[04] Seleksi Calon Papa

Haaaay Kasev akhirnya turun gunung... Selesai semediii... Nih, aku kasih update, tapi bacanya nggak usah terlalu fokus yes. Karena di bawah nanti akan ada kode keras. Maksudnya?? Cuuuuz dibaca...

🐙🐙🐙

”Kamu sedang apa, Tala?” tanya Diyas mengintip laptop anaknya. Lelaki berkaus dalam itu  memangku benda petak pipih di depan televisi. Sebuah kacamata persegi numpang hinggap di batang hidungnya yang persis perosotan. Celana pendek bergambar batman enggan melindungi kakinya yang kokoh dan penuh bulu.

”Lagi cari lowongan di sini,” sahut lelaki itu tanpa menoleh dan menunjuk layar laptop dengan ujung telunjuk bekas mencolek saus sambal bakwan. ”Ini lamaran kesekian, Bu. Besok ada interview di PT Indah Tama untuk posisi administrasi. Aku akan sebar lamaran lebih banyak lagi.”

”Adanya apa aja?” Diyas duduk di sebelah kanan Tala.

”Yang banyak kucoba, ya ini admin. Kualifikasi pendidikannya SMA. Aku pakai ijazah SMA aja.”

”Kamu enggak mau nyoba kerja di perusahaan percetakan dan advertising punya Levi?”

Tala meng-close jendela pencarian. Dia meletakkan laptop di sebelah kirinya kemudian mencomot bakwan yang telah dingin sejak tadi pagi. ”Levi siapanya Ibu?” tanyanya dengan mulut penuh. Ia hampir saja tersedak kalau tidak minum dari gelas yang digenggam ibunya. ”Makasih, Bu. Mati karena keselek bakwan dan batal kawin gagal jadi hot line news di Halu Riau minggu ini.”

”Bukan siapa-siapa Ibu!” balas Diyas ketus. ”Dia pernah ke toko Tita, mungkin ingin kenal gitu sama Tita. Jadi, dia nawarin Tita atau kenalannya Tita kerja di kantornya. Hm kalau seusia kalian menyebutnya modus.”

Tala tertawa keras sekali. ”Ibu tahu modus juga?” Tawa terhenti berganti kilat interogasi. ”Memangnya dia punya apa?”

”Perusahaan percetakan,” jawab Diyas cepat.

”Punya usaha. Punya apa lagi untuk deketin Cetita?”

Diyas melihat wajah anaknya dengan menyipitkan mata. Tala yang diperhatikan terbatuk-batuk dengan sengaja ia keraskan. Lelaki itu menggaruk rambut sebelah kirinya.

”Alamat kantornya dimana?” tanyanya sambil mengeklik sembarang pada keybord.

”Untuk apa alamat kantornya?”

”Ya masukin lamaranlah! Ibu gimana sih? Tadi nawarin.”

***

Tita memakaikan Celita baju berwarna kuning berlengan panjang dan baju monyet jeans pendek. Rambut hitam dan lebat gadis itu ia kuncir di ubun-ubun.

”Celi siap pergi?”

”Zii mamaama,” sahut gadis itu menepuk dada Tita.

Tita mengangkat tubuh anaknya. ”Mama udah bawa dompet belum, ya? Oh sudah. Mama pesen taksi online dulu. Di depan aja yuk, Sayang.”

Tita berdiri di depan tokonya sambil memesan taksi online. Ponselnya menunjukkan bahwa taksol sedang mencari driver. ”Taksolnya lama nih, Cel. Hemm... mana ya, ah ditelepon.” Tita memberikan alamatnya kepada driver dan beberapa menit kemudian sebuah mobil mengedipkan lampunya.

”SKA, Pak,” ujar wanita itu begitu mengempaskan tubuhnya di bangku belakang.

Melewati Jalan Nangka saat puncak mall telah terlihat, laju mobil terhenti karena lampu merah. Tita menoleh ke mobil di sebelahnya.

”Bang Tala,” gumamnya.

Lelaki itu tengah tertawa bersama wanita di bangku penumpang. Mereka tampak bahagia meskipun sang perempuan sesekali memasang tampang sebal. Kelihatannya Tala sedang menyalurkan kemampuan humor yang biasanya membuat lawannya kesal alih-alih senang.

Tala Diansyah anaknya Bu Diyas.  Melihat pemuda itu memperlakukan kekasihnya, Tita jadi ingat alasan yang diucapkan oleh lelaki masa lalunya. Lelaki dan usahanya untuk perempuan yang dicintai. Tita tidak akan mudah terperdaya oleh janji seperti itu lagi. Usaha lelaki cukup dilihat dari banyaknya doa yang ia ucapkan untuk wanita yang dicintai bukan dari banyaknya ikrar.

Gimana kalau Tita rindu? Abang sudah enggak sayang Tita?” tanyanya waktu itu.

Lelaki itu menjawab, ”Sayang. Karena itu Abang harus nerusin kuliah. Abang harus kerja supaya bisa beliin macam-macam untuk istri.”

Tita terima alasan seperti itu. Hanya saja, dia masih merasa takut dengan akibat perpisahan. Tita mencemaskan kesetiaan lelaki itu. Apalagi ia hanya seorang bocah yang kebetulan memiliki hubungan spesial dengannya. Tidak menutup kemungkinan lelaki itu akan bersimpang jalan dan bertemu dengan perempuan lain.

Apa Abang nanti akan berhasil dan beliin semua barang kesukaan Tita?”

Laki-laki itu mengangguk mantap. ”Kamu mau dibeliin apa?”

Tita berpikir sejenak ”Hm... Gimana kalau mobil? Apa kamu sanggup? Nanti di umurku yang ketujuh belas tahun, aku maunya dikasih hadiah mobil. Deal?”

Bunuh saja aku, Cetitaaa!!” teriak lelaki itu sehingga Tita tertawa keras sekali. Dia hanya bercanda.

Bu Diyas bilang, Tala mengosongkan tabungannya bertahun-tahun untuk membeli mobil demi pacarnya. Apakah keseriuasan lelaki yang belum menjadi suami lebih kuat daripada yang  berstatus suami? Pemuda itu sanggup membelikan  pacarnya mobil sedangkan Tita justru ditinggal dengan janji bullshit.

Tita tidak iri tapi sedikit heran. Atau benar yang dibilang orang bahwa semasa berpacaran bulan pun akan dijemput ke langit nun jauh sedangkan setelah menikah boro-boro menjemput bulan, menjemput istri dari pasar saja ogah-ogahan. Akan banyak sekali alasan dijabarkan. Lelaki yang telah menikah hanya punya satu kebiasaan yaitu tidak membiarkan bulan datang lagi.

Tita tidak dapatkan jawaban mana yang lebih serius antara pacar atau suami sampai mobil mulai memelankan laju.

Taksol telah berhenti di depan mall dengan ciri khas beratap bulat seperti kubah masjid. Memasuki lobby yang tidak terlalu ramai, Tita berjalan sembari menunjuk-nunjuk hiasan yang tergantung. Celita bergerak ingin turun dari gendongan mamanya.

”Nanti, Sayang.”

Ia terlebih dahulu menyelesaikan belanjaannya sebelum membawa Celita makan. Ketika menyuapi Celita eskrim cokelat kesukaannya, Tita mendengar ada yang memanggil namanya.

***

”Papa mertua mau nyalon jadi caleg?”

Syerin yang duduk di sebelah Tala mengerutkan dahi. ”Enggak. Siapa yang bilang?”

”Oooh, aku kira nyalon karena kayaknya si papah lagi menebar seribu kebaikan. Orang kayak gitu biasanya calon-calon legislatif yang bagi-bagi duit, sembako, dan macem-macem supaya dipilih sama masyarakat. Tanda-tandanya mengarah ke sana,” papar Tala panjang lebar. ”Aw!”

”Makanya jangan ngasal!” peringat Syerin setelah menampar kecil bibir kurang ajar Tala.

”Atau sedang ada jebakan? Ngapain pagi-pagi beliau malah telepon calon menantu yang tak direstui ini dan minta anaknya dibawa jalan-jalan? Aku curiga, Rin.”

”Suuzon, ah. Udah deh tuh mulut mending diem. Mikir sampe kiamat juga enggak akan nemu jawabannya. Papa orangnya misterius.”

Tala tertawa. ”Kalau itu jangan dijelasin lagi. Aku udah khatam sejak lama. Selain misterius papa mertua juga galaksius. Untung orang tua kamu. Kalau bukan udah aku potel kali kumisnya.”

”TALA JELEK!!! Kurang ajar!”

Tala semakin suka mengata-ngatai papa mertua karena Syerin pasti akan marah. Perempuan itu anak papa banget. Untung Syerin cinta Tala, tidak seperti papanya. Jangankan cinta, lihat penampakan Tala dari balik jalan saja, lelaki tua bertitel itu langsung angkat bedil tinggi-tinggi. Hari ini adalah keajaiban yang membuat Tala curiga setengah mati.

”Waktu yang dikasih papa tinggal dua minggu lagi, ingat? Kamu sudah lamar kemana aja?” Syerin mengingatkan.

Lelaki itu berganti mimik serius. Hilang sudah cengengesan yang tadi. ”Sudah banyak. Sudah beberapa perusahaan yang meng-interview aku. Apa kamu yang banyak andil di sana?” tanyanya.

”Aku?”

”Kamu pasti mendoakan semua perjuanganku dengan sungguh-sungguh.”

Perempuan dengan blouse putih itu tertawa dikulum. Dia manis sekali. Bagaimana Tala rela melepaskannya hanya karena terhalang restu?

Mereka berdua memasuki lobby sebuah mall di kota itu. Tangan keduanya saling menggenggam mewakili perasaan masing-masing yang terikat. Kedua hati yang tersembunyi dalam rongga paling kuat sedang mengukir cinta semakin pekat. Sesekali dua pasang netra bertabrakan, membiaskan perasaan masing-masing. Kedua sisi pipi tertarik membentuk senyuman manis dan terlupakanlah masalah setahun belakangan. Syerin menuju sebuah gerai pakaian. Tala mengikuti kemana kaki lincah wanitanya melangkah.

Sejam kemudian lelaki yang paling sabar pun pasti akan berlaku seperti dirinya.

”Masih lama? Ini ada banyak baju kenapa enggak ada yang kamu pilih?”

”Kurang sreg ih, Tala.” Perempuan itu beralasan sambil memilih-milih dan memindai dengan mata jeli.

”Pakai apa aja kamu pasti cantik, Sayang. Udah deh, ambil satu. Aku yang bayarin,” ucapnya asal. Duit dari mana? Isi bahan bakar tadi pagi memakai rampokan dari laci Bu Diyas.

”Sabar dong, Tala. Kayak enggak kenal aku aja deh. Aku enggak mau tampil asal-asalan apalagi ini acara keluarga. Banyak sepupuku yang mulutnya amit-amit bakalan dateng. Aku enggak mau menjadi objek nyinyiran mereka soal tampilan. Sudah, mending kamu ikut aja. Ayo, aku mau pilih di bagian sana,” ujar Syerin menarik tangan lelaki itu.

”Rin Rin, aku ke toilet dulu. Aaah udah enggak tahan, nanti aku temenin lagi. Bye.” Dia melepaskan tangan Syerin kemudian berlari hingga menabrak beberapa orang.

Tala pergi ke toilet untuk membasuh wajah. Untung cinta. Kalau tidak, dia akan meninggalkan perempuan itu dari 45 menit yang lalu. Ia keluar menuju sebuah foodcourt karena teringat kopi. Tadi pagi ia meninggalkan air hitam pekat buatan Bu Diyas begitu mendapat telepon dari Pak Haji Zaenal.

Sepasang netra itu memindai bangku-bangku sebagai tempat ia akan melepaskan lelah kakinya. Sebuah kebetulan melihat makhluk yang dikenal berada di tempat ini bukan di toko sesak penuh pakaian. Tala memilih bangku kosong di seberang perempuan itu.

”Celiii, Om Tala nih,” tegurnya pada anak perempuan yang pipinya belepotan cokelat itu. ”Makan apa?”

”Kenapa ke sini?” tanya mama Celita. Perempuan itu menyeka bibir putrinya lalu memberinya air mineral.

”Minum kopi. Eeh ngeliat si centil, disamperin.”

”Itu tempat duduk orang. Orangnya lagi ke toilet,” jelas Tita.

”Siapa? Kamu dengan siapa kemari?”

”Maaf, lama. Tadi ketemu teman di--oh ada temannya Tita?”

Lelaki berkemeja rapi di hari Minggu? Tala melirik dari ujung rambut hingga ujung sepatu pria itu. Benda-benda di tubuhnya meneriakkan kata mahal. Dia pasti kalangan borjuis beda dengan dirinya yang hanya makhluk jelata. Tapi kalau dia di ajang ketampanan, Tala memenangkan poin itu jauh di atasnya.

”Itu tempat dia. Bang Tala enggak niat cari kursi lain?”

Tala tersadar dari penilaian. Dia segera berdiri kemudian menarik sebuah bangku ke sebelah Tita dan duduk di sana. Lelaki borjuis duduk di bangku asalnya.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, ”Levi,” ucapnya dengan suara ramah dan tegas bersamaan. Kalau saja Tala bukan putra tunggal Bu Diyas, mungkin ia akan terintimidasi. Bagaimana mungkin laki-laki berwajah manis seperti perempuan bisa menindas hanya dengan tatapan?

Levi. Bukankah dia yang punya perusahaan percetakan dan advertising yang disebut Bu Diyas tadi pagi?

”Tala.”

***

Bersambung....

Palembang, 15 November 2018

Eciyeeee ada Babang Leviii..
Yang kenal doi, yuuk ngacung! 🙋

Nah kalo yang ini Celita si Centil

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top