1. Looking For a Book
"Book is a life."
—Julian Rouvin.
• • • • •
"Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, di antaranya: perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan—"
Matanya sudah tak sanggup untuk terbuka lebih lama lagi.
Setelah sekian lama menahan rasa kantuk yang menjalar di sekelubung lingkar matanya, akhirnya gadis berusia 16 tahun dengan nama lengkap Claretta Damara itu memutuskan untuk melipat kedua tangannya di atas meja dan menelusupkan wajahnya di sana selagi matanya terpejam. Dan selang beberapa detik, Claretta sudah tak sadarkan diri.
Syakilla, yang duduk tepat di samping Claretta, menghela napasnya panjang-panjang begitu ekor matanya mendapati Claretta yang duduk di pojok sudah mulai melenusuri alam mimpinya. Ia sedikit memutar posisi duduknya agar bisa menutupi Claretta dari jangkauan pandangan Bu Jena yang sedang mengajar kali ini. Syakilla tidak tau apa jadinya kalau Bu Jena mendapati Claretta yang lagi-lagi tidur selama pelajarannya berlangsung.
"Claretta Damara."
"Mampus," umpat Syakilla pelan dan menggigit bibir bawahnya serta menutup kedua mata selagi telinganya mendengar derapan langkah sepatu tinggi mendekat ke arahnya.
Bu Jena berdiri di hadapannya.
"Syakilla," tegur Bu Jena, membuat Syakilla tersentak dan langsung membuka kedua matanya.
"I—iya, Bu?" tanya Syakilla ling-lung. Matanya bertemu dengan mata Bu Jena yang setajam silet.
"Minggir toh," ujarnya, membuat Syakilla tersadar dan langsung saja bangkit dari posisinya agar Bu Jena bisa duduk di tempatnya.
Seluruh mata di kelas tertuju kepada Claretta yang masih bergeming.
Bu Jena menyenggol tangan Claretta yang ia gukanan sebagai bantalan untuk tidur dan tidak mendapatkan respon sama sekali.
"Claretta Damara," panggil Bu Jena dengan kharisma guru killer seperti biasa.
Claretta masih diam di posisinya.
"Claretta Damara." Bu Jena memanggil namanya lagi. Namun kali ini bersamaan dengan tangannya yang menyenggol tangan Claretta.
Claretta bergeser sedikit dari posisinya. "Bacot lu ah."
Seisi kelas membeku seketika.
Merasakan hawa aneh yang berasal dari tempat Syakilla duduk, Claretta menggaruk telinganya yang sama sekali tidak gatal. Dan karena sudah merasa tidak nyaman serta terganggu kegiatannya, Claretta mendongakkan kepalanya dengan mata yang masih terpejam.
"Panas banget sih, Kill," tutur Claretta, mengusap-usap pipinya sendiri.
Selagi Claretta sibuk dengan dirinya sendiri dan mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan, berharap udara menyejuk, Syakilla keringat dingin di tempatnya karena ketakutan dengan apa yang Claretta lakukan setelah ini. Syakilla yakin, Claretta bukan tipikal orang yang diam saja saat diganggu, apalagi saat kegiatan tidur yang menjadi keharusan baginya itu diusik walau hanya sedikit.
"Claretta Damara."
"Apaan si—" Claretta membelalakkan matanya begitu sadar suara siapa yang memanggilnya. "—Bu Jenab.."
"Keluar dari kelas saya sekarang juga!"
Prasangka Syakilla terhadap Claretta tidak pernah salah.
• • • • •
Kakinya dengan lunglai melangkah menuju perpustakaan bersamaan dengan Syakilla yang menundukkan kepalanya dengan lesu.
"Tebir banget dah tuh Jenabun," cerocos Claretta sambil menghentakkan sepatunya di koridor yang sepi karena jam pelajaran sedang berlangsung.
Syakilla menatapnya dengan sebal dan menepuk kepala Claretta. "Kalo lo nggak pake acara nyebut-ngebut Jenab segala pasti kejadiannya gak bakalan kayak gini, tau!" tukasnya kesal.
"Sakit!" Claretta memegangi kepalanya yang baru saja kena hantam. "Lagian nama Jenabun aja gaya-gayaan minta dipanggil Jena. Berasa bule apa."
"Dia orang Jawa."
Claretta memutar bola matanya. "Ya iya, Buk Le."
Syakilla hampir saja tertawa kalau tidak mengingat keadaannya sekarang. Dan akhirnya ia memutuskan untuk melangkah lebih cepat mendahului Claretta dan melepas sepatunya lalu meletakkannya ke dalam rak sepatu dan masuk ke dalam perpustakaan sekolah yang terletak di lantai dua.
"Tungguin apa," ujar Claretta, ikut masuk ke dalam perpustakaan setelah melepas sepatunya.
Saat masuk ke dalam perpustakaan, Syakilla dan Claretta langsung disambut oleh suasana sepi dan juga Pak Rizal yang bertugas menjaga perpustakaan, kemudian Pak Rizal mengingatkan mereka untuk absen sebelum mulai menjelajahi perpustakaan lebih lanjut.
"Nggak bosen ke sini terus, Claretta Damara?" tanya Pak Rizal kepada Claretta yang kesulitan untuk absen karena sidik jarinya yang tidak terbaca lantaran basah oleh keringat.
"Ya abis mau gimana lagi, Pak. Saya suka banget baca buku soalnya," balas Claretta, tidak mau kalah.
"Sampe ketiduran gitu ya di pojok?"
Claretta menghela napasnya panjang karena akhirnya ia selesai absen dan berhadapan dengan Pak Rizal. "Bukunya seru banget abisan jadi pengen tidur." Kemudian ia beralih dan melangkahkan kakinya menjauh.
Tidak terlalu memikirkan ke mana perginya Syakilla setelah masuk perpustakaan, Claretta kangsung saja berjalan menuju tempat favoritnya di perpustakaan sekolah ini. Sisi pojok yang terdapat air conditioner tepat di atasnya. Claretta mengambil buku secara acak dan langsung bersandar di tembok dengan buku yang menutupi wajahnya.
"Good night," gumamnya sebelum masuk ke alam mimpinya.
Baru saja Claretta memejamkan matanya dan menikmati suasana hening perpustakaan, saat telinganya menangkap sebuah suara yang mengusiknya.
"Saya murid pindahan, Pak. Kata guru BP saya nunggu di perpustakaan aja sampe jam berikutnya."
Pak Rizal menanggapi, "Ya udah masuk aja baca-baca bukunya."
"Makasih, Pak."
Claretta benar-benar hendak memaki-maki Pak Rizal dan murid baru yang bicara tadi kalau mereka masih tak kunjung berhenti. Namun, untungnya suasana kembali sepi dan membuat Claretta bisa kembali menuju mimpinya yang sempat tertunda.
"Lo baca tulisan William Shakespeare yang Othello?"
Claretta lagi-lagi gagal menuju mimpinya.
Kalau sampai orang itu kembali bersuara, Claretta benar-benar akan memakinya dan kalau perlu ia akan memukulnya habis-habisan sampai tidak bisa lagi berbicara.
"Gue nggak ngira anak jaman sekarang masih ada yang baca buku lama. Lo jurusan Bahasa?"
Mulai habis kesabarannya, Claretta membanting bukunya dan sedikit tersentak karena ternyata suara laki-laki yang berbicara kini tengah duduk di hadapannya dan memerhatikannya. Dengan cepat, ia mengoreksi ekspresinya dan balik menatap laki-laki itu dengan seksama.
"Bisa diem, nggak?" tanya Claretta kesal.
Murid laki-laki itu mundur sedikit. "Sorry-sorry, gue ganggu bacaan lo ya."
Alis sebelah kanan Claretta sedikit terangkat. "Bacaan? Lo tadi ngajak ngobrol gue?"
Bukannya menjawab pertanyaan Claretta, murid baru itu malah justru memperhatikan Claretta dengan seksama. Mata tajamnya mengamati Claretta yang kini sedang duduk tegap dari atas sampai bawah. Ia menelaah seolah ada sesuatu dari cewek itu yang mengingatkannya akan sesuatu.
"Gue kayak pernah liat lo—" omongannya terhenti di udara begitu ia menangkap nama lengkap yang terukir di seragam Claretta.
"Claretta Damara?"
Claretta sedikit tersentak di tempatnya. Ada apa dengan hari ini? Kenapa orang-orang sangat suka memanggilnya dengan nama lengkapnya? Dan ada satu lagi pertanyaan yang mengalir di kepala Claretta, siapa laki-laki ini? Dan bagaimana ia bisa mengenal Claretta dan merasa pernah melihatnya, sementara Claretta tidak merasakan hal yang sama, sama sekali?
• • • • •
Welcome to my Hollywood; by Lee Daehwi.
Yo!
This is my new story, guys.
Gimana menurut kalian? Semoga suka dan gue berharap kalian untuk menantikan kelanjutannya karena gue berani kasih garansi cerita gue yang satu ini nggak bakal ngecewain kok!
So, don't forget to vote and comments!
Thank you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top