Hanya Waktu

Penulis: Tyas awtyaswuri

Dimas, apa kabarmu?

Berdusta aku tak sanggup, Dim. Merangkai kata-kata manis sebagai penghiburanku pun aku kalah. Kehampaan tanpamu membentuk keegoisanku, menuntut kehadiranmu kembali di sisiku. Aku ingin kamu kembali, itu saja. Meski itu bagai membuat suatu dunia imajinasi, khayalan yang tak akan pernah bisa aku gapai. Andai sebuah ilusi dapat menghadirkanmu walau hanya sekejap, akan kulakukan itu.

Semudah itu aku menyerahkan kemarahanku pada sang takdir yang membuat kita terpisah. Terlalu cantik takdir memainkan perannya dalam kisah cinta kita yang manis. Mengoyak asa yang bersama kita lambungkan. Dan sayangnya, magnet kebahagiaan tak menarik kita lebih lama, Dim.Kekecawaan menghimpitku. Menguasai sisi paling normal diriku. Berlarut-larut membawaku pada tepi ketidaknormalan jiwa. Hancur rasanya, Dim.

Sudah lenyap dunia bernama cinta penuh gempita bersamamu. Ketika kamu pergi, terenggut dari jalan cinta kita yang penuh keindahan. Duniaku telah runtuh. Jatuh ke titik terendah dalam napas hidupku. Udara tak lagi kumiliki. Jejakmu tak akan lagi bersamaku menapak indahnya dunia. Tiada lagi senyummu mengisi hari-hariku. Rindu ini seperti mencari muaranya. Tempat berpulang yang tak tahu lagi ada di mana. Kerinduan yang berbentur kenyataan pahit. Kamu tidak ada lagi. Pelampiasan seperti apa yang aku butuhkan, Dim?

Kamuflase apa lagi yang harus aku siapkan untuk menghadapi dunia yang pernah aku sanjung karena menghadirkanmu untukku?

Dimas,pada titik tertentu aku mulai memaafkan takdir. Mencoba menerima kekalahanku, melangkah lagi dengan semangatku yang berusaha aku hadirkan kembali.Kesedihanku sudah mencapai batas titik jenuh. Air mata sudah kuhapus dari tempatnya biasa mengalir menangisi kepergianmu. Mencoba membingkai hariku dengan keceriaan serta optimisme. Mengatakan pada mereka bahwa aku sudah pulih. Kerinduan yang ingin kubagi bersamamu. Senyummu yang selalu menyapaku setiap waktu. Menyajikan geliat cinta membaur dengan rindu kita yang selalu menggebu. Kata rindu yang kini menjadi begitu sakit bila aku mengingat namamu. Haruskah aku enyahkan kerinduan ini, Dim?

Ghent, 26 Februari 2017

••☆••

Lana menutup buku harian bersampul hijau tua itu. Perhatiannya teralih saatpelayan kafe datang dan menyajikan pesanannya di atas meja bundar. Susu cokelat serta sepiring waffle dengan krim ditambah potongan stroberi yang merah.

"Dankjewel." [1] Lana mengucapkan terima kasih dalam bahasa Belanda. Bahasa yang mayoritas dipakai oleh warga negara Belgia. Pelayan wanita berkepang dua itu tersenyum. Lalu mulai berbasa-basi sebentar.

"Kunt u ook Nederlands spreken?" [2] tanya pelayan itu sambil memasukkan sebelah tangan ke saku apron yang dikenakannya. "Uw accent is ook zeer goed." [3]

"Ik spreek een beet je Nederlands." [4]

"Waar kom je vandaan?" [5]

"Ik kom uit Indonesia." [6]

"Hoe bevalt het ubij ons?" [7]

"Zeer goed. Demensen zijn vriendelijk." [8] Lana tersenyum, menjelaskan alasannya menyukai kota Ghent. "En het landschap bevalt me ook." [9]

Pelayan itu terlihat gembira dengan jawaban Lana. Mengucap syukur ada turis asing yang menyukai kotanya. Lantas berbalik kembali melanjutkan pekerjaannya.

Lana mengangkat cangkir bercorak bunga nan mewah di hadapannya. Menyesap susu cokelat, meresapi setiap tetes aliran nikmat minuman yang masih mengepulkan uap. Hangat dan menenangkan.Aroma cokelat menyesaki saluran pernapasannya. Memberi efek positif yang secara teori mampu dihadirkan saat seseorang mengonsumsi salah satu jenis makanan yang menjadi favorit manusia seantero bumi ini.

Lana melemparkan pandangannya ke jalanan yang begitu bebas bisa ia lihat dari teras kafe, yang terletak setelah jembatan di sebelah kiri jalan, sebelum Katedral Saint Michel. Beberapa orang tampak berlalu lalang untuk melakukan aktivitas mereka. Sedangkan Lana seperti biasa berada di kafe ini menikmati sarapannya. Matanya menangkap sosok wanita tua berdiri di depan toko barang antik yang masih tutup, dengan dua buah keranjang yang diletakkan di bagian belakang sepeda. Berisi bunga azalea, cantik, menawarkan aneka ragam warna yang cerah.

Tak banyak kendaraan di kota Ghent. Penduduknya lebih menyukai berjalan kaki atau berkendara menggunakan sepeda. Keteraturan sangat kentara di sini. Dan selama Lana berada di kafe semenjak kedatangannya pertama kali, hampir jarang ditemukan aktivitas yang berhubungan dengan penggunaan ponsel. Sepertinya gaung media sosial tidak begitu menarik peminat kota ini. Sudah dua minggu Lana berada di kota Ghent. Salah satu kota di negara Belgia, yang terletak di antara kota Brussels dan Bruges. Berada di kota ini seperti dilemparkan ke masa berabad-abad silam. Memberikan suguhan keindahan melalui arsitektur bangunannya yang indah dan monumental.

Sehingga tak perlu diragukan bila Ghent menjadi salah satu kota terbaik di Eropa sebagai pusat abad pertengahan yang terawat dengan sangat baik, serta memiliki bangunan bersejarah yang paling indah. Dan semenjak kedatangannya pertama kali ke kota ini, kegiatan Lana hanya berkutat di seputar hotel tempatnya menginap hingga kafe yang sekarang ia singgahi. Entah mengapa perasaan optimis yang ia bawa dari Indonesia tiba-tiba menguap. Menghadirkan kelayuan hatinya lagi. Luka yang sejatinya akan ia tutup untuk selamanya, bagai menolak untuk disembuhkan.

Langkah kaki penuh tekad membawanya ke negara yang sebetulnya menjadi tujuan bulan madunya bersama Dimas. Bahkan Lana sampai begitu bersemangat mengambil kelas bahasa Belanda secara private. Antusiasme berlebihan karena puncak kebahagiaan yang akan segera dirinya capai bersama Dimas.Jalan cerita mereka seolah berubah haluan tajam, bahkan Dimas belum sempat mengucap janji suci dengan dirinya. Maut terlalu tergesa-gesa mengambil nafas kebahagian itu. Merenggutnya dari batas kepemilikan raga yang dapat dijangkau Lana.

Ingatan Lana masih bisa mengingat dengan jelas suara terakhir yang didengarnya melalui telepon beberapa tahun silam. Saat Dimas mengucapkan kata cinta untuknya, dan di saat itulah sebuah suara keras memutarbalikkan keadaan menjadi awal kesedihan mendalam bagi Lana. Dimas tewas di tempat. Mobilnya hancur ditabrak truk, ketika mobil Dimas berhenti di bahu jalan raya. Itulah suara terakhir yang hingga kini setia bercokol menghantui pikirannya. Mengikuti setiap langkah maupun napasnya. Cinta tak terwujud dalam satu ikatan yang selama ini mereka berdua impikan. Berakhir atas nama takdir, membawa semua kebahagiaan itu bersama Dimas ke alam tak terjamah tangan manusia. Tak dapat Lana pungkiri, rasa rindu masih bersemayam di hatinya yang ternyata masih biru.

Air mata tak terasa mengalir. Lana buru-buru mengambil selembar tissu kemudian menyusut lelehan bening di kedua sudut matanya. Lana mengetatkan syal yang melilit lehernya. Udara pagi hari di kota ini begitu dingin meski matahari tak malu menampakkan sinar cerahnya.Memasukkan buku hariannya ke dalam tas, lalu beranjak bangkit. Namun, ia tertegun begitu pelayan wanita yang berbincang dengannya tadi datang menghampiri, memberikan seikat bunga azalea. Lana terlihat bingung untuk beberapa saat, tetapi segera menemukan jawabannya pada seorang laki-laki yang tersenyum di salah satu meja.

••☆••

"Patah hati, ya." Laki-laki yang kurang dari tiga puluh menit yang lalu baru Lana kenal membuka suara. Berdiri bersisian di atas sebuah jembatan yang memotong sungai Leie.

Lana menoleh, melihat ke arah sosok yang memperkenalkan diri bernama Daniel, yang memberinya bunga azalea di kafe tadi. Laki-laki bersuara berat, dengan manik mata sehitam jelaga. Mengurai pertanyaan tentang luka hati Lana. Hanya ada hening yang menguntai jarak di antara mereka berdua. Lana memilih diam memandangi keindahan sungai Leie. Banyak perahu melintasi sungai. Memberi kesempatan bagi para turis lokal maupun asing menikmati keindahan bangunan kontemporer yang berdiri kokoh di sepanjang pinggiran sungai.

"Saya dapat melihat itu di matamu." Daniel kembali berucap tanpa menunggu respon Lana.

"Apa yang kamu ketahui tentang patah hati?" Lana bertanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Rasa sakit, luka yang dalam, hingga kesedihan yang berlarut-larut. Itu definisi patah hati menurutku." Daniel menatap mata wanita di sebelahnya. Lana membenarkan ucapan Daniel, patah hati melumpuhkan semua sensor bahagianya.

"Patah hati memang membutuhkan waktu untuk disembuhkan, proses yang rumit dari kekalahan hati yang merana karena cinta. Namun, waktu tak bisa berkuasa selama itu menguras masa bahagiamu." Daniel menatap wanita bermata sendu itu. "Bukalah hatimu untuk yang baru, Lana."

Ya, mungkin peran sang waktu yang bisa menyembuhkan lukanya. Dan hanya dirinya sendirilah yang mampu memerintahkan waktu agar berhenti menyediakan ruang bagi dirinya untuk terpuruk, di kala ia ingin memulai kisah yang baru. Hanya waktu.

Lana tersenyum. "Aku pergi dulu."

"Bisakah kita besok bertemu lagi?" tanya Daniel.

"Sepertinya tidak bisa." Lana menggeleng. Langkahnya mulai menjauhi Daniel yang menampakkan sedikit raut kecewa di wajah tampannya.

Tanpa perlu ia berkata-kata lagi. Hatinya membisikkan sesuatu. Sebuah awal yang mungkin harus Lana segera buka lembarannya. Kerinduannya pada Dimas akan berusaha Lana simpan pada bagian terindah hatinya. Masih sama, rasa cinta itu tak akan pernah berubah untuk Dimas. Namun, hatinya akan ia coba bagi dengan yang lain. Menempati kekosongan yang Dimas tinggalkan. Lana menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Senyumnya tersimpul penuh arti.

"Ik stel voor dat we in het weekend afspreken." [10]

•••

Catatan kaki:

1. Terima kasih

2. Anda juga dapat berbahasa Belanda?

3. Cara pengucapan Anda sangat baik.

4. Saya bisa sedikit bahasa Belanda

5. Dari mana Anda berasal?

6. Saya berasal dari Indonesia

7. Apakah Anda suka di sini?

8. Sangat suka. Orang-orangnya ramah.

9. Dan saya suka pemandangannya juga

10. Saya sarankan kita bertemu saat akhir pekan.

***

Tentang Penulis:

Wanita ini punya mimpi yang simple, bisa menggantikan Usagi Tsukino menjadi Sailormoon. Namun nggak mau hidup di bumi, karena lebih asyik mengkhayal jadi alien di planet Pluto.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top