Restu
Penulis: Vea Aprilia veaaprilia
***
PRANG!
Suara pecahan itu membuatku berjingkat. Aku menatapnnya ngeri. Gelas yang dia lempar hancur berkeping-keping, berserakan di lantai keramik. Aku menunduk sambil berusaha menahan air mata yang hampir tumpah.
Apa salahku?
Aku menahan diri untuk tidak menangis di hadapan laki-laki ini. Laki-laki selama enam belas tahun ini menghilang. Jangankan merawat, menjengukku pun tidak pernah.
Ibuku sempat terkejut, tapi kemudian bergeming--menolak memberi reaksi. Melirik ke samping kiri, calon suamiku juga melakukan hal yang sama; bungkam. Kondisi ini membuat hatiku sakit. Mengapa dia harus menyaksikan keadaan ini?
"Kamu anggap aku ini apa, hah?" Nada suaranya naik dua oktaf.
Kami diam.
"Kamu datang begitu saja. Memohon restu, memintaku untuk menjadi wali nikah, tanpa mengenalkan calonmu lebih dulu."
Kami semua masih diam. Meski begitu, aku tahu calon suamiku terkejut mendapati sikap ayah seperti ini.
Ah, ayah ... masih pantaskah aku memanggilnya ayah?
"Dan kamu, perempuan tidak berguna." Telunjuknya mengarah pada ibuku. "Apakah ini yang kamu ajarkan pada anakmu?"
Demi Tuhan, ibuku tidak bersalah! Kenapa laki-laki paruh baya ini memakinya? Bahkan setelah enam belas tahun berpisah, dia tetap saja berperilaku buruk pada istrinya.
"Ayah, jangan salahkan Ibu." Aku membela ibu dengan suara bergetar.
Hatiku bagai ditikam pisau, mengucurkan darah segar. Mengoyak luka yang telah kering. Lagi dan lagi.
"Diam kamu!" bentaknya.
Aku pun kembali menunduk, tidak berani membantah. Aku selalu lemah di hadapannya. Terkadang, aku membenci diri sendiri karena ketidakberdayaanku ini.
"Mohon maaf, Bapak." Calon suamiku angkat bicara. "Kami datang kemari baik-baik, dengan tujuan baik pula. Kami meminta doa dan restu dari Bapak sebagai satu-satunya wali yang bisa menikahkan kami."
Dia menggenggam erat tanganku, seolah mengatakan agar aku sabar menghadapinya. Benar. Aku harus bersabar. Bagaimanapun, aku membutuhkannya agar bisa menikah. Betapapun menakutkannya dia, laki-laki itu tetaplah ayah kandungku.
Laki-laki itu menatap calon suamiku cukup lama; menilai.
"Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa kalian merencanakan sebuah pernikahan tanpa melibatkan aku di dalamnya? Aku ini ayahmu. Ayah kandung!"
Aku menyipitkan mata. Mendengarnya mendeklarasikan diri sebagai ayahku membuat emosiku memuncak. Aku memandangnya, dia pun terlihat dibakar amarah. Perbuatanku yang mana, yang membuat dia marah sampai seperti ini?
Kami datang baik-baik, tapi yang kami dapatkan justru makian dan hinaan. Bahkan gelas tak berdosa pun menjadi korbannya.
"Kamu...," dia menatapku tajam, "berapa lama kamu tidak menemui ayah? Sekarang, kedatanganmu hanya untuk memintaku menjadi wali nikah?Dasar anak tidak tahu diri!"
Aku menyeka air mata sialan yang entah sejak kapan, membasahi pipiku. Mendongak, Kutatap matanya lurus-lurus. Cukup! Sudah cukup dia menyakiti kami; aku, ibu, dan adikku. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan perih di hati. Bisa-bisanya dia, laki-laki yang mengabaikan keluarga, menuntut kami untuk tetap menghormatinya!
"Berapa lama? Kau ingin mengetahuinya?" Aku bertanya dengan sinis. Meski air mata tak berhenti mengalir, aku memberanikan diri untuk melawannya. "Kenapa kau sangat egois? Kami tidak bersalah! Jadi, berhenti memaki kami!"
Laki-laki itu terhenyak, matanya membola akibat terkejut. Aku tidak peduli. Amarahku sudah mencapai ubun-ubun.
"Sekarang aku tanya," lanjutku. "Pernahkah kau memikirkan kami? Memikirkan aku dan adikku?" Suaraku bergetar, dan genggaman calon suamiku bertambah erat.
"Kau?!"Dia menatapku tajam.
"Kenapa? Apa kau pikir aku tidak berani melawanmu? Apa kau pikir aku masih anak-anak yang takut jika kaubentak?!"
"Sabar, Dek. Tenangkan dirimu." Calon suamiku berbisik, sembari ibu jarinya mengusap lembut punggung tanganku.
"Aku minta maaf jika kedatangan kami membuatmu tidak senang." Ibuku angkat bicara. Suaranya lembut, punggung tangannya yang rapuh mengusap wajah yang bersimbah air mata.
Oh, Tuhan. Berapa banyak lagi air mata yang harus berderai di wajah renta ibuku? Aku lemah. Hatiku tak cukup kuat untuk melihatnya menangis.
Laki-laki itu bergeming, dadanya kembang-kempis menahan amarah.
"Ayah," panggilku lirih. Aku yakin dia bisa mendengarnya, karena saat ini senyap melebarkan sayap di antara kami.
Dia melirik sekilas, lalu berpaling.
"Kenapa hati Ayah masih saja sekeras batu? Aku ke sini bukan untuk melihat kemarahanmu atau yang lainnya. Bisakah kau menyimpan egomu barang sebentar? Aku memohon padamu sebagai anak."
Dia tidak menjawab. Bungkamnya menjadi tanda agar aku melanjutkan kalimat.
Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu berkata, "Aku sudah kenyang melihatmu seperti ini. Sejak kecil, aku menjadi saksi betapa sulitnya ayah mengontrol tempramen; membanting barang dan memukul ibu setiap kali marah."
Aku menoleh ke samping demi melihat ibuku mengusap wajahnya. Lagi.
Ibuku selalu terlihat kuat dan sabar, tetapi sebenarnya rapuh di dalam. Aku masih ingat, dulu beliau begitu tabah menghadapi sikap dan perilaku laki-laki ini.
"Pak, semua kesalahpahaman ini bisa diluruskan tanpa harus adu mulut, apalagi memecahkan barang." Laki-laki yang duduk di sampingku kini berbicara, mencoba meredam emosi ayahku.
"Sekali lagi, kami datang kemari dengan tujuan baik-baik, ingin meminta restu kepada Bapak, tetapi kalau Bapak tidak bersedia maka kami akan pulang sekarang juga."
Aku terkejut. Calon suamiku bisa berkata berkata seperti itu. Apakah dia menyerah? Bagaimana kalau dia sakit hati dan mundur dari pernikahan ini?
"Saya baru pertama kali datang kemari dan saya terkejut dengan sikap Bapak."
Dia akan menjadi suamiku dalam dua minggu ke depan. Wajar jika dia berbicara dengan nada penuh kecewa. Laki-laki mana yang akan menerima dengan senang hati, ketika calon mertuanya menyambut buruk niat baiknya?
Mata ayahku menyipit, menatap tajam calon suamiku.
"Siapa kau berani mengguruiku?"
"Saya memang bukan siapa-siapa di mata Bapak, tetapi saya adalah laki-laki yang akan menjaga dan melindungi putri Bapak, yang sudah enam belas tahun tidak pernah Bapak hiraukan."
"Kau!" Laki-laki itu murka; matanya menatap nyalang dan telunjuknya berada tepat di wajah calon suamiku.
"Baiklah, sudah jelas tujuan kami datang kemari. Jika Bapak bersedia datang ke acara pernikahan kami, maka kami akan merasa bahagia, tetapi jika Bapak menolak maka kami tidak bisa melakukan apa-apa lagi."
Dia beranjak dari duduknya kemudian menghampiri ibuku, membantunya untuk berdiri. Aku pun ikut berdiri, karena tidak ada lagi yang harus dibicarakan.
"Kami pamit dulu. Pikirkan baik-baik perkataan saya tadi, Pak." Calon suamiku berpamitan dengan sopan.
Tetapi baru beberapa langkah calon suamiku berbalik lagi. "Alya adalah putri pertama Bapak, dia pasti akan bahagia jika Bapak bersedia datang dan menjadi wali untuknya."
Setelahnya, dia menuntun ibuku untuk menuju mobil, membantunya masuk. Sementara itu, aku berbalik sejenak, berharap laki-laki itu akan bersuara dan menahan kepergian kami. Namun, semua itu tidak terjadi. Dia tetap diam, tidak bergerak dari tempat duduknya.
Mungkin aku yang terlalu berharap. Sama seperti enam belas tahun lalu ketika aku berharap laki-laki itu pulang dan memelukku. Dia memang pulang, tetapi bukan untuk memelukku, melainkan mengusir kami; aku, ibu, juga adikku.
Aku berbalik. Mengusap air mata di pipiku.
Semuanya sudah jelas. Dia tidak pernah berubah--tidak akan. Bahkan doa restu yang kuharapkan pun tidak dia berikan. Sepertinya ... hari ini menjadi akhir penantianku.
#####
Tentang Penulis:
Halo, salam kenal semua.
Saya Vea Aprilia, lahir dua puluh delapan tahun lalu.
Seorang wanita yang sedang ingin hamil. Doakan, ya... Semoga cepat hamil.
Kalau berkenan silakan mampir di ceritaku yang lainnya.
Akun wattpad @veaaprilia
IG @veaaprilia
LINE ID: veaaprilia89
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top