03. Kota yang Tak Pernah Tidur

Tas besar yang digendong oleh tubuh mungil itu diturunkan untuk yang kesekian kalinya. Empunya ransel tengah sibuk mengatur pernapasannya yang sejak tadi terasa berat; entah karena barang bawaannya, langkah yang sedikit menanjak, atau udara semakin menipis.

"Kau oke, Chit?" tanya temannya yang berada dua langkah di depan, lalu dibalas anggukan pelan. Dia prihatin melihat si gadis sesak napas plus betis yang gemetaran. Tanpa basa-basi, pemuda itu mendekat, hendak meraih ransel biru tua milik temannya.

"Gausah, Vin. Aku bisa."

"Bisa tapi mati." Gadis pendek memelototi rekannya, lantas yang melempar canda hanya terkekeh jahil.

"Lagi pula, gimana kau mau membantuku dengan bawaan penuh begitu?" tanyanya melirik si pemuda dari pucuk kepala sampai kaki. Bawaan mereka masing-masing sudah cukup berat, tidak bisa saling menawarkan bantuan selain 'tetap bersama dan jangan ada yang tertinggal'. Alasannya sederhana, untuk orang yang sudah berjalan kurang lebih tiga kilometer menyusuri kaki gunung dari jam setengah dua belas malam, sudah seyogyanya bersikap waspada.

Bukan apa-apa, mereka masih dua puluh, berstatus mahasiswa, dan hanya ingin menuntaskan proyek dokumenter sebagai tugas akhir. Tidak lucu kalau mereka harus mendapatkan nasib sial lantas menghabiskan sisa semester dengan teror tugas yang itu-itu saja.

Ditambah, keduanya juga harus mencari teman mereka yang hilang hampir sepekan.

"Seharusnya tadi bawa aja mobilnya, Karvin. Parkir di dekat saung sawah. Tengah malam begini gak mungkin ada yang protes. Aku capek jalan kaki terus—"

"Chita," panggil si pemuda itu menyelak omelan temannya. Dia mengarahkan lampu senternya ke ujung hutan.

Sembari bersungut-sungut, gadis surai cokelat dengan bandana bernama Chita itu melongok ke arah tunjuk Karvin. "Woah. Sudah sampai, 'kah?" Pemuda jangkung dengan hoodie dan topi hitamnya mengangguk mantap.

Mereka begitu antusias saat lanjut menapak, ingin cepat-cepat menuju ke cahaya terang dan sumber suara samar dari sana, sampai lupa kalau badan letih dan hati pernah waswas sebelumnya.

Karvin dan Chita melangkah pelan menyusuri jalan berbatu yang terasa licin oleh embun. Kaki tidak sengaja menyentuh jajaran tanaman putri malu dan bunga jarum. Begitu pun suara kodok dan jangkrik mulai tidak terdengar, berpuluh menit mereka jalan bersama backsound dengkang hewan, kini harus melanjutkannya dengan keheningan.

Chita mengetuk arlojinya hingga terlihat angka di sana berwana biru neon. Jam menunjukkan pukul 00.23.

"Nol nol dua tiga," gumam Chita membacanya ulang. Dia takut salah lihat. Pasalnya, di hadapan mereka saat ini adalah kota kecil yang bersinar terang, dengan lampu-lampu jalan yang menggantung rendah berbentuk semanggi dan deretan rumah bercat pastel gradasi hijau yang tampak seperti miniatur. Rapih, presisi, dan unik.

Kota kecil yang aktif setelah tengah malam. Kota yang mereka anggap mitos,

"Ternyata benar-benar ada," cicit Chita.

"Kota yang tak pernah tidur," ungkap Karvin takjub sekaligus tidak percaya. Saat fokusnya kembali, pemuda itu melirik Chita. "Apa benar kota ini yang dia maksud?"

Dengan cepat Chita mengangguk. "Kayaknya."

Karvin melepas topinya, dia menggaruk tengkuk dan mengacak-acak rambutnya sebelum kembali memasang topinya lagi. "Agak merinding," ungkapnya kemudian. Chita meneguk ludah, dia juga merasa bulu kuduknya meremang.

Keduanya lanjut melangkah, sesekali menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada suara selain gemerisik angin yang membawa aroma bunga malam, tetapi anehnya, kota ini terasa hidup. Jendela-jendela terbuka, tirai-tirai melambai, dan bayangan orang-orang terlihat melintas di dalam rumah.

Walau tidak ada seorang pun di jalanan.

"Selamat datang," suara lembut seorang pria dewasa menyapanya dari arah sebuah bangku taman. Karvin terlonjak, Chita bahkan hampir terpeleset. Mereka bahkan tidak mendengar langkah kaki pria itu.

Pria tua itu mengenakan topi bulat, dengan wajah bersih yang tampak tidak asing. Jangan lupakan tangannya yang sibuk mengupas buah jeruk. "Kalian pasti baru tiba. Kota ini selalu ramah pada pendatang, kok."

Keduanya melempar pandangan, seolah bertelepati, lantas mengangguk pada pria ramah 'sedikit' aneh itu. Mereka bingung tentu saja, tetapi tetap mencoba tersenyum. Lanjut berjalan lagi, mereka merasa terus diawasi, seakan setiap sudut kota ini memandang dengan rasa ingin tahu tentang kehadiran mereka.

Setelah berjalan agak jauh, mereka menemukan bangku besar di bawah pohon beringin. Sebab kaki mereka pegal dan mereka masih tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya Karvin dan Chita memutuskan untuk duduk istirahat di bangku itu.

Chita mengeluarkan tumblr dan beberapa bungkus roti—dia lapar dan harus mengisi energinya. Gadis itu menawarkan Karvin untuk ikut ngemil, sayangnya pemuda itu menolak. Bukan karena sudah kenyang, tetapi dia hanya tidak bisa makan dalam situasi seperti ini.

Rasanya aneh, tetapi tidak asing.

Malam semakin larut, mungkin sudah jam satu dini hari. Namun, Karvin justru merasa semakin segar, begitu pula Chita—setelah perutnya terisi. Penduduk mulai bermunculan, berjalan dalam kelompok kecil sambil bercakap-cakap. Sebagian hanya melirik mereka, sebagian lagi menyapa mereka dengan anggukan kepala. Beberapa toko yang tadinya tertutup rapat kini mulai menyala. Wangi semerbak olahan makanan pun mengudara, menggoda penciuman mereka.

Mereka berdua merasakan semuanya begitu nyata.

Chita melihat seorang pria tua menjual lilin di sudut jalan. Tak jauh di sampingnya ada sekelompok gadis duduk melingkar beralaskan karpet bambu, tampang berbincang-bincang; mungkin membahas sesuatu yang seru. Mereka tampak asyik hanya dengan ditemani lentera di tengah-tengah. Chita mendongak sedikit ke atas pohon, melihat langit, memang jelas sekali ini malam, matanya tidak salah lihat.

Sementara di sisi lain, Karvin melihat bocah perempuan berlarian membawa layang-layang diikuti teman sebaya laki-laki ikut mengejarnya. Ada pula seorang wanita muda yang sibuk menyusun buku-buku di etalase toko, lalu pemuda berkacamata memasuki toko itu.

Semua terlihat biasa, jika saja mereka tidak tampak terlalu ... sempurna. Terlalu hidup. Seakan-akan mereka adalah replika manusia yang dihidupkan hanya untuk malam hari.

Karvin melirik ke Chita lagi, gadis itu masih fokus melihat sekitarnya. Ingin sekali pemuda ini mendiskusikan banyak hal pada rekannya, tetapi waktu belum mendukung. Sebab itu dia memilih untuk membuka ransel hitam bawaannya, dan mengambil kamera.

Karvin mengangkat kameranya dengan gerakan hati-hati, seolah takut memecahkan keheningan kota yang aneh ini. Jari-jarinya menyentuh pelatuk shutter, tetapi dia tidak langsung menekan. Di depan matanya, tampak seorang kakek yang sedang menyalakan lentera sembari tersenyum ke arah kamera.

'Dia menyadari kamera?' batin Karvin meneguk ludah, pun merasakan keringat dingin di dahinya.

Cahaya api kecil dari lentera kakek itu memantulkan bayangan-bayangan panjang di jalanan berbatu. Ketika berhasil ditangkap lensa, ia menciptakan pemandangan yang terlihat seperti lukisan hidup.

Karvin merapatkan kedua matanya ke viewfinder. Melalui lensa, kota ini terasa lebih nyata, sekaligus ... lebih salah. Setiap jendela yang terang benderang, setiap langkah pelan penduduknya, seakan mengikuti ritme yang tidak bisa dijelaskan. Tampak normal, tetapi tidak sepenuhnya normal.

Karvin mencoba mengatur fokusnya ke seorang anak kecil perempuan yang tadi sedang bermain layangan. Anak itu sedang berbincang dengan temannya saat mengulur tali layang.

Klik. Suara shutter mengisi udara malam. Jantung Karvin berdetak kencang saat kamera menghitam; sedang memproses foto. Matanya berkedip-kedip cemas, penasaran sekaligus takut dengan hasil jepretannya. Sebelum pemuda itu mengecek hasil gambar,

"Karvin, itu dia bukan, sih?" Chita menginterupsi. Fokus Karvin terbelah, dia menurunkan kameranya dan menoleh ke arah tunjuk Chita. "Kayaknya itu beneran dia. Ayo samperin, Karvin!"

"Eh—bentar!"

"Buruan!"

Chita menarik lengan rekannya untuk buru-buru mengejar sosok yang mereka cari. 'Dia' yang menjadi alasan utama—selain tugas proyek—mereka ke kota mitos ini. Sayangnya, mereka meninggalkan kamera Karvin yang sudah menampakan hasil jepretan apik, memperjelas kondisi sebenarnya kota yang sedang mereka pijak ini.

Hasil foto yang seharusnya mereka lihat sebelum mereka masuk dan berbaur dengan penduduk kota ini.

-END?-

🍀🍀🍀

Penulis: Clynoqia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top