[05] Calon Suami

Berkenalan dulu dengan Bang Tala.
"Kalian harus mengakui ketampananku." ~Tala D.~

(Mantan mahasiswa--jangan sebut pengangguran--yang tetap gigih cari restu)

(Papa Kumis Galak? Senyumin seperti ini.~Tala D~)

(Atau giniin aja? ~Tala D.~)

(Kurang ganteng yang gimana lagi? Syerin cinta sama diri ini. ~Tala D~)

(Cocok belum jadi model majalah boy?)



Talaaqq update... Eeh Tala.

🍭🍭


”Janganlah kamu menahan istrimu dalam rangka untuk memberikan hukuman kepadanya (untuk menyiksanya) agar kamu bisa bertindak di luar batas kepadanya. Barang siapa melakukannya maka dia telah bertindak zalim.”

Tala menguap lebar saat berjalan ke sisi ibunya. Wanita itu sedang menonton siaran ceramah pagi tanpa berkedip.

”Nonton apa, Bu?”

”Sttt....” Diyas memperingati. Tala mengempaskan dirinya di sebelah Diyas.

”Berdosalah para suami yang membiarkan istrinya tanpa diberikan nafkah. Mereka  tidak menceraikan dan malah menggantung istrinya tanpa kejelasan status.” Tala menatap televisi juga tanpa kedip.

Ustazah gemuk di televisi masih terus berbicara, ”Janganlah para suami membiarkan istrinya terkatung-katung, punya suami tetapi seperti tidak bersuami. Jika tidak ada lagi keinginan kepada istri dan tidak ingin gabung dengan istri, disarankan suami menceraikan istrinya karena tidak ada lagi manfaat yang didapatkan di dalam pernikahan. Lelaki yang seperti itu Allah sebut telah berbuat maksiat dan zalim kepada istri.”

Diyas mengusap matanya ketika break iklan. ”Ayah tidak diberikan kesempatan untuk melakukan itu. Menafkahi keluarga kita,” ucapnya serak, ”karena Allah mencabut waktunya untuk tinggal di bumi.”

Tala memeluk pundak ibunya

”Seandainya ayah masih bersama kita, Ibu yakin dia tidak akan membiarkan Ibu terkatung seperti istilah dari ustazah tadi. Ayah orang bertanggung jawab dan punya kasih sayang yang besar kepada kita. Sayangnya kita cepat dipisahkan dari beliau.”

”Ibu sabar, ayah di sana selalu berdoa untuk kita. Doa adalah segalanya. Ayah menunggu kita di surga.”

”Iya. Sebagai anak laki-laki ayah dan Ibu satu-satunya, Ibu tidak mau kamu nanti berbuat zalim kepada pasanganmu. Sebab saat menikah, suami telah berjanji untuk memenuhi hak-hak istri. Salah satunya adalah nafkah. Ibu akan doakan semoga kamu betah bekerja di sana dan bisa menafkahi istrimu nanti.”

Sudah dua minggu  Tala menjadi karyawan Akmal Pahlevi, lelaki yang waktu itu ia temui di foodcourt mal. Hari itu Levi menawarkan pekerjaan--bagai ada yang membisikkan kepadanya bahwa Tala memang berencana untuk melamar ke perusahaan milik lelaki itu.

Seperti pagi ini, saat matahari belum terlihat ia telah terbangun. Ia menikmati pekerjaannya di sana meskipun hanya sebagai pengganti salah satu karyawan yang sedang cuti melahirkan. Tala punya tujuan lain bekerja di sana. Dan selama dua minggu berinteraksi dengan lelaki itu, dia menjadi lebih yakin bahwa Levi memang pria yang cocok.

***

Lelaki berkemeja putih dengan dasi yang dilonggarkan itu bersandar dengan santai di kursi malas. Tita tahu dia sedang diamati dan dia berusaha merasa tidak terganggu. Ia melayani pelanggan dengan menjawab semua pertanyaan serta keluhan dan bujukan agar harga pakaiannya diturunkan. Setelah negosiasi selesai, Tita mendatangi meja di depan lelaki itu untuk mengambil uang kembalian pelanggan. Lelaki itu menggeser kursinya beberapa mili seperti tidak berniat meluangkan tempat.

Tita menyelesaikan proses jual beli sebelum berdiri dengan tangan terlipat di dada. ”Jadi, sekarang apa lagi?” tanyanya.

”Dia enggak membedakan karyawan, mau itu manajer atau hanya office boy. Dan Pak Syarif keamanan kantor juga jadi temannya. Aku pernah pulang agak maleman dan lihat dia sedang minum kopi sambil main kartu dengan Pak Syarif. Pakai jas mahal, Ta, kamu bisa bayangkan enggak sih?”

”Terus kenapa harus laporin semua itu ke aku? Emang itu penting?!”

Tala berdiri. Ia membentuk tanda petak dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan untuk mengisyaratkan sedang menggunakan kamera pengamatan.

”Laki-laki yang sudah cukup umur, belum tergolong tua, punya penghasilan luar biasa, dan hati seluas langit,” ucapnya lalu membentuk isyarat tembak menggunakan ibu jari dan telunjuk lalu diarahkan ke jantung wanita itu, ”dan dia suka sama kamu.”

”Bang Tala udah kerja ’kan, nah kenapa sekarang nambah kerjaan lagi? Kurang sibuk di sana sampai ngerempongin hidup orang lain? Aku gerah dengan kelakuan Bang Tala akhir-akhir ini. Abang seperti enggak ada kerjaan lain, datang ke sini menceritakan orang kayak sales promoin barang jualannya. Kenapa kemarin enggak lamar ke biro jodoh aja?”

”Tuh tuh mulai keluar api. Gampang banget ya naikin suhunya. Aku ngomong gini demi kebaikan kamu. Aku juga bicara baik-baik jadi kamu jangan pake emosilah, nanti terkena penuaan dini.”

”Iya semua karena kamu. Ngeselin banget tahu! Ya ampun, bisa enggak sih kamu tuh urus aja hidupmu sendiri dan jangan campuri hal pribadi aku. Suka hati akulah mau suka atau enggak. Abang enggak perlu serepot ini.”

Tala memamerkan giginya lalu menyatukan kedua tangan di depan wajah. ”Maaf maaf deh kalau gitu. Aku cuman mau bantu kamu kok.”

”Ini bukan membantu tapi mengganggu.”

Tala tertawa tanpa rasa bersalah. Benar-benar muka tembok innocent dan bikin Tita ingin melumatkannya menjadi serpihan.

”Kalau dia enggak suka sama kamu, dia enggak akan menerima aku di kantornya. Aku tahu itu hanya cara dia biar kelihatan baik di depan kamu. Ta, pria akan melakukan hal apa pun yang dirasanya mampu menarik hati wanita yang disukai. Mereka akan menjadi malaikat dan menunjukkan bahwa mereka memang pilihan terbaik. Aku udah selidiki dan mancing dia ngobrol. Dia punya tujuan hidup yang jelas dan telah siap untuk menikah. Aku lihat dia cukup setia.”

Tita memukul dadanya yang mulai nyeri. Rasa itu tercipta karena gelombang marah atau karena hal lain. Dan Tita tidak ingin mengidentifikasi alasannya.

”Udah, cukup. Berhenti sampai di sini. Aku capek.”

Tita hendak membelakangi lelaki itu kemudian berbalik lagi. ”Tolong duduk di sini dulu, aku mau jemput Celi.”

Tanpa lelah dan rasa bersalah Tala mengumpankan dirinya kepada Levi. Semengenaskan itukah kehidupannya sehingga seorang Tala yang katanya sibuk dengan tujuan masa depannya begitu gigih menjodoh-jodohkan dirinya? Apa Tita terlihat menderita tanpa suami? Dia yang menjalani tidak merasa bedanya. Dia telah dapat berdiri dengan kakinya sendiri.

Setelah masuk ke dalam gang perumahan Bu Diyas, Tita menekan bagian jantung yang terasa seperti diiris serta ditetesi asam. Tita tidak ingin terluka lagi. Ia berjanji akan bahagia. Celita punya mama yang tidak menye-menye masalah asmara. Cinta telah mati. Tita tidak ingin menciptakan kesempatan untuk disakiti lagi. Pintu menuju hatinya telah ia kunci.

”Loh, ada mamanya Celi tuh.” Suara itu menyadarkan Tita dari arus perasaan. Ia tersenyum lalu mendatangi tempat anaknya sedang bergulingan sambil mengemut dot.

”Udah habis, Sayang. Mau nambah susunya enggak? Yuk kita buat di rumah,” ucapnya sembari mengangkat tubuh anaknya.

”Makasih banyak, Bu, seharian ini udah bantu jaga Celi. Eh, Celi nakal enggak Bu?”

Diyas menggeleng.

”Kalau begitu, Tita bawa anak ini pulang dulu. Makasih banyak, Bu.”

Senyum ikhlas dari bibir Diyas tak luput dari mata Tita ketika meninggalkan rumah sederhana itu.

”Sayang enggak ngerepotin nenek? Celi kelihatan capek banget sih,” ucapnya. Anak dalam gendongannya bergumam kecil. ”Kalau Celi ajak nenek lari-lari, kasihan neneknya, Sayang. Minggu deh kita ke taman biar Celi bisa main sepuasnya. Di sana pasti banyak teman baru. Celi enggak akan sendirian.”

Tita sampai di ruko disambut oleh teriakan Tala, ”Si centil genit udah balik!”

Lelaki itu menyongsong kedatangan ia dan anaknya tepat saat seseorang datang menanyakan celana training.

”Mari sama Om Tala. Yok.” Lelaki itu mengambil alih Celita. ”Aku bantu mandiin, ya, supaya nanti tidur dengan tubuh seger.”

Tita mengangguk lalu melayani calon pembeli. Begitu jual beli telah selesai, Tita pergi ke dalam untuk melihat keadaan Celita. Mungkin saja lelaki yang sedikit gila itu mengerjai Celita. Ia lebih sering membuat Celita menangis daripada tertawa.

Sunyi. Tita mencari ke kamar mandi dan tidak menemukan kedua orang itu. Ia pergi ke bilik yang disekat oleh kain dimana ia meletakkan televisi dan sebuah karpet tebal dan hangat. Gusarlah yang ia rasakan melihat lelaki itu tertidur bersama anaknya dalam posisi telungkup.

Sejam kemudian saat Tita sedang memasukkan dagangannya ke dalam, Tala memanggil namanya. Lelaki itu kelihatan baru saja terbangun dari tidur pulas.

”Ini untuk kamu.” Lelaki itu menyerahkan sebuah amplop putih.

”Ini apa?” Tita menatap tangan lelaki itu lalu kepada sang empu.

”Untuk kamu, ambillah.” Lelaki itu memaksa. Ia menyerahkan selembar kertas putih yang terasa ada isi itu ke telapak tangan Tita. Tala pergi sambil mengeluarkan kemeja dari pinggang celananya membuat Tita menggeleng-geleng. Lelaki amburadul, pikirnya.

Tita membuka amplop. Sepasang netranya membola melihat isi yang mengintip dari dalam. ”Uang?”

***

Bersambung...

17 November 2018

Isi ceramah itu disampaikan oleh Ustaz Ammi Nur Baits. Acara yang ditonton Bu Diyas boleh ditebak koq, semoga tahun 2019 acaranya masih tetap ada ya. Hehheee..

Sampai jumpa di part berikutnya. Makasih sufah vote dan komentar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top