01. Aku Adalah Dia. Iya, Kan?

Aydin Jaz adalah nama tokoh laki-laki utama dalam ceritaku yang berjudul Selamat Pagi Terakhir. Cerita pertama yang kutulis di akun Wreety-ku dan kujamin akan menjadi satu-satunya cerita yang kutulis seumur hidupku. Aku menulis hanya untuk senang-senang dan mengisi waktu saja, tidak ada niatan untuk menerbitkannya bahkan jika mendapat email dari editor penerbit mayor sekali pun.

Selamat Pagi Terakhir bercerita tentang keseharian Aydin di masa kelas sebelasnya. Tahun terakhirnya menjadi murid SMA biasa sebelum dijemput oleh 'arwah' untuk menjadi Bajing (Bayangan Jingga). Bajing adalah makhluk mistis yang muncul sewaktu-waktu saat seseorang tinggal sendirian di kamarnya dan berpikir untuk bunuh diri. Sebelum bunuh diri, Bajing akan menuntun dia untuk membunuh orang lain.

Kenapa Aydin dikutuk menjadi Bajing? Karena dia tidak sengaja 'mengabaikan' seorang perempuan anak kecil yang hendak (aku tidak akan mengatakan ini, kira-kira saja) oleh dua pria dewasa. Aydin baru menyadari kecerobohannya ketika sampai di rumah. Bagaimana nasib si anak kecil itu masih menjadi misteri hingga sekarang dan menjadi penyesalan berkepanjangan bagi Aydin.

Berbagai kalau saja kalau saja berlintasan di benak Aydin sejak peristiwa itu terjadi sampai dia bertemu seorang Bajing lain. Betul, Aydin sampai berpikiran untuk bunuh diri.

Kata Bajing itu pada Aydin, "Jahat sekali kau, anak muda. Tapi kubiarkan kau menikmati sisa satu tahunmu sebelum aku menjemputmu menjadi diriku."

Berkali-kali makhluk itu muncul mengganggu menit-menit menjelang Aydin tidur. Aydin sangat tak ingin percaya dan lantas berdoa tiba-tiba menjadi alim selama hari-hari terburuk itu. Tetapi makhluk tak diharapkan itu masih saja terbentuk dalam penglihatan Aydin seolah nyata.

Sederhana saja. Aydin hanya harus menikmati sisa masa SMA-nya sebelum kutukannya terwujud dan selamat tinggal kehidupan menjadi manusia pada umumnya. Bagian pengantarnya cuma dijelaskan lewat prolog. Selebihnya ceritaku ini bergenre slice of life dan sedikit bumbu romansa.

Aydin yang kesehariannya monoton, tidak jelas, dan tanpa gairah, terpaksa harus BERSEMANGAT dan mungkin sedikit mengubah kebiasaannya demi menjalani kehidupan terakhirnya sebagai seorang manusia biasa.

Itulah sekelumit perihal tentang Aydin, manusia fiksi favoritku ciptaanku sendiri.

Kenapa aku menceritakan tentang Aydin? Selain karena aku begitu memperhatikannya, pada "kebetulan" masa kelas sebelasku itu, aku bertemu dengan Aydin, di sekolahku.

Dia betul-betul mirip Aydin. Warna kulit wajahnya yang berada di tengah-tengah antara terang dan cokelat. Kedua mata kecil hampir sipit. Tubuh yang cenderung berisi alias ideal. Oke, cukup sampai di sana. Pada intinya dia mirip dengan Aydin dalam bayanganku. Cuman aku tidak tahu namanya, belum.

Aku akan berusaha untuk tahu namanya.

Pagi itu, aku mendapat sebuah surat cinta lagi di kolong bangkuku. To: Cesilia Puti.

Biasanya aku tidak membaca surat-surat itu, isinya selalu hampir sama, memuji-muji sesuatu yang ada pada diriku yang sulit kusetujui. Misalnya betapa indahnya poni yang agak menghalangi mataku. Tidak, menurutku itu biasa saja. Misalnya betapa suaraku terdengar manis masuk ke telinga mereka. Tidak, aku sangat membenci suara voice note-ku.

Untuk meminimalisir datangnya surat pun, aku berupaya tidak tampil mencolok. Tidak terlalu berdandan saat di cermin. Mengurangi interaksi dengan lawan jenis. Dan siapa mengira ternyata itu cukup ampuh. Setidaknya itu surat cinta pertama yang kuterima di kelas sebelas yang baru berjalan dua bulan ini.

Hari itu, sebab mungkin sudah lama sekali aku tidak mendapatkan surat cinta, aku membacanya sekilas.

Cesil, aku suka padamu. Aku menyukai segala yang ada pada dirimu. Walau mungkin kamu tidak tahu aku atau tidak kenal aku, tapi dari beberapa kali aku melihat dirimu, kamu sudah masuk ke hati aku. Walau mungkin ada beberapa hal yang nantinya tidak aku suka pada dirimu, aku tetap akan menyukai kamu.

Waw, puisi yang cukup sejuk dan menyegarkan. Dia menerima diriku beserta kekuranganku meski barangkali belum terlalu mengenalku. Sudah bisa menebak, ya. Bagaimana jika aslinya aku seorang penguntit?

Mungkin ada nama pengirimnya di bagian bawah surat yang kupegang tersebut. Tetapi aku tidak mengeceknya. Memasukkan kembali ke kolong bangku, menunggunya terjatuh kemudian tersapu ketika piket tiba.

Ada hal yang jauh lebih menarik perhatianku daripada surat cinta dari ribuan pemuda ganteng sekali pun.

"Cesil. Dapat surat cinta lagi?" Naomi, teman sebangkuku selalu tahu saat aku mendapatkan surat cinta. Aku pernah mengira dialah penulis puluhan surat cinta yang pernah mampir ke kolong mejaku sejak kelas sepuluh. Tidak mungkin, sih.

Aku mengangguk saja. "Lumayan bagus kata-katanya."

Naomi tidak kelihatan tertarik membacanya seperti sudah tahu isi persisnya surat tersebut. Tidak mungkin, sih.

Naomi pun mengajakku sarapan di kantin. Katanya dia menungguku sampai di kelas untuk mengantarnya pergi ke kantin seperti seorang maid pribadi. Padahal anggota kelas 11 IPS 5 ada 32 orang selain diriku.

Keajaiban datang padaku yang sudah berbaik hati menemani Naomi ke kantin. Di kantin yang masih sepi itu karena masih pukul setengah tujuh pagi, laki-laki yang mirip Aydin terlihat di sana, sedang makan berdua dengan seorang pemuda yang tidak kupedulikan.

Sementara Naomi beranjak ke stand nasi kuning, aku memilih duduk di meja depan laki-laki tersebut, berusaha memandangi wajahnya yang terhalang punggung temannya. Tapi saat Naomi menghampiriku, aku segera membuang muka.

"Naomi."

"Iya?"

"Aku naksir cowok."

Naomi terkejut. Si putri kerajaan yang selalu mendapat surat cinta ini akhirnya mengaku menyukai lawan jenis, telah menentukan pilihannya. Sebenarnya aku tidak sebegitu menyukai Aydin sebagaimana perempuan yang naksir pada laki-laki. Aku tentu tahu dia tidak nyata. Tapi berhubung ada laki-laki di sekitarku yang mirip Aydin, kenapa aku tidak menyukainya saja?

"Siapa?" Naomi mengabaikan sejenak nasi kuning dengan bihun, potongan telur dadar, sedikit mi goreng, taburan bawang goreng, dan sambal pedasnya demi menatapku.

Mataku fokus menuju cowok itu. "Tuh."

Naomi membalikkan badan terang-terangan. Dengan terang-terangan, dia melihat seseorang yang kumaksud sedang menyantap entah apa di meja kantinnya.

Naomi melirikku lagi. "Serius?" Wajahnya antusias.

"Aku nggak pernah seserius ini."

Mulutnya sudah akan tersenyum. "Seleramu yang begitu, ya."

"Oke nggak?"

"Okelah."

Tentu saja oke. Karena Aydin pun oke.

"Aku belum tahu siapa namanya," kataku, lurus.

Naomi kembali mengabaikan nasi kuningnya demi menghampiri cowok tersebut. Dia beranjak dari bangku kantin, berjalan ke sana, tersenyum cantik menjulurkan tangan, tidak dibalas, tapi cowok itu seperti berkata sesuatu. Naomi menyampaikannya setelah duduk lagi di sini.

"Namanya Dafi."

Oh. Nama yang keren.

Selama sesaat, Dafi menoleh ke sini. Tak sengaja bertatapan denganku. Di situlah untuk pertama kalinya segerombolan kupu-kupu menyambangi perutku.

Oh, begini, ya. Rasanya menjadi mereka.

Padahal hanya menatapku dua detik. Belum tersenyum. Ada-ada saja.

Sebenarnya aku melihat Dafi baru satu kali. Tapi saat itu aku langsung mengonfirmasinya mirip Aydin. Di kantin barusan adalah pertemuan kedua kami. Tapi setelah bertatapan tidak sengaja itu, aku menjadi tidak fokus di kelas karena ingin segera bertemu Dafi lagi. Ada-ada saja. Ternyata ini lumayan mengganggu sekaligus menyenangkan.

Namun jika begini terus jika aku tak mampu mengendalikan diri, nilai-nilai pelajaranku bisa saja turun. Agak merepotkan, ya. Tapi aku benaran ingin bertemu Dafi lagi.

Maka aku tentu mengusahakannya. Aku bukanlah jenis gadis yang menunggu dan gampang putus asa. Aku terbiasa bekerja keras sedari SD untuk mencapai setiap tujuanku. Tujuanku hari ini, hanya bertemu Dafi lagi. Itu saja.

Kulakukan saat istirahat. Aku berkunjung ke deretan kelas sebelas IPA. Aku cukup yakin kami seumuran dan dia bukan berasal dari kelas IPS. Aku akan menemukannya di sini jika saja dia tidak pergi ke mana-mana.

Apakah membuahkan hasil?

Tentu saja. Cesil selalu mendapatkan apa yang dia ingin setelah bekerja keras.

Aku menemukan Dafi di pintu kelas 11 IPA 6. Tapi bisa saja dia hanya mampir menemui temannya. Area pintu kelas adalah area yang paling mudah disinggahi murid luar kelas. Orang pemalu sekali pun dapat melakukannya.

Jadi aku tidak langsung percaya Dafi dari IPA 1. Meski gitu, aku menunggunya selesai mengobrol dengan seseorang di pintu IPA 1, duduk di tempat duduk sana.

Setelah itu, tiba-tiba, Dafi menoleh ke arah sini.

*.*

Cewek itu terus mengikutiku!

Astaga, dia memang berwajah cantik. Tapi sikapnya menyeramkan.

Biar kujelaskan. Saat di kantin pagi tadi, itu bukanlah pertemuan pertama kami. Mungkin itu pertemuan ke ratusan kami.

Aku tahu nama cewek itu Cesil. Dia cukup terkenal di angkatanku sebagai cewek yang sering ditaksir kakak kelas. Beberapa kali aku mendengar saat-saat ketika teman-temanku membicarakan dia. Mereka tidak tahu saja, kalau, cewek itu, suka padaku....

Aku sudah bertemu Cesil sejak SD. Kami satu sekolah dasar tetapi berbeda kelas. Kami tidak saling mengenal, cuma sekadar tahu saja. Dan tidak ada dalam pikiranku untuk berkenalan dengannya (bukan karena dia cewek yang menyeramkan, yah, tidak tertarik saja).

Lalu di SMP, kami satu sekolah lagi dan tidak pernah sekelas, satu hal yang kusyukuri entah kenapa. Dari awal aku seperti ingin menghindarinya walau Cesil belum menunjukkan gelagat penguntit. Apakah aku dikuntitnya? Iya!

Aku sungguh merasa resah dan risi. Tidak ada seorang pun yang suka dikuntit bahkan oleh cewek cantik sekali pun.

Apa ya, hal yang dilihatnya dariku? Kenapa menaruh perhatian padaku? Apa spesialnya diriku?

Aku hampir gila karenanya. Aku selalu takut Cesil berada tak jauh dariku di setiap tempat yang sedang kupijaki termasuk saat di kelas. Mungkin aku-nya saja yang parnoan. Mungkin Cesil tahu aku orangnya parnoan makanya menargetkanku. Menyeramkan, kan?

Kuputuskan untuk berpikir keras-keras bagaimana cara mengakhiri semua ini. Bagaimana cara agar aku bisa hidup tenang selama bersekolah di sini. Satu-satunya cara ya, singkirkan Cesil. Tapi manusia lembut seperti itu, bagaimana menanganinya?

Ajak bicara?

Aku sudah berdiri di depan IPS 5 pada jam pulang sekolah yang masih ramai. Kelas tersebut pintunya masih tertutup. Gurunya masih di dalam. Aku deg-degan. Semoga dia tidak menggigit.

Beberapa saat kemudian ketika siswa-siswa berhamburan keluar kelas, aku tidak menemukan Cesil di antaranya. Masih di dalam? Benarkah? Aku melongok ke jendela tinggi yang masih bisa kucapai. Masih di sana.

"Cari siapa?"

"Cesil."

"Sebentar, ya."

Berdetik-detik yang cukup memompa irama jantungku.

"Iya?"

Dia di sana.

Kenapa jadi aku yang seolah menyukainya?

Cesil menggenggam sebuah amplop berisi surat cinta berwarna merah muda di tangannya. Surat cinta yang kutulis. Untuknya.

"Surat cinta ini, kamu yang tulis, ya?" Setelah hanya saling menatap saja beberapa lama, akhirnya Cesil berkata.

"Iya."

Cesil tersenyum. Tapi dia segera menghapusnya lagi. "Kamu beneran mirip Aydin."

Aydin?

"Tokoh utama laki-laki di cerita yang aku tulis."

"Bukannya kamu menciptakan Aydin berdasarkan aku?"

Aku menangkap sedikit senyumnya yang menyaratkan kebohongan yang berusaha disembunyikan.

"Kamu naksir aku?" Cesil bertanya malu-malu.

Aku melirik surat itu. Kemudian Cesil. Berpikir sesaat.

Tidak. Surat itu kutulis sebagai ejekan. Ejekanku untuknya. Sungguh. Aku tidak menyukainya.

Aku tersenyum. Mengeluarkan sesuatu yang sangat disukainya dariku. "Iya."

Ngomong-ngomong, aku telah mengatakan suatu kebohongan. Banyak sekali kebohongan. Semenjak awal saja sudah bohong.

***

Penulis; pinnavy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top