Never Say Goodbye, Nawa!
Nawa mengkhawatirkanku melebihi siapa pun. Jelas sekali terlihat dari matanya yang berkaca-kaca saat aku mulai mengenakan perlengkapan paralayang ke tubuh. Aku memang egois, Nawa juga egois. Dia bisa pergi meninggalkanku saja dan berkencan dengan gadis lain. Ya, gadis lain yang lebih layak daripada aku.
Asap tipis mengepul saat aku mengembuskan napas. Sebelum angin menerbangkanku ke udara, aku ingin Nawa tidak ada di sana. Sayangnya, sampai detik ini, dia masih berdiri mengawasi dengan tatapan duka. Sorot mata yang gelap itu akan menyakiti lebih dalam lagi. Sebanyak apa pun keinginan hati memiliki Nawa, tidak lebih besar dari keinginanku melenyapkan diri sendiri.
Sekali dalam setahun, aku akan datang ke Malang. Nawa tidak akan pernah membiarkan aku pergi sendiri. Aku tidak akan pernah lupa saat Aku, Nawa, dan Sena pergi bersama. Namun, satu di antara kami tidak kembali.
"Cuaca kurang bagus saat ini, Shana," kata Nawa memperingatkan. "Kudengar beberapa paraglider bahkan membatalkan rencana mereka. Apa kamu enggak ngerti juga?"
"Hentikan, Nawa! Jangan halangi aku. Kamu tahu aku melakukan ini setiap tahun untuk mengenang Sena dan sekarang pun demikian. Tidak akan ada yang berubah."
"Sampai kapan kamu terjebak dalam roda waktu? Sena udah enggak ada! Lagi pula, ini bukan dirimu, sebelumnya kamu sangat takut ketinggian. Hanya karena Sena memintamu bukan berarti kamu harus melakukannya terus menerus."
Aku benci mengakuinya, tapi Nawa benar.
Aku benci diriku yang tidak bisa memutuskan. Entah berapa kali aku bilang padanya, "Putus aja, lah, Nawa. Ini akan menyakitimu."
"Tentu kita akan putus," katanya. "Setelah kita jadian, Shana. Aku bahkan belum memiliki hatimu."
Tentu saja aku sangat ingin terbang dan tidak akan kembali lagi untuk selamanya.
Sejak pengalaman pertama, aku yakin akan sangat menyukai paralayang dan ... Sena. Aku suka cara Sena memasangkan alat keamanan, memastikan semua akan baik-baik saja. Seandainya waktu kompetisi aku tidak terlambat datang, Sena tak akan terbang dalam keadaan marah. Dia akan menjadi atlet terbaik lagi. Sayangnya, aku terlalu sempurna untuk tidak mengacaukan segalanya.
Sena sudah mendapat lisensi terbang dari FASI, bulan April seharusnya dia akan ke Langkisau mengikuti sebuah turnamen. Tentu saja jika aku ....
Aku selalu kesulitan menceritakan kembali kejadian traumatis yang terjadi dalam hidupku. Rasanya, lebih baik jika aku saja yang bisa menggantikan posisi mereka. Sudah enam bulan sejak tewasnya Sena karena kecerobohanku, aku masih belum bisa memaafkan diri sendiri. Dia terbang dalam keadaan marah, hilang terempas angin yang tiba-tiba berubah arah. Saat aku sampai ke sana bersama Nawa yang saat itu menjemputku, kami sudah tidak bisa melacak radio/HT yang dibawanya.
"Aku mau kamu dateng, Shana."
Harusnya aku datang tepat waktu, kepergiannya ke Langkisau hanya akan berlangsung beberapa hari, tapi sekarang ... aku tak punya waktu sedikit pun bersama Sena.
Aku bisa mendengar Nawa pergi, langkahnya menjauh dengan mantap. Aku menolak untuk menengok ke arahnya. Seharusnya memang seperti itu. Dia bisa mendapat kehidupan lebih baik daripada bertahan dalam sebuah hubungan yang tidak akan berkembang dengan baik. Nawa mencintaiku, dia mengatakannya enam bulan lalu saat Sena tiada. Aku tak butuh dikasihani, Nawa.
Bola mataku seakan terbakar, kelopaknya terkatup saat lelehan bulir hangat melewati pipi. Hubungan ini tidak adil untukmu, Nawa. Aku sangat mencintai Sena, aku berada di tempat ini karena Sena, dan kamu tidak akan bisa memiliki hatiku seutuhnya.
"Tunggu aku, kita akan tandem flight."
Kubuka mata dan menoleh ke arahnya. Dia sudah memakai harness, beberapa kelengkapan terbang sudah disiapkan. Lebih banyak dari yang kuduga, variometer, windmeter, dan GPS. Sekarang, sarung tangan sudah terpasang di keduanya tangannya.
"Tandem flight bersamamu?"
Gerakan Nawa terhenti, dia memegang pundakku dan menatap lekat. Selanjutnya, senyum manis tersungging. Gigi gingsul yang terlihat membuat Nawa semakin manis. Aku merasa ada yang aneh dengan reaksi tubuhku. Selanjutnya aku bisa melihat Nawa begitu cemas.
"Kamu sakit?"
Aku menggeleng, tak mungkin kujelaskan organ sekepalan dalam dadaku seakan melesat jatuh saat melihat senyumnya.
"Kamu takut tandem bareng aku?" tanya Nawa membuatku tak enak hati.
Jika aku berhasil melewati ketakutan akan ketinggian, aku tak punya alasan menolak terbang dengan Nawa. Meski pun ini akan sulit mengingat dia belum mengantongi izin terbang tandem. Namun, Nawa memang selalu memberi kejutan. Dia menunjukan lisensi terbang yang dia peroleh dari FASI dan izin tandem dari sekolah yang dia ikuti.
Mataku pasti berkaca-kaca, aku nyaris menangis lagi. Aku kenal Nawa dengan baik, dia sampai sekolah ground school dan room class yang katanya menjengkelkan. Entah demi adiknya Sena atau demi diriku. Ini sangat manis.
"Kamu tahu, kelasnya sangat membosankan," katanya seraya berbisik membuatku tersenyum. "Tapi aku sangat ingin terbang bersamamu. Apa diizinkan?"
Aku menonjok lengannya pelan, mungkin aku akan mencabut penyataan bahwa mengajak Nawa adalah ide buruk. Saat bersama Nawa, aku bisa melupakan Sena. Ini sangat tidak adil bagi Nawa.
"Dengan satu syarat, ini akan menjadi penerbangan pertama dan terakhir kita," kataku dengan susah payah.
Dia tak perlu mengubah diri menjadi siapa pun walau itu seperti Sena, adiknya sendiri, pacar terbaik yang pernah kumiliki. Aku melihat Nawa bergeming saat angin berembus memainkan rambutnya.
Nawa menyakitiku dengan diam dan tak memberi jawaban apa pun.
Bersamaku, dia akan terluka seumur hidup. Aku sangat mencintai Sena dalam hidupku, Nawa bukan pelarian yang bagus. Dia akan mengingatkan pada Sena setiap hari. Kami bersepakat menjalin hubungan, dia setia dan aku pun demikian. Namun, dua hati yang sama-sama berkomitmen pun belum tentu akan sejalan untuk sebuah hubungan jangka panjang. Usia Nawa masih 19 tahun, masih banyak waktu. Dia tak boleh selamanya tertungkus bersama perasaanku yang palsu. Tidak, ini bukan perasaan palsu, aku menyayanginya sungguh, tapi Sena meninggalkan sesuatu yang pekat di hatiku. Sehingga aku merasa sulit bergerak. Aku merasa terikat. Cukup aku saja, Nawa jangan. Dia berhak atas kehidupannya.
Aku sangat ingin melayang bersamanya ... untuk terakhir kali. Aku pun sama, tak bisa melakukan apa pun selain berdiam diri menunggu Nawa memasang helm ke kepala. Dia benar-benar melakukannya, aku berbalik memunggunginya. Menyembunyikan satu tetes air mata kembali jatuh. Setelah ini aku harus melepaskan Nawa.
Aku bisa merasakan Nawa sudah ada di posisinya, tepat di belakangku dan kami akan mengudara dalam hitungan detik bersama berakhirnya hubungan tak berdasar ini.
"Jangan menutup matamu, Shana lihatlah," katanya. Aku pun membuka mata melihat hamparan hijau menyerupai zamrud yang sangat memesona. Gradasi warnanya seperti keajaiban alam, sangat indah. Sawah sejauh mata memandang bertemu warna biru cerah dihiasi awan tipis. "Arah angin tidak terlalu baik, Shana, kita enggak bisa terbang terlalu lama."
Aku mengangguk.
Berat sekali mengakui bahwa aku ingin waktu berhenti di sini saja.
Angin termal kurang baik, aku bisa merasakan alirannya semakin kuat. Aku tahu Nawa merasakan hal yang sama, tetapi aku tak merasakan ketegangan dari dirinya. Dia memiliki seluruh ketenangan, berusaha mengendalikan parasut.
"Kamu tahu apa yang sedang kita hadapi?"
Aku kesulitan menelan ludah, parasut ini akan jatuh. Mungkin ini yang dirasakan saat Sena terombang-ambing di udara dipermainkan angin.
"Jangan pernah kehilangan GPS itu apa pun yang terjadi, mengerti?"
Jantungku berdebar sangat kencang dan aku tak menyukainya, aku ketakutan. Tubuhku gemetar. Aku mendongak melihat Nawa yang masih berjuang membuat posisi kami tetap stabil.
"Aku enggak akan mengajakmu terbang lagi, Shana. Aku janji. Seharusnya aku mencegahmu terbang, bukan memberimu pengalaman yang menakutkan." Nawa tersenyum setelahnya.
"Shana, kamu mempercayaiku?"
Aku sangat mempercayainya, sama seperti saat Nawa menyebut namaku, aku sangat menyukainya. Panggilan dari Nawa terdengar berbeda. Suaranya mendesiskan huruf S. Cadel S membuat Nawa menyebut Shana sengan cara yang spesial.
"Never say goodbye, Nawa. Aku mau kamu memanggilku setiap waktu."
Senyum Nawa melebar mendengar permintaan itu saat kami hampir di tempat pendaratan, kami terempas angin kencang membuat pendaratan meleset dan gagal total.
Aku melihat beberapa orang berlari ke arah kami. Aku melihat Nawa memekik kesakitan memegangi kakinya. Seketika aku merasa kehilangan seluruh energi. Terlebih tim medis yang melakukan pertolongan pertama merujuknya ke rumah sakit.
Apa aku akan kehilangan Nawa setelah kehilangan Sena?
Kubiarkan seseorang merangkul, memberiku air mineral dan beberapa pertanyaan yang kuabaikan.
"Aku enggak mau kehilangan siapa pun lagi."
***
Rumah sakit pasti sangat membosankan bagi Nawa. Dia hanya bisa menghabiskan waktu dengan setumpuk buku pemberian rekan-rekannya. Lebih dari sepuluh menit aku sudah berdiri di ruangan rawat inap itu. Aku dilarang keluar rumah sejak tragedi di Malang itu, kali ini pun aku baru bisa menyelinap keluar untuk menemui Nawa, Kudengar dia harus memakai kursi roda. Aku tak memiliki keberanian menemuinya.
"Shana, apa itu kamu?"
Aku yang sudah berbalik tak bergerak.
"Shana, kamu enggak mau menemuiku?" Kurasa dia menatap punggungku sekarang. Sentuhannya terasa hangat saat dia menggamit telapak tanganku dan menggenggamnya dengan erat. "Tandem kita sangat buruk."
"Kamu bisa tutup mulut, Nawa! Aku hampir kehilanganmu."
Berengsek! Kenapa dia bisa tersenyum saat aku berantakan seperti ini.
"Shana dengar, ini memang tandem terburuk, tapi aku sama sekali enggak menyesalinya. Aku bersyukur bisa merasakan sensasi terbang tandem pertama kali dan itu bersamamu," katanya. Dia memutar roda agar lebih dekat denganku. Aku tetap berdiri, tak berusaha menyetarakan posisi atau apa pun. "Aku enggak akan pergi ke mana pun dan aku akan selalu memanggil namamu dengan Shana."
Aku tak tahu jenis rasa apa yang melembak dalam dada sekarang. Aku merasakan hangat yang luar biasa.
"Berhenti menyalahkan dirimu, Shana. Lupakan kejadian itu, aku yakin, Sena hanya ingin kamu melanjutkan hidup dengan menjadi dirimu sendiri. Yang terjadi padaku ... itu bukan kesalahanmu. Kita berdua mengingikannya. Ini akan menjadi pengingat aku telah melewati momen luar biasa dengan gadis yang luar biasa."
Aku tak terbiasa dengan kalimat rumit Nawa, aku hanya ingin dia berjanji tidak akan pernah pergi meninggalkanku, meski hanya dalam pikirannya saja.
=======SELESAI=======
Never Say Goodbye, Nawa!
AhyaBee.
Pubalingga, 30 Juni 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top