02. Garuda Kencana

"Nenek, Nenek!" Dari luar terdengar suara cempreng anak kecil yang menangis. Yang dipanggil segera mendekat ke arah anak itu, membuatnya bercerita lebih lanjut, "Kemal lagi-lagi mengejekku anak yatim!"


Sang Nenek mendekap hangat anak itu. Bau kari ayam tercium samar dari pakaiannya. "Cup, cup, jangan nangis yah... Ayahmu pasti akan sedih mendengarnya."

Anak itu, Aya menghapus paksa bulir air mata yang menetes. Ia menatap sang Nenek dengan tatapan penuh yakin. "Sudah kuputuskan. Kalau misal si Kemal butuh bantuan aku, aku nggak mau bantu dia..."

"Loh, nggak boleh gitu dong... Masa cucu nenek yang paling cantik sedunia berbuat jahat sama temennya?"

"Biarin, salah sendiri suka ledekin Aya..."

Nenek mengembuskan napas perlahan. Semilir angin memainkan anak rambut putihnya yang disanggul asal. Wanita tua itu tersenyum. Apa yang membuatnya malah mematri senyumannya? Bingung Aya kala itu.

"Kalau gitu, Garuda nggak bakal seneng sama apa yang dilakuin Aya. Dia bakal sedih di sana."

Garuda? Aya memiringkan wajah. Apa maksud neneknya? Bukankah garuda hanya sebuah lambang negara? Aya meletakkan jarinya di dagu. Kalau neneknya bilang Garuda nggak bakal seneng sama apa yang dilakuin Aya, apa maksudnya sang Garuda itu nyata? Bukan sebuah simbol semata?

Melihat cucunya yang berpikir keras, membuat sang Nenek tertawa kecil. Ia menepuk-nepuk sebelah sofa yang ia duduki agar Aya bisa duduk di sebelahnya.

"Apa kamu mau Nenek ceritakan kisah tentang Garuda?"

"MAU!"

"Baiklah, kalau begitu dengarkan sampai akhir yah..."

....

"Kenapa anak aneh sepertimu bisa dilahirkan?"

"Aku tak pernah ingat bahwa akulah yang telah mengandungnya selama sembilan bulan."

Jika kau berpikir bahwa Garuda itu hanya simbol, maka itu tak benar. Garuda adalah manusia setengah burung yang hidup sepuluh abad yang lalu. Lebih tepatnya Garuda Kencana. Karena perbedaan fisiknya yang mencolok, ia seringkali dicemooh oleh orang-orang. Bahkan orang tua yang melahirkannya tak menganggapnya ada.

Agar ia bisa menjalani hidup yang normal, ia selalu mengenakan jubah kebesaran yang menjulur hingga ke tanah. Tugas sehari-harinya cuma satu, bekerja, bekerja, dan bekerja. Kerja apapun ia lakukan. Hampir tak ada waktu luang yang bisa ia gunakan untuk bersenang-senang.

"Kencana, bisakah kau membawa kayu-kayu ini ke pasar? Tubuhku sudah terlalu tua untuk mengangkutnya."

"Bisa, Tuan."

Ia dengan sigap mengangkat seikat besar batang kayu pohon yang tuannya perintahkan. Karena ketekunannya dalam bekerja, tak ada siapapun yang tahu bahwa otot-otot tangannya telah tumbuh di balik jubahnya. Ia kuat, tetapi semakin hari kekuatan itu bertumbuh pesat layaknya waktu.

"Apakah kakak tidak kepanasan memakai jubah kebesaran ini setiap waktu?" Seorang anak kecil perempuan mendekati Garuda yang kelihatan tak kesusahan mengangkat semua kayu-kayu itu. Garuda tersenyum tipis, "Panas sih, tapi Kakak sudah terbiasa jadi nggak terlalu mengganggu."

"Kalau gitu, aku buka ya biar Kakak nggak kepanasan."

"Eh, ja-" Namun terlambat, anak kecil itu telah menyingkap bagian atas jubah hitamnya tanpa aba-aba.

"AAAAAA! Mo-monster!" Pekikan terdengar kemudian. Garuda menaikkan kembali tudungnya. Ia menatap keramaian yang timbul karena teriakan itu.

"Ma-maaf, Kak. Aku... betul-betul nggak tahu..."

Garuda tak mendengarkan. Ia lebih mementingkan pelariannya ketimbang mempertimbangkan respon yang anak perempuan. Namun hal itulah yang membuat semuanya kacau. Seseorang dengan jubah hitam lain tersenyum penuh kelicikan.

Garuda terus lari. Dari kecil ia diajarkan untuk selalu melarikan diri dari takdir yang telah dilukiskan Tuhan padanya. Ia terus mendengarkan bisik-bisik tak sedap dari orang yang menatapnya. Dikata pencurilah, tukang kriminal, pokoknya banyak hal-hal buruk yang terdengar dari mulut mereka.

"Kau dengar monster yang muncul di pasar? Anak itu telah menculik anak yang membuatnya ketahuan." Namun kali ini, ia menghentikan langkahnya. Matanya membulat. Apa maksudnya anak kecil itu diculik.

"Kau benar. Belakangan ini banyak sekali anak-anak kecil diculik. Tetanggaku bahkan kehilangan anaknya ketika membeli belanjaan. Menyeramkan sekali... Kita harus lebih hati-hati."

"Tapi kalau tidak salah, penculik itu sering menculik anak-anak itu di tempat pembelanjaan. Apakah ini hanya kebetulan semata?"

Garuda terdiam mencerna semua perkataan mereka. Jika anak-anak itu diculik, kenapa harus tempat pembelanjaan?

"Mungkin nggak deh. Belakangan ini, mereka sudah menculik pasar bulan, pasar segar, pasar laut, dan pasar bangunan. Berarti tinggal pasar kecantikan yang belum."

"Ih seramnya..."

Garuda tanpa sadar malah berbelok arah, menuju pasar kecantikan yang belum dijarah sang penculik. Ia tak ingin melarikan diri. Dalam lubuk hatinya, ia ingin menyelamatkan anak-anak tak bersalah itu.

Sesampainya di sana, pasar begitu ramai. Tentu saja, pasar itu adalah tempat yang menjual produk kecantikan terbesar di wilayah itu. Kalau melakukan aksi mereka di sini, akan sulit untuk menemukan para penculik itu di tengah-tengah keramaian pasar.

"TO-" Ada suara. Meski samar, garuda bisa mendengarnya. Apa itu suara anak yang meminta tolong? Ia langsung berlari mendekat ke sumber suara tadi.

Garuda langsung terbelalak saat menemukan sang penculik. Jubah hitam panjang sama persis seperti yang dikenakan oleh Garuda. Ini bagaikan pencemaran nama baik.

"APA YANG KAU LAKUKAN?! Menculik anak kecil yang tak bersalah? Apa kau sudah gila? Untuk apa kau melakukannya?"

Penculik itu menodong pisau ke arah Garuda. "Ikut aku tanpa perlawanan, maka aku dan kawananku takkan menyakiti anak-anak yang kami culik."

Garuda menurut. Ia mengekori sang penculik yang malah membawanya ke markas rahasia para kawanan penculik itu. Ia dikurung dalam ruang bawah tanah yang letaknya di bawah jeruji anak-anak tak bersalah itu.

Garuda meringkuk. Ruang ini begitu sempit. Bahkan ia tidak bisa berdiri di sini. Rasanya sakit, tapi ia lebih tak bisa membayangkan nasib buruk yang akan diterima anak-anak itu jika ia tak segera menyelamatkannya.

Ia memegang pintu yang menahannya. Andai saja ia bisa menghancurkan pintu itu. Ah, eureka! Ia bisa menghancurkan pintu itu dengan kepalan tangannya. Ia tersenyum puas. Peluh yang ia dapatkan ternyata tak sia-sia.

Ia bergegas ke ruang penahanan anak-anak itu. Ia begitu terkejut saat melihat anak-anak itu akan dicekok sebuah cairan. "BERHENTI!" pekik Garuda.

Semuanya langsung menoleh ke arahnya. "Berhenti? Jika kau menyuruh kami berhenti, memangnya bagaimana caramu agar bisa menghentikan kami?"

"Aku akan menggantikan mereka meminum cairan itu jika itu bisa membuat mereka bebas. Jadi, kumohon bebaskan mereka!"

Penculik-penculik itu tertawa kencang. Apakah Garuda sudah gila? Orang yang dikucilkan oleh sekitarnya malah berusaha menyelamatkan anak-anak dari spesies yang sudah mencemoohnya?

"Kau pasti sudah gila..."

"Kalau dibanding kalian, aku lebih waras kok..."

"Cih, tahan dia. Cekoki dia semua racun yang kita punya," Penculik-penculik yang lain langsung menahan tangan Garuda. Salah satunya mengambil sepanci cairan hitam yang aromanya saja membuat mual. Semua anak-anak itu memalingkan muka, tak sanggup membayangkan penyelamat mereka mati mengenaskan.

"Minum yang banyak... minum yang banyak..."

Tapi Garuda tak mati. Semua penculik itu menatap bingung pada Garuda. Manusia setengah burung itu juga bingung. Bagaimana bisa sepanci racun tak membuatnya mati?

Namun hal-hal yang disebut racun memang tak ada yang berakhir indah. Kedua kakinya perlahan berubah menjadi batu. Garuda tak tinggal diam. Sebelum ia berubah menjadi patung batu seutuhnya, ia keburu menarik semua penculik itu agar bisa menahan pergerakan mereka. Penculik-penculik itu berusaha memberontak, tetapi kungkungan tangan Garuda terlampau kuat sehingga membuat mereka kesusahan melepaskan diri. Akhirnya mereka perlahan mati dengan kungkungan Garuda sampai akhir.

Kisah itu terus diturunkan oleh anak-anak yang diculik itu. Kisah kepahlawanan Garuda membuatnya menjadi sebuah lambang keadilan.

.....

"Dan Nenek adalah keturunan anak-anak yang diculik itu?" tanya Aya dengan tatapan yang super polos.

Neneknya tertawa lepas. "Tentu saja, dan apa kau tahu artinya?" Aya menggelengkan kepalanya tak tahu. Hal itu membuat sang Nenek menjadi terkikik. "Itu berarti kamu juga keturunan mereka, Aya..."

"Wah! Iya juga!"

"Garuda akan sedih kalau kamu bersikap jahat pada temanmu sendiri. Kamu jangan membuat rohnya jadi tak tenang, Aya..."

Cucunya itu menundukkan kepala. Iya juga, garuda takkan senang dengan yang ia lakukan.

"Iya deh... maaf ya, Garuda. Aya janji akan berbuat baik kepada siapa saja sama seperti yang kamu lakukan pada anak-anak."

"Bagus..."

Dengan begitu, ceritanya telah usai. Aya tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Nenek tersenyum menatap liontin Garuda yang ia sembunyikan di balik dasternya. Mungkin suatu saat nanti...

🍀🍀🍀

Penulis: yura_khatulistiwa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top