Kosan Ceria
Orang bilang, maghrib adalah peralihan waktu di mana alam dunia dan gaib bertaut. Banyak cerita-cerita ngeri tentang makhluk tak kasatmata yang berkeliaran di saat senja beranjak. Waktu ini diyakini sebagai momen ketika batas antara dunia manusia dan dunia lain melebur, membawa serta segala misteri dan kengerian yang terselubung di dalamnya. Konon, suara-suara aneh yang muncul kala senja adalah bisikan dari dunia lain, panggilan dari arwah-arwah gentayangan yang tak pernah menemukan tempatnya.
Di tengah suasana maghrib itu, seorang pria tengah terduduk menikmati setangkai rokok di teras sebuah bangunan kos-kosan, ditemani segenggam kopi panas. Pria itu adalah Sujono, penjaga Kos Ceria, ia sudah lama mengabdi di tempat tersebut. Rambutnya gondrong diikat, dengan sorot mata tajam yang seolah menceritakan banyak hal tersimpan di balik wajahnya yang tenang. Sujono tahu betul batas antara dunia manusia dan dunia lain yang terasa semakin menipis, sebab ia memiliki sedikit kepekaan tehadap 'mereka'.
Sujono, atau yang lebih akrab dipanggil Mas Jon oleh para penghuni kos itu, sudah bertahun-tahun menjaga Kos Ceria sehingga membuatnya paham betul bahwa tempat ini memiliki sejarah yang kelam. Ada cerita-cerita yang beredar di kalangan penghuni lama tentang sosok-sosok yang menghuni bangunan tersebut, tentang suara-suara yang muncul dari kamar-kamar yang seharusnya kosong. Tapi, semua itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Sujono. Sesuatu yang diterima tanpa banyak pertanyaan.
Malam itu, sambil menghisap rokoknya yang hampir habis, pandangan Mas Jon tertuju pada dapur di ujung ruangan dalam. Ia bersiul ketika melihat Dianti, seorang mahasiswi baru yang belum lama pindah ke Kos Ceria. Gadis itu mengenakan kaos dan celana panjang longgar seperti biasa, tak lupa dengan rambut yang selalu digelung sembarang.
Dengan kekehan tipis, Mas Jon mematikan rokoknya dan memutuskan untuk menggoda mahasiswi itu. Siapa tahu masih jomblo.
"Dian, lagi masak apa tuh?" panggil Mas Jon dengan nada lembut. Namun, alih-alih jawaban, yang ia dapatkan hanyalah keheningan. Wajar, Mas Jon memang orang yang iseng, suka menggoda perempuan di Kos Ceria, mengingat kos-kosan ini merupakan kos-kosan campur.
Dianti masih sibuk dengan kegiatannya, seolah tak menyadari kehadiran Mas Jon. Di sisi lain, Jono malah semakin tertantang.
"Sini Mas Jon bantuin," ucap Sujono.
Mas Jon berjalan mendekati Dianti. Namun, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah belakangnya. "Lagi ngobrol sama siapa, Mas Jon?"
Sujono menoleh. Di hadapannya kini berdiri Dianti yang terlihat seperti baru saja pulang dari kampus. Refleks, pandangannya berpindah lagi ke dapur, yang kini kosong. Pria gondrong itu langsung bergidik ngeri.
"Baru pulang, Dian?"
Dianti menatap Mas Jon yang terlihat seperti orang aneh. "Iya nih, berhubung kosan sama kampus jauh, jadi beresin kegiatan di kampus dulu sampe kelar biar enggak ribet bolak-balik."
"Oh, oke deh, lanjut," balas Mas Jon.
Dianti mengangguk pelan. "Permisi, Mas Jon." Gadis itu berjalan ke kamar nomor 2, lalu menghilang dari pandangan Sujono.
"Bangsat, apaan itu tadi?" umpat Sujono. Sambil merinding, ia berjalan kembali ke teras.
***
Di malam yang sama, setelah selesai mandi, Dianti sibuk mempersiapkan makanan di dapur. Seperti biasa, suasana dapur Kos Ceria cukup hidup dengan aroma mie instan yang menggugah selera.
Tiba-tiba, pintu kamar nomor 3 terbuka perlahan. Delfina, penghuni lama Kos Ceria yang dikenal ramah, melangkah keluar. Melihat Dianti yang sedang sibuk di dapur, Delfina memutuskan untuk menyapa.
Di sisi lain, Sujono menghisap rokoknya yang hampir habis sambil menatap ke dalam, lewat pintu yang terbuka lebar. Setiap gerakan dan kata-kata kedua gadis itu menjadi bagian dari tontonan malamnya di teras. Sampai pada satu titik, mereka pindah ke ruang tamu.
Dianti meletakkan mie instannya di atas meja, ia dan Delfina duduk di sofa tempat biasa Sujono bersantai.
"Mau, mbak?" tanya Dian menawarkan makanan.
"Mbak udah makan, makasih ya," balas Fina ramah.
Sujono awalnya tak terlalu peduli dengan obrolan dua orang gadis, tetapi arah obrolan itu terus mengalir sampai Sujono menangkap hal yang menarik di telinganya.
Dianti menarik napas dalam-dalam. "Jadi gini, mbak. Aku sering denger penghuni kamar 1 nangis. Kadang-kadang, aku juga coba sapa, tapi dia tuh enggak pernah balas sapaan aku." Dianti mengamati sekitar, memastikan yang dibicarakan tak mendengarnya. "Dia itu depresi apa gimana sih, mbak Fina?"
"Jangan terlalu dipikirin, orang random mah akan selalu ada di sekitar kita. Fokus sama diri sendiri aja," balas Fina.
Sujono yang sebelumnya berada di teras, memutuskan untuk mendekat karena penasaran dengan percakapan mereka. Ia duduk di ruang tamu bersandar di dinding, bersebrangan dengan kedua gadis itu. Mas Jon yang sudah tahu betul latar belakang Kos Ceria, memusatkan pendengaran pada setiap kata yang diucapkan oleh Dianti, sambil diam tak membuat suara.
Hingga, Dianti selesai makan dan pamit kembali ke kamarnya. Di sisi lain, Delfina masih duduk di sofa, menatap ke arah Sujono.
"Mas Jon, denger, kan?" tanya Fina.
Sujono mengangguk pelan.
Fina meneguk ludah. "Dia bilang denger dan liat penghuni kamar 1? Padahal kan ... kamar 1 itu—kosong bertahun-tahun, Mas."
Saat Delfina berbicara, suhu di ruang tamu tiba-tiba menurun, hingga terasa sangat dingin. Sujono dan gadis itu pun merinding bersamaan. Rasanya, suasana mendadak tegang dan mencekam.
"Mas?"
"Iya, aku juga merinding," balas Mas Jon. Suasana mendadak hening.
"Aku balik ke kamar dulu deh," ucap Delfina.
Namun, suara gelas pecah dari arah kamar nomor 2 merobek kehengingan malam, diikuti oleh teriakan yang memekakkan telinga. "AAAAAAAAAAAA!"
Fina pun sontak terkejut dan mulai merasa panik. "Mas Jon, Dian kenapa tuh?!"
Sujono langsung berdiri dari duduknya, wajahnya berubah pucat. Ia memandang ke arah pintu kamar nomor 2 yang tertutup rapat. Dengan langkah terburu-buru, bersama Delfina ia mendekati kamar nomor 2 lalu mengetuk pintu. "Dian, ada masalah?"
Tidak ada jawaban dari dalam kamar, keheningan merajai Kos Ceria yang ternyata tidak seceria itu. Tanpa pikir panjang, Sujono mendobrak pintu dengan badannya hingga pintu terbuka dan terbanting ke arah dalam, membentur dinding dengan keras.
Di dalam kamar, Dianti terbaring di lantai, matanya terbuka lebar seperti ketakutan. Gadis itu menunjuk ke arah sudut ruangan yang kosong.
"Astagfirullahaladzim!" seru Mas Jon saat menatap sesosok wanita dengan wajah pucat, bermata hitam pekat. Ia menyeringai, menampilkan gigi-gigi runcing yang berkilat di bawah cahaya redup kamar Dianti. Rambutnya yang kusut menjuntai liar hingga menyentuh lantai, sementara tubuhnya diselimuti kain kebaya hitam legam.
Di sisi lain, Fina tak melihat apa-apa di pojok ruangan kamar 2, tetapi ia bisa merasakan tekanan aneh di ruangan itu, seperti ada sesuatu yang tak terlihat bersembunyi di dalam kegelapan.
Sujono menarik Dianti dengan cepat ke luar kamar, sedangkan Delfina masih diam berdiri di depan pintu. Rasanya tubuhnya enggan bergerak, meskipun ia bergidik ngeri.
Saat Sujono menarik Dianti ke luar kamar, suasana di Kos Ceria berubah menjadi semakin mencekam. Delfina yang berdiri mematung di depan pintu kamar 2 pun merasakan embusan angin kencang dari dalam ruangan. Rasanya, ada sesuatu yang menekan ubun-ubunnya, membuat gadis itu merasa pusing.
"Fina, bergerak!" teriak Sujono panik. Ia mengarahkan Dianti yang masih gemetar ke arah pintu, tetapi saat hendak pergi ke luar, pintu utama kosan tertutup dengan sendirinya dan tak bisa dibuka seolah terkunci dari luar. "Fin—a ...." Sujono terdiam seribu bahasa, saat kembali melihat Fina.
Mata Delfina memutih utuh, seolah tak ada jiwa di dalamnya. Gadis itu menyeringai lebar, senyuman yang tidak wajar dan pekat aroma kengerian.
Tiba-tiba saja Delfina menari dengan gerakan lincah yang kontras dengan keadaannya yang sebelumnya mematung. Gerakannya aneh, seolah-olah mengikuti irama yang hanya bisa ia dengar sendiri. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, mengikuti tariannya. Hingga pada satu titik, ia mulai menyanyikan tembang Jawa, suara sinden yang meresap dalam keheningan malam.
"Aja wedi, aja kuwatir. Kita ing ngriku, langgeng ing ngriku." Nyanyian sinden melebur bersama angin malam. Semakin ia berkidung, lampu di area kos pun perlahan nyala-padam seperti rusak. Tembang Jawa yang dinyanyikannya terasa membawa serta menyeret kegelapan.
(Jangan takut, jangan khawatir. Kami di sini, selamanya di sini)
Delfina menunjuk ke arah Dianti yang sudah lemas ketakutan. "Pasrahna anak punika, utawi kula nggih mawa anak punika, Kertopromo."
(Serahkan anak itu, atau aku bawa anak yang ini, Kertaprama)
Sujono Kertaprama memandang Delfina yang kesurupan dengan tatapan tajam. Di sisi lain, Danti yang masih gemetar, berusaha berdiri dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian di dalam dirinya.
"Mas, ini kenapa?" tanya Dianti.
Tampang Sujono berubah serius. "Dian, tolong ambilin kantong di laci deket TV," kata Mas Jon tanpa membuang pandang dari Delfina.
Dianti segera berlari ke arah laci dekat TV, tetapi langkahnya terhenti sesaat ketika lampu di ruang tamu tiba-tiba mati total. Dalam kegelapan yang pekat, Dianti hanya bisa merasakan angin dingin dan suara bisikan yang mengerikan.
"Pateni ...."
Dianti berusaha cuek dan dengan gemetar merogoh laci, berusaha membukanya meskipun gelap dan menutupi pandangan. Namun, ia merinding saat menyentuh sesuatu yang—berlendir. Lampu tiba-tiba menyala kembali, sesosok wanita dengan rambut panjang bermata hitam utuh muncul di depan Dian. Yang mengejutkan adalah, rupanya sedari tadi Dianti merayapi wajah berlumur darah itu dengan tangannya.
"AAAAAA! Mas Jon, tolong Mas Jon!"
"Jangan sentuh dia, Humaila!" bentak Sujono dengan suaranya yang berat. Arwah itu menjerit dan mundur ke dalam kegelapan, seolah tertekan oleh suara Sujono.
Dianti dengan napas yang terengah-engah, memberanikan diri membuka laci di dekat TV. Di dalamnya, ia menemukan kantong putih yang terbungkus rapi. Dengan cepat, ia mengambil kantong itu dan berlari kembali ke Sujono. "I-ini, Mas."
"Yang tadi itu penghuni kamar satu, dia udah mati lama," ucap Sujono.
"Be-berarti selama ini yang nangis dan sering saya liat itu ...."
"Kesampingkan Humaila, dia juga tumbal. Arwahnya terpenjara di sini dan enggak bisa pergi," potong Sujono. Pria itu menunjuk ke arah Delfina. "Semua itu gara-gara yang jahat itu."
Sujono segera membuka kantong yang diberikan oleh Dianti dan mulai menaburkan garam murni di sekitar mereka, membentuk lingkaran pelindung. Garam murni dipercaya dapat menangkal setan.
Tarian Delfina semakin membawanya mendekat pada Sujono dan Dianti. Garam-garam yang awalnya berwarna putih mulai menghitam seiring mendekatnya Delfina. Sujono mengambil tasbih di dalam kantong celananya, lalu memejamkan mata dan mulai berdzikir, suaranya bergema, beradu dengan kidung yang dinyanyikan Delfina.
"Berhenti berdzikir, sialan!" teriak Delfina gusar, suaranya serak dan penuh kebencian. Ia terus menari dengan gerakan yang semakin liar, seolah berusaha mengganggu konsentrasi Sujono.
Namun, Sujono tetap khusyuk dan mempercepat dzikirnya. Ia merapal doa pengusiran dengan kekuatan penuh, berusaha melawan segala kekuatan jahat yang menguasai Delfina. Suasana ruangan menjadi semakin tegang, dengan garam yang menghitam menunjukkan pertanda kekuatan gelap yang kuat.
Lampu-lampu di ruang tamu mulai berkedip secara tak terkendali, sebelum akhirnya pecah satu per satu.
Dianti berjongkok ketakutan sambil menutup telinga. "Mas, Jono! Takut!"
Pecahan kaca bertebaran di lantai. Ruang tamu pun dipenuhi dengan kegelapan yang lebih pekat.
"Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah .... "
Dari berbagai penjuru, suara dzikir lain mulai terdengar. Setiap sudut ruangan seolah bergema dengan suara doa yang tidak hanya datang dari Sujono tetapi juga seolah ada suara lain yang mengiringi.
"Lailahaillallah wahdahula syarikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumitu wahuwa ala kulli syai'in qadir!"
(Tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu!)
Seiring dengan dzikir yang semakin kuat, suara bisikan dan jeritan kegelapan menjadi semakin bising. Sujono terus melantunkan dzikir. Angin dingin menghempas dari segala arah, seperti di film-film.
Seberkas asap tipis melesat keluar dari tubuh Delfina. Seketika itu juga, tubuh gadis itu terjatuh ke lantai dengan mata tertutup rapat, tak sadarkan diri.
"Mas Jon, ini—udah selesai, kan?" tanya Dianti yang masih dibungkus ketakutan.
"Iya, udah kok. Tamat."
***
"Dulu, sebelum Kosan Ceria berdiri di atas tanah ini, tempat ini merupakan tanah keramat yang dipuja oleh para penyembah iblis. Tempat ini adalah pusat ritual gelap yang dipenuhi kekuatan jahat dan kuburan para tumbal. Keluarga Kertaprama yang menjadi salah satu dalang pemberantas sekte itu pun menjadi juru kunci tanah ini secara turun temurun. Mereka ditugaskan untuk menjaga dan melindungi tempat ini dari segala ancaman yang berhubungan dengan kekuatan gelap."
"Aku, Sujono Kertaprama, sebagai pewaris terakhir dari keluarga ini, mewarisi tanggung jawab berat untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib. Kosan Ceria didirikan di atas tanah yang dulu dipenuhi oleh sekte iblis yang kejam. Salah satu korban pertama dari tempat ini adalah Humaila, seorang mahasiswi yang menjadi tumbal iblis langganan para satanis sejak masa ke masa. Kematian Humaila menandai permulaan gangguan-gangguan mengerikan di Kosan Ceria. Sejak itu, kamar 1 di kosan ini ditutup dan menjadi tempat yang angker, karena setiap kali Humaila muncul menampakkan diri, bencana gaib akan datang, seolah menjadi sebuah pertanda."
"Kehadiran iblis pesinden berkebaya hitam yang mencari tumbal dari tanah yang telah dirasuk oleh kejahatan ini terus menghantui Kosan Ceria. Iblis itu menuntut korban baru, dan aktivitasnya selalu berhubungan dengan munculnya gangguan-gangguan supernatural yang melibatkan warga kosan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top