Ketua Kelas

Penulis: Metha MethaSaja

Harus Cindy akui, dia benci posisinya sebagai ketua kelas. Demi menjaga imejnya, dia harus rela datang paling pagi ke sekolah, pulang belakangan, dan yang terparah, dia harus menjadi pedoman bagi teman-teman sekelas yang selalu heboh bukan main. Belum selesai seluruh kegilaan itu, Cindy juga masih harus mempertahankan prestasi akademiknya agar tidak meninggalkan rangking tiga besar. Kadang, Cindy ingin melampiaskan seluruh kekesalannya dalam bentuk amukan massal yang mampu mengguncang seluruh Jakarta. Sayang sekali, semua itu hanya ada di angan-angan, sebab mengguncang Jakarta adalah istilah yang kelewatan bodohnya. Sebab dia adalah sang ketua kelas yang dijadikan panutan banyak orang.

Seperti pagi ini, Cindy sudah tiba di sekolah bahkan sebelum matahari bersinar terang. Udaranya pun masih dingin, membuat bulu halus di lengan Cindy meremang tak keruan. Gadis itu melangkah cepat-cepat melewati selasar sekolah yang sunyi senyap, mengabaikan pantulan dirinya di kaca jendela kelas yang terlihat agak menyeramkan. Kadang dia berpikir, akan seperti apa jadinya jika dia datang lima menit sebelum bel pelajaran berdering?

Ketika dia kira akan melihat kekosongan kelas dan kegelapan yang tergabung menjadi satu, dia salah. Kelas XI MIA 5 ternyata sudah dihuni oleh seorang cowok asing. Rambut cowok itu agak berdiri seperti habis kesetrum, seragamnya kedodoran di tubuhnya yang kerempeng, dan celana biru keabu-abuannya juga kebesaran. Untuk sesaat, Cindy mengira cowok itu adalah penunggu kelas yang terusik karena Cindy terus-terusan datang sebelum matahari bersinar. Kemudian, ketika cowok itu menyapanya sambil tersenyum, dia sadar bahwa hantu tidak memiliki senyum semanis itu.

"Eh?" Cindy tergeragap, lalu seperti baru mendapatkan inteligensinya kembali, dia bertanya, "Kamu siapa?"

Cowok itu menaikkan bahu. "Axel. Murid baru di sekolah ini."

Cindy menggaruk kepalanya. "Oh. Baru tahu kelas ini kedatangan murid baru. Sepagi ini pula."

"Aku ngehindarin macetnya Jakarta, juga biar nggak telat. Malu, lah. Udah baru, males pula. Beh." Axel menjulurkan lidah. Lalu, dia meringis dan menampakkan barisan gigi-giginya yang putih dan kecil-kecil. "Kamu?"

Butuh beberapa saat bagi Cindy untuk memahami maksud ucapan Axel. "Aku Cindy, ketua kelas," katanya.

"Asyik! Baru dateng langsung ketemu ketua kelas!" Senyum Axel mengembang melebihi batas.

Cindy tidak tahu apa yang salah dalam kinerja otaknya, tapi dia berani sumpah, Axel adalah cowok terimut yang pernah dia temui. Apalagi saat tersenyum begitu. Axel memenuhi kriteria cowok-yang-pantas-digaet-sekarang-juga.

"Oi, Bu Ketua!" Axel berseru. "Apa aja peraturan di kelas ini? Sebagai murid baru, aku mesti tahu peraturan kelas baruku, kan?"

Cindy menyilangkan tangan di dada. "Peraturannya nggak sulit, kok. Pertama, kamu dilarang duduk di situ."

Axel mengangkat sebelah alis. "Lho, kenapa?"

Setelah menarik napas panjang, Cindy menuding hidung mancung Axel sambil berkata, "Soalnya, itu kursiku!"

Axel kontan melompat dari kursi dan tertawa terbahak-bahak. "Sori, sori. Kukira ini kursi siapa."

Cindy memang tidak suka pada jabatannya. Dia juga benci harus menjadi penanggungjawab atas seluruh perbuatan konyol teman-teman sekelasnya. Dan sekarang ada lagi anggota baru yang menjadi tanggung jawabnya. Benar-benar sempurna. Setidaknya, Axel paham bahwa datang di bawah jam tujuh bukan dosa. Tidak seperti teman-teman sekelas yang lainnya.

***

Cindy sempat berpikir untuk berhenti menjadi ketua kelas beberapa bulan lalu. Keputusan itu muncul setelah dia diabaikan terang-terangan oleh seisi kelas yang membuat onar saat jam pelajaran kosong. Wakil ketua kelas pun malah ikut-ikutan menambah kerunyaman situasi. Cindy bahkan sampai memukuli meja, papan, dan pintu kelas untuk menarik perhatian teman-temannya. Namun, dia gagal. Dia diabaikan. Dia disamakan dengan angin transparan yang sudah sepatutnya dibiarkan berlalu begitu saja.

Cindy ngambek dan mengancam akan menanggalkan jabatannya. Baru saat itu, seisi kelas tiba-tiba memperhatikannya. Seisi kelas mendadak menjadi penuh kasih, penuh mata berkaca-kaca, tangis-tangisan, dan "Cindy, kalo kamu nggak jadi ketua kelas lagi, nanti siapa dong yang bakal pimpin kelas kita?".

Dan Cindy membenci kelemahan hatinya saat dihadapkan pada wajah-wajah memelas dan kalimat-kalimat bujukan bernada tak berdaya itu. Akhirnya, dengan berat hati, Cindy kembali menjadi ketua kelas.

"Jadi ketua kelas itu asyik, ya?" Axel menceletuk saat jam pelajaran kosong. Cowok itu geming di kursinya yang terletak persis di seberang kursi Cindy. Dua cowok lainnya berkeliaran di sekitar kelas sembari menggebuki meja. Cindy mengira, mereka ingin bermusik ala band, tapi hancur total dan malah membuat mereka tampak seperti orang idiot.

Cindy meliriknya, menahan tawa yang nyaris lepas saat melihat betapa tak proporsionalnya tubuh Axel dalam seragam pramuka kebesaran dan sedikit lecek. "Asyik apanya? Yang ada malah nyebelin."

"Menurutku malah asyik, tahu." Axel terkekeh. Sungguh, Cindy tidak pernah sekali pun melihat Axel termenung atau merengut sejak hari pertamanya menjadi murid baru sekitar dua minggu lalu. "Kamu bisa perintah sana-sini, bisa deket sama guru-guru. Terus, kalo ada apa-apa, pasti ketua kelas yang disebut paling pertama. Berasa kayak artis, lah."

Andai Axel tidak imut dan bersahabat, Cindy pasti sudah menonjok bibir mungilnya sampai jontor.

"Yah, di luarnya memang kelihatan asyik," sahut Cindy sedikit jengkel seraya memasukkan buku-buku ke kolong meja. "Tapi kalo udah ketemu sama yang model begitu," dia menunjuk cowok tambun yang sedang menggambari papan tulis dengan kartun-kartun jorok, "pasti kesel—woi, lu kira kelas kita ini apaan? Hapus tuh gambar jorok lu!"

Si cowok tambun seketika menghapus gambar joroknya dan ngacir ke belakang kelas.

"Kalian juga!" Cindy memelototi cowok-cowok band-wanna-be yang masih saja beratraksi di sisi-sisi ruang kelas. "Daripada mukulin meja, mending bersihin kelas, deh."

"Yeee, rese lu!" balas Reyhan, cowok berkacamata yang egonya selangit. Dulu dia berkompetisi dengan Cindy demi memperebutkan gelar ketua kelas. Karena lebih dari delapan puluh persen siswa memilih Cindy, Reyhan hanya diberkati sebagai wakil ketua kelas. Namun, Cindy tahu, Reyhan masih menyimpan dendam kekalahan padanya. Oleh sebab itulah Reyhan malah bertingkah bagai berandalan dan menentang Cindy, ketimbang mendukungnya dan melaksanakan kewajiban sebagai wakil ketua kelas.

"Kamu lagi, Reyhan. Malu, lah, jadi wakil ketua kelas kalo tingkah kayak bocah nggak berpendidikan gitu," ujar Cindy sewot.

"Njir. Nggak usah ngungkit-ngungkit jabatan sialan itu, lah. Nggak elite lu," balas Reyhan tak kalah sewotnya.

"Bu Ketua dan Pak Wakil ngamuk, ih! Ngahaha!" respons Arda, cowok ceking berambut keriting yang selalu membuntuti Reyhan.

"Cabs, kuy! Daripada kita dilaporin ke wali kelas," Reyhan menyarankan. Mata sipitnya ditajamkan pada Cindy seakan sedang menantangnya berkelahi.

"Siapa pun yang keluar dari kelas ini tanpa seijinku, bakal kucatet namanya, terus kulaporin ke wakasek kesiswaan!" umum Cindy dengan suara lantang sekeras klakson bus. "Dan kalian nggak aku ijinin keluar!"

Cowok-cowok itu seketika tampak mengecil di tempat. Mereka akhirnya duduk-duduk di belakang kelas sambil komat-kamit ala dukun santet.

Seringai membentang di bibir Cindy. "Three down."

"Tuh, kan? Emang keren!" Axel tergelak.

"Seterah, deh." Cindy mengedarkan pandang ke sekeliling kelas lagi. Posisi duduknya yang di tengah ruang memudahkannya untuk mengamati tanpa perlu berkeliling. Seperti radar yang telah diprogram untuk bereaksi saat menangkap sinyal asing, mata Cindy kontan berkedut ketika terarah ke pintu kelas. Tiga cewek duduk di lantai dekat pintu. Posisi duduk mereka begitu tak layak untuk anak perempuan yang mengenakan rok di atas lutut.

"Wah! Sasaran empuk," sahut Axel. "Ayo marahin mereka, Cindy!"

Cindy berkata lantang dengan seringai mengembang, "Cieee, yang anunya diumbar-umbar! Ada bonus nggak, tuh?"

Tiga cewek itu otomatis celingukan, lalu saling bertatapan. Mulut mereka bergerak-gerak seperti sedang bicara satu sama lain, kemudian mereka berdiri dan kembali ke kursi masing-masing.

"Mantap! Emang keren, deh, Bu Ketua kita ini," puji Axel.

"Yelaaah! Lu cowok apaan, sih?" Reyhan meledek dari belakang kelas. "Pake puja-puji Cindy segala. Naksir, lu?"

Axel mengedikkan bahu. Tanpa menoleh Reyhan, dia berkata, "Cuma mendukung yang bener aja."

"Sok jagoan. Lu sama Cindy sama aja soknya. Cih."

"Daripada sok eksis tapi nggak guna," sahut Axel. "Ya, nggak, Cindy?"

Untuk pertama kalinya sejak menjabat sebagai ketua kelas, Cindy merasakan kebangaan berputar-putar dalam dadanya. Apalagi, Axel tersenyum padanya dengan penuh dukungan. Cindy membalas senyum itu dengan salah satu senyum tulus yang jarang dia tunjukkan selama ini.

***

Cindy merasa teramat gembira datang ke sekolah kali ini. Dia sudah tidak terbebani oleh jabatannya sebagai ketua kelas, tidak merasa tertekan saat harus menghadapi seisi kelas yang mirip sekelompok berandalan. Dia merasa bisa menaklukan apa saja yang menghadangnya. Ditambah lagi, ada Axel yang mendukungnya.

Axel memang bukan tipe cowok garang yang berlagak seperti seorang pahlawan. Axel hanya cowok murah senyum yang bikin Cindy semringah. Kalau bukan Axel yang akan berdiri di depan untuk melindunginya, Cindy-lah yang akan melindunginya

Jadi, dia kebingungan saat Axel datang agak terlambat ke laboratorium kimia Selasa pagi itu. Padahal kemarin, Pak Alan sang guru kimia, sudah menginstruksi siswa XI MIA 5 untuk berkumpul di sana sebelum bel pelajaran pertama berdering—sebab kimia adalah pelajaran pertama hari itu. Cindy kira, Axel mungkin tidak tahu lokasi laboratorium, jadi dia datang terlambat.

Namun, ketika Axel tiba, Cindy justru semakin bingung. Wajah Axel yang biasanya bercahaya kini tampak kelam dan lesu. Senyum yang seolah sudah terpatri permanen di bibirnya malah lenyap total, digantikan oleh lebam keunguan di sudut kiri. Saat dia melintasi gang bangku cowok-cowok, mereka memelototinya dengan intens. Beberapa cewek yang melihatnya bahkan tertawa kecil dengan kesan meledek. Axel langsung duduk di bangku lengang yang ada tanpa menyapa Cindy terlebih dulu seperti biasanya. Lalu, dia terdiam.

"Kamu kenapa, Xel?" tanya Cindy dari kursinya yang berseberangan dengan kursi Axel.

Axel tidak menjawab.

"Tumben datengnya agak siangan. Terus itu lebam kenapa?"

Untuk beberapa detik penuh, Axel takresponsif. Cindy menduga, Axel mungkin tidak mendengar pertanyaannya karena laboratorium ini sangat gaduh. Baru saja dia hendak menjeritkan pertanyaannya, Axel sudah kadung bicara duluan.

"Tadi bangun kesiangan, terus buru-buru." Penjelasan Axel dibarengi dengan senyum kecil yang kesannya agak dipaksakan. "Kejedot pintu. Babak belur, deh."

"Ohalah. Hati-hati, dong. Sayang, kan, muka ganteng jadi bonyok gitu." Setelah ucapan itu melayang di udara selama beberapa saat, Cindy membekap mulutnya. "Eh, kamsudnya, kamu kudu lebih hati-hati lagi!"

"Iya, iya, Bu Ketua." Axel terkikik. Dia memindai seisi laboratorium, lalu bertanya, "Pak Alan mana?"

"Pak Alan masih keluar. Katanya—"

PRANG!

Mata Cindy yang terbeliak sempurna tertuju pada pecahan beling di lantai putih laboratorium. Itu ... rak tabung reaksi lengkap dengan lima tabung yang tadi ada di meja di sisi ruangan. Semua tabung pecah, sementara rak tergelimpang di antara pecahan.

Semua anak yang tadinya berkeliaran di sekitar meja, berbondong-bondong menjauhi kubangkan serpihan beling itu. Seolah-olah, jika mereka berdiri terlalu dekat, mereka akan tersedot ke dalamnya. Seluruh kegaduhan pagi itu lesap seketika.

"Ups." Reyhan mencolot menjauh dan mengangkat kedua tangan setinggi bahu. Dia melirik Arda dengan hina. "Salah elu, nih. Jalan nggak pake mata."

"Kok gue, sih?" Arda mengelak. "Kan, elu yang nggak bisa diem, jadinya ngejatuhin benda itu."

"Jangan nyalahin gue aja, dong!" bentak Reyhan. Tangannya menuding seorang anak perempuan langsing yang berdiri tak jauh darinya. "Tuh si Laksmi! Dia tadi kan muter-muter nggak jelas di sini sama gerombolannya!"

"Eh, kok jadi gue?!" Laksmi protes. "Ngawur, dah, lu!"

Cindy menampar sadar dirinya sendiri, lalu beranjak dari kursinya. Dia menghampiri kerumunan bocah idiot itu. "Kalian ini .... Nggak tahu apa kalo itu properti sekolah?"

"Udah tahu, kali," sahut Reyhan acuh tak acuh.

"Ngaku aja siapa yang mecahin!" sentak Cindy. "Kalo nggak, ntar semua aku laporin ke Pak Alan!"

"Nggak bisa gitu, dong!" Reyhan membalas dengan ketus. "Mentang-mentang ketua kelas, lu manfaatin posisi lu buat main lapor ke guru supaya lu sendiri nggak kena masalah. Apa nggak pembodohan itu namanya?"

"Kamu kira jadi ketua kelas itu gampang?" Cindy menyergah. "Mau gantiin aku jadi ketua kelas?"

"Dulu elu, kan, yang nggak mau ngasih jabatan itu ke gue," sembur Reyhan enteng. "Kata lu, gue orangnya sembrono, nggak bisa diandalkan, bandel, akar kuadrat dari sembilan aja nggak tahu. Sekarang lu tetiba mau jadiin gue ketua kelas? Nggak salah, nih? Tapi sori aja. Ogah. Nggak butuh."

Jantung Cindy tertusuk oleh kata-kata Reyhan. Dia melotot, dan tinjunya mengeras.

"Jangan pake kekerasan, Cindy," tegur Reyhan santai. "Malu, dong, sama yang lainnya. Mending cari dukungan aja, kayak yang udah-udah."

Saat melihat mata sipit Reyhan diliputi kebencian dan tantangan, Cindy menggertak gerahamnya. Dia menoleh pada Axel yang masih duduk di kursinya dan memandang dengan mata melebar. Namun, cowok itu tidak berkata apa-apa.

"Lah? Kenapa?" Reyhan mengarahkan tatapannya pada Axel. "Oi, Lexa! Bantuin Bu Ketua, dong! Lu kan yang selama ini jadi tangan kanannya. Masa diem aja? Cemen lu!"

Besar harapan Cindy bisa mendengar kalimat penuh dukungan dari Axel. Namun, cowok itu malah menundukkan kepala, dan berseru, "Biarin aja, Cindy. Bilang aja ke Pak Alan, kamu nggak sengaja nyenggol rak tabungnya sampe jatuh."

"Hah?!" Cindy menggeleng tegas. "Nggak bisa, dong! Itu namanya aku cari mati!"

"Kan," kata Axel, "memang itu tugas ketua kelas. Kamu harus mau berkorban buat temen-temen sekelasmu."

"Bener, tuh. Udah, akuin aja, Cindy. Kasihan temen-temen." Reyhan menyeringai lebar.

Tadinya, Cindy hendak protes demi melindungi harga dirinya. Sayangnya, dering bel dan kehadiran Pak Alan yang serempak justru membuatnya terdiam tak berkutik. Seperti yang telah Cindy ramalkan, Pak Alan menatap kecewa pada semua muridnya terutama Cindy.

***

Pak Alan benar-benar kecewa. Beliau meminta Cindy datang ke ruang guru setelah jam pelajaran terakhir hari itu. Setelah menceramahi Cindy selama sejam tentang betapa dia kecewa pada gadis itu dan kecerobohannya, beliau akhirnya membiarkan Cindy pulang. Suasana sekolah sudah sepi bukan main ketika dia meninggalkan ruang guru. Tidak seorang pun terlihat batang hidungnya. Tubuh Cindy mendadak terasa sangat lemas dan energi rasanya telah menguap habis ke udara. Bahkan untuk melangkahkan kaki ke parkiran sekolah tempat motornya berada, Cindy merasa begitu malas. Dia kira kakinya sudah berubah menjadi batu, ternyata ini hanya efek samping dimarahi guru. Benar-benar mengerikan.

Dalam perjalanan ke parkiran yang letaknya cukup jauh dari ruang guru, Cindy kerap memikirkan apa yang terjadi di laboratorium kimia pagi tadi. Dia merasa begitu tolol telah mengakui kesalahan yang tidak pernah dia perbuat sama sekali. Cindy yakin, salah satu dari berandal XI MIA 5 adalah pelaku utama pecahnya tabung-tabung reaksi itu. Kalau bukan Reyhan, pasti Arda atau Laksmi atau salah satu dari bocah-bocah tengil yang kelayapan di sekitaran meja tadi. Cindy geram. Dia akan membuktikan siapa pelaku sesungguhnya, meski kasusnya telah ditutup dengan dirinya sebagai tersangka utama. Setelah ini, dia sumpah tidak akan pernah menjadi ketua kelas lagi sampai kiamat.

"Cindy!"

Cindy spontan menengok saat mendengar namanya dipanggil. Di balik dinding sebuah kelas yang berbatasan dengan kebun penuh pohon ketapang, Cindy melihat Axel melambai-lambai padanya. Raut wajahnya begitu kuyu seakan dia sedang menahan amarah meledak dari ubun-ubunnya.

"Apa?" balas Cindy jutek seraya mendatangi cowok jangkung itu. Angin sepoi-sepoi berembus meniup kucir panjang dan seragamnya. "Kok kamu belum pulang?"

Axel melongok-longok ke belakang bahu Cindy, lalu menoleh sekeliling, dan akhirnya berujar lirih, "Yang mecahin tabung itu si Arda. Aku lihat dia nyenggol rak, terus rak sama tabungnya jatuh."

"Oh, ya?" Cindy mengerutkan hidung. "Kok tadi kamu nggak bilang? Kan jadinya aku yang dimarahin Pak Alan."

"Eh, eh, itu ...." Axel menoleh-noleh lagi selama beberapa detik, lalu menatap mata Cindy lurus-lurus. "Reyhan yang ngancam aku supaya nggak belain kamu lagi."

Mulut Cindy ternganga lebar. "Si preman itu?!"

"Katanya, kalo aku terus belain kamu, nanti dia bakal bikin situasi buruk buat ngehancurin imej kamu sebagai ketua kelas." Axel mengacak rambut hitam jabriknya dengan frustrasi. "Sialan! Dia itu edan, dan entah kenapa bisa-bisanya aku malah tunduk sama ancamannya. Dia bahkan manggil aku Lexa, dan aku nggak berani protes! Terus, mataku ungu bukan karena kejedot pintu. Ini bekas tonjokannya Reyhan! Astaga! Sori, Cindy. Sori!"

Cindy mengangkat bahu. "Jangan sori-sorian gitu, lah, Xel. Ini bukan salahmu. Imejku emang udah hancur dari dulu, kok."

"Dan sekarang makin hancur karena aku." Axel berputar di tempat, masih sambil mengacak rambut. "Gara-gara aku lembek, malah kamu yang susah."

"Oi, oi. Dengerin dulu!"

"Tadi sebelum pulang, temen-temen sekelas pada bilang kalo mereka ngerasa bersalah banget sama kamu," cerocos Axel tergesa-gesa. "Mereka udah manfaatin kamu sampe jadiin kamu kambing hitam demi kepentingan sendiri. Mereka mau minta maaf ke kamu, terus aku nawarin diri buat nyampein maaf mereka ke kamu."

Normalnya, Cindy akan melibas ucapan sejenis itu terang-terangan. Namun, saat mendengarnya dari mulut Axel yang pada dasarnya adalah cowok lembut, Cindy berani sumpah, semua ini sungguhan! Dia mengangguk-angguk, dan menyeringai. "Baguslah. Sekarang, kita bikin Reyhan sama Arda ngakuin perbuatan mereka."

"Berarti kamu nggak bakal berhenti jadi ketua kelas, kan?"

"Woi, aku ngomong apa, kamu nanggepin apa?" Cindy bertolak pinggang. Tubuhnya dicondongkan ke arah wajah Axel yang tampak menggemaskan dan patut dicubiti. "Tapi buat jawaban atas pertanyaan bodohmu itu, nggak. Aku nggak jadi berhenti sebagai ketua kelas."

"'Nggak jadi' itu berarti kamu sempet kepikiran buat berhenti lagi?" Axel melongo. Dia terlihat semakin imut saja di mata Cindy. "Soalnya, temen-temen tadi bilang kalo kamu pernah mau berhenti jadi ketua kelas."

"Iyaaa." Cindy tertawa. "Tapi nggak jadi lagi! Masih banyak yang harus aku kelarin selama menjabat sebagai ketua kelas XI MIA 5. Emang, sih, beberapa orang nggak ngehargain aku. Tapi bukan itu masalahnya. Yang bakal jadi masalah itu kalo aku gagal total memimpin temen-temen ke jalan yang benar."

"Oh—eh?! Maksudnya?"

"Maksudku, aku bakal berusaha sebisaku buat nunjukin jalan yang benar ke temen-temen. Ini bukan soal apa yang aku suka. Tapi ini soal apa yang harus aku lakuin dan gimana cara ngelakuinnya," terang Cindy dengan semangat menggebu-gebu. "Aku udah dikasih kepercayaan sama temen-temen sekelas, dan aku nggak boleh sia-siain. Udah tugasku jadi panutan dan jadi yang ada di garis depan pas dihadapin masalah."

"Wah, mantap!" Axel tertawa malu-malu. "Um, nanti kubantu, ya? Aku emang belum pernah jadi ketua kelas, tapi aku pengin belajar dari kamu. Ketegasmu, keberanianmu, ketegaranmu. Semuanya."

Cindy mengangguk. "Ya udah, sekarang pulang dulu. Nanti kita pikirin cara buat ngejebak Reyhan dan Arda supaya ngakuin kesalahan mereka."

"Oke. Mau kuantar pulang?" Axel berdiri di sebelah Cindy, meliriknya takut-takut. Keimutannya di mata Cindy bertambah berkali-kali lipat.

"Nggak usah. Aku bawa motor sendiri."

"Aku ikutin dari belakang gimana? Biar aman." Wajah Axel merah padam dan matanya tak terfokus pada mata Cindy.

Cindy tersenyum miring. Dia tertawa kecil, lalu menggandeng Axel meninggalkan kebun ketapang itu. Dadanya terasa penuh kembang-kembang yang bermekaran dan membuat aliran darah di bawah kulit wajahnya berdesir. Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya, apalagi dia baru saja diceramahi selama sejam oleh guru. Namun, Cindy tetap bahagia. Sebab dia telah menemukan tujuan hidupnya. Sebab dia adalah sang ketua kelas.

TAMAT

***

The Person behind This Work

Namanya Metha, seorang pecinta teenlit dan young adult yang bikin emosi teraduk-aduk. Genre lain pun tak sungkan dijajakinya, seperti horor, sci-fi, fantasy, bahkan fanfiction. Saat ini telah menelurkan YARN 14: Brink of Senses (Ice Cube, 2015) dan Born from a Wish (Elex Media Komputindo, 2017). Mengaku sebagai pemuja fanatik Lightning dari trilogi Final Fantasy XIII dan berharap bisa bertemu dengannya in flesh. Biasanya ditemukan berkeliaran di sekitar Wattpad, Facebook, dan LINE.

Kontak:

WP: @MethaSaja

FB: Metha Saja

Twitter: @Metha_Saja

LINE: @methasaja

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top