Esensi Masa Lalu

Penulis: Cha-Cha cha2_riyadi


"Ray, kamu ingat tidak, saat kita ke pantai bulan lalu?"

Aku menoleh. Seperti biasa, matanya selalu memancarkan takjub tiap kali kami bersemuka. Membuatku merona. Dasar, Mas Indra! Kebiasaan!

Hanya kujawab dengan anggukan. Bagaimana mungkin aku lupa, niat awal ingin menikmati senja, tapi hujan malah turun dengan derasnya. Membuat kami hanya bisa menikmati rintikan hujan dari dalam mobil.

"Hari ini kita ke pantai, yuk."

"Boleh. Aku siap-siap dulu, ya."

"Siap-siap ngapain?" Mas Indra menahan langkahku.

"Ganti baju, lah. Masa begini aja," jawabku bingung. Dia hanya menyunggingkan senyum kecil, menarikku agar kembali duduk di sampingnya. Tangannya terjulur merapikan rambutku. "Begini aja sudah cantik. Waktuku enggak banyak."

Binar matanya menghilang, berganti dengan kekosongan. Saat itu, hatiku hancur berkeping-keping, entah untuk yang keberapa kalinya.

***

"Kamu pasti bisa, Ray. Lupakan aku."

Remuk. Tiap kali kalimat itu bergema, hati ini kembali diremukkangodam raksasa. Bagian mana dari diri ini yang bisa melakukan hal yang dia minta? Jutaan kali aku mencoba, jutaan kali pula aku gagal.

"Wisto, Nduk. Lupakan Masmu. Cari pasangan lain, masih banyak laki-laki di luar sana." Ibu mengusap punggungku, membuatku berjingkat kaget. Segera aku hapus jejak air mata di pipi.Sebuah senyum penuh kepalsuan aku hadirkan, agar wanita paruh baya itu tidak terlalu mengkhawatirkanku. Ditambah anggukan kecil pertanda menyetujui pintanya.

Mengucapkan memang semudah membalikkan telapak tangan. Namun pada kenyataannya, menjalankannya adalah bagian tersulit dari sebuah roda kehidupan. Digilas dan ditindas oleh perasaan yang mencekik, sungguh menyesakkan.

Ingin aku meneriaki setiap orang yang menyuruhku melupakannya. Memintaku untuk menyimpannya sebagai bagian dari masa lalu. Memohon agar aku melanjutkan hidup seperti sedia kala. Aku ingin, asal kalian tahu! Tapi apa yang harus aku lakukan saat kenangan itu terputar? Kenangan yang membuatku kembali ke titik terendah kepedihanku. Apa?

Sering aku mengemis pada sang waktu agar dia mengeluarkankudari kepedihan ini, tapi sepertinyasang waktu masih ingin bermain denganku. Menguji sampai di mana ketahananku mengenangnya.

***

"Rayna, kenalkan ini Nak Bowo, anaknya Om Kendro. Ingat?"

Kuhela napas kecil, mengedarkan mata memerhatikan sekeliling. Aku pikir, Ayah memang membutuhkanku dengan segera, sesuai dengan pesan yang kuterima satu jam lalu. Nyatanya? Lagi-lagi aku dikenalkan kepada putra rekan bisnisnya.

Kupasang senyum penuh imitasi, lengkap dengan topeng manis yang sudah kukuasai. Kuterima uluran tangannya untuk berjabat. "Rayna," ucapku enggan.

"Bowo. Arian Wibowo lengkapnya."

Dia suguhkan seulas senyum saat kami bertatapan. Ingin rasanya aku memutar bola mata, jika saja Ayah tidak ada di hadapanku. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Makan malam penuh basa basi yang melelahkan. Padahal aku sudah sangat ingin merebahkan diri di kasur. Pergi ke alam mimpi, berharap Tuhan menghadirkan sosok pria pujaan hati, sebentar saja.

***

"Gimana tadi? Bowo ganteng, kan... Nduk?" Ibu menceletuk begitu aku masuk ke ruang tamu. Ayah hanya mengekor tepat di belakangku. Sungguh, aku lelah. Bisakah bertanyanya esok hari saja?

"Iya, Bu. Ganteng."

"Wah, bagus itu. Ayo, Ray. Sering jalan berdua. Kalian pasti cocok." Ibu bersemangat sekali. Binar kebahagiaan sangat terlihat di kedua bola matanya. Ya, Tuhan! Aku tidak rela jika pancaran itu menghilang.

Tapi, bagaimana dengan hatiku?

"Bu, boleh Rayna bicara?" Aku memegang tangannya, memintanya mengikutiku. Duduk di sofa bersebelahan denganku, menatap intens kedua matanya. Kubulatkan tekadku untuk mengatakan hal yang selama ini mengganjal hatiku.

"Bu, apa Ibubahagia jika Rayna menikah lagi?"

"Tentu, Nduk," jawab Ibu dengan anggukan semangat.

"Tapi Bu, Bowo itu masih single. Beda dengan Rayna. Rayna enggak mau dicap macam-macam."

Ibu mengerjap beberapa kali. "Lho, itu wong picik, Nduk. Jangan berpikiran aneh begitu. Bowo anak baik, Ibu yakin dia bisa membahagiakan kamu."

Usapan lembut yang kuterima di pipi membuatku terenyuh. "Ibu ingin aku melupakan anak Ibu?"

Ah, Rayna! Lihat, sekarang ibumu menangis.

"Ndak, Nduk. Ibu ndak mau kamu menghapus nama Indra di hati kamu. Tapi kamu pantas bahagia, Nduk. Cukup sudah waktu kamu terbuang untuk mengenangnya."

"Rayna tahu, Bu. Tapi hanya dengan cara itu Rayna bisa terus hidup. Kenangan itulah yang membuat Rayna masih bisa menapak. Jika Ray—"

"Bukan itu yang Ibu mau, Nduk. Ibu juga masih belum rela Indra meninggalkan kita, tapi hidup harus terus berjalan. Ibu hanya ingin—"

Kugunting tatapannya. Aku tidak tahan, hatiku perih. "Ibu ingin Rayna bahagia, 'kan? Biarkan Rayna hidup dengan terus mengenangnya, Bu. Rayna baik-baik saja." Aku bangkit, meninggalkan ibu yang kutahu sedang memandangiku dengan iba dan sayang.

Wanita yang kupanggil Ibu itu adalah mertuaku. Tak pernah terbesit sedikitpun di pikiranku untuk meninggalkannya. Kami sama-sama terpuruk, menangis bersama, mengenang satu orang yang sama. Baginya, aku tetaplah anak mereka. Menantu kesayangan mereka.

***

"Mas, aku kangen. Kangen banget! Mas enggak kangen aku? Kenapa Mas tega meninggalkan Rayna sendiri, Mas?" Aku bokoh, di atas sajadah yang selalu kugelar tiap malam. Melantunkan segenap doa dan seuntai rindu yang menyayat.

Empat tahun sudah kepergiannya. Namun masih bisa kurasakan detak jantungnya. Masih bisa kurasakan kehadirannya, saat aku mengunjungi tempat-tempat kenangan kami. Cinta yang kurasakan darinya, membuat semua kenangan itu masih tercetak jelas di ingatanku. Bagaimana mungkin aku mampu menghapusnya? Jika pada kenyataannya, hal itulah yang membuatku mampu untuk menjalani takdir. Hidup dengan cara yang kupilih, berjalan dan menggenggam erat kenangan bersamanya.

Relakah aku berpisah dengan kenangan ini? Tentu tidak. Kala rindu ini terlalu mendera, aku hanya mampu bersimpuh di makamnya, seraya berbisik, "Kapankau akan menjemputku, Mas?"

***

Kuletakkan sekuntum mawar merah di nisannya. Membersihkan sisa rumput liar yang tumbuh subur di sekitarnya. Mengusap lembut nisan yang terukir jelas nama penguasa hatiku, Indra Andata Putra.

"Apa kabar, Mas? Maaf, Rayna baru sempat kemari. Dua minggu ini kantor lagicrowdedbanget." Aku mengeluh seraya membetulkan letak kacamata cokelat yang kukenakan.

"Aku enggak lupa makan, istirahat, dan juga tidur teratur, kok. Mas tenang aja, Ibu dan Ayah juga baik-baik saja. Hanya saja, Ibu gencar banget jodohin aku sama Bowo. Aku enggak suka, Mas.

Tapi Mas tenang aja, Cintaku masih sama ke Mas Indra. Aku enggak berniat untuk menerima Bowo, karena aku enggak mau melupakan—"

"Kenangan Indra akan selalu ada, Ray. Aku tidak akan pernah meminta kamu menghapusnya. Aku hanya ingin menggantikan tugas selanjutnya dari seorang Indra. Maaf, akulancang menemui kamu di sini. Tapi akumohon, beri aku satu kesempatan. Jika memang kamu tidak berkenan, aku akan undur diri."

Aku terkesiap. Mataku membeliak menatapnya. Sosok pria yang terus menggangguku akhir-akhir ini, berdiri tepat di depanku.

"Mau apa kamu?" hardikku. Aku benci dia ada di sini. Tidak cukupkah dia selalu berusaha menemuiku sepulang kantor?

"Meminta ijin kepada Indra."

Alisku beradu. Apa yang ada di pikirannya? Berani sekali ia mengucapkan hal itu? Dia mulai gila?

"Hai, Indra. Kenalkan saya Arian Wibowo. Saya calon suami Rayna. Mungkin lebih tepatnya pria yang sedang berusaha mendapatkan hatinya. Kalau boleh, ijinkan saya memiliki Rayna. Bantu saya memilikinya, dia susah banget didapatkan. Saya janji, saya akan menjaga dia—"

"Kamu gila, ya?" Aku memukulnya dengan satchel bagkesayanganku. Berharap pukulanku cukup untuk mengembalikan otaknya yang bergeser, tapi dia malah terkekeh. Astaga!!!

"Aku cuma ingin melanjutkan tugas Indra, Ray. Aku salah?"

"Never!" Aku menggeleng keras. Berlalu dengan gegas, meninggalkan Bowo sendirian. Aku sudah berjanji untuk tidak membuka hati ini untuk siapapun. Bagiku, cukuplah Mas Indra yang terpatri di sini, di dalam nadi hidupku.

"Rayna, kamu pantas bahagia. Lupakan aku. Lanjutkan hidupmu."

Suara Mas Indra kembali bergaung di pikiranku. Suara yang begitu memilukan hati, di saat detik-detik terakhir hidupnya. Membuat tubuh ini roboh, lunglai di tanah. Air mata ini dengan tidak manusiawinya terus menetes. Sakit. Perih. Pedih. Bercampur menjadi satu kesatuan yang merajam hati.

"Indra pasti sedih kalau lihat kamu begini, Ray."

Kudongakkan kepala, Bowo sudah berjongkok di hadapanku. Tangannya terulur menghapus jejak air mata di pipi. Ah, ya. Mas Indra pasti sedih tahu aku lagi-lagi menangis. Tapi sungguh, aku tidak ingin menangis lagi.

"Beri aku kesempatan, satu kali saja. Jika memang aku tidak pantas, sungguh, aku akan pergi."

Aku bungkam. Di sini, di hatiku terjadi perang besar. Gejolaknya menimbulkan ribuan perasaan yang terus menghujam.

"Aku cinta kamu, tapi aku sadar diri, hati kamu bukan untukku. Tapi kumohon, biarkan aku mencintaimu dengan caraku. Izinkan aku membahagiakanmu, sampai akhir hidupku."

"Kamu pantas bahagia, Nduk. Beri kesempatan, sekali saja. Ini permintaan Ibu, Nduk. Ibu yakin, Indra setuju dengan permintaan ini."

Entah mengapa, pesan ibu tadi pagi malah berkumandang di kepalaku. Benarkah Mas Indra? Setuju dengan permintaan ini? Apa aku akan bahagia, Mas? Aku berada di sebuah persimpangan. Di mana aku harus memilih antara mempertahankan atau belajar menerima orang lain.Sungguh, rasanya sangat sulit.Bukan aku tidak menginginkan kehadiran orang lain, aku hanya takut. Ya, ketakutanku akan kehilangan setiap detail kenangan yang pernah kulalui bersama Mas Indra. Dia penyemangat hidupku, belum rela hati ini menghapusnya.

Mata itu terus menatapku. Menenggelamkanku dalam kesungguhan yang membuatku terjebak. Di sana, di dalam kedalaman netranya, sebuah keyakinan tercipta. Demikian kuat dan mendominasi.

"Satu kesempatan." Kupalingkan wajah ini agar tidak terus-menerus menatapnya.

"Ya, satu kesempatan cukup bagiku, Ray." Dia mengulurkantangannya.

Ada sebongkah ragu sebelum kusambut uluran tangan itu. Masa lalu dan masa depan, berkelebatsilih berganti di kepalaku.

Mataku memicing. Menguatkan hati, mengukuhkan jiwa, berharap ini adalah yang terbaik. Anggap saja aku sedang bertaruh dengan hidup.Bertaruh dengan pilihan yang tidak terlihat bagaimana akhirnya.

***

"Ataaa, jangan lari-larian. Reyhan, jangan kejar Ata lagi. Ya, Tuhan! Ata...." Aku setengah berteriak mengejar dua anak lelakiku. Mereka luar biasa aktifnya. Sungguh menyita perhatianku setiap saat. Belum genap langkah ini mendekati mereka, lenganku sudah ditahan.

"Biarin aja."

Aku menoleh kasar, cemberut setelahnya.

"Kalau mereka jatuh gimana, Mas?"

Lawan bicaraku malah tergelak. Menarikku mendekat padanya. Irisnya yang hitam terus menerus menatap netraku. Ada gugup melanda. Jantung ini selalu memberikan respons yang dahsyat saat kami bersitatap seperti ini.

"Mereka sudah besar. Biarkan mereka bermain dengan dunianya, Ray."

Sebagian hatiku menyetujui perkataannya. Sebuah senyum kuhadiahkan pada akhirnya. Maksud hati hanya sebatas menyetujui, tapi sepertinya disalahartikan.

"Aku suka senyum kamu." Dia semakin mendekat.

"Mas Bowo, ini tempat umum. Banyak yang melihat." Aku belingsatan. Mas Bowo—suamiku—paling pandai membuatku gugup seperti ini.

"Kamu bahagia bersamaku, Ray?"

Seketika detik terhenti. Mataku mengerjap berulang kali. Pertanyaan itu meluncur langsung mengenai kalbu. Apa aku bahagia sekarang?

Saat aku terpuruk akan kenangan masa lalu, dia mengulurkan tangannya. Menggenggam jemariku erat. Mengajakku berjalan, beriringan dengan masa lalu. Tidak melupakan. Tidak menyingkirkan. Tapi berdampingan mengisi masa depan dengan butiran masa lalu.

Kusunggingkan senyum paling manis yang kumiliki. "Aku bahagia. Bersama kamu dan juga anak-anak. Justru harusnya aku yang bertanya, kamu bahagia bersamaku, Mas?"

Dia terdiam lama. Menatapku intens. Mengunci tatapanku di kedalaman matanya. Kurasakan wajahnya semakin dekat, membuat jantungku semakin memberontak tak keruan. Tanpa sadar, aku memejamkan mata. Menunggu sentuhan lembut di kulitku.

"Bunda sama Ayah ngapain?" tanya kedua anakku yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. Melihat polos dengan kedua matanya.

Astaga! Aku lupa kalau kami sedang berada di taman. Mukaku memerah, bingung akan jawaban yang harus aku berikan. Tapi dia si pelaku utama, malah tersenyum nakal melihat mukaku yang memerah. Sungguh menyebalkan!

"Tadi Ayah cuma bilang sama Bunda, kalau Ayah sayang sama Bunda."

"Kalau sama Ata, sayang enggak, Yah?"

"Kalau Reyhan juga kan?"

"Tentu, kalian berdua dan Bunda adalah harta Ayah yang paling berharga," ucapnya seraya mencium keningku.

"Terima kasih, Mas."

"Untuk?"

"Segalanya."

TAMAT

***

Tentang penulis:

Hanya wanita yang suka nulis. Biar nggak stress bin gila.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top