01. Mereka Bilang, Adik Butuh Kamu
Musim dingin pertengahan tahun di kota London membawa banyak memori indah. Terutama bagi turis yang datang untuk berfoto ria dengan big ben dan kotak telepon merah-aku tidak tahu kenapa mereka begitu antusias dengan kotak telepon umum itu.
Malam purnama yang dihiasi butir salju dan lampu di mana-mana membuat suasana ibu kota semakin ciamik. Dengan pakaian tebal orang-orang masih sanggup berjalan sambil berbincang sembari menyeruput kopi hangat dalam genggaman. Sebagian dari mereka singgah ke satu toko untuk menyantap hidangan yang wanginya begitu menggoda, sebagian lain terburu-buru mengejar jam keberangkatan menuju stasiun terakhir malam ini.
Akhir bulan Mei yang begitu indah, bagi mereka. Semua orang bersinar layaknya mendapat golden hour dalam hidupnya.
Enak ya. Aku iri.
"Hei, kenapa kau melamun dari tadi? Pelanggan sudah menunggu pesanan di meja sebelah sana!"
"Ah, iya. Pardon, Sir!"
Enak ya, mereka. Aku di sini menghabiskan waktu untuk bekerja, melayani mereka.
Dua jam berlalu, kafe telah sepi. Sesuai jadwal, kami akan tutup satu jam lagi. Jadi, aku ditugaskan untuk bersih-bersih dan melayani sisa pelanggan.
Di ujung sana, meja bundar pojok ruangan, tampak sedang merayakan pesta. Mungkin ulang tahun? Anak kecil berambut pirang yang memakai topi merah duduk di tengah bersama bolu tingginya, bertepuk tangan saat kedua orang tuanya menyanyikan lagu ulang tahun, dan meniup lilin dengan wajah bahagia, penuh keceriaan.
Keluarga cemara, huh? Enak ya.
"Kami duluan pulang ya? Ada urusan penting banget. Kau bisa mengurus sisanya, 'kan?" Satu orang berujar dan yang lainnya membenarkan.
"Kalian selalu mengatakan seperti itu setiap lima belas menit sebelum kita tutup," gumamku.
"Apa?" Aku tersentak. "Tadi kau ada bilang apa?" Aku menggelengkan kepala berkali-kali.
"Tidak! Baiklah, sisanya serahkan padaku. Selamat istirahat!"
Mereka semua keluar dari kafe setelah meletakkan apron dan topi karyawan. Saling bergandengan dan membicarakan tempat nongkrong mana yang akan disinggahi malam ini.
Enak ya.
Setelah usai membersihkan satu ruangan, aku berjalan ke meja kasir. Melihat buku kas dan kotak uang yang harus aku hitung sebelum pulang. Ah, menyebalkan. Setiap hari selalu aku yang menghitung bagian pemasukan, pengeluaran, stok barang, bahkan tidak jarang harus mengganti kerugian yang terjadi dalam satu hari.
Mereka mana peduli.
Tapi ... kenapa pula aku harus peduli?
Aku tidak tahu apa yang terpikirkan waktu itu. Mencuri? Kurang pantas dibilang begitu. Aku hanya mengambil hakku, dan ini pilihan terbaik.
Aku berlari pulang ke rumah untuk menemui adikku satu-satunya. Besok adalah hari ulang tahunnya, aku harus menyiapkan hadiah malam ini juga. Kebetulan ada satu toko sport yang masih buka, menjejerkan bola dalam rak paling depan untuk memancing mata pelanggan. Aku salah satunya yang terpancing untuk membeli barang mereka.
"Kakak pulang! Happy birthday."
"Kakak! Oh, apa yang kakak bawa?"
"Tebak!"
"Oh my god, basket?! Thank you so much!"
Enak? Yah, selama aku tidak hidup sendirian, kurasa cukup enak. Selama aku masih punya tujuan hidup, masih punya harapan walau hanya setitik, kurasa aku tidak perlu iri kepada siapapun. Lagi pula, orang tuaku memberikan pesan yang cukup dalam dan membekas di hatiku. Pesan yang cukup membuatku tidak perlu lagi membandingkan nasib hidupku dengan orang lain. Aku ingat mereka bilang, "adik butuh kamu."
"Mau jumpai bapak ibu?"
"Jumpai ... gimana? Kakak tau ke mana bapak dan ibu pergi?"
Tapi satu kesalahanku, Pak, Bu, aku mengatakan pada adik bahwa kalian akan pulang suatu hari nanti. Aku tidak mengatakan kalian sudah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali.
"Tidak."
🍀🍀🍀
Penulis: Clynoqia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top