[25] Tamu Diam-Diam

Terima kasih sudah kasih pot 400 ...
Masih liburann panjang bagi sebagian holaaang selamat liburan..
Selamat membaca yaaaa

🎉🎉🎉

Levi senang saja melihat foto-foto kenalannya di instagram. Dia tidak meng-upload foto sendiri melainkan si cantik Permata. Ah, iya gadis kecilnya itu beberapa kali meminta ia foto berdua. Levi merasa itu bukan gayanya. Dirinya cukup dikenal dari apa yang ia perbuat bukan dari wajahnya. Bukan karena ia tidak tampan tetapi karena memang tidak suka orang-orang menyalahgunakan foto dirinya atau berkhayal buruk tentangnya. Ia punya kepercayaan diri yang cukup tinggi. Itu adalah modal kehidupan. Dia merasa dianugerahi rupa yang menarik, tetapi bukan untuk dipamerkan.

Matanya terpana pada sebuah foto milik akun Tala. Ini benar Tala dan Tita? Ditekannya gambar hati kemudian menulis komentar yang memenuhi kepalanya saat itu.

mpahlevia kamu Tala? Sama Cetita?

Balasan langsung dikirim beberapa detik kemudian.

taladiansyah @mpahlevia Iya istri ❤

Mata Levi semakin melebar melihat gambar hati.

mpahlevia kapan acaranya knp gk ngundang?

taladiansyah @mpahlevia sekarang datang aja ke rumah. banyak makanan, Bg 😅

Bg? Bang maksudnya? Sepertinya yang memegang ponsel Tala bukan lelaki itu. Tentu saja itu menguatkan bahwa Tala sedang berdiri menyambut tamu bersama Cetita.

Cetita!

Ya Tuhan. Levi belum melupakan senyuman Tita. Perempuan unik yang banyak mengajarkan kepadanya tentang kesabaran. Wanita itu tidak pernah tahu seberapa besar kekecewaan yang timbul saat ia ditolak. Levi akan berdiri saat ponselnya menyala tampilkan nama tunangannya.

”Bisa anterin aku?” Perempuan itu berkata ketus.

”Sekarang?”

Akibatnya Levi mendengar rentetan cap buruk untuk dirinya dari perempuan yang baru-baru ini ingin ia seriusi.

”--karena papa, kalau bukan aku enggak akan sudi neleponin kamu. Apa gunanya aku bisa nyetir kalau pergi deket-deket sini aja masih pakai supir. Dan ah, males banget sama om-om tua kayak kamu. Udah deh cepetan ke sini aku ada janji sama ibunya Ta--ya udah cepetan jemput ke sini!

Melesat cepat, Levi tiba di rumah Haji Zainal dalam lima belas menit kemudian. Dia melakukan obrolan ringan dengan bapak itu sembari menunggu Syerin.

”Berangkat, Pa.” Syerin berpamitan.

Tercengang itulah yang dilakukan Levi ketika tiba di tempat tujuan Syerin.  Kebetulan sekali pikirnya. Levi memang ingin melihat Tala dan Tita. Kini mereka telah tiba di halaman yang tidak begitu ramai. Mungkin tamu telah pulang mengingat hari yang semakin larut. Syerin di sebelahnya juga terpana melihat keadaan rumah yang ramai.

Seorang ibu perkiraan kepala empat menahan langkah mereka. Dari sambutan yang dia berikan, Levi perkirakan bahwa si ibu ialah yang mempunyai hajat. Bisa jadi dia adalah ibu Tala atau ibu Tita.

”Mari masuk. Makanlah dulu, ada yang ingin Ibu tunjukkan kepada Syerin.”

”Kami sudah makan kok, Bu. Bisa kita langsung aja? Saya jadi penasaran karena enggak biasanya Ibu telepon saya.”

”Ouh iya. Kalau begitu kamu bisa masuk dan jalan ke bagian belakang rumah. Di sana ada sesuatu yang harus Syerin pahami. Mari lewat sini.”

Levi yang juga penasaran mengikuti Syerin dan ibu itu melewati ruang demi ruang dalam rumah.

”Ini ada pesta ya, Bu?” tanya Syerin.

”Iya.” Diyas memandu jalan mereka.

”Pesta apa?”

Senyum indah berbalut bahagia luput dari penglihatan Syerin tetapi tidak bagi Levi. Ia melihat si ibu begitu semangat menunjukkan apa yang sedang mereka tuju.

”Pernikahan anak Ibu,” jawab Diyas setelahnnya.

Levi memandang Syerin yang berhenti.

”Anak ibu? Anak yang mana?” tanyanya pelan.

Sesampainya di dapur, si ibu meminta mereka melihat sendiri sesuatu yang katanya harus dipahami Syerin.

”Nah, di sana. Ibu enggak ingin ganggu. Kalian ke sana saja dan temui mereka.” Diyas tidak menjawab dan pergi tinggalkan Syerin dan Levi di ambang pintu belakang.

Levi menyentuh tangan Syerin tatkala perempuan itu bertransformasi menjadi patung. Di hadapan mereka tersaji intimate scene yang seharusnya tidak mereka lihat. Penjelasan dari Diyas bergaung di telinganya bahwa ini adalah pesta pernikahan anaknya. Setahunya hanya lelaki itulah anak Bu Diyas.

”Sepertinya kedatangan kita akan mengganggu mereka. Ayo, kita balik saja.” Levi mencetuskan. Diremasnya jemari perempuan itu agar segera sadar dan dengar ajakannya.

Entah kemana kemarahan yang seharusnya ia rasa karena saat ini yang ia rasakan justru kesedihan. Perempuan itu tidak kuat menahan air yang ingin jebol dari pelupuk mata. Ketika tangannya ditarik, ia mengikuti tanpa perlawanan. Sementara itu, tangisan yang ia pendam selama beberapa waktu ini akhirnya tumpah lagi. Kenapa semuanya jadi seperti ini?

***

”Wuih, amplopnya banyak!”

Tala duduk di sebelah Tita yang sedang mengeluarkan uang-uang dari amplop.

”Udah deh matanya jangan ijo lihat duit. Malu, malu!”

Tala tertawa keras dengan menepuk-nepuk paha. Lelaki itu mengenakan celana jeans pendek dan t-shirt putih. Sebuah handuk kecil tergantung di lehernya. Butiran air di rambutnya jatuh ke amplop yang berceceran ketika ia menggoyangkan kepala. Hal itu membuat Tita mengomeli kelakuannya.

”Duitnya bisa basah semua, Bang! Tuh lihat amplopnya jadi jelek! Hiish minggir! Keringkan dulu!”

Tala membekap mulut Tita menggunakan handuk. Dengan cekatan Tita mencakar wajah lelaki itu hingga ia terbebas.

”Jorok!”

Tawa Tala kembali bergema di kamar itu.

Tita menyimpan semua itu ke sebuah laci. Ia mulai mengamati penampakan kamar Tala ketika lelaki itu berbaring dan tidak mengganggunya lagi. Yang ia amati adalah kamar lelaki muda bukan pria dewasa. Warna dinding didominasi hitam putih bagaikan papan catur. Sebuah papan panahan tertempel di tengah dinding dengan anak panah tiruan tertancap di permukaannya. Gambar animasi ber-frame hitam metalic mengukuhkan bahwa kamar itu milik pria lajang karena tidak sedikit pun tampak sentuhan tangan perempuan.

Tita menghela napas. Lupakah Tala bahwa dua tahun yang lalu ia telah menikah? Lelaki itu betul-betul melupakan dirinya. Tita hendak beranjak keluar, ingin menumpang tidur di kamar Diyas saja.

”Kemana?” Tala menegurnya.

Tita merasa kekurangan udara di kamar tersebut. Ia sungguh tidak nyaman. Ia tidak menyukai view kamar tersebut.

”Aku keluar.”

Tala menelaah wajah perempuan itu. Ditariknya Tita sehingga terduduk tepat di sebelahnya.

”Kamu enggak suka dengan kamar ini?”

”Kenapa--”

”Kelihatan jelas di sini,” ucap Tala menunjuk dahi Tita.

”Enggak biasa.” Tita alihkan wajah dari mata tajam lelaki itu. ”Ngapain sih ngeliatinnya gitu amat?” Tita rasa pipinya memerah.

”Baru kali ini masuk kamar cowok ya?” goda Tala. ”Tidur sama cowok udah sering.”

Tita tetap Tita lama yang tak tahan digoda dengan wajah meledek seperti itu.

”Kamu enggak berubah, ya. Ininya seperti orang demam,” ucapnya menekan pipi Tita.

”Tauk ah! Aku mau sama Celi aja.”

”Heeey, mana bisa!”

Tala menatap kesal perempuan itu. ”Malam ini enggak ada yang boleh ganggu kita. Kamu enggak bisa pergi kemana-mana.”

”Ajak Celi pokoknya!”

”Ngeyel dibilangin. Aku suami kamu, Cetita. Aku mau kamu!”

Tita mengalah. Ia akan tutup mata dan tidur saja, tidak perlu melihat ruangan gelap itu.

”Ada yang ingin Tita tanyain.”

”Apa lagi sih, Cetita?” tanya Tala geram. Ia ingin mencekik Tita, sungguh. Semangatnya pudar perlahan. Diacaknya rambut kemudian berdiri di tengah-tengah kamar.

”Bang Tala selama di sini, selama kita pisah, pernah ingat Tita?”

Tala diam. Dia harus jujur. Ia harus akui sejak kapan tujuannya berubah.

Lelaki itu bergumam. ”Awal pernikahan di waktu-waktu menyelesaikan kuliah. Aku punya satu impian. Aku ingin cepat tamat dan dapat kerja. Aku ingin pulang ke rumahku, kamu.”

”Kapan mulai lupa sama Tita?”

Tala menggeleng. ”Aku enggak lupa tapi berubah rasa. Tiba-tiba ada perasaan lebih dari yang aku rasain ke kamu nyatanya kurasakan ke orang lain.”

”Kak Syerin?”

Tala mengangguk.

”Berarti Bang Tala mengkhianati janji.”

Tala terkesiap. Dikatakan seperti itu dia ingin membantah tetapi tidak mampu.

”Atau memang sejak awal kamu memang tidak serius. Buktinya kamu lupa, Tita pernah bilang jangan lupakan Tita.”

”Maafin aku, Cetita.”

”Kalau gitu kenapa kamu kirim uang untuk Tita?”

Tala mengingat hari itu dia menguras tabungannya sebagai usaha meluluhkan hati Syerin. Dia membeli mobil untuk mendekati Syerin, dengan mengantar jemput perempuan itu. Tala ingat Tita pernah minta dibelikan mobil sebagai hadiah ulang tahun ketujuh belas. Sisa dari uang membeli mobil itulah yang dia kirim kepada Cetita. Tala tidak akan menceritakan bagian itu. Dia sudah cukup buruk tanpa memberi tahu kejelekan lainnya.

”Waktu itu aku ingat kamu.”

Tala tidak menjelaskan lebih lanjut. Dia menarik Tita agar berbaring bersama, memeluknya, mengusap punggungnya, dan menyembunyikan wajah perempuan itu di dadanya.

”Duh capek ya, Ta. Kamu enggak usah lihat kamarnya kalau gitu. Tidur aja.” Tala merapatkan tubuh mereka, mengusap rambut belakang perempuannya dan mencium ubun-ubunnya. ”Kamu harus bahagia,” bisiknya.

***

Bersambung...

27 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top