06. Midnight in the Middle of Life

Aku jarang sekali terbangun pada tengah malam atau baru tidur saat sudah tengah malam. Jadwal tidurku lumayan bagus meskipun tidak delapan jam. Aku tipe manusia yang cukup gampang masuk ke alam kegelapan tanpa kesadaran apalagi jika selama seharian penuh pikiran, hati, dan tenagaku terkuras banyak.

Tetapi akhir-akhir ini aku justru sering terbangun pukul dua belas malam. Pukul setengah satu malam, dua dini hari, hingga aku tidak mau lagi menengok ke jam dinding sebab saat itu terasa lebih dingin dibanding sebelumnya.

Aku tahu kenapa aku begini. Tentu saja karena aku baru saja dipecat dari pekerjaanku tanpa sedikit pun uang pesangon. Bukan berarti jika uang pesangon mampu meredakan semua ini. Aku... aku tidak tahu kenapa seseorang atau sesuatu selalu membangunkanku di jam yang tidak pernah ingin mataku singgahi.

Malam itu, aku bangun pukul satu dini hari. Kendaraan-kendaraan yang biasanya membuat apartemenku berisik tiba-tiba hilang dari jalanan seolah terguling tersapu tornado. Aku tak tahu bunyi-bunyi klakson kemacetan yang menyebalkan itu bisa membuat orang lain begitu merindukannya saat dia merasa sendiri.

Aku menyesali keputusanku mematikan lampu saat masuk ke balik selimut.

01.09

Yang berisik saat ini hanyalah kalimat-kalimat masa lalu dan masa depan yang berkeliaran asyik di dalam kepalaku.

"Aku nggak suka masuk jurusan ini."

"Yailah, kamu tuh harus bersyukur di luar sana banyak yang pengen masuk kampus negeri kayak kamu tapi nggak lolos ujian seleksi."

"Tapi percuma aja nggak sih, ngelakuin sesuatu yang kita nggak suka? Daripada buang-buang duit, mending sekalian nggak usah kuliah."

"Ya kenapa dari awal kamu milih jurusan itu?"

"Realistis."

"Ya udah. Daripada ngeluh-ngeluh kenapa kamu nggak masuk jurusan a b c d e, yang kamu aja nggak mampu masuk sana apalagi survive, lakuin yang bisa kamu lakuin sekarang buat keluar dari situasi itu."

"Ngundurin diri misalnya?"

"Atau lulus."

Aku lulus dengan IPK pas-pasan dan waktu lebih lama dari teman-teman sejurusanku. Entah itu berpengaruh atau tidak, aku pun menjadi lebih sulit diterima kerja atau lolos seleksi wawancara meski pada akhirnya aku menjadi pegawai kantoran juga.

Apakah jika aku lebih serius menekuni kuliahku, nasibku akan berbeda? Aku akan masuk ke perusahaan berbeda dan tidak akan dipecat tanpa pesangon begini?

Air mata keluar dari sudut mataku.

"Makanya Mama bilang juga apa, kamu nikah aja abis lulus SMA. Apa gunanya bayar kuliah bertahun-tahun terus kerja kalau ujung-ujungnya dipecat?"

"Meri dapet gaji kok, Ma. Sempet Meri kasih sebagian ke Mama juga, kan?"

"Mama nggak butuh itu, Meri. Mama cuma pengen lihat kamu bahagia."

"Emangnya Mama tahu apa yang bikin Meri bahagia?"

"Si Ratna bahagia tuh sama suaminya yang anggota DPRD itu. Anaknya temen arisan Mama juga nyuruh kamu cepet nikah daripada buang-buang waktu nyari loker sana-sini. Syukur kalau dapet gaji tinggi. Lah ini malah ngabisin duit aja ngasih makan pengangguran."

Aku tidak akan pulang ke rumah. Aku tidak akan menelepon Mama. Aku tidak mau mendengar ucapan itu untuk hatiku yang belum pulih dari luka-lukanya.

Aku ingin memberitahu kepada sosokku di masa kecil bahwa... bahwa....

Aku mulai sesenggukan.

"Meri. Saat kamu dewasa nanti, kamu harus ngerti ya, nggak semua keinginan dan rencana kamu bakal terwujud. Nggak semua omongan orang lain sesuai dengan apa yang ingin kamu dengar dari mereka. Nggak semua prinsipmu sesuai dengan prinsip orang lain. Dan nggak semua orang bakal ngerti apa yang kamu inginkan. Gapapa, mereka nggak perlu ngerti."

"Meri. Saat kamu dewasa nanti, dunia bakal jahat ke kamu. Dan itu wajar kok. Karena semua orang pernah ada di posisi itu."

Aku meraih ponselku yang batrainya tersisa 33%. Mencari kontak Mama.

Mama biasanya tidak bangun jam segini.

"Halo?"

"Ma."

Telinga Mama pasti sudah mendengar hatiku yang meraung-raung meminta peluknya.

"Meri nggak mau nikah dulu, Ma. Meri pengen nyari kerja lagi."

01.22

"Meri... maaf. Meri sekarang pengangguran."

"Meri bukan pengangguran. Meri anak Mama."

"Ma."

"Pengangguran cuma status sementara, Mer. Sedangkan kamu anak Mama selamanya."

"Tapi Mbak Imel...."

"Mau kamu pengangguran atau Mbak Imel manajer senior di perusahaan bagus pun, kalian sama-sama anak Mama. Nggak ada bedanya di mata Mama."

Kugigit bibir menahan isakan.

"Besok Meri pulang, ya? Mama bikinin kamu udang balado. Atau kamu mau Mama sama Papa yang ke sana? Nanti kita makan di Sederhana."

"Makan di Sederhana mahal, Ma."

"Gapapa. Mama tahu apa yang bikin Meri bahagia."

🍀🍀🍀

Penulis: pinnavy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top