06. Menari Bersama Racun Hati

Susah sekali Surti mengumpulkan uang celengan selama enam puluh bulan untuk anaknya berkuliah, dan pada bulan ke enam puluh satu, celengan tersebut pecah seribu, uangnya hilang dicuri maling. Berhari-hari dia berkomat-kamit seperti orang yang sedang berzikir, sambil menangis. Bukannya memohon rezeki lagi ataupun memuji-muji Tuhan, Surti sedang berdoa agar pencuri itu mati bapaknya, mati mamaknya, hilang akalnya, dan patah kakinya. Di bulan ke enam puluh dua. Ibu Surti meninggal menenggak racun di kamarnya.

Dari lubuk hati yang paling dalam, ada dendam yang sangat besar pada jiwa Arsyi. Seorang gadis SMA yang kini hidup sebatang kara. Ibu macam apa yang meninggalkan anaknya sendirian? Namun, ketika angin malam mulai menyelimuti kulit langsatnya yang tipis, tubuhnya mulai menggigil dan terbayanglah rasa rindu yang sangat besar kepada ibunya. Bersamaan dengan suara dunia yang melalulalang di kepalanya. Terbayang olehnya suara teman- teman sekolah, yang entah kenapa kini sangat dia benci.

"Arsyi, kamu gak apa-apa? Nilaimu turun."

Melelahkan, pikir Arsyi

"Arsyi jangan kalah sama keadaan dong, masa sekarang jadi malas."

Bacot.

"Arsyi semangat ya!"

Bacot.

"Kami tetap sayang kamu."

Bacot.

Sudah hilang melodi persahabatan yang terlantun indah ketika mereka berkata-kata, Arsyi kini menari-nari bersama tarian kegelapan, hingga bahkan kata-kata positif temannya pun kini seperti bualan yang tidak ingin lagi didengarnya. Arsyi menutup mulutnya rapat-rapat, juga mengurung diri untuknya sendiri.

Kerasnya kehidupan pada akhirnya mendorong gadis kecil itu ke titik terendah. Tepat enam bulan setelah ibunya meninggal, dia sedang merayakan kepedihan hatinya, mengenang masa-masa ketika dia masih menjadi manusia. Matanya merah, rambutnya sudah rontok dan wajahnya sudah beberapa tahun lebih tua. Dia sedang memandang segelas cairan berwarna hijau yang kini digenggamnya dengan erat. Tangan Arsyi gemetar, dengan jantung yang menggedor dadanya seperti hendak melarikan diri, badannya sudah tidak memiliki tenaga lagi. Air matanya terus menetes, bahkan beberapa jatuh ke tercampur dengan cairan tersebut, yang entah kenapa menambah keberaniannya untuk menenggak. Seolah semua air mata dan sakitnya dunia akan berhenti karena racun ini.

"Sekarang, aku mengerti, Ibu," ucapnya.

Dengan ragu-ragu yang didorong keberanian, dia mengangkat gelas hijaunya, memberi isyarat seolah dia sedang bersulang dengan kematian.

Sebuah tamparan melepaskan gelas itu dari genggamannya, disusul dengan tamparan-tamparan lain yang menghantam wajahnya. Seorang perempuan dengan muka merah padam menarik bahunya dan memeluk Arsyi erat-erat. Arsyi mengenalnya, dia adalah teman sebangku Arsyi, yang merupakan sahabat dekatnya. Perempuan itu menangis terisak-isak di punggungnya.

"Gak boleh! Arsyi belum boleh mati!" kata perempuan itu, dia mempererat pelukannya.

Arsyi diam seribu kata, tak mampu mengeluarkan sedikit pun suara dari lidah. Dia tidak pernah sadar betapa dia merindukan sebuah pelukan yang hangat.

Arsyi terdiam dalam pelukan sahabatnya, tubuhnya gemetar, tetapi bukan hanya karena kelelahan atau dinginnya malam. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bergolak di dalam dirinya yang selama ini terkubur di bawah tumpukan luka dan dendam. Sebuah kehangatan yang nyaris dilupakan, sebuah ingatan tentang bagaimana rasanya dicintai. Namun, kepedihan masih menguasai hatinya. Ia ingin marah, ingin melepaskan diri dari pelukan itu, tapi tubuhnya lemah, lelah oleh beban yang selama ini ia pikul sendiri. Isakan halus sahabatnya menembus pertahanan terakhir yang ia bangun.

"Kamu nggak ngerti apa yang aku rasakan," suara Arsyi terdengar serak, nyaris seperti bisikan.
Sahabatnya, Nisa, tidak melepaskan pelukan itu.

"Aku nggak perlu ngerti semuanya. Tapi aku tahu, kamu nggak sendirian."

Kata-kata itu menusuk Arsyi, karena selama ini dia selalu merasa sendiri. Merasa ditinggalkan oleh ibunya, ditinggalkan oleh teman-temannya, ditinggalkan oleh dunia. Tapi sekarang, dalam pelukan Nisa, sesuatu yang lama hilang mulai muncul kembali—sebuah perasaan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada orang lain yang peduli.

Arsyi menutup matanya, membiarkan air mata mengalir tanpa ditahan. Racun dalam gelas hijau itu kini tergeletak di lantai, tidak lagi mengancam hidupnya. Tetapi racun di hatinya, dendam pada ibunya dan rasa putus asa yang selama ini menghantuinya, masih tersisa.

"Apa aku salah, Nisa?" tanyanya, suaranya pecah.

Nisa menggeleng sambil tetap memeluknya. "Kamu cuma manusia, Arsyi. Kita semua bisa salah, bisa terluka. Tapi kita nggak bisa nyerah. Kalau kamu nyerah sekarang, kamu nggak akan pernah tahu gimana akhirnya. Aku gak akan menjadi salah satu penyebab kamu pergi seperti ibumu,"

Kata-kata itu menghantam Arsyi seperti gelombang besar.

Dia menjadi terpikir, mengapa ibunya pergi? Selama ini dia selalu bertanya-tanya, tapi tidak pernah benar-benar mencari jawabannya. Apa yang begitu menyakitkan hingga membuat ibunya mengambil jalan yang sama dengan yang hampir ia pilih?

Dan tiba-tiba, segalanya menjadi jelas. Ibunya, seperti dirinya sekarang, merasa sendirian. Merasa terjebak. Dan dalam kesendiriannya, ibunya memilih menyerah.

"Tapi aku nggak mau seperti Ibu," Arsyi berbisik, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.

Nisa tersenyum tipis, meski air mata masih mengalir di pipinya. "Kamu nggak akan seperti dia, Arsyi. Kamu lebih kuat dari itu. Kamu punya aku, dan aku nggak akan ninggalin kamu."

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arsyi merasakan sedikit harapan. Mungkin dia tidak sendirian. Mungkin dia bisa bertahan, bahkan tanpa harus memahami sepenuhnya mengapa ibunya pergi. Dan mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan jalan keluar dari kegelapan ini.

Arsyi menghapus air matanya, menarik napas dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya sejak kematian ibunya, dia merasa bahwa mungkin hidup ini masih memiliki sesuatu yang bisa diperjuangkan.

Malam itu, Arsyi telah mati. Digantikan dengan kehidupan yang baru

🍀🍀🍀

Penulis: Orekasa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top