba-tiba, membuat Syakilla mundur selangkah demi selangkah, takut tiba-tiba Claretta akan melemparinya dengan buku atau sesuatu yang lain.

"Kalo nggak balik sekarang kita bakalan masuk BK."

Claretta bangkit dari posisinya dan melempar bukunya ke rak kosong. "Ayok kita ke kelas."

Karena hal yang paling Claretta benci adalah; masuk BK, dapat surat panggilan, dan kena ocehan yang tiada habisnya dari sang Mama di rumah.

• • • • •

Claretta sampai di rumah saat jarum jam menunjukkan angka empat sore, yang mana artinya itu bersamaan dengan jam pulang Mamanya dari butik.

"Mama pulang.."

Gadis dengan mata sayu itu menghela napasnya karena tebakkannya benar. Ia selalu kebingungan dengan ekspresi yang seharusnya ia keluarkan saat kepulangan Mamanya, karena ia tidak akan sanggup meladeni ocehan mamanya setelah ini.

"Waalaikumsallam," balas Claretta.

Sementara Shanty—mama Claretta—tersenyum dengan ungkapan Claretta yang cenderung ke arah meledek, ia menghentikan Claretta yang baru saja hendak melangkah masuk ke kamarnya dengan cara menarik pergelangan tangannya.

"Mama udah bikin baju baru buat pesta sweet seventeen kamu nanti," ungkap Shanty berbunga-bunga, yang membuat Claretta ingin marah-marah hanya karena mendengarnya.

"Ma, ulang tahun aku masih empat bulan lagi, Ma. Empat bulan. Bukan bulan depan."

Shanty menitahkan Claretta agar duduk di sofa ruang keluarga bersamanya, kemudian menatap anak semata wayangnya itu. "Mama udah bikin designnya, besok baru mulai beli bahan-bahannya kok, terus jaitnya palingan baru bisa mulai bulan depan, soalnya akhir bulan ini ada fashion show."

Claretta balas memegang tangan mamanya yang terasa begitu hangat saat ia genggam, namun Claretta tak menunjukkannya sama sekali.

"Ma, bikin bajunya dua bulan lagi juga nggak papa kok, Ma. Gak usah buru-buru," ujarnya, berusaha dengan susah payah agar tidak meledak-ledak saat berbicara dengan orang tuanya.

"No way!" pekik Shanty. "Pokoknya mama mau yang amazing for your sweet seventeen birthday party."

"Papa nggak pulang juga, percuma."

Seketika Claretta ingin menampar mulutnya sendiri karena telah berkata sedemikian rupa. Ia mendongak dan menatap mamanya yang kini berubah lesu. Claretta benar-benar menyesal telah membuat wajah cantik nan ceria milik mamanya itu lenyap dan sirna tergantikan oleh kemurungan serta kesedihan.

Claretta begitu ingin mengajukan permintaan maafnya kepada sang mama, namun entah kenapa rasanya meminta maaf terasa begitu sulit bagi Claretta. Tak ada sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya sekarang ini.

Shanty terlebih dahulu bangkit dari posisinya. "Jangan lupa makan ya, itu mama beliin makanan buat kamu," nasehat Shanty sesaat sebelum ia melangkahkan kakinya menuju kamar dan meninggalkan anak semata wayangnya yang kini terdiam di posisinya.

Setelah beberapa lama terdiam, Claretta meraih paper bag yang sebelumnya dibawa masuk oleh mamanya dan melihat ada tiga kotak makanan di sana. Ia membukanya dan mendapati beef lasagna dengan ekstra cheese di masing-masing kotaknya.

Menarik napas dan mengeluarkannya panjang-panjang, Claretta meraih ponsel dari saku seragamnya dan mencari sebuah nomer yang sekiranya paling tepat untuk ia hubungi sekarang ini.

"Syakilla sepupuku yang paling cantik sedunia, ke rumah gue dong. Ada makanan kesukaan lo nih."

• • • • •

Sedang asik berkutat dengan buku Ivanhoe karya Sir Walter Scott, laki-laki bernama lengkap Julian Rouvin itu harus rela kehilangan fokusnya saat pintu kamarnya diketuk lumayan keras.

"Julian. Turun! Mama udah masakkin makan malem, nih!"

Walau enggan beralih dari buku bacaannya, Julian meraih pembatas buku yang sengaja ia buat sendiri untuk buku-buku favoritnya dan meletakkan bukunya di atas meja belajar.

"Bentar!" balas Julian, menggeser kursinya kemudian melenggang keluar dari kamarnya.

Dengan hanya menggunakan kolor pendek berwarna hijau dan kaus oblong abu-abu, Julian melangkah turun menuju meja makan yang sudah terisi oleh kedua orang tuanya. Ia duduk di hadapan mamanya.

"Kakak mana?" tanya Julian, menyadari ketidak hadiran kakak perempuannya.

"Lagi beli buku," jawab sang mama.

"Bagus deh." Julian memulai kegiatan makannya.

"Gimana sekolah baru kamu?" tanya Michael Rouvin—papanya, dengan logat bicara Bahasa Indonesianya yang lucu, membuka pembicaraan di sela-sela waktu makan.

Julian meneguk air putihnya. "Baru banget mulai sekolah. Nggak gimana-gimana."

"Terus, kamu masuk kelas berapa?" kini giliran Eva—mamanya—yang bertanya.

"Kelas Bahasa lah, Mah. Kan emang jurusan Bahasa," jawab Julian.

"Ya mama juga tau keles," kata Eva. "Bahasa berapa?"

"Bahasa satu."

"Terus anak-anaknya di sana gimana?" Papanya bertanya lagi.

Julian benar-benar tidak tau kapan ia bisa memulai kegiatan makan malamnya dan segera kembali ke kamar untuk bisa melanjutkan kegiatannya membaca kalau kedua orang tuanya terus-menerus menghujaninya dengan pertanyaan seperti ini, sampai tiba-tiba terbesit sesuatu di benaknya.

"Inget Claretta Damara?" tanya Julian tiba-tiba.

Mamanya mengerutkan keningnya. "Claretta Damara yang mana?"

"Yang satu SMP."

Eva terlihat menimang-nimang sesaat. Pikirannya menerawang dan membawa serius pembicaraan anak laki-lakinya ini. "Claretta Damara yang lagi mama pikirin sekarang ini bukan?"

"Iya yang itu!" balas Julian tidak sabaran. "Sekarang kita satu sekolah lagi masa."

Eva dan Michael kini saling bertukar pandangan dan melontarkan ucapan melalui isi hati masing-masing. Senyum tak terelakkan dari wajah keduanya begitu sadar dengan perubahan ekspresi dan nasa bicara dari anak laki-lakinya saat mengubah topik pembicaraan.

"Yang namanya jodoh emang nggak kemana, yakan?"

Julian kehilangan kata-katanya, dan terpaku di tempatnya. Apa Mamanya baru saja meledeknya?

• • • • •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top