Hijrah Cinta PiPi
Dia Alvian Satria
Seseorang yang ku tau adalah seorang ketua ekskul teater di SMA Nusa Pekanbaru.
Orang yang lucu dengan tingkah konyolnya, banyak orang yang tidak suka dengan tingkahnya. Namun tidak sedikit pula orang yang menyukai kepribadiannya itu, contohnya aku. Aku Harpika Hasyim. Orang
yang sangat menyukai sosok Alvian Satria, yang selama ini diam-diam senang memperhatikan tingkah konyolnya serta selalu menyukai hal-hal yang ia lakukan.
***
"Kenape dikau jalan diam-diam begitu nak?" Bu Nova, guru pembina teater SMA Nusa
mengagetkan pika yang diam-diam memasuki ruang teater yang sedang sepi.
"Eh Bu, emm itu," jawab Pika gugup sambil melirik tas Pian, berharap surat tersebut tidak akan terjatuh dan tidak diketahui oleh siapapun.
"Kenape? Dikau nak bertemu Pian?" Bu Nova bertanya kepada murid perempuannya itu yang berdiri didekat kursi Pian.
"Eh enggak Bu, Pika permisi Bu" pamit Pika sopan namun tetap terlihat ada raut cemas disana.
"Dasar anak muda jaman sekarang. Sudah banyak handphone canggih, masih nak surat-suratan pule" ucap Bu Nova ketika melihat ada secarik kertas diatas tas Pian.
"I'm comeback!" Teriak Pian saat masuk ke ruang teater.
"Eh yan, tadi Ibu lihat ada sesuatu di tas kau nak."
"Apaan tuh?" Tanya Pian penasaran.
"Ibu pun tak tau lah,sudah kau pulang lah. Ibu pun sudah mau pulang."
"Ibu duluan saja, nanti ruang ini biar Pian yang beresin" ucap Pian lembut.
"Iye,hati-hati kau nak"
"Siap komandan."
Setelah Bu Nova pulang,
Pian yang penasaran melihat apa isi secarik surat tersebut. Setelah
membacanya, ada senyum yang
mengembang menampilkan lesung pipi nya sehingga membuat
wajahnya terlihat manis.
"Akan ku temui engkau wahai pengagumku" ucap Pian dengan
bersemangat.
Apapun Pian lakukan untuk mencari tau siapa sosok pengirim surat tersebut, tiap pulang sekolah Pian
selalu memaksa Sandi dan Tristan untuk membantunya mencari tulisan yang sama dengan si penulis
surat tersebut.
"Oii Pian! Ane capek meriksa nih buku satu-satu buat samain ini tulisan" teriak Sandi frustasi setelah
membolak-balikkan buku-buku tugas yang ada di meja Bu Ratih.
"Iya nih yan, nggak ada cara lain kah?" Kali ini Tristan ikut bertanya sambil tetap memeriksa buku-buku
yang ada di meja Bu Osnita.
"Ayo semangatlah wahai kawan sekota setanah air ku, bantulah kawan kalian yang sedang berbahagia ini" ucap Pian dramatis.
"Baru dapet surat segini doang ente sudah senengnya minta ampun."
"Ya gitu Rab, nggak pernah dikasih surat jadi gitu deh."
"Kita harus menghargai siapapun yang menyukai kita. Jadi, seorang Pian ini akan terus mencarinya," ucap Pian dengan semangat menggebu-gebu sambil terus memeriksa buku-buku tugas yang ada di meja guru.
"Ayolah kita pulang yan, ane bener-bener capek ini yan. Kalo ane tidak pulang sekarang, bisa-bisa mati
ane di marahin umi," pinta Sandi sekali lagi dengan nada memelas.
"Yasudah. Sabar ya wahai pengagumku, aku akan mencarimu di lain waktu," Pian berkata kepada
sepucuk surat yang berada di genggamannya.
***
"Eh tas ku! Tolonggg!!" Teriak seorang gadis didepan gerbang.
"Ada apa? Tunggu disini ya. Tenang-tenang." Pian langsung mendatangi dan menenangkan gadis
tersebut, lalu berlari mengejar si penjambret.
"Wuaahhh ... Arghhhh! Matilah kau! Matiiiiii!!!" Teriak Pian ketika berhasil menghadang penjambret itu.
"Siapa kau? Jangan sok mau jadi pahlawan!!"Jawab penjambret itu dengan nada sinis.
"Eiittt, santai dong santai, kaya di pantai. Ayo kita kenalan dulu, nama aku Pian cucunya Neils Amstrong,"
jawab Pian dengan wajah cengengesan.
"Ahh bacot!!" penjambret itu langsung melayangkan pukulannya ke arah Pian, tapi berhasil di tangkis
oleh Pian.
"Jangan main kekerasan sama anak kecil dong, nanti aku aduin sama kakekku," jawab Pian asal.
"Mau kau aduin sama kakek moyang kau sekalipun, aku nggak perduli!! Minggir!" Sahut si penjambret
lalu mendorong tubuh pian dengan kasar, namun Pian langsung mencengkram tangan si penjambret
sambil membaca mantra sehingga membuat si penjambret terdiam ditempat.
"Huahahahahah...hahahaha!!" Pian tertawa sinis, lalu bertingkah layaknya orang yang sedang kerasukan dan membuat si penjambret ketakutan.
"Arrrghhhh!! Siapa kau? Berani-beraninya kau mengganggu cucuku! Hahahaha! Kembali kan tas itu atau
kau akan kuajak ke alamku huahahahh!" Celoteh Pian tidak jelas, sehingga makin membuat si
penjambret semakin ketakutan.
"Ampun Mbah saya Hendrik Mbah! I...in..ini tasnya Mbah!" Jawab Hendrik terbata-bata dan langsung
berlari terbirit-birit meninggalkan Pian.
"Hahaha. Salah sendiri cucu Neils Amstrong dilawan," ucap Pian di sela tawanya, lalu mengambil tas
tersebut dan kembali menemui gadis tersebut.
***
"Nih tas kamu," ucap Pian menghampiri gadis yang masih berdiri dengan raut wajah cemas.
"Maka.." belum sempat ia menjawab, Pian langsung menjauhkan lagi tas tersebut "Eitss,bentar dulu.
Kasih tau nama kamu,baru tasnya dibalikin."
"Emm..itu..anuuu.." jawab sang gadis gugup.
"Nama kamu anu?" Pian bertanya dengan nada geli.
"Eh bukan," jawab si gadis dengan cepat.
"Jadi? Emang aku seganteng itu ya bisa bikin kamu grogi?"
"I..iy..eh enggak! Nama aku Pika. Sini! Kembaliin tasku." dengan segera gadis yang Pian sudah ketahui
namanya itu menyambar tas yang ada dalam genggamannya lalu berjalan cepat menjauh dari Pian.
"Pika! Tunggu! Mau ikut pulang naik napi nggak? Kasian si napi kekurangan penumpang!" Tawarnya
setengah berteriak karena posisi Pika yang agak jauh. Langkah Pika langsung terhenti "Emm nggak usah
yan,makasih!" Jawabnya tanpa sedikitpun menoleh.
"Hari sudah sore,entar kamu diapa-apain lagi kalo masih disini."
"Tapi, bukannya rumah kita nggak searah yan. Nanti Pian kerepotan," jawab Pika tanpa pikir panjang.
Kalau Pian kegeeran,bisa malu ia.
"Emang rumah kita nggak searah yah? Aku kan belum ngasih tau alamat rumah aku?" Tanya Pian
bingung.
"Eh iya..tapiii" ingin rasanya Pika menyumpahi kebodohannya itu.
Tiba-tiba Pian langsung menarik
lengan Pika "Yaudah ikut aja ayokk!"
***
"Woii! Akhirnya ada yang mau jadi penumpangnya si napi!" Teriaknya sambil berlari seperti anak kecil, menuju gazebo rumah Sandi.
"Cinta ibarat air mata abadi, yang selalu mengalirkan kesegaran bagi jiwa-jiwa dahaga. Bagaikan anggur
nikmat, manis dibibir menghangatkan badan,tetapi tidak jarang juga memabukkan." Pian mulai membacakan puisi karya Khalil Gibran sehingga membuat Tristan dan Sandi jengah.
"Ente macam orang yang lagi mabuk asmara aja yan," celetuk Sandi.
"Tadi aku abis nolongin cewe cantik yang lagi kena jambret Rab." Kata Pian dengan bibir yang tak henti-
hentinya tersenyum.
"Ada yang mau ditolong sama kau yan?" Tanya Tristan tak percaya.
"Sempet kenalan ga yan? Kan ente selalu menggunakan kesempatan dalam kesempitan," Sambung Sandi.
"Ohh jelas, jangankan ceweknya, penjambretnya aja udah aku ajak kenalan duluan. Emm tapi siapa
namanya?" Pian seolah sedang berpikir keras."Aha! Nama cewenya Pika, terus nama penjambretnya
Hendrik kalo nggak salah" celoteh Pian seperti mengingat ingat.
Sandi dan Tristan saling adu pandangan "Hah? Hendrik?" Tanya Tristan yang sepertinya tak asing lagi
mendengar nama itu.
"Kau kenal sama Hendrik, Tris?" celetuk Sandi.
"Kayaknya sih iya," jawab Tristan seperti mengingat ingat.
"Kau kenal Hendrik darimana Tris? Jangan-jangan selama ini kau sudah menduakan aku sama Hendrik
ya? Tega kau Tris tega!" Jawab Pian dengan wajah dramatis.
"Jadi gini, dulu aku pernah satu sekolah sama si Hendrik. Dia emang suka jambret,tapi itu semua ada
alesannya. Dia terpaksa ngejambret karena masalah ekonomi keluarganya," jelas Tristan panjang lebar.
"awalnya sih coba-coba, akhirnya ketagihan sampe sekarang," lanjutnya.
"Kayaknya dia butuh siraman rohani dari ente yan," Jawab sandi sambil menepuk pelan pundak Pian.
"Bener Rab. Muridnya Imam Hanafi ini akan segera memberikan pencerahan kepada kawan kau, agar
kembali kejalan yang benar," ucap Pian sok berwibawa didepan Tristan.
"Sakarepmu lah yan. Ngomong-ngomong secantik apa cewek yang namanya Pika tadi yan?" Tristan
mengalihkan pembicaraan.
"Cantik pake banget titik. Pokoknya lebih cantik dari si Imran."
"Itu Pika kawannya Widya bukan? Soalnya si Widya sering cerita ke ane tentang kawannya bernama Pika
yang sudah lama naksir sama ente yan.. eh."
"Hah? Apa Rab?" Tanya Pian terkejut dengan celetukan Sandi.
"Ah? Apa? Dimana? Siapa? Bagaimana?" Sandi bertingkah layaknya orang yang sedang amnesia sekedar mengalihkan perhatian Pian.
***
Sudah hampir seminggu Pian melakukan misi pencarian sang pengagum rahasianya, namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada tulisan yang mirip. Sehingga saat ia dalam perjalanan pulang, Pian bertemu pacar sang sahabat.
"Widya!" Panggilnya.
"Kenapa yan?" Tanya Widya penasaran.
"Kenapa kau belum pulang? Mau cari si sarab kau yah?" Tanyanya.
"Eh apasih yan. Ada perlu apa?" Tanya Widya to the point.
"Eh tau aja. Jangan-jangan kau punya Indra ke-delapan ya Wid?" Tanya Pian asal.
"Hadehhh.. Indra keenam kali yan," jawab Widya membenarkan.
"Angka delapan lebih bagus, nggak ada ujungnya. Kayak kisah cinta aku dan dia."
"Halah kayak punya pacar aja kau yan pake kisah-kisah segala."
"Hehehe. Kita lihat saja nanti."
"Cepat, ada perlu apa kau sama aku?"
"Kawan kau ada yang namanya Pika?"
"Iya, kenapa?"
"Alhamdulillah. Bilangin ya ada ucapan terima kasih dari napi, karena Pika udah mau jadi penumpang pertamanya," ucap Pian sambil tersenyum.
"Ada-ada aja kau yan, ada lagi?" Tanya Widya dengan raut wajah geli.
"Itu aja, Makasih ya Widya. Semoga amal ibadahmu diterima disisinya. Aamiin."
"Kau kira aku sudah mati," geram Widya.
"Hehehe, aku duluan ya Wid," jawab Pian cepat dan langsung berlari.
"Pian Pian..." Widya hanya bisa geleng-geleng kepal.
***
"Assalamu'alaikum ya ahli kubur!" teriak Pian saat memasuki ruang XII. IPA 2.
"Eh tumben Pian ikutan kesini, biasanya kalo si sarab ngapel kan sendirian," ucap Tika saat melihat Pian dan Sandi memasuki kelas mereka.
"Ohiya aku lupa, kemarin si Pian nanyain kau Pik. Katanya makasih sudah mau jadi penumpang
pertamanya si napi."
"Kamu serius Wid?" tanya pika kegirangan.
"Cieee udah boncengan aja nih," goda Nilam dan Tika saat mendengar omongan Widya.
"Ssstt... diem tuh orang mau kesini," bisik Pika.
"Hai! Sepertinya kita bertemu lagi," Sapa Pian ke Pika.
"Emm hai yan," jawab Pika di barengi dengan semburat merah merona di pipi.
"Kayaknya kita mesti pergi dulu deh lam, nggak tahan jadi nyamuk,"ajak Tika yang langsung disetujui oleh
Nilam.
"Ada apa yan?" Tanya Pika sedikit gugup.
"Si napi masih belum puas sama perkenalan kemaren. Kayaknya masih pengen dinaikin Pika lagi," Pian membuka pembicaraan.
"Bisa aja ente tong," celetuk Sandi.
"Kode tuh Pik, mau diajak jalan," timpal Widya juga.
"Pian serius?" jawab Pika tak percaya.
"Emang Pika mau?" Tanya Pian yang langsung dijawab Pika dengan anggukan.
"Cieee" Goda Widya dan Sandi.
***
Sepulang sekolah Pian membawa Pika pergi menyusuri kota Pekanbaru dengan mengendarai napi kesayangannya.
"Jambrettt!!" Pian langsung memberhentikan laju napi ketika mendengar teriakan tersebut.
"Tunggu sini Pik" Pian berlari meninggalkan Pika dan langsung mengejar jambret itu.
"Woii jambret!" Jerit Pian dan berhasil membuat penjambret itu ketakutan.
"Enggak lagi mbah! Ampun mbah! Ampun!" Penjambret tersebut langsung melempar tas hasil jambretannya asal dan lari terbirit-birit menjauh dari Pian.
"Mbah Mbah ! Kau pikir orang ganteng macam aku ini mbahmu!" Sewot Pian saat langkah mereka terhenti di sebuah gang yang sepi.
"Nanti kita ketemu lagi di sini mau?" Lanjut Pian.
"Buat apa bang? Jangan laporin aku ke polisi bang."
"Kalau kau nurut, nggak bakal aku laporin."
"Iya bang iya. Kapan bang?"
"Besok siang. Kalau kau bohong, kau bakal dicariin sama kakekku kemanapun kau berada. Inget itu."
Ancam Pian.
"Iya bang, janji."
"Yasudah sana. Ngomong-ngomong jangan panggil aku bang lagi, mukaku masih terlalu imut kalau kau
panggil bang,"Pian pun langsung meninggalkan si penjambret dan kembali menemui Pika.
"Udah?" tanya Pika khawatir.
"Udah beres Pik, santai. Sekarang Pian antar Pika pulang aja yah." Ucapnya tenang,yang dibalas Pika
dengan anggukan kepala.
***
"Kau yakin dia bakal dengerin ceramah kau yan," tanya Tristan tidak percaya.
"Serahin saja semuanya sama muridnya imam Hanafi yang satu ini."
"Pede kali ente yan. Kalau dia tidak mau gimana?"
"Coba dulu Rab."
Setelah mereka bertiga menemui Hendrik, terlihat ekspresi terkejut di wajah Hendrik melihat Tristan
bersama Pian sekarang. Pian pun membuka obrolan dengan serius, banyak sekali hal-hal yang
disampaikan Pian. Pian menawarkan Hendrik untuk bekerja di tempat salah satu kenalannya, ia juga
menawarkan Hendrik untuk masuk dalam geng mereka. Pikir Pian, walaupun beda sekolah namun
mereka bisa tetap bertemu sekedar untuk mencari kegiatan yang lebih positif.
***
Kedekatan Pian dan Pika semakin terlihat. Hampir setiap hari Pian mencuri kesempatan untuk bertemu
Pika.
"Pik, Pian mau cerita," Ucap Pian saat menghampiri Pika di kantin.
"Apa?" Respon Pika.
"Sekitar satu bulan yang lalu Pian dapet surat dari seseorang.
Tulisannya bagus Pik, Pian sudah cari
semua buku tugas yang ada di meja guru tapi tetep nggak ketemu tulisan yang mirip."
"Jadi Pian belum tau itu siapa?"
"Ya belum lah Pik, masih dalam misi pencarian. Pokoknya kalo ketemu, Pian mau berterimakasih banyak
sama orang itu."
"Alhamdulillah."
"Alhamdulillah kenapa Pik?"
"Eh enggak. Pika abis sendawa, kenyang."
"Ohh," Pian hanya ber-Oh ria.
"Pika duluan ke kelas ya, belum ngerjain pr soalnya," belum selesai menghabiskan baksonya, Pika
langsung bergegas pergi meninggalkan Pian.
***
Semenjak hari itu, Pika menghindar dari Pian. Pika jarang berada di kantin, kalau bertemu pun hanya
saling lempar senyum dan tidak ada respon lebih bila Pian mencoba berkomunikasi dengannya. Pian
merasa sangat bingung akan tingkah Pika sekarang, ia sudah bertanya kepada Widya, Tika dan Nilam.
Namun tidak mendapatkan jawaban yang membuat hati Pian lega.
"Pika! Kayaknya kita emang jodoh. Karena kemanapun Pika berada, pasti masih bisa Pian temukan."
Ucap Pian bersemangat saat menemukan Pika yang sedang mengerjakan tugas di perpustakaan.
"Sssttt" desis seorang penjaga perpustakaan.
"Eh sorry sorry hehe," kekeh Pian. Lalu berbisik.
"Pika kenapa jauhin Pian? Pika nggak mau lagi temenan sama Pian?"
"Bukan gitu yan, Pika lagi sibuk. Pika juga lagi bingung."
"Pika sibuk apa? Sibuk mikirin Pian? Jangan dipikirin ah, kan jadi bingung sendiri Pika-nya."
"Ish bukan gitu!"
"Yaudah sini Pian bantu bikin tugas nya, gini-gini Pian pinter juga loh."
"Eh jangan yan," cegah Pika karena takut tulisannya bakal di kenali oleh Pian.
"Ken..Pika?" tak sempat melanjutkan pembicaraan, Pian langsung terkejut melihat nilai yang ada di buku
pika.
"I..ii..iya?" Jawab Pika terbata-bata.
"Kok nilai Pika bisa dapet kecil gini sih."
"Astaga Pian," Jawab Pika lega.
"Hehehe," kekehnya pelan lalu melanjutkan membuka lembaran buku Pika, kemudian Pian menyadari
kejanggalan di dalam buku tersebut.
"Bisa Pika jujur sekarang sama Pian?" Tanya Pian serius.
"Pian?" jawab pika gugup.
"Itu Pika? Itu beneran Pika?" Pian terkejut saat mengingat-ingat tulisan Pika sama dengan tulisan si-
pengagum rahasianya selama ini.
"Emm.. iya, jadi gini yan. Pika mau jujur sama Pian, semua yang Pika tulis di surat itu bener. Pika sudah
suka Pian dari kelas sepuluh, Pika ngga tau kenapa bisa suka sama pian. Pika nggak mau berharap lebih.
Tapi dengan surat itu, setidaknya Pika sudah lega bisa nyatain perasaan Pika walau Pian nggak tau kalo itu Pika yang ngirim. Pika cuma pengen Pian tau perasaan Pika yang sebenarnya."
"Pik, makasih sudah suka sama Pian. Makasih sudah sayang sama Pian walau sebenarnya waktu itu Pika
belum kenal Pian. Tapi sekarang Pian bingung kenapa Pika jauhin Pian?"
"Karena itu yan, Pika nggak mau Pian sadar kalo itu Pika. Nanti Pian ilfeel dan nggak mau temenan lagi sama Pika."
"Pik, kan Pian pernah bilang kalo Pian bakal berterima kasih sama- orang itu. Lalu kenapa tetap
menghindar?"
"Pika takut yan, Pika takut akan berharap lebih sama Pian kalo kita terus deket begini. Pika tau Pian
orangnya nggak mau yang macem-macem, nggakmau pacaran. Pika cuma takut perasaan ini sudah nggak
berbalas."
"Nggak kok, Pian hargain perasaan Pika. Karena Pian juga ngerasain hal yang sama, Pika jangan sedih.
Pika sayang Pian, Pian juga sayang Pika. Nggak perlu status yang penting sudah tau isi hati kita masing-
masing, cukup dijaga aja ya Pik."
"Pian serius?"
"Mungkin Pika nggak bisa percaya sama Pian. Tapi Pika percaya aja sama Tuhan yang udah nyiptain kita
dengan sejuta cintanya. Kalau kita memang ditakdirkan, kita pasti akan selalu dipertemukan. Kayak kata
Pian tadi, Pian udah cari Pika ke seantero sekolah dan tetep ketemu di perpustakaan SMA Nusa tercinta."
"Hehehe makasih Pian."
***
Hari kelulusan pun tiba, hari dimana semua siswa semester terakhir berbahagia dengan kelulusan
mereka masing-masing. Namun tidak untuk Pika, ia terlihat murung. Banyak sekali pikiran yang
berkecamuk di kepalanya.
"Kau kenapa murung begitu pik?"
Tanya Nilam khawatir.
"Kau tak suka kalo kau lulus?" Cecar Tika.
"Bukan gitu."
"Pian?" Tebak Widya seperti mengetahui isi pikiran Pika. Pika hanya mengangguk lesu, kemudian berlari menuju kelas Pian.
"Eh Pika! Selamat Pika! Akhirnya kita lulus!!" Pian langsung mendatangi Pika saat melihat kedatangan
Pika.
"Yan?" Panggil Pika dengan nada sendu.
"Pika kok sedih? Nggak mau lulus emangnya? Masih cinta sekolah? Cukup cinta Pian aja. Pian nggak mau
diduain sama sekolahan," goda Pian jenaka.
"Pika serius yan." Jawab Pika dingin.
"Ada apa?" Pian bertanya dalam mode serius.
"Setelah kita lulus, apa kita masih bisa terus bertemu? Bukannya Pian mau lanjutin usaha ayah Pian dan
harus sekolah ke luar negeri?"
"Oh jadi Pika sedih kalo Pian nanti pisah sama Pika."
"Ya iyalah yan. Tapi buat apa Pika sedih lagian kita kan nggak ada sta--"
"Ssssttt! Pik, inget. Kalau jodoh nggak akan kemana, maafin Pian yang nggak bisa beri Pika kepastian
atau ajak Pika jalan terus dan nggakbisa memperlakukan Pika lebih. Karena kita emang belum pantas Pik," jelas Pian dengan sabar.
"Iya yan, Pika tau. Pika ngerti kok."
"Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini. Pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang." Pian membacakan puisi Khalil Gibran yang membuat Pika tersentuh dan menangis saat itu juga, Pian hanya bisa mengusap punggung Pika dengan lembut.
"Jangan berharap sama Pian. Berharapnya sama sang pencipta, Pika minta dia kasih Pian buat Pika ya. Karena Pian juga bakal lakuin hal yang sama," ucapnya lembut namun menenangkan. Pika hanya bisa
menangis dan terus berharap bahwa ucapan Pian adalah ucapan yang bisa dipercaya. Sampai kapanpun,
Alvian Satria akan terus menjadi nama yang selalu ia sebut dalam doa.
***
Setelah beberapa tahun berpisah, Pika dan Pian tidak pernah bertemu karena sibuk menyelesaikan
pendidikannya masing-masing, hingga saat itu tiba...
"Pian!?" Mata Pika membulat sempurna ketika melihat Pian dan keluarganya datang kerumah Pika
sambil membawa seserahan.
"Pika masih percaya Pian kan? Pian udah dateng nih. Di sambut dong, calon keluarga Pika," ucap Pian
santai dengan cengiran khasnya. Pika terharu bukan kepalang, karena penantiannya selama ini tidak sia-
sia.
Hingga pada akhirnya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Harpika Hasyim binti Gunawan Hasyim dengan mas kawin yang
tersebut tunai!" Ucap Pian tegas dan lantang di depan penghulu, keluarga, sahabat dan para saksi yang
turut hadir acara pernikahan Pian dan Pika.
"Bagaimana para saksi?"
"SAAAHHH!!!" semua orang berteriak bahagia.
Berakhir lah penantian Harpika Hasyim selama ini. Alvian Satria, seseorang yang ia kagumi sejak pertama masuk SMA serta seseorang yang selalu ia sebut dalam doanya kini telah resmi menjadi pasangan
halalnya dan mulia di mata sang pencipta.
TAMAT
Zahara Eliza dan Dwi Lestari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top