Choose Stop
"Dy".
"Hm." Jawab Widya yang masih fokus dengan gadget di tangannya.
"Widya." Sekali lagi laki-laki di hadapan 'Idy'—panggilan sayang untuknya—memanggil Widya dengan suara berat yang terdengar serius.
Dengan enggan, Widya memalingkan wajah dari gadgetnya. Perubahan mimik wajah yang semula tersenyum menjadi raut ketidaksukaan. Seolah-olah kebahagiaannya direnggut paksa.
"Apa?"
"Kalau makan ponselnya ditaruh." Widya, pun meletakkan ponselnya.
Dan menggulung spageti yang mulai mendingin dihadapannya dengan wajah ditekuk.
"Dy, kamu tahu kan kalau aku bener-bener serius sama kamu?"
"Iya, terus?"
"Jadi, rencananya..." Belum sempat berbicara satu kalimat, Gadget Widya berdering, tanda telepon masuk.
Kali ini, raut wajah Widya yang semula keruh karena kesibukannya di ganggu pria yang ada di hadapannya. Seketika cerah.
"Bentar, San."
Tanpa sungkan, Widya mengangkat telepon di hadapan Sandi. Lagi-lagi seperti itu. Tanpa pernah memahami perasaan, ego, dan hati kekasihnya.
"..."
"Iya-iya, maaf. Aku masih makan nih, jadi gabisa bales cepet chat kamu."
"..."
"Iya masih di SKA, sama Sandi."
"..."
"Oke, aku tunggu di sini. See you."
Tut.
Sandi menghela napas lelah. Dan mengira-ngira entah alasan apalagi yang akan Widya berikan. Dengan cepat, Widya menghabiskan spageti dengan wajah berseri-seri.
"Kenapa, Dy?"
"Hayat minta ditemenin nyari kado buat adiknya. Jadi nontonnya lain kali, ya?"
Sandi terdiam. Menghitung sudah berapa kali ia dibodohi oleh perasaan. Dan memikirkan, apakah kali ini ia memang harus mengikhlas yang harus dilepas?
Sandi kembali mengamati Widya yang saat itu telah menghabiskan spageti dan menandaskan matcha hangat dengan terburu-buru.
Widya menatap Sandi dengan wajah memelas, seolah-olah anak kecil yang ingin dibelikan gulali oleh ayahnya.
"San, boleh ya?" Pinta Widya, tapi Sandi masih bergeming.
"San, kamu sendiri yang setuju atas permintaanku waktu itu. Asal aku nggak kemana-mana."
"Raga dan jiwa kamu memang masih ada di sini Dy, tapi apa kabar dengan hati kamu?" Batin sandi sembari tersenyum miris.
"Kalaupun aku ngelarang, kamu juga tetep pergi kan? Jadi, terserah." Ucap Sandi, kemudian bangkit dan berjalan menuju kasir untuk membayar pesanan.
Saat kembali, Widya sudah berada di depan pintu resto bersama Hayat.
Lagi-lagi Sandi menghela napas. Lalu menghampiri mereka berdua dengan kedua tangannya yang berada di saku celana. Gaya-gayaan supaya kelihatan cool, padahal tangan ingin melayang ke muka hayat.
"Oi, San. Aku pinjam dulu sahabatmu ini yo." ucap hayat dengan santai.
Sandi melirik tangan hayat yang sudah bertengger manis di pundak Widya. "Okelah, tapi tangan kau nggak usah kayak gitu lah, Yat. Bukan mahram."
Hayat cengengesan, kemudian mengembalikan tangannya di samping tubuhnya.
"San, aku pergi dulu ya." Pamit Widya. Sandi hanya berdehem pelan, tanda mengiyakan.
Setelah keduanya pergi, Sandi kembali ke resto dan memesan kopi hitam tanpa gula.
Ia kembali menerka-nerka, apa yang dijalaninya ini sudah benar atau tidak. Sekalipun hatinya mengatakan bahwa ini sudah benar. Otak seorang prianya menyangkal, bahwa ini sebuah kesalahan.
Tidak seharusnya ia mengiyakan permintaan Widya beberapa tahun yang lalu.
Dibalik kata 'persahabatan', ada sebuah hubungan rumit yang tidak bisa dijelaskan.
Flashback on
"Wid, pacaran yuk!" Ajak Sandi dengan tiba-tiba.
Widya mendadak cengo mendengar apa yang diucap sandi. "Ha? Nggak salah ngomong kamu, San?"
"Serius aku ini, udah dari masa MOS aku suka sama kamu. Dari si Samsul punya keturunan di generasi pertama sampai generasi kelima. Tetep aja, dari dulu kamu jawabnya selalu 'nggak salah ngomong' mulu, Wid." Ujar Sandi serius. Namun raut wajahnya seperti, agak jengkel.
Di depannya, Widya berkali-kali menghela napas. Ia sangat tau hal itu, tak terkecuali sahabat-sahabatnya. Bahkan Pika yang memilih untuk kembali ke Jakarta pun, sangat mendukung Widya untuk menerima Sandi.
Akan tetapi, perbedaan prinsip merekalah yang menurut Widya cukup membuat hidupnya akan tertekan suatu saat nanti.
Widya dengan prinsipnya; pacaran hanya untuk main-main, senang-senang, atau hiburan dan sejenisnya. Hidup bahagia.
Sedangkan, Sandi. Pacaran untuk jangka panjang. Dibawa serius hingga jenjang pernikahan. Hidup bahagia.
Prinsip 'hidup bahagia' mereka yang amat bertentangan itulah permasalahannya.
"Aku bakalan terima kamu, tapi aku punya permintaan."
"Apa?"
"Orang-orang luar cukup tau, kalau kita cuma sahabatan aja."
"Oke, itu doang kan?" Sandi pikir, nggak papa orang-orang nggak tau hubungan mereka. Toh yang menjalani mereka bukan orang lain.
Widya berdehem pelan, "Satu lagi. Kamu tahu, Kan?" Widya berhenti sebentar. Bingung bagaimana cara mengatakannya. Jari telunjuknya sudah digigitinya karena gugup dan takut apabila perkataannya akan menyinggung ego Sandi.
Seolah tahu pikiran Widya, Sandi pun meyakinkannya bahwa Sandi tidak akan tersinggung dengan perkataan Widya nanti.
Widya membasahi bibirnya sebelum berbicara. "Kamu tahu kan, San. Kalau aku nggak ada perasaan apa-apa ke kamu?"
"Aku tahu."
"Kamu juga tahu, kan. Kalau setiap aku pacaran nggak pernah serius?"
"Iya, aku tahu. Aku nggak mempermasalahkan itu."
"Syukurlah. Jadi, aku mau kamu nggak ngelarang aku deket sama siapa pun itu."
"Tapi..."
"Aku bakalan tetep jadi pacar kamu." Sandi bingung, bagaimana bisa Widya mengajukan permintaan seperti itu?
'Yang penting sekarang, aku sama Widya dulu.' Batin Sandi.
"Baiklah, aku terima permintaan kamu. Tapi aku juga punya permintaan."
"Apa, San?"
"Kamu bakalan tetep sama aku, sampai aku capek dan pergi dengan sendirinya dari sisi kamu." Kini giliran Widya yang terdiam.
"Oke, deal?" Widya menyodorkan tangan meminta persetujuan. Sandi pun menjabat tangan Widya dengan senyum mengembang.
"Deal."
Flashback off
Sekarang, Sandi menyesali telah mengiyakan permintaan Widya. Tepatnya sedari Widya selalu pamit pergi untuk jalan dengan pria lain.
Tapi apa daya, permintaan Widya sama seperti janji yang harus ditepati. Dan Sandi pantang mengingkari janji.
Dulu, Sandi pikir Widya akan luluh seiring berkembangnya waktu. Nahasnya, itu hanyalah ekspektasi dangkal yang berlebihan.
Kenyataannya, ketika raga dimiliki terlebih dahulu. Belum tentu hatinya suatu saat nanti akan termiliki. Namun ketika hatinya yang dimiliki terlebih dahulu, maka dengan perlahan raganya akan menghampiri tanpa dicari.
Kali ini, Sandi benar-benar telah memutuskan.
Ia pun mengambil ponselnya di saku. Membuka tombol lockscreen, menggeser ke aplikasi perpesanan, kemudian dengan cepat mengetik di roomchatnya dengan Widya.
Sandi.rab : Temui aku di resto tmpt mkn prtm kali kita, bsk mlm jam 7.
Send
⌚⌚⌚
Biasanya, Sandi yang menunggu Widya berjam-jam di tempat yang telah dijanjikan. Tapi kali ini berbeda, Widya yang menunggu Sandi. Dan, ditemani Hayat. Oke. Hayat.
"Wid, Sandi kok lama ya?" Tanya Hayat.
"Nggak tahu, tumben itu orang telat. Biasanya udah minum kopi duluan." Jawab Widya yang masih heran atas keterlambatan Sandi.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah memperhatikan mereka sedari tadi. Tanpa berkeinginan untuk menghampiri.
Rencananya, malam ini Sandi akan melamar Widya di Resto miliknya ini. Resto tempat kencan mereka kali pertama, katakanlah Sandi pelit di kencan pertama mereka yang tanpa modal. Tapi memang waktu itu sudah kepepet. Ya, alhasil jadilah di Resto Sandi sendiri. Tentunya jangan sampai Widya tau. Kalau sudah jadi istri saja baru boleh tau.
Sayang, wanita yang Sandi harapkan di masa depan menjadi istrinya, tak pernah bisa mengerti bagaimana perasaan Sandi.
Widya tidak pernah tau, bahwa saat ia bersama pria lain di hadapan Sandi. Saat itu pula ego Sandi sebagai seorang pria terluka. Bagaimana bisa kekasihnya bersama pria lain, tapi ia malah diabaikan begitu saja oleh kekasihnya?
Dan kali ini, niat baiknya benar-benar dibatalkan.
Niatnya untuk melamar wanita yang amat ia cintai sejak beberapa tahun terakhir ini, dibatalkan.
Sebab kehadiran sang ketua kelasnya di SMA dulu, Hayat. Yang saat ini menjelma sebagai gebetan sang kekasih.
Katakanlah dia bodoh beberapa tahun terakhir. Namun kali ini, egonya yang terlampaui tinggi tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tetap bersabar.
Sandi mengambil selembar kertas, daripada dia menghampiri mereka dan tidak bisa menahan nafsu untuk menonjok Hayat. Akan lebih baik ia melakukannya dengan cara seorang pengecut.
Ponsel Sandi bergetar, menampilkan nama dan foto 'Idy' di layar. Namun Sandi tidak memperdulikannya, ia tetap melanjutkan pekerjaannya—menulis surat untuk Idynya.
Sandi tersenyum masam, "Yan, aku pinjam cara kao, yo. Surat untuk Idy. Bukan surat cinta ini, surat penetapan putus."
Seusai menulis surat, ia mengambil sebuah kotak dari saku celananya. Dan menaruhnya di atas nampan yang telah disediakan bersama surat yang ia tulis beberapa detik yang lalu dan menutupnya dengan tudung.
Sandi menghela napas. Sebenarnya ia masih ingin Idynya ada di sisinya, tapi percuma jika hatinya tidak bisa ada untuk dirinya.
'Mungkin ini memang yang terbaik untuk kita berdua, Dy.' Batin Sandi sambil tertawa miris.
Kemudian, Sandi memanggil pelayan dan memberitahunya untuk membawa nampan tersebut ke meja nomer 10.
Setelah itu Sandi meninggalkan restonya lewat pintu belakang. Entah ia akan kemana, yang jelas tujuannya satu. Menenangkan diri.
Di sisi lain, Hayat dan Widya heran. Karena mereka berdua tidak memesan makanan, tetapi ada seorang pelayan yang membawakan nampan makanan untuk mereka berdua.
"Maaf, mbak. Tapi saya nggak pesan makanan," Ujar Widya.
"Itu tadi ada seseorang yang menyuruh saya untuk menaruhnya di meja ini, mbak. Saya hanya menjalankan tugas saya. Permisi."
"Buka aja deh, Wid."
"Itu bukan punya kita, kita nggak pesen makanan loh."
"Udahlah, gak pa-pa."
Dengan perlahan Widya membuka tudung. Dan setelah dibuka, ia mendapati sebuah kotak beludru berwarna merah yang di bawahnya terdapat selembar kertas.
Dengan perlahan lagi, ia mengambil dan membacanya.
Teruntuk; Idyku, Sayang.
Dy, sebenarnya aku masih ingin kamu ada di sisiku. Kalau memang mungkin, selamanya. Namun sayang, manusia nggak bisa abadi.
Dy, rencananya aku mau ngelamar kamu malam ini. Udah nyiapin segala macem. Dan butuh beribu kali untuk meyakinkan diriku sendiri melakukan ini. Meskipun dengan resiko, kamu nggak akan nerima, hahaha.
Dy, aku tau. Kamu nggak pernah ada perasaan sedikit pun ke aku. Mungkin beberapa tahun terakhir ini aku masih tetap bertahan, tapi tidak untuk malam ini, Dy. Maaf.
Aku kalah sebelum dapat kepastian ya, Dy.
Maaf nggak bisa mertahanin kamu.
Dy, itu cincin kamu simpan aja. Gak usah dikembaliin. Anggap aja sebagai kenang-kenangan.
Semoga berbahagia, Dy.
Jangan sia-siain orang yang beneran tulus sama kamu lagi ya, Dy. Nanti dapat karma loh. Haha, bercanda doang.
Sudah ya :)
Yang selalu sayang, Sandi.
TAMAT
Paid dan dodit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top