Unfinished Story

Hujan kali ini kembali mengguyur kota pekan baru, Sosok seorang pria bertubuh tegak duduk di pinggiran emperan toko yang tengah tertutup badannya sedikit basah karena percikan air hujan.

Menatap rinai hujan yang jatuh ke bumi, kehilangan sahabat tercinta setahun lalu masih terasa menyakitkan di benaknya. Bagaimana tidak? Seseorang yang tingal bersamanya lebih dari 3 tahun terakhir sosok yang mengajarkannya banyak hal.

Seorang gadis kecil sedang berlindung di bawah daun pisang memanggil namanya.

"Bang Sandi!"Pekik gadis kecil itu.

Sandi membalikkan badannya menatap gadis kecil itu.

"Iya Clara ada apa?" Suara Sandi sedikit ia besarkan agar tak terendam oleh suara hujan.

"Umi nyariin Bang Sandi!" Pekik Clara.

"Iya Bang Sandi sebentar lagi pulang hujannya masih deras."Sandi sedikit memeluk tubuhnya karena udara dingin yang seakan menusuk tubuhnya.

Clara pun menganggukkan kepalanya lalu berlalu Pergi.

Hujan mulai mereda, Sandi mengangkat kantong asoy yang berisi seikat daun singkong.

Sandi berlari menuju rumahnya, langit mulai mengelap memberi tanda bahwa hari akan berganti malam.

Setelah sekitar 10 menit berlari menembus gerimis. Akhirnya Sandi telah sampai dirumahnya.

"Assalamualaikum umi,"teriak Sandi sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumussalam," jawab umi lalu membuka pintu.

Sandi menyalimi tangan umi dan memberikan kantong asoy tersebut ke arah umi.

Umi meneliti keadaan anak sulungnya sebentar "Manga ndak nanti hujan taduah dulu?"

"Lama,"Sandi tersenyum jail kearah umi, lalu bergegas memasuki kamarnya.

Sandi menatap sekitaran kamarnya, dulu kamar ini di tempati ia dan Pian sahabat tergilanya.

Pian sosok yang banyak memberi pelajaran kepada Sandi, sosok yang selalu mementingkan orang lain ketimbang dirinya, sosok yang menutupi lukanya dengan topeng bahagia tanpa derita.

Pian mungkin berhasil membuat orang lain percaya bahwa ia baik baik saja, namun. Sandi lebih tau semuanya, bagaimana tidak? mereka tinggal di satu rumah yang sama, kamar yang sama.

Setelah setahun kepergian Pian rumah itu terasa membosankan, tak ada lagi suara Pian yang membaca hapalan Al-qur'an nya, bagaimana ia tidak bisa membaca Al-qur'an, kan dia anak murid imam hanafi.

Sandi tersenyum menatap langit-langit kamarnya, "Yan yang tenang disana, ane selalu mendoakan agar ente berada disisi Allah."

Kemudian, Sandi memejamkan matanya mencari ketenangan lalu meregangkan otot agar tidak capek.

~0~

Pagi pagi sekali Sandi sudah datang ke pasar untuk membuka toko uda Jhon, setelah lulus Sekolah Sandi lebih memilih untuk berkerja membantu umi.

Bukan karena ia tak ingin kuliah, ia  ingin tetapi uang kuliah jaman sekarang tidak dikit, kasian umi kalo harus banting tulang lagi untuk membiayainya kuliah.

Setelah selesai membuka toko tersebut Sandi mulai menyapu dan membersihkan sampah sampah di toko.

Di toko uda jhon ini menjual bermacam macam pakaian, tokonya tidak terlalu besar hanya 1 ruko yg ia tempati.

Setelah selesai melakukan pembersihan di toko Sandi duduk di kasir menunggu pelanggan berbelanja, pasar akan ramai mulai pukul 8 pagi.

Saat sedang asyik melamun seorang gadis mengagetkan Sandi. "Bang Sarap!" Pekik gadis itu.

"Apaan sih zoyaa," ucap Sandi kesal.

"Ini Oya bawain bubur ayam buat bang Sarap, di makan yah, Oya tau bang Sarap belum sarapan," Zoya tersenyum ke arah Sandi dan memberikan kantung plastik berisi bubur ayam kepada Sandi.

"Ente selalu aja gini, enggak sekolah apa?"

"Lagi pembagian raport juga bang, cuma wali siswa yang disuruh dateng kesekolah."

"Udah mau kenaikan yah?"

"Belum bang baru semester ganjil," Zoya terkekeh pelan.

"Semenjak ane kagak sekolah lagi jadi lupa,"Sandi menggelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan.

Zoya pun menatap wajah Sandi sebentar lalu menghembuskan nafas kasar.

"Kenapa ente?"

"Coba bang Pian masih hidup,"Zoya terduduk lesu.

Sandi menghela nafas pelan, setiap topik pembicaraan mengenai Pian selalu menjadi titik lemahnya.

"Apa ente ngelakuin ini semua karena Pian?"

"Setiap kali liat bang Sandi, Oya selalu ingat bang Pian."

"Zoya..."

"Sekalipun bang Pian lebih milih kak Pika dari Oya," Zoya mengeluarkan unek uneknya.

"Bang Pian itu cinta pertama Oya, sekalipun cara bang Pian nolak Oya buat Oya kecewa, tapi Oya nggak bisa benci dia bang, Oya sayang banget sama bang Pian," tambah Zoya matanya mulai berkaca kaca.

Sandi menatap Gadis yang duduk di depannya ini, terbesit rasa iba di dirinya, gadis ini gadis baik, tetapi baik saja tidak cukup untuk membuat seseorang jatuh cinta.

"Katanya jika kita mencintai seseorang kita harus membuatnya bahagia, walapun dengan cara merelakan ia bersama orang lain."

Sandi terhenyak mendengar penuturan Zoya.

"Pian udah nganggap ente adiknya Oya."

"Iya bang tau, Oya aja yang kurang ajar malah minta lebih dari abang adek," Zoya terkekeh pelan merasa topik yang mereka bahas itu lucu.

"Lah bocah ane serius."

"Iya bang, jadi gimana nih sama kak widya?" Tanya Zoya menaik naikan alisnya.

"Dia gadis yang pintar, dia bakalan dapet orang yang berkelas di banding ane."

"Jangan gitu dong bang, abang harus semangat kalo cinta mah ya diperjuangin."

"Udah ah bocah bahasanya cinta cintaan mulu,"Sandi berdiri dari tempat duduknya.

"Ah bang Sarap gak seru! Oya pulang ah entar di cariin mama lagi, bye bang sarap!" Pekik Zoya.

"Iya hati-hati!"

Sandi menghidupkan ponselnya, walaupun merek ponselnya tidak terlalu bagus setidaknya masih bisa di gunakan untuk berfoto ria, dan facebook-an.

Wallpaper ponsel itu adalah foto dirinya dan Pian, foto itu di ambil ketika Pian pulang dari teater di Palembang.

"Ente liat Yan, saat lo nggak lagi ada di dunia ini, sikap jail, menyebalkan, aneh, lucunya ente, masih membekas di ingatan mereka. Bangga ane jadi sohib ente terkenang sepanjang masa," sandi terkekeh lalu memasukan ponselnya kedalam kantung celana.

~0~

Seperti rutinitas dirinya setiap hari, Sandi duduk di meja kasir menunggu pembeli, saat ini sudah pukul 3 sore para pembeli jadi sedikit lebih berkurang.

"MARI BELI! MARI BELI, MURAH MERIAH!" Pekik Sandi untuk menarik minat para pembeli.

Seorang ibu- Ibu datang memasuki tokonya.

"Nyari apa mande?" Tanya Sandi sopan.

"Nyari panci."

"Hah?" Sandi mengeriyit tak mengerti.

"Awak ko nyari sarawa lah, emang ang jual panci apa? Nanya-nanya lagi!" Ibuk itu membalas ucapan Sandi dengan judes.

Sandi membulatkan matanya menatap ibu tersebut, andai membunuh orang tidak akan masuk neraka sudah pasti ia akan mencekik leher ibu itu.

"Sabar San, ente harus sabar, orang Sabar cepet kaya."

"Manga ang caliek caliek den!"

"Astagfirullahaladzim."

"Ada ndak sarawa jeans?"

"Ada mande tunggu sebentar."

Sandi mencari beberapa celana jeans untuk di tunjukan kepada Ibu tadi, namun saat sedang mencari suara menyebalkan darinya terdengar lagi.

"Pusing kepala ambo, baeko ada sarawa jeans di pakai, pakaian jin sajo  di pakai manusia," Ibu itu mendumel kesal duduk di kursi sambil mengipas ngipaskan wajahnya.

"Bukan pakaian jin mande, ini ko Fashion, nah ini ane bawa contohnya," Sandi menunjukkan beberapa celana jeans kepada ibu tadi.

"Alah samo se lah."

"Manga sarawa robek ang jual juo?" ucap ibu itu meneliti celana yang robek di dengkul.

"Onde mande, ini ko model nyo, pusing lah kepala ane, mande mau pilih sajo, jangan banyak omong," ucap Sandi kesal, lelah melihat tingkah laku ibu itu.

"Ambo ko pembeli, ang layani lah dengan baik."

"Astagfirullahaladzim, oke mande mau yang mana?" Tanya Sandi pasrah.

"Ambo nak yang ko," ucap Ibu itu menunjuk salah satu celana jeans yang model tanpa robek-robek.

Sandi menganggukkan kepalanya lalu membungkus celana tersebut.

"Semuanya tujuh puluh dua ribu mande."

Ibu itu mengeluarkan selembar uang seratus ribu kepada sandi.

"Ini kembaliannya mande."

Ibu itu mengangguk sebentar lalu berjalan keluar toko.

Rasa kantuk menghampiri Sandi, Hari ini kota Pekanbaru sedikit mendung sejak pagi membuat Sandi ingin ke tempat tidur untuk merebahkan tubuhnya.

Namun sebuah suara kembali menarik dirinya ke alam sadar.

"Rok tutu ini berapa uda?"

Sandi mengerjapkan matanya duduk dan melihat kearah pembeli tersebut.

"Widya!" Teriak Sandi spontan karena kaget.

"Sandi! Kamu apa kabar?" Tanya Widya tersenyum hangat.

Sandi berjalan menghampiri Widya lalu berjabat tangan layaknya teman lama yang kembali bertemu.

"Alhamdulillah ane baik wid. Kabar ente gimana nih?" Tanya Sandi balik.

"Sama aku juga baik San. Ini toko kamu?"

"Bukan, ane cuma karyawan disini," Sandi terkekeh pelan.

"Ternyata kamu di sini San, soalnya sejak lulus kita semua berpencar, jadi susah buat ketemu," Widya tersenyum.

"Haha iya wid, yuk duduk kan jadi enak ngobrolnya," Sandi menuntun Widya duduk di sebuah kursi.

Widya tersenyum mengikuti Sandi.

"Ngomong ngomong ente kuliah dimana Wid?"

"Masih di Pekanbaru."

"Lah Iyaaa."

"Banyak yang berubah San setelah lulus. Semuanya nggak seru lagi," Widya terduduk lemah.

Sandi hanya mengamati wanita yang ia sukai waktu SMA dulu, iya dulu nggak tau kalo sekarang.

"Semenjak Pian pergi, Pika jadi sosok yang berbeda, dia saja lebih milih pindah ke jakarta buat pendidikan nya."

"Ane juga bingung harus bagaimana wid, Tristan pindah ke bandung, hendrik ente tau sendiri kan sejak kejadian itu," kini Sandi yang terduduk lemah.

"Tinggal ane sendirian wid," Sandi menatap manik mata Widya. Tersirat tatapan betapa ia terluka atas kepergian teman temanya dari mata Sandi.

"Kamu tenang aja San, kan masih ada aku, walaupun waktu SMA kita nggak jadi teman baik karena kamu sering gangguin aku," kekeh Widya.

"Hehe ente sih lucu kan enak ane gangguin," goda Sandi.

Widya menepuk bahu Sandi pelan sembari tersenyum. Dulu waktu SMA dia akan sangat kesal ketika Sandi menggangunya namun sekarang mereka sudah sama sama dewasa jadi menganggap santai gurauan Sandi.

"Oh iya San aku tuh mau beli rok yang itu berapa?" tunjuk Widya.

"120 ribu Wid yang itu."

"Nggak kurang? 50 ribu yahh."

"Adu nggak bisa wid, 85 ribu aja gimana?"

"70 ribu deal?"

"80 ribu deal!"

"Oke lah deal 80 ribu," putus Widya.

Sandi terkekeh pelan lalu membungkus rok tersebut memberikan nya kepada Widya.

"Nih," ulur Sandi.

"Oh ini uang nya."

"Pas yah."

"Iya."

"Aku pulang San, ini nomor ponsel aku supaya kita nggak lost kontak," Widya tersenyum kearah Sandi.

"Terima kasih wid."

Widya mengangguk lalu pergi dari toko, setelah kepergian Widya, Sandi menatap kertas yang tertera nomor ponsel Widya.

"Bener kata Afgan jodoh pasti bertemu," kekeh Sandi, lalu melompat bahagia.

~0~

Widya duduk di pinggir Gezebo rumahnya menanti Arkan pacarnya, ia dan Arkan sudah menjalin hubungan selama 6 bulan lebih.

Sebuah mobil Toyota berhenti didepan nya. Seseorang keluar dari balik kemudi menghampirinya.

"Ayo berangkat," seru Arkan kepada Widya.

Tetapi Widya tak mengindahkan ucapan Arkan ia malah memasang wajah cemberut.

"Yang..."

"Apa? Kamu kebiasaan deh telat mulu!"

"Pekanbaru macet yang," ucap Arkan membela diri.

"Itu mulu alasan kamu, aku nggak keberatan yah kalo kamu cuma ngaret 10 menit, ini 1 jam! Bayangin coba!" Widya masih mendumel kesal.

Arkan menghela nafas pelan. "Iya-iya maaf yah, janji deh nggak bakalan telat lagi."

"Tau ah!" Widya berjalan memasuki mobil Arkan.

Arkan pun bergegas memasuki mobilnya lalu melesat menuju kampus.

Didalam mobil Widya masih memasang tampang cemberut.

"Yang udah ya marah nya, kan aku udah minta maaf," bujuk Arkan.

Widya masih tak menjawab ucapan Arkan.

"Tau nggak kamu itu kayak bocah aja! Telat dikit marah, aku kesana marah, ngatur ngatur juga, mau kamu itu apa sih!" Seru Arkan dengan raut kesal.

Widya sedikit tercengang mendengar ucapan Arkan.

"Oh ya?! " tanya Widya tak mau kalah.

"Iya!"

"Berhenti! Turunin aku!"

"Enggak!"

"Turunin nggak! Atau aku loncat nih!" Ancam Widya.

"Loncat aja silahkan," jawab Arkan enteng.

"Kamu!" Ucap Widya dengan mata berkaca kaca, ia benci Arkan yang seperti ini.

Arkan menatap manik mata Widya berkaca kaca lalu menghembuskan nafas gusar, ia memberhentikan mobilnya di tepi trotoar rem mendadak membuat tubuh Widya terhuyung kedepan, tetapi dengan Sigap tangan Arkan menahan tubuh mungil tersebut.

"Kamu gila ya!" Pekik Widya.

Arkan melepaskan tangannya yang menahan tubuh Widya.

"Kamu tuh kenapa sih Wid?" Tanya Arkan melemah.

"Kamu yang kenapa Ar?! Oke. aku ini emang kekanak kanakan jadi kenapa kamu bisa suka sama aku?!"

Arkan diam tak menjawab pertanyaan Widya.

"Kenapa diam?!"

"Aku capek wid selalu debat hal sepele gini sama kamu, aku sayang sama kamu, tapi kamu nggak berhak ngatur-ngatur hidup aku," ucap Arkan lembut.

"Aku nggak pernah ngelarang kamu dekat dengan siapa pun Ar, tapi kalo kamu marah akibat aku melarang kamu masih temenan sama anak geng motor itu karena aku sayang kamu Ar, aku nggak mau kamu kenapa kenapa! Mereka nggak baik" ujar Widya pelan.

"Mereka temen ku wid, aku lebih dulu kenal mereka dari kamu, jadi kamu nggak berhak."

"Oh aku nggak berhak?! Jadi turun—"

"Diem! Aku capek bahas ini sama kamu!" Arkan memotong ucapan Widya.

~0~

Setelah seminggu dari pertemuannya dengan Widya di toko ini Sandi sering berkirim pesan dengan Widya bisa di bilang lancar jaya.

Notifikasi messenger miliknya berbunyi, Sandi bergegas melihat ternyata itu dari Widya.

WidyaGebetan : San malam besok datang yah ke acara ulang tahun aku malem minggu di hotel Aryaduta,maaf nggak bisa mengundang secara langsung, dan terima kasih. aku tunggu kedatangan kamu.

Insyaallah, entar ane usahakan buat dateng : You

Sandi menatap pesan itu, ia tak habis pikir banyak yang berubah setelah setahun berlalu, yang kekanakan menjadi dewasa, yang dewasa menjadi lebih dewasa.

Ia ingat dulu waktu SMA ia selalu menjahili Widya, mulai dari mengambil botol air minumnya untuk menyiramkan kuburan kapi, meramalnya atau bahkan membuatnya kesal setengah mati.

Sandi tertawa mengingat wajah kesal Widya dulu ketika ia menjahilinya, betapa Widya benci akan dirinya.

Ia sengaja melakukan itu semua agar bisa lebih dekat dengan Widya cinta bertepuk sebelah tangan membuat Sandi tak dapat mengutarakan isi hatinya.

"Ada beberapa orang yang sengaja berperilaku bodoh agar orang yang dicintainya bisa tertawa karena nya"

Sandi menaruh ponselnya diatas nakas lalu memejamkan matanya, ia harus berkerja besok pagi jadi butuh istirahat yang cukup agar tak kesiangan.

Sebelum memejamkan mata ia kembali merapal doa untuk Sahabat tercintanya.

"Yang bahagia Yan ente disana, kita emang sedih kehilangan ente tapi kalo ente lebih bahagia bersama Allah disana kita ikhlaskan yan."

"Ane sayang banget sama ente yan."

"Eh tunggu bahasa pernajisan apa yang ane pake tadi? Duh entar di kira menyimpang lagi," Sandi bergelidik ngeri.

"Pokoknya doa yang terbaik buat ente yan,"lanjutnya.

Sandi memejamkan matanya mencoba untuk mengistirahatkan tubuhnya.

~0~

Malam ini Sandi berencana pergi ke acara ulang tahun Widya, ia sedang berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya.

Menggunakan kaos hitam berlapiskan kemeja yang sengaja tak di kancing dan menggunakan celana jeans yang robek di dengkul dan sepatu convers yang menutupi kakinya.

"Mau berapa lama lagi sih bang di depan cermin?" Tanya caca adik Sandi.

"Bentar Ca, ganteng nggak bang Sandi?"

"Udah ganteng bang! Capek ah Caca liat abang gonta ganti baju, ternyata pacaran itu ribet!"

"Siapa yang pacaran sih."

"Terus kalo nggak pacaran kenapa bergaya kayak mau ketemu pacar aja," rutu Caca.

"Bang Sandi itu mau keacara ulang tahun temen ca."

"Bilang aja keacara ulang tahun pacar!" Ledek Caca.

"Udah ah abang pergi dulu, jagain umi kemungkinan abang pulang nya kemaleman," Sandi mengambil sebuah kotak yang sudah di balut kertas kado dan memasukkannya kedalam plastik putih. Lalu berjalan keluar kamar untuk menghampiri uminya.

"Umi Sandi ke acara ulang tahun temen," Sandi menyalimi tangan uminya.

"Iyo hati hati, pulangnya jangan malam malam san."

Sandi menganggukkan kepalanya "Assalamualaikum umi."

"Waalaikumussalam."

Sandi menghidupkan motornya lalu berjalan membelah jalanan kota Pekanbaru.

Setelah hampir 25 menit Sandi sampai di hotel Aryaduta. Ia memarkirkan motornya lalu berjalan memasuki hotel.

Saat Sandi memasuki daerah kolam renang yang telah dihiasi lampu lampu yang membuat suasana kolam menjadi lebih indah.

Suasana tenang yang didukung oleh alunan musik dan dekorasi yang mewah membuat pesta ini sedikit berkelas

"Sandi!"panggil seorang perempuan.

Sandi sedikit terkejut lalu membalikkan badannya menatap kearah gadis yang memanggilnya.

"Widya..." ucap Sandi pelan terkesima melihat penampilan perempuan tersebut, bagaiamana tidak ia benar benar kelihatan berbeda malam ini kelihatan berkali kali lebih cantik.

Dengan dress panjang berwarna khaki dan rambut yang di biarkan tergerai membuat gadis itu terlihat berbeda.

"Ternyata kamu datang juga San," Widya tersenyum senang.

"Ya lah kan ente yang ngundang," sandi pun membalas senyum Widya.

Seorang laki laki datang menghampiri mereka berdua, lalu merangkul posesif bahu Widya.

"Kamu kemana aja sih yang? Aku cariin juga."

"Eh San kenalin ini Arkan."

"Ane Sandi," ucap Sandi ramah sembari mengulurkan tangannya.

Namun Arkan tak menyambut tangan tersebut ia sibuk meneliti penampilan Sandi dari bawah sampai atas.

Sandi menarik kembali tangannya yang tak disambut oleh Arkan.

"Gue Arkan pacarnya Widya,"ucap Arkan angkuh.

Sandi hanya tersenyum kecil lalu mengulurkan plastik yang ia bawa.

"Semoga ente suka wid."

Arkan langsung mengambil bungkusan tersebut.

"Apaan nih?" Tanyanya lalu membuka bungkus kado tersebut.

"Ini? Widya mana mau barang yang beginian," ucap Arkan membuang Flatshoes pemberian Sandi di lantai.

"Lo tau? Widya suka barang barang mahal dari pada sampah kayak tadi!"

"Arkan!" Seru Widya.

"Ane bukan orang kaya seperti ente, ane cuma bisa ngasih itu kepada Widya, wid ente terima yah,ane pulang!" Seru Sandi.

"San—"

"Orang miskin kayak lo emang nggak pantes ada di pesta ini, palingan juga cuma mau bungkusin makanan pulang," suara Arkan mengundang gelak tawa semua tamu yang datang.

"Arkan!" Maki Widya.

"Ane pulang!" Sandi tak menghiraukan ucapan Arkan yang menghinanya ia lebih memilih pergi menjauh dari pesta.

Widya menatap punggung Sandi yang pergi menjauh.

"Kamu keterlaluan Ar!" Berlari mengejar Sandi.

Saat Sandi berjalan keluar dirinya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang.

"Hendrik!"

"Sarap!"

Mereka berdua tampak terkejut.

"Ente kenapa ada disini?" Tanya Sandi.

"Ak—" ucapan Hendrik terpotong oleh seseorang.

"Sandi!" Pekik seorang perempuan yang berlari kearah mereka.

"Hendrik!" Widya terkejut melihat orang yang disamping Sandi.

"Kenapa ente bisa bebas?!"

"Aku kabur," jawab hendrik enteng.

"Apa?!"teriak Sandi dan Widya secara bersamaan.

"Iya aku disini mencari seseorang yang menyebabkan Pian meninggal!"

"Apa maksud ente?!"

"Kau lah yang bunuh pian! Dasar tidak tau diri!" Ucap Widya anarkis.

Seorang laki laki berjalan menghampiri mereka.

"Widya!" Panggilnya.

Saat sampai di depan mereka bertiga, alangkah terkejutnya laki laki itu melihat Hendrik.

"KALO KALIAN INGIN TAHU SIAPA PEMBUNUH PIAN, LAKI LAKI INI YANG BUNUHNYA!" Pekik Hendrik langsung memukul wajah Arkan.

"Apa yang enten omongin Hen?! Cakap lah yang jelas!"

"Seandainya aku tidak meminjam uang kepada pria kejam ini aku yakin Pian masih disini bersama kita!"

"Jaga ucapan mu yah! Arkan tidak akan seperti itu!" Teriak Widya marah.

"Kau tanya kan saja kepada pacar mu itu, perkerjaan apa yang ia geluti sehingga bisa sekaya itu!" Tambah Hendrik.

Beberapa saat kemudian beberapa polisi datang untuk mengamankan Hendrik yang kabur dari penjara dan Arkan yang diduga banda narkotika.

"Ar aku nggak percaya kamu ngelakuin ini!" Tangis widya pecah.

"Maaf!" Satu kalimat yang keluar dari bibir Arkan.

Sandi terdiam, pikirannya kosong, kejadian tadi sangat tak ia duga.

"Ane pergi Wid."

"Kamu mau ninggalin aku juga San?"

"Ane mau nenangin diri dulu wid, ane nggak kemana mana, ente bisa ketemu ane besok ditoko uda jhon.

Widya hanya terdiam.

"Ane Pergi," setelah itu punggung Sandi berjalan menjauh.

TAMAT

1. Melan Komara Sari.
2. Afif khairullah.
3. Ari Sadewo.

Tak banyak hal yang ingin kami ucapan, hanya terima kasih kepada allah SWT yang telah memberi kesehatan dan ide yang terus bermunculan di kepala, kami tahu bahwa cerita kami tidak sebagus cerita mereka yang sudah ahli dalam bidang menulis tetapi kami percaya bahwa kami bisa, bisa menjadi nomor 1, dan untuk mak indah emaknya pian terima kkasih kami hanya ingin menang mak :"v terima kasih itu saja yang bisa kami sampaikan.

Palembang, 08 januari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top