Patah Hati
Penulis: xxgyuu ohmytensionfly
Semalaman gue terkapar, berbaring tak berdaya di atas kasur tercinta. Hujan kemarin sore membuat daya tahan tubuh menurun drastis. Gue terserang penyakit lima L; lelah, letih, lesu, lunglai, dan lemah. Enggak biasanya gue tepar hanya karena guyuran air tersebut, dan jujur saja, itu sangat memalukan.
Kemarin, gue dan Pram gila-gilaan di lapangan. Gue doang, sebenarnya. Pram hanya menemani, itu pun gue yang memaksa. Dia bisa apa selain menuruti keinginan gue? Karena sejatinya, gue dan Pram adalah teman dekat yang memiliki ikatan lebih kuat dari kerabat.
Masalah yang gue hadapi cukup rumit. Terlalu berat untuk ditanggung pundak gue yang enggak selebar milik Pram. Jadi, bersama sahabat dan helaan napas berat, gue berlatih habis-habisan di bawah serbuan hujan. Alhasil, di sinilah gue sekarang; terbaring di tempat tidur sambil menyaksikan hujan yang kembali membasahi bumi.
Hanya ada satu hal yang gue pikirkan waktu itu, yang membikin rasa dan logika gue meradang; berita dari adik gue, yang dia sampaikan dengan wajah teramat berseri. Sebuah kabar, yang dengan kurang ajarnya mematahkan hati.
Suara pintu dibanting membuyarkan lamunan tentang kegilaan gue kemarin. Gue menoleh, lalu mendecih begitu melihat Pram melenggang sambil tersenyum layaknya iblis.
"Hujan, nih. Mau gue temani latihan lagi, nggak?" Ada nada mengejek di sana, dan untuk itu gue membenci Pram.
"Enggak usah nyinyir kayak Fiona, Pram. Enggak pantes buat lo."
Pram tertawa. "Gue nyindir, bukan nyinyir."
"Sama aja, Tolol!"
Laki-laki itu membanting tubuhnya ke kasur, membuat posisi gue terusik.
"Shit! Kira-kira, Pram. Gue lagi sakit ini."
"Sakit bohongan, kali."
Gue mendelik. "Serah lo!"
"Bertahun-tahun gue kenal lo, Gi, mana pernah gue lihat lo terkapar gara-gara hujan?"
Pram benar. Gue enggak pernah seperti ini. Sakit paling parah yang pernah gue alami, pelipis gue sobek akibat dicium ujung sepatu lawan waktu berebut bola lambung. Darah yang keluar cukup banyak, sampai-sampai official mengirim tandu. Selain itu? Hanya cedera-cedera ringan dan flu yang biasa terjadi saat musim pancaroba tiba.
"Lo ada masalah apa?"
Gue menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar. Pram selalu bisa menebak kondisi hati dan pikira gue. Kalau aja dia cewek, gue mungkin sudah menjadikan dia pendamping hidup, dan gue enggak perlu mengalami patah hati begini.
"Gilang pacaran sama Hansa," jawab gue cepat.
"Hansa ... Hansa saudaranya Hansamu Yama?"
"Enggak jelas banget, Pram." Gue mendelik sinis. "Raya. Hansa Rayadinata. Inget, enggak?"
"Oh, gue inget," jawabnya. "Adiknya Isnan Ali."
"Isnan Ragadinata, Pramudya!"
"Tahu, Gi, tahu." Dia tergelak. "Relain ajalah. Kalau Raya lebih milih adik lo, berarti dia masih waras."
"Maksud lo apa, nih?"
Gue mengantisipasi jawaban Pram. Dia ini terbiasa dengan berkata jujur. Terlalu jujur, malah. Jadi, gue sudah mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima apa pun cercaan yang keluar dari mulut laknatnya itu.
"Gilang lebih tampan dari lo, Gi."
"Kampret, lo!" Gue melempar bantal ke wajahnya. "Gue doain inceran lo kabur sebelum hati lo dapet kepastian, Pram."
Iya. Pram ini sedang dekat dengan perempuan yang berprofesi wartawan. Entah ada angin apa, dia mau saja 'berteman' dengan salah seorang dari mereka. Padahal, sebelum ini dia selalu menghindari para pencari berita. Mungkin aja yang dia dekati cantik, gue enggak tahu. Apa pun itu, gue rasa Pram sudah terkena virus-virus cinta.
"Gue dan Trisha hanya berteman, Gi."
"Gilang sama Hansa juga dulunya cuma temen."
Ah, iya. Mereka berteman, lalu jadian. Kenapa gue bernasib buruk, ya? Gue juga berteman dengan dia, tapi berakhir kesepian.
Cinta gue kehilangan tuannya.
Beberapa saat kemudian, Pram sudah bergelut dengan bantal dan selimut. Gue menghela napas berat. Kalau sudah begini, artinya gue harus mengungsi ke kamar tamu. Padahal, Pram yang seharusnya menyingkir.
Dia memang enggak ada peka-pekanya jadi teman. Gue lagi sakit, demi Allah!
***
Iya. Memang benar. Pram yang seharusnya keluar dari kamar gue. Jadi, gue enggak perlu melihat adegan yang bikin mata gue tiba-tiba kelilipan—kemasukan serpihan-serpihan hati gue yang remuk redam.
Man! Pram emang benar-benar teman paling laknat yang pernah gue punya. Dia enggak memberitahu gue soal keberadaan dua orang ini, padahal gue yakin dia bertemu mereka.
Mau tahu apa yang gue lihat?
Gilang mencium kening Hansa, dan cewek itu tersipu setelahnya.
Bajingan!
Kalau aja Gilang bukan adik kandung gue, sudah gue hajar habis-habisan. Bakal gue lukis kegantengannya dengan lebam berwarna ungu yang sangat menyakitkan. Setidaknya, dia harus tahu, hati gue jauh lebih perih daripada bonyok-bonyok di muka.
Gue memicing sejenak. Pikiran-pikiran bejat yang berkeliaran di otak gue harus segera disingkirkan sebelum teralisasi dengan sendirinya. Kemudian gue berdeham. Kedua sejoli yang dilanda cinta tanpa tahu ada hati yang tersakiti itu buru-buru berpisah. Wajah mereka pun memerah.
Tsk! Dasar anak muda.
"Kalau mau mesra-mesraan, tolong, jangan di rumah gue. Empet gue lihatnya."
"Ngiri aja, Bang," sahut Gilang. "Gue sama Hansa udah resmi pacaran ini."
"Resmi pacaran bukan berarti lo udah halal cium-cium cewek lo begitu, Lang. Abis cium kening, bentar lagi cium mata. Terus, abis itu cium bibir. Merembet, deh, ke yang lain."
Demi Allah, gue jijik terhadap diri sendiri. Kenapa gue nyinyir banget, sih?
Patah hati emang enggak enak. Rasanya kayak ditusuk ribuan jarum pentol yang biasa Fiona pakai untuk menata kerudungnya. Sakit banget! Mau taruh di mana muka gue kalau Pram menyaksikan kenyinyiran gue ini?
"Apaan, sih, Bang? Gue tau batasan, kali," tukas Gilang. Dia sepertinya tidak menerima analogi gue itu. Wajar, sih.
Gue enggak memedulikan Gilang lagi. Mata dan hati gue terpaku pada cewek itu. Dia menunduk, menghindari tatapan gue yang menusuk.
Iya.
Dia Hansa.
Hansa Rayadinata.
Orang-orang memanggil dia Raya. Cuma gue yang menyebutnya Hansa.
Satu-satunya cewek yang mampu menjungkirbalikkan dunia gue. Demi Allah, sejak mengenal dia beberapa tahun silam, gue udah menetapkan dia sebagai the love of my life. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama, dan cewek itu berhasil membuat hati gue hancur berkeping-keping. Hansa udah bikin gue melayang hingga langit ketujuh, lalu menghempaskan gue ke bumi dengan sangat kejam.
Dia seharusnya memilih gue, yang jelas-jelas lebih dulu mengenalnya. Gue, yang selalu ada kapan pun dia membutuhkan. Gue, yang selalu melantunkan namanya dalam setiap doa. Gue, yang enggak pernah berhenti memikirkan senyumnya yang menawan.
Banyak pertanyaan yang ingin gue lemparkan ke dia, tapi dada gue masih sesak untuk sekadar berhadapan langsung dengan Hansa. Sekarang saja mata gue panas—enggak, bukan mau menangis. Ini efek sakit doang. Sumpah!
"Lo hati-hati aja, Lang. Cewek biasanya jago banget bikin patah hati," ujar gue.
Gilang mendecih. "Gue tahu lo lagi sakit, Bang, tapi nggak usah ngelantur juga ngomongnya."
Gue mengangkat bahu tak acuh, agar Gilang enggak melihat tubuh gue yang gemetaran. Lalu, gue meneruskan langkah menuju kamar tamu di lantai bawah. Selama Gilang dan Hansa berpacaran, gue harus menebalkan dinding pertahanan agar hati gue enggak semakin hancur. Wajib hukumnya untuk menghapus nama itu dari pikiran.
Iya.
Semoga gue mampu.
Karena dengan kesadaran penuh, gue mengakui, Hansa Rayadinata terpatri kokoh di dasar hati.
Karena mengumpulkan patahan-patahan hati, enggak semudah menjatuhkannnya.
Karena menghapus ingatan, lebih sulit daripada menganyam kenangan.
TAMAT
***
Tentang Penulis:
xxgyuu, mojang Sukabumi yang sedang 'asyik' selingkuh--dengan Wattpad--dari data dan derita untuk meraih gelar S.Hum. Sasu-Saku shipper garis keras. Lagi bahagia karena setelah dua tahun, N.Flying came back with the second mini album titled The Real; N.Flying!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top