03. Triko

Sindi tidak salah lihat Fuji diculik di gang. Segera dia berlari mengejarnya, tetapi tas terlepas, satu figur aksi bersayap menggelinding dan bergegas dia pungut. Sebuah hantaman keras mengenai kepala.

Pagi itu, Sindi si perempuan culun sama halnya kaum hawa lain tergila-gila akan sosok pemuda tinggi tampan berpita suara merdu dan bahu lebar serta memiliki tubuh proporsional, yang akhir-akhir ini naik daun jadi aktor di berbagai media apalagi pemuda itu mahasiswa di kampusnya, Sindi membuat aneka rupa barang dagangan termasuk di antaranya pernak-pernik untuk dijual dan laku berat, saat ditanya apakah sudah berlisensi Sindi berbohong, 'tentu saja, aku sahabat baiknya!'.

Ketika mata terbuka, Sindi mendapati dirinya tengkurap di sebuah ruangan sempit serbaputih. Dia mendongak, melihat Fuji berdiri di hadap, tetapi sosok itu kemudian melepas rambut, menghapus riasan. Sindi terbelalak.

Ternyata dia Rian, idolanya.

Laki-laki itu berkisah, "Cerita ini dimulai dari mahasiswa yang viral memiliki sayap, padahal dia berusaha menyembunyikannya. Sayang, seorang sahabat mengkhianatinya, semua orang mengetahuinya. Bahkan ada orang gila yang membuat cendera mata, dan dia berada di hadapanku."

Sindi menggila. "Tidak." Mukanya histeris. "Aku tidak ...."

"Sekarang akuilah dosamu dan lakukan hal yang harus dilakukan."

Sindi menyambut palu yang tergeletak di lantai, melekatkan kelima jari kanan di permukaan. Dipukul jari kelingking, jeritan melengking, tulang patah, darah mengucur, daging tercecer. Ditumbuk jari manis, tangisan membanjir, darah mengalir, sendi-sendi dislokasi. Ditutuk jari tengah, ingus meleleh, cairan merah memancur, tulang remuk. Ditokok jari telunjuk, tangan mati rasa, dibantu menggenggam, darah menggenang. Dimartil ibu jari, lima ujung tangan terputus, Sindi tertawa penuh kengerian.

Rian melihat Sindi penuh kesakitan, nyawanya terlepas dari raga, lalu lelaki itu mencabutnya, memindahkan ke salah satu mayat di barisan. Kini Fuji hidup kembali, ditugaskan untuk memburu pembuat rumor paling pertama.

Di hari yang lain, Fada laki-laki mersik pergi ke sekolah seperti biasa, dia itu malam berselimut embun, siang bertudung awan, berangkat jalan kaki, pulang menebeng teman. Sayangnya hari itu Fada tidak dapat tumpangan karena tiba-tiba motor mogok berjamaah, mau tak mau dia menceker sambil jualan gorengan.

Di tengah penyeberangan jalan saking panas cuaca membuat Fada berhalusinasi, dia melihat perempuan di antara motor tersenyum ke arahnya.

Fuji.

"Kamu ... ! Bukannya kamu sudah mati?" Teriakannya tertelan bising klakson begitu debuk mengenai ubun-ubun.

Fada teringat tentang satu-satunya sahabat yang dia miliki. Malam itu sahabatnya menunjukkan rahasia terkelam bahwa di punggungnya tumbuh sayap, artinya bukan manusia melainkan malaikat. Fada ingat sudah berjanji tutup mulut, tetapi entah kalau mabuk saat diajak pesta pora namanya juga orang miskin tidak pernah ikut begituan saat mulutnya terbuka lebar dia membeberkan seluruh isi hati sepanjang jalan buatan zaman romusa dari Anyer ke Panarukan, yang kebetulan sahabatnya ada di situ, Rian namanya, disobek jas hitam sekaligus kemeja putih dengan gunting, menyibakkan sepasang sayap putih, Rian yang fobia keramaian langsung dirubung jadi pusat perhatian dan tak lama setelah itu pamornya naik drastis. Fada tidak salah, kan?

Saat Fada membuka mata dia ingat terakhir kali masih di bawah lampu merah, tetapi sekarang ruangan gelap menyambut, lampu terang menyala amat silau, mata buta sesaat selama beberapa detik, Fada berkedip-kedip untuk menyadari tubuhnya terikat pada pergelangan tangan kiri dengan kanan, kaki kiri dengan kanan, paha ke paha, pinggang dibalut, mulut diplester, badan bergerak di atas konveyor sabuk, suara keras memekkan telinga, matanya terbelalak menyaksikan mesin bermata pisau raksasa di bawah sebentar lagi menyambut, sebelum terjun Rian menatap nyalang seakan mengasihani.

"Selamat tinggal, sahabatku," bisiknya.

***

Penulis : William_Most

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top