Untuk Mega

Judul: Untuk Mega
Karya: Gula Jawa

"Huachihhhhh!"

Lagi, dan lagi. Udara tiba-tiba keluar dari hidung dan mulutku secara bersamaan. Di dalam ruangan bernuansa abu-abu ini aku kembali bersin untuk yang kesekian kalinya. Tubuhku bersandar pada kepala ranjang, dengan selimut tebal yang menutup sampai ke leher. Kata dokter, saat ini aku sedang demam selesma. Ketika diperiksa tadi suhu tubuhku sangat tinggi, akan tetapi yang kurasakan justru dingin yang menusuk sampai ke tulang.

"Sudah ibu bilang, Sylvana. Tidak perlu berlebihan mencari ibunya Mega. Jadi begini, 'kan?"

Kepalaku semakin berdenyut saat suara cempreng ibu memenuhi indra pendengaranku. Sejak tadi dia terus bersungut memarahiku. Dia terus menyudutkan dan menyalahkan perbuatanku. Jika boleh memilih, aku pun tidak ingin jatuh sakit seperti ini. Setiap satu kata yang keluar dari mulut ibu, batinku juga menjawab tak terima.

Semua ini terjadi karena aku bersikukuh membantu Mega mencari ibunya. Bagaimana tidak? Saat sosok ibunya Mega tertangkap oleh indra penglihatan, kami langsung mengejarnya meskipun pakaianku harus basah terguyur hujan. Walaupun berakhir dengan terbaring lemah di atas kasur, tetapi aku cukup senang melihat Mega bisa kembali bersama dengan ibunya.

☆☆☆

Apa yang biasanya dirasakan seseorang saat ditinggalkan orang yang disayang? Sakit hati? Tentu saja. Ya, sakit hati, dua kata itulah yang sepertinya sedang dialami Mega saat ini. Nasibnya sungguh malang. Ayahnya yang tak bertanggung jawab, dan ibunya pergi entah ke mana. Sejak ibunya pergi dan tak kembali sejak beberapa hari yang lalu, Mega terlihat lebih murung. Satu hari hanya dia habiskan untuk tidur, makan, dan termenung sendirian. Biasanya dia sangat gemar bermain, tetapi sekarang dia hanya duduk terdiam.

"Mega, kamu pasti rindu sama ibumu, ya?" aku bertanya dengan lembut. Namun, dia hanya mengerjapkan mata sebagai jawaban. Tidak mengatakan iya, juga tidak menampik perkataanku.

Sebagai teman yang baik, aku harus menemaninya di saat suka maupun duka. Aku pun berinisiatif untuk mencoba menghibur, tetapi dia hanya merespons seadanya. Kalau sudah begini, aku jadi semakin tak tega melihatnya. Hidup tanpa kedua orang tua adalah sesuatu yang sangat menyedihkan.

"Kita cari ibumu sama-sama, yuk!" Meskipun tak menjawab, Mega langsung beranjak dari kursinya. Matanya menatap ke arahku, seolah berkata 'ayo' padaku. Mengangguk pelan, aku pun lantas melangkahkan kaki ke luar.

☆☆☆

Di bawah terik matahari yang menyengat, aku melangkahkan kaki di atas jalan sempit beraspal yang cukup lengang---ditemani Mega---untuk mencari keberadaan ibunya Mega. Sesekali aku bertanya pada orang lain yang berpapasan denganku, barangkali mereka melihat ibunya Mega berjalan di sekitar sini. Jawaban mereka selalu 'tidak tahu'. Entah memang karena tidak tahu atau tidak mau tahu.

Menghela napas lelah, butiran keringat mulai menetes dari dahiku, dan sudah hampir satu jam kami berkeliling. Namun, sejauh kaki melangkah, pencarian yang dilakukan juga tidak kunjung mendapatkan hasil.

Kutatap langit yang tadinya masih terlihat cerah, kini berubah menjadi gelap tertutup oleh gumpalan awan hitam---pertanda hujan akan turun. Aku memandang ke arah Mega, rasanya tidak mungkin kami pulang ke rumah sebelum mendapatkan titik terang.

"Sabar, ya. Aku yakin ibumu pasti bisa kita temukan," ucapku sembari mengelus kepala Mega.

Telinganya menjengit. "Meong!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top