Melawan Hati

Penulis: Tea sicuteaabis

***

Embusan angin malam meniup wajah sendunya yang bersimbah air mata. Wajahnya memerah, membuatku tak tahan untuk segera menghapus jejak air mata. Aku menarik jemariku dari sana secepat aku melakukannya. Kemudian aku berpaling. Kurasa, untuk saat ini, menangis akan membuatnya merasa lega.

Langit malam ini tampak sepi tanpa bintang. Udara dingin menyusup ke tulang tanpa kata, membuat suasana terasa mencekam. Aku dan dia diam, sampai ledakan kembang api di atas kami terdengar. Cahanya menakjubkan, memancarkan warna-warna cerah di bawah langit malam.

"Indah," ujarnya lirih.

"Itu, bukannya kamu?" candaku sambil tersenyum jenaka, membuat ia terkekeh.

"Maaf, ya, soal yang barusan?" Gadis itu menunduk, menyembunyikan rona kemerahan di wajahnya.

"Soal apa? Soal kamu nangis lagi?" ujarku dengan nada menggoda.

Indah akan menangis di sampingku bila sesuatu terjadi. "Sekarang masalahnya apa lagi?" tanyaku.

Sebenarnya, aku enggan mencari tahu. Aku, kan bukan pria yang selalu ingin tahu masalah wanita. Terlebih lagi, melihat Indah yang seperti ini. Aku yakin pasti, ini masalah asmaranya. Sesuatu yang membuatku bosan sekaligus ... cemburu.

Indah tidak menjawab. Bungkamnya membuatku kembali gigit jari sambil menikmati malam di Puncak Gantole ini. Setidaknya tidak terlalu sepi, sesekali aku masih bisa mendengar keramaian di bawah sana. Aku juga bisa melihat muda-mudi berkencan di titik-titik tertentu. Bagaimana dengan kami—aku dan Indah? Apakah ini bisa disebut berkencan?

Aku mengembuskan napas frustrasi. sepertinya, Indah belum puas menangis, karena aku melihatnya mengusap kasar bagian bawah matanya. Aku memandanginya lama. Ketika mendongak, dia menatapku lengkap dengan senyum manis yang dipaksakan. Aku tidak suka senyuman itu. Tidak ada ketulusan di sana, kemurnian yang membuatku jatuh hati padanya.

"Jangan dipaksakan," ujarku.

Indah tergugu, mungkin terkejut mendengarku berbicara sedingin itu.

"Kamu tidak cantik dengan senyum palsu itu. Aku lebih baik melihatmu menangis, marah-marah, atau mengumpat sekalian."

"Rio." Gadis itu menunduk lagi, jemarinya memilin lengan jaketku. Layaknya seorang bocah yang minta diperhatikan.

Sebenarnya aku tidak ingin meng acuhkan, tapi tidak bisa. Dia cintaku, pujaan hatiku. Alasan itu membuatku mengubah posisi, menghadap Indah. Tanpa pikir panjang kuraih tubuh kecilnya ke dalam pelukan.

"R-rio."

Ia menegang, tangannya bergerak-gerak meminta dilepaskan. Aku tidak menggubrisnya. Memeluk Indah membuatku nyaman, hangat. "Sebentar saja," lirihku.

Indah menolak. Dia terus memberontak, membuatku terpaksa melepasnya.

"Apa yang kamu lakukan barusan?" hardiknya.

"Hanya ingin membuatmu lebih nyaman," jawabku.

Kami saling menatap beberapa saat. Kemudian ia lebih dulu berpaling seraya mengembuskan napas kasar. Kekecewaan itu tampak jelas pada rautnya. Mengapa dia merasa kecewa hanya karena aku memeluknya?

"Maaf," ujarku. Aku juga meras kecewa, tetapi untuk alasan yang berbeda. Aku ... kenapa dia tidak ingin kupeluk?

Indah tidak merespons. Dia menghadap perkebunan teh yang terhampar luas di depannya, menghindari tatapanku.

Kueratkan jaket kulitku, kemudian menarik rokok dari dalam saku. Namun, niatku urung begitu tanganku menyentuh benda halus. Saat kuambil, sapu tangan biru muda berinisial SV membuatku menghela napas panjang-panjang, lalu memasukkannya kembali dengan cepat. Aku tahu Indah membutuhkannya, tapi tidak akan kubiarkan ia menggunakan benda itu.

Indah kembali menangis menangis, dan aku membiarkannya agar derita lepas dari hati dan pikirannya.

Kubatalkan niat merokok, kembali mendekati Indah dan mobil yang terparkir di belakangnya. Lebih baik jika aku memerhatikannya untuk memuaskan hati kali ini dari sudut mataku yang memujanya. Gadisku, sahabatku yang kurasa paling cantik dan anggun. Mata bulatnya yang paling luar biasa kusuka, karena ia berbinar saat berbicara mengenai masa depan. Dia tipikal gadis dengan banyak impian. Tidak seperti sekarang, mata sendu dan sebab itu redup seolah semua harapan dari hidupnya hilang.

"Kau cantik, sungguh," kataku memecah keheningan. "Rambut panjangmu sangat terawat, halus, dan wangi. Hidungmu, pipi meronamu, bibir tipismu, dagu lancipmu dan yang paling kusuka mata bulatmu yang menakjubkan ... bukan yang sekarang penuh kesenduan."

Hiks, kudengar isakannya; sekarang ia sudah kembali menghadapku dan kali ini, dia yang memelukku. Tangannya mengerat di punggung.

"Aku putus, Rio, benar-benar putus. Kami sudah tidak sejalan. Satria dan aku ...." Seperti yang kuduga. Dari kata-katanya aku bisa mendengar ia sangat tidak rela dengan perpisahannya. "Aku benci dia, Rio. Benci!"

'Kau hanya bisa membencinya di mulut tapi hatimu berkata lain, berulang kali kau terluka karenanya, berulang kali juga kau memaafkan dan kembali padanya. Benci dan cinta hanya setipis benang yang bisa hancur dengan mudah.'

Indah melepaskan pelukannya, menghapus air matanya, menantang wajahku, tersenyum cerah seolah telah berterima kasih. "Aku sedikit lega, tapi rasanya, tidak berguna menangisi dia. Maafkan aku, Rio, dan terima kasih."

Gerakan Indah selanjutnya membuatku terkejut. Dia ... menciumku! Meski, hanya kecupan di pipi, tetap saja membuat dadaku berdebar kencang. Pipiku memanas, dan sangat memalukan. Beruntung malam sudah menua, sehingga gadis ini tidak akan menyadarinya.

"Maaf, ya?" ujarnya malu-malu. Rupanya, kejadian barusan juga menimbulkan rona di wajahnya, yang beberapa saat lalu, tampak mendung.

"Tidak masalah." Jawabku—mencoba—tenang.

"Aku selalu merasa lebih baik setelah menangis di depanmu. Terima kasih, Rio. Aku janji ini yang terakhir kalinya kamu nemenin aku nangis. Setelah ini, aku nggak akan nangis karena Satria lagi. Kami ... benar-benar memutuskan untuk berpisah, demi kebaikan berdua."

"Jika itu memang yang terbaik, Indah, aku mendukungmu." Aku menyemangatinya sepenuh hati. Oh, dosakah jika aku bahagia mendengar berita ini?

"Rio, kaulah yang terbaik."

Kenapa ... kenapa Indah berkata seperti itu?

***

Perjalanan pulang hanya kami isi dengan hening. Pukul 03.00 kami baru sampai di rumah Indah. Rupanya, sunyi membuat waktu terasa berjalan sangat lambat. Indah bahkan sudah terlelap tenang, dengan kepala bersandar pada jendela.

Aku tersenyum tipis. Ia pasti sangat kelelahan akibat menangis. Patah hati bukan perkara mudah. Siapa pun akan terpuruk. Apalagi ... aku. Bertahun-tahun memendam rasa tidak semudah membalik telapak tangan.

Aku berdebar saat Indah terbangun. Kami saling bertatapan beberapa saat, begitu lekat hingga wajak kami mendekat—hampir tidak berjarak. Aku tidak menghindar ketika bibir kami saling bersentuhan. Kupejamkan mata demi menikmati keintiman kami. Keintiman lembut, berasal dari hati yang tulus.

Ciuman kami berakhir ketika asin menyapa indra perasa. Indah ... menangis. Lagi! Kali ini, apa yang menyebabkan dia berderai air mata seperti ini? Apakah dia teringat kenangan bersama Satria ketika menciumku barusan?

Tidak. Aku tidak akan membiarkan Indah terkungkung masa lalu. Meski belum lama, Satria hanya seseorang yang pernah singgah di hidupnya.

Aku mengusap air matanya. "Jangan menangis lagi, Indah. Aku tidak tahu cara membuatnya berhenti."

"Ka-kamu nggak bakalan bisa buat ini berhenti, Rio. Perasaan ini lebih sakit dibandingin putus dengan Satria. Hiks ..., seharusnya aku jujur sama hatiku, pasti kita nggak akan terluka kayak gini. Iya, kan?"

Aku memandangnya, tak mampu mencerna ucapannya.

"Kamu, Rio. Kamu yang aku cinta, bukan Satria."

Kuharap, ini bukan mimpi, Tuhan. Aku ....

Aku mengangguk, mulai memahami ucapannya. Dia benar. Seandainya kami memiliki cukup keberanian untuk saling mengungkapkan, kisah kami pasti berbeda. Baik maupun buruk, kami tidak akan saling menyakiti.

"Tuhan selalu memberikan kita kesempatan terbaik.Hanya tinggal kita berusaha sebaik mungkin, dan kurasa ... saat Dia memberikan kita yang terbaik itu."

Giliran Indah yang mengangguk, mencium pipiku sekilas, lalu bergegas keluar dari mobil.

Aku tertawa pelan. Tingkahnya sangat menggemaskan. Bagaimana mungkin dia menjadi selucu itu setelah menangis tersedu?

Ah ... lega rasanya, mengetahu perasaanku berbalas.

Aku mengikuti jejaknya; keluar dari mobil, lalu memanggil gadis itu sebelum ia membuka pagar.

Aku menatapnya lekat-lekat, merekam semua tentangnya malam ini. Mengenalnya, mencintainya, dan berdiri di sampingnya merupakan kebahagiaan tersendiri. Waktu-waktu yang kami habiskan bersama menjadi pengalaman berharga yang tidak akan kulupakan.

Aku mencium keningnya. Kali ini, aku bisa melepasnya dengan senyuman; senyum paling tulus sejak menyadari perasaan ini.

"Aku pergi," ujarku seraya berjalan mundur.

"Tidak bisakah kita bersama?"

Aku menggeleng. "Mungkin bukan saat ini kita bisa bersama, Indah. Tapi, percayalah ... kita akan baik-baik saja."

Indah berlari, tergesa memasuki rumahnya. Aku bisa menebak apa yang dia lakukan di sana. Menangis, terisak hingga kering air matanya. Aku tidak pernah menyesal mencinanya. Bahkan, saat rasa ini harus kupendam karena dia memilih orang lain, dia tetap yang terindah. Kuharap, dia mau melepasku, membiarkan aku pergi.

"Maafkan aku, Indah. Aku harus melawan kata hatiku. Meski cinta tidak mampu mengikat kita, bahagia atas nama persahabatan seperti selama ini yang kita lakukan tidaklah buruk. Jadi, tersenyumlah untukku. Izinkan aku mencari cinta selain dirimu."

***

"Mas sudah bangun? Tumben."

Kudengar suara hangatnya menyahuti panggilanku masih di pagi buta. "Mas baru saja sampai di rumah, lalu kangen ama calon istri Mas yang cantik ini."

Yah, aku tidak bisa memilih Indah. Meski ia sudah lepas dari prianya dan berusaha jujur tentang perasaannya padaku. Mengatakan kehadiranku memiliki arti lebih dalam hidupnya, menginginkan hal yang lebih sekadar dari sahabat. Tapi, semua sudah terlambat. Aku sudah mengikat janji dengan gadis berhijab bernama Savitri. Gadis pilihan ibu untuk kupinang minggu depan.

Aku melawan hati, memilih menepati janji. Aku tidak ingin egois dan menyakiti perasaan gadis ini. Dia menerimaku apa adanya. Aku yakin ini yang terbaik. Untuk kami.

TAMAT

Tentang Penulis:

Nama Tea bukan Téa alias Teh, uh, kok namanya aneh. Suka-suka'lah yaa.. Hihi. Mau nulis apalagi nih? Umur? Sebenarnya ini gak bijak, wkkk... tapi tetep gak bakalan dikasih tau, ah. Pokoknya aku Mahmud gitulah, yah.. Tuh udah jujur, banget. Terus apalagi, yah? Oh, ya Rahasia umum aku ini penulis Yaoi fanfiction. Uhuk ... uhuk. Kenapa? Gak suka? Tutup mata ama mulutnya. Kunci buang ke laut. 😜😜

Sekian info yang bisa penulis berikan, So kuy, sukses. Buat semua calon member baru. Fighting! 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top