Fell Together

Penulis: irmaharyuni

Sekolah SMA Negeri 105 Jakarta ini masih menjadi sorotan media, wartawan masih setia menunggu di depan pagar lengkap dengan kamera, rekaman, serta tas kerja mereka. Garis polisi masih melingkar di lokasi kejadian perkara. Siswa-siswi yang berdatangan sibuk berbisik-bisik seraya menunjuk TKP. Beberapa dari mereka bahkan lari atau menutup mulut dan mata, mengendik ngeri. Bekas darah masih terlihat di sana, lelehan darah,  dan bercak-bercak di sekitar. Garis putih membentuk seseorang yang terkapar di sana. Banyak polisi berjaga-jaga di sekitar TKP,  dan mengamankan sekolah dari wartawan di depan pagar sekolah.

Pagi ini tampak tidak terlalu cerah. Awan seakan mengerti peristiwa tragis ini, mendung di sebelah timur menghalangi pancaran sinar matahari.

Elisa Dwi Marinka, siswi kelas 11 A jatuh dari atas gedung pukul 18.30 WIB, tanggal 25 Maret 2017. Kemarin SMA Negeri 105 diliburkan, karena polisi perlu menetralkan lokasi TKP untuk memeriksa. Jenazah sedang dalam proses pemeriksaan di RSCM. Banyak hipotesis yang muncul mengenai jatuhnya Elisa. Kebanyakan mereka beranggapan ini kasus bunuh diri. Namun polisi belum mau angkat bicara.

Bel masuk berbunyi,  anak-anak mulai memasuki kelas. Kelas 11 A menjadi sorotan,anak-anak yang berlalu lalang melewatinya, sibuk melihat-lihat seraya berbisik dan menunjuk-nunjuk. 

"Argh! Sial!  Anak-anak pada  berisik dan ngelihatin ke sini semua! Gimana gue bisa belajar?!" teriak siswi dikuncir kuda, Nandhita. Serempak semua anak menoleh padanya,  hingga beberapa saat, sampai-sampai Nandhita berdecih kembali. "Apaan sih kalian lihat-lihat? Curiga sama gue?  Hello ... thinking smart, buat apa sok tahu? Emang lo pada tahu apaan? Eh? Polisi juga lagi nyari pelakunya!" cecarnya lagi,  membuat semua anak menggeleng.

"Lo ngga perlu teriak bisa kan? Emangnya lo kesel kenapa?" Tiba-tiba Reni menimpali. Nandhita menoleh. Kepalanya seketika didera pusing.

"Gue kesellah! Lo enak kagak remidi! Nah gue sejam lagi ada remidi!"

"Lo ngga kasihan sama Elisa?  Katanya dia temen lo?! Bisa-bisanya lo belajar!" lanjutnya dengan nada tinggi. Nandhita didera sesak napas, badannya gemetaran,  namun ia berusaha menahannya dan bertindak normal.

"Terus gue kudu gimana? Nangis histeris kayak orang gila? Elo---" kalimat Nandhita terputus karena tiba-tiba pintu bergeser. Anak-anak berlarian menempati kursi mereka.

Pak Henry,  guru Fisika masuk kelas seraya menatap satu persatu anak,  dan berhenti pada anak yang dicarinya. "Nandhita,  ikut bapak," ujarnya.  Nandhita yang sedang mengeluarkan alat tulisnya seketika membeku. Semua anak lagi-lagi menatapnya curiga.

"ARGH …!" keluhnya menghentakkan kaki. Ia mengikuti perintah Pak Henry. Suasana kelas menjadi riuh,  anak-anak sibuk membicarakan dan mengutarakan rasa penasaran mereka.

****

"Nandhita, kudengar seharusnya malam ini Elisa les di tempat yang sama denganmu. Apa kamu mengetahui sesuatu?" tanya seorang polisi yang Nandhita yakin ia adalah penyidik.

Nandhita mengembuskan napas kasar, lalu meniup poninya kencang.  Ia mencebik dengan muka meremehkan. "Apa yang bapak lakukan? Bapak sedang menginterogasi aku?"

Polisi itu berdiri dan berbalik melangkah ke belakang, namun seketika ia kembali dan menggebrak meja. "Kamu tidak punya pilihan lain. Kami melihat rekaman kamu keluar dari sekolah pukul 6 lewat 40 menit. Sepuluh menit setelah Elisa meninggal."

Nandhita menunduk. Mukanya dari tadi pagi pucat dan matanya sembab. "A-aku hanya menggambar di kelas. Aku tidak tahu apapun!" Ia lekas berdiri dan buru-buru pergi.

"Kamu merasa bersalah!" Tiba-tiba polisi tersebut angkat suara.  Membuat langkah Nandhita terpaku. Ia berhenti sebelum membuka pintu.

"Kamu merasa bersalah kan?  Sebenarnya kamu berpikir ini salahmu," lanjutnya polisi itu meyakinkan. Badan Nandhita bergetar hebat, hingga tak lama kemudian ia terduduk lemas di kursi. Polisi itu mendekatinya.

"Tebakanku benar. Kamu bisa cerita sekarang,  atau silakan pergi dengan penyesalan itu, selamanya." Nandhita membeku beberapa saat,  kemudian ia menoleh dengan tatapan sulit diartikan.  Air mukanya yang keruh,  dan matanya berlinangan.

****

2 jam sebelum Elisa jatuh.

Nandhita bergegas membereskan alat tulis dan buku-bukunya.

"Nan, nanti ke tempat les bareng ya?" seru Elisa seraya menepuk punggung Nandhita.

"Lo ngga bisa ngga norak? Mau gantiin jantung gue?" Nandhita membalasnya dengan sarkas. Seketika semua anak menoleh, suasana menjadi hening. Elisa hanya bisa mundur dan duduk kembali ke tempat duduknya. Anak perempuan mulai berbisik-bisik,  sedangkan anak laki-laki memberi teguran dan sorakan ke Nandhita.

Nandhita bergegas pergi, sementara Elisa diam-diam mengikutinya.

Nandhita ke atap gedung, lalu ia duduk di dinding pembatas. Menyaksikan pemandangan luar biasa dari ketinggian. Ia mengambil buku, dan pensil, bersiap untuk menggambar. Ditemani musik, memandang pemandangan yang terpapar, menghirup udara dengan nikmat, lalu mengembuskannya pelan-pelan seakan-akan ia baru merasakan rasanya bernapas lega. Ia memejamkan mata, seraya mengayun-ayunkan kepala, dan melambaikan tangannya dengan lembut, mengiringi irama. Cukup lama ia menikmatinya bersama semilir angin lembut yang menerpa wajah,  juga mengibaskan rambutnya.

Tak lama kemudian bulir air merembes dari matanya. Berjatuhan membasahi roknya. Dia membuka mata perlahan, sehingga semburat senja  menyapa penglihatannya. Indah sekaligus sendu. Bahagia sekaligus sepi. Diam-diam ia menggumam dan menepuk dada keras-keras. Deru angin berhembus kencang,  membuat buku dalam genggamannya terbuka lembaran-lembarannya. Nandhita terkejut,  namun ia kembali tersenyum. Mengambil pensilnya dan mulai menggambar sesuatu yang selalu ada di alam mimpinya.

Sketsa seorang gadis sedang menari ballet. Kakinya berjinjit satu dan satunya melengkung indah ke samping wajahnya. Dress soft pink bawahannya mengembang, semakin menambah indah penampilannya. Nandhita tersenyum menatap gambarnya.

"Bagus. Lo kelihatan hebat," ujar seseorang yang muncul tiba-tiba, spontan Nandhita menutup gambarnya.

"Gue ngga butuh hiburan lo. Udah gue bilang kan?" jawabnya kesal. "Ngapain lo masih di sini? Mau mengasihani gue lagi? Biar gue kelihatan jahat?" cecarnya.

"Gue malah kasihan sama diri gue sendiri."

"Bukan urusan gue. Sana! Gue mau sendiri."

"Gue kangen berat sama lo. Maafin gue, please."

"Drama! Ngomong sama angin," tukas Nandhita seraya berdiri setelah dengan cepat memasukkan semua barangnya ke tas.

Nandhita pergi menuruni anak tangga. Namun tak berapa lama ia berhenti. Merosot dan terduduk di tangga. Badannya bergetar,  terisak di lututnya.

Selang beberapa menit,  Nadhita berdiri,  dan memutuskan kembali ke atap. Elisa belum turun juga dari atap sedari tadi,  padahal ia berpikir Elisa akan mengejarnya. Namun baru saja ia membuka pintu, sebuah adegan mengejutkan ada di depannya. Elisa kehilangan keseimbangan di atas sana. Di pinggir atap, di belakangnya kosong hanya ada jurang gedung. Badannya oleng dan seketika jatuh melayang. Dalam sekian detik bunyi debaman keras menghantam dasar. Nadhita terpekik dan terpejam ngeri. Kakinya yang hendak melangkah, hanya terpaku di tempat. Pekikkannya mengawang tanpa suara. Lututnya lemas,  dan tak kuasa menahan hingga badannya merosot. Air matanya mengucur deras, mengaburkan pandangan. Ia tak kuasa. Tak ada daya. Badannya bergetar, dan dadanya berkembang kempis sesak.

Tiba-tiba sebuah gelang terjatuh di lantai. Gelang yang cukup familiar. Gelang itu pengaitnya terputus sehingga tidak melingkar. Sebuah tangan mengambil gelang tersebut. Nandhita dapat melihat tangannya dari sela pintu atap. Anak itu adalah anak yang menyebabkan Elisa terjatuh. Nandhita harus melihat wajahnya, namun dadanya berdetak kencang. Shock,  was-was,  takut. Dalam dadanya ada rasa ngilu dan ngeri. Ia mengatur napas, berbalik dan membetulkan posisi badan. Keningnya yang mengerut ia usap, matanya memicing, namun air matanya yang banjir harus ia seka berkali-kali. Ia harus melihatnya. Buru-buru ia membekap mulutnya erat-erat, menarik napas untuk mengendalikan dirinya,  dan berbalik untuk melihat ke sela pintu.

  Tiba-tiba sesuatu jatuh dan berbunyi keras. Besi engsel pintu besi jatuh ke bawah dan menghantam keras. Nandhita terkejut bukan main,  hampir saja ia terpekik, namun beruntung tangannya refleks membungkam mulutnya rapat-rapat. Rupanya ia tak sengaja menyikut engsel pintu besi. Buru-buru ia bangun, dan berusaha untuk kabur dari sana, sekuat tenaga.

***

"Gelang siapa?" tanya Pak Arjun, Penyidik kasus ini.

"Gelang ... gelang itu … aku tidak tahu," jawab Nandhita menggeleng keras. Wajahnya dipenuhi keringat dingin,  badannya sedikit gemetar.

"Minum dulu, Nandhi," ujar Bu Resa,  polisi wanita.

"Pelan-pelan saja, Pak Arjun," tegur Bu Resa setengah melotot pada Pak Arjun.

"Oke," jawab Pak Arjun datar. "Coba kamu ingat-ingat?"  lanjutnya lagi, beralih lagi pada Nandhita.

"Gelang itu ... anak perempuan di kelas hampir semua punya. Gelang itu adalah gelang kami saat kelas 10, aku dan Elisa yang memesannya, untuk semua anak perempuan. Tapi beberapa ada beberapa anak yang tidak mau, "jawab Nandhita sudah lebih tenang.

"Kamu juga tidak pakai. Mungkin gelang yang jatuh itu milik Elisa?"

"Bukan milik Elisa. Gelang punyaku dan Elisa dikubur di bawah pohon mangga dekat kelas," tegas Nandhita.

"Saat gelangnya jatuh, aku bisa melihat gelangnya putus. Pengaitnya lepas."

"Memangnya gelang seperti apa?"

"Gelang kerajinan tangan dari benang, ada pernak-pernik kayunya. Dulu saat kelas 1, aku dan Elisa yang memesankan untuk semua anak perempuan di kelas."

***

Nandhita bersama polisi diam-diam mengawasi gerak-gerik siswa-siswi di kelas 11 A. Dari sekian siswi,  yang tidak memakai gelang itu separuhnya. Lima anak yang tidak memakai gelang adalah Azka, Bela, Ratna, Reni, Sela.

Mereka dipanggil oleh penyidik satu-persatu. Pertama, Azka datang terlihat tenang dan beralibi bahwa gelangnya ada pada adiknya. Azka anak yang pendiam, jadi tidak terlalu akrab dengan Elisa.

Kedua, Bela, terlihat resah dan bingung,  ia beralibi gelangnya hilang di rumah,  dan lupa menaruhnya. Bela anak OSIS, sama dengan Elisa.  Mereka cukup akrab sebagai anak OSIS, namun jarang bertemu di luar OSIS. Belum lama ini mereka bertengkar karena pacarnya Elisa memutuskannya dan memilih mengejar Elisa.

Tak berapa lama Ratna datang sangat tenang, beralibi gelangnya ada di laci, dan itu benar ada di lacinya. Selanjutnya ada Reni. Saat diinterogasi mukanya datar, katanya gelangnya sedang dicuci. Terakhir Sela, mukanya kaget,  namun saat ditanya ia menjawab dengan tegas bahwa gelangnya dipinjam saudaranya.

Setelah ditelusuri satu persatu,  alasan mereka benar,  dan jujur. Belum ada petunjuk lagi. Hingga malam hari, Pak Arjun, Bu Resa dan Nandhita ke sekolah untuk membongkar tanah tempat gelang Elisa dan Nandhita, namun hasilnya nihil, tak ada gelang. Jadi kemungkinan besar gelang yang jatuh itu milik Elisa atau milik Nandhita.

"Ngga mungkin. Elisa janji ngga akan mengambil gelangnya kalau aku ngga memakainya," jelas Nandhita.

"Hmm ... kalau begitu,  ada yang sengaja mengambilnya? Kalau dilihat dari kesaksian Nandhita, pelaku mencoba memprovokasi Elisa," gumam Pak Arjun.

"Coba kamu ingat-ingat lagi, tentang gelang itu," timpal Bu Resa.

"Gelang Elisa ada bandul bintang kecil warna pink,  aku warna biru.  Aku yang menjahitkannya.  Tapi aku ngga lihat bintangnya saat jatuh," jelas Nandhita.

"Coba kita cari di sekitar sekolah lagi.  Mungkin ada petunjuk lain,  atau gelangnya masih di sekitar sini?"

Mereka akhirnya berpencar mencari gelang atau petunjuk lain. Dari selokan, semak-semak, tong sampah, laci-laci meja, sampai ke taman-taman dekat lokasi TKP.  Tapi nihil.

"Percuma kita mencarinya. Coba kamu ingat-ingat siapa yang kemungkinan memprovokasinya?" tanya Bu Resa dengan napas terengah-engah setelah memutari sekolah lebih dari 5 kali.

"Bela!"

"Bisa jadi.  Alibinya dia tidak kuat,  dan tidak terbukti, meski kelihatannya ia jujur," tambah Pak Arjun.

Keesokan harinya,  Pak Arjun dan Bu Resa memasuki kelas 11 A,  mengundang Bela untuk menghadap. Bela yang diundang berjengit kaget,  raut mukanya seketika pucat. Semua anak memperhatikannya. Bela di bawa ke ruang interogasi lagi. Hal itu langsung menjadi santapan gosip anak-anak. Sementara polisi masih menyelidikinya lebih lanjut. Bela terpaksa mau tak mau setiap hari diinterograsi oleh polisi.

***

"Nan, nanti malam belajar di rumah gue yuk?" Reni tiba-tiba mengajak Nandhita.

"Hah?  Gue ada les.  Lo tahu kan?" ketus Nandhita.

"Gue pengin kita balik. Gue minta maaf, Nan...," ucap Reni terdengar putus asa.

"Gue ngga ada waktu.  Sori." Nandhita pergi meninggalkan Reni. Reni mendengus kesal.
Nandhita yang mendengar dengusannya berpura-pura berbelok,  dan ia segara bersembunyi. Reni tampak menggumam kesal, ia melirik tajam ke arah pot bunga, membuat Nandhita tiba-tiba teringat sesuatu. Pikirannya seketika menjadi kosong,  karena kecurigaannya yang tak beralasan, namun perasaannya meyakini ada sesuatu.

***

Malam hari,  Pak Arjun, Bu Resa dan Nandhita datang ke sekolah. Mereka berniat membongkar pot bunga yang ada di depan kelasnya. Kebiasaan Reni waktu SMP menyembunyikan rahasia di bawah tanaman bunga. Karena ibunya suka sekali bunga. Ibunya sudah lama meninggal. Setiap minggu ia mengirim bunga hasil tanamannya sendiri ke makam ibunya. Menurut Reni,  bunga juga bisa menjaga rahasianya.

Saat mereka hendak berbelok ke kelas 11, ternyata ada seseorang mengenakan baju serba hitam, wajahnya tertutup masker lengkap dengan topi. Sosok itu sedang menggali pot bunga tersebut.

Perlahan-lahan Pak Arjun mengendap-endap, dan saat sudah dekat, Pak Arjun berlari dan menyergap orang itu. Orang itu memberontak namun tak mampu berkutik. Rupanya ia adalah seorang gadis. Pak Arjun dengan cepat membuka masker wajahnya, dan ternyata ia adalah Reni.

Di pot itu terdapat kertas, namun di dalamnya hanya ada permata bintang, milik Elisa dan Nandhita. Reni langsung di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. 

****

Esok hari desas-desus Reni ditangkap sebagai pelaku menyebar cepat. Suasana sekolah riuh dengan berita yang terdengar miris. Bel masuk memaksa anak-anak masuk kelas dan mulai belajar,  meski anak-anak tidak bisa berkonsentrasi. Bagaimana bisa?  Ada pembunuhan di sekolah mereka,  anak-anak nampak cemas. Wartawan nampak ricuh di depan gerbang, meminta konfirmasi kepada kepala sekolah.

Kegiatan belajar di kelas 11 A. Terlihat mencekam. Mereka tampak cemas dan beberapa anak teelihat sedih. Tiba-tiba polisi memasuki kelas 11 A,  dan memanggil Ratna Damangsari. Ratna yang dipanggil, langsung memenuhi panggilan polisi. Anak-anak di kelas menjadi ricuh melihat ada anak yang dipanggil polisi lagi.

"Menurutmu ini apa?" tanya Pak Arjun seraya membalikkan layar laptopnya. Sebuah video Ratna sedang mengobrol dengan Elisa di atap gedung.

Ratna melebarkan mata.  Nampak terkejut, namun buru-buru ia menutupi keterkejutannya. "Ini video palsu. Ini hanya manipulasi!" serunya tak terima.

"SD Card yang kamu ambil adalah yang palsu. Ups salah, asli sih,  cuma maksudku itu SD Card-ku," ungkap seseorang dari belakang. Ratna langsung menoleh cepat, dan memicing. Ia mengembuskan napas kasar.

"Aku memergoki Reni menaruh sesuatu di pot bunga, dan ngga sengaja aku melihatmu mengintip Reni saat itu," lanjutnya Bela, menyatakan kesaksian.

"Tidak! Ini salah!  Ini pasti video palsu! Pasti lo kan yang malsuin? Lo pasti pengin ngejatuhin Elisa sama gue sekaligus? Ya kan? Biar lo dapat juara satu?"

"Juara satu?" tanya Bela mengernyit.

"Jadi motifmu untuk menjadi juara satu?" cecar Bu Resa.

"Tidak! Aku tidak terima!  Aku akan membawa pengacara!" Ratna berkilah dan berusaha membela diri.

"Tes DNA pada permata ini menunjukkan DNA-mu. Kamu bisa menghubungi pengacara," tegas Pak Arjun. "Dan mulai besok kamu akan mengikuti tes psikis," lanjutnya kemudian. Ratna tampak terperangah. 

****

"Gimana lo bisa nyimpen SD Card di pot bunga? Lo sakit kayaknya Ren!" kata Nandhita tiba-tiba merangkul Reni dari belakang begitu keluar kelas.  Anak-anak nampaknya masih menjauhi Reni.  Mereka masih salah paham karena belum ada klarifikasi resmi mengenai kasus ini, polisi masih menunggu pemeriksaan kesehatan mental Ratna.

"Iya,  gue sakit karna lo nyuekin gue dan ninggalin gue sendiri."

"Iya,  sori-sori. Gue ngga suka aja sama orang yang cemburu ngga jelas gitu."

"Gue cuma ngga pede aja masuk SMA ini. Sedangkan lo udah sibuk sendiri karena punya temen banyak,  aktif di organisasi sekolah,  sedangkan gue? Gue kudu kerja paruh waktu buat bayar buku sekolah. Gue ngerasa lo makin jauh."

"Iya,  gue minta maaf banget ya? Karena ngga ngertiin elo."

"Elo juga kudu minta maaf sama gue," kata seseorang tiba-tiba menepuk keras kepala Nandhita dari belakang. Nandhita menjerit kencang, "AUW!"

"Ah,  lebay lo!  Gara-gara elo gue diciduk polisi! Oneng lo!" semprot Bela kesal. "Untung gue pinter,  jadi gue bisa nangkep basah kembaran lo yang bego juga!" tambah Bela mengendikkan dahu ke arah Reni. Reni menunduk dan melajukan langkahnya cepat meninggalkan Nandgita dan Bela. Nandhita berteriak seraya mengejarnya, "Jangan tinggalin gue ...!"

"Jangan kabur lo berdua!" peringat Bela mengejar mereka.

****

"Ratna menderita tekanan dari orang tuanya, ia mengalami kecemasan berlebih saat melihat hasil ujiannya. Itu adalah hasil pemeriksaan mental Ratna," ujar dokter psikiater kepada Pak Arjun.

"Ayahnya memang pemabuk berat, menjual minuman keras, dan nomer togel. Ayahnya sering memaksanya untuk jadi peringkat satu karena sudah bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya. Saat kami temui ayahnya bahkan akan memukuli Ratna, karena perbuatannya," ujar Pak Arjun.

"Tapi bukannya Ratna kemarin juara satu ya?" tanya Bu Resa.

"Iya Bu.  Juara satu," jawab Nandhita ikut mengernyit. "Jangan-jangan Elisa …," gumam Nandhita tiba-tiba.

"Kenapa?" Pak Arjun mengernyit bingung.

"Dia pernah bilang kalau dia melakukan kesalahan yang sama. Dia bilang kalau dia emang sombong dan brengsek. Aku curiga Elisa pasti sengaja mengalah agar nilai ujiannya ada di bawah Ratna saat ujian kemarin," jelas Nandhita. "Pas SMP dulu dia juga ngalah sama aku, agar aku ikut perwakilan lomba ballet."

Dokter psikiater menggangguk lemah. "Ternyata benar dugaanku. Ratna sempat menggumam saat dihipnotis, kalau dia tidak butuh bantuan anak sok hebat dan sok pahlawan. Sekarang tinggal hanya memastikannya lagi pada Ratna."

***

"Elisa, ini gue ... Nandhita,  Reni dan Bela. Kita berharap lo baik-baik aja di sana. Kita selalu doain elo.  Gue tahu niat lo baik buat gue dan Ratna. Tapi cara lo salah. Kita itu temen,  seharusnya kita sama-sama berjuang,  bukan lo yang kudu berkorban buat kita. Semoga lo damai di sana," ucap Nandhita.  Air matanya menetes jatuh di tanah makam. Di depan makam Elisa mereka berpegangan tangan, sesuai berdoa bersama.

"Gue juga kangen lo. Maafin gue Lis, gue mohon maafin gue. Lo nanti malem dateng ya ke mimpi gue lagi?" lanjutnya terisak-isak. Reni dan Bela memeluknya dan menepuk-nepuk punggungnya.

"Maafin gue juga karena gue cemburu lo deket sama Nandhita," tambah Reni tiba-tiba membuat Nandhita dan Bela terkekeh-kekeh.


***

Tentang penulis:

Pustakawan yang mulai menjelajahi genre misteri, Irma Haryuni Puspitasari.  Penulis mimpi, Penggemar CoffeMilkTea. Pecinta romance konyol, drama Korea addict. Bermukim di Tegal, kota laka-laka nang Jawa Tengah. Penanda umur pada bulan juni hari ke-4. Selalu mencoba menorehkan jejak dalam cerita. Rekam memori,  rekam suka duka. Wattpad: irmaharyuni.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top