Struggle [ II ]
Judul: Struggle
By: Karung Goni
Suasana siang ini begitu panas. Seorang laki-laki dengan rambut acak-acakan itu berjalan memasuki rumah di kawasan sekitar rel kereta api. Peluh menetes di wajahnya yang mulai kusam akibat polusi udara.
"Kau baru pulang, De?" Salah satu temannya bertanya saat melihat Delon duduk di ambang pintu rumah dengan wajah penat.
"Iya, aku baru selesai. Kau sudah pulang sejak tadi?" Angga—teman Delon—menggeleng kecil sambil menghampirinya.
"Aku tidak berjualan hari ini karena ibu sakit. Aku harus menjaganya seharian penuh. Kau tahu bahwa aku hanya berdua dengan ibu, 'kan?" Angga duduk di samping Delon menghalangi jalan. Delon mengembuskan napas penat. Menjadi rakyat miskin yang hidup serba kekurangan itu memang sulit. Saat yang lain setiap pagi mengenakan seragam untuk bersekolah, Delon mengenakan baju lusuh berjualan koran dan kue di lampu merah.
"Kapan penderitaan ini akan berakhir?" Delon bertanya sambil menatap langit yang mulai menggelap. Dia harus bersiap untuk membantu sang kakak membuat kue untuk dijajakan esok.
"Delon." Baru saja Delon hendak berdiri, Angga kembali memanggilnya. Laki-laki itu menoleh seraya menaikkan sebelah alis pertanda bertanya 'ada apa?'
"Apakah kau tidak ingin sekolah? Kau pandai, 'kan? Kau bisa menguasai banyak materi hanya dengan sekali membaca, bahkan kau pandai dalam olahraga." Angga saat ini berdiri menatap Delon yang tersenyum miris.
"Tidak ada yang tidak ingin sekolah, Angga. Aku juga ingin bersekolah, tapi tidak bisa." Angga menunduk mendengar hal itu. Laki-laki berambut agak kemerah-merahan itu kembali mendongak lalu tersenyum.
"Percayalah, akan ada pelangi setelah hujan. Aku yakin, kau bisa menggapai impian. Tetap berjuang dan jangan pernah lupakan aku sebagai kawan, ya." Delon mengangguk dan menatap kepergian Angga. Setelah itu, dia kembali masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri.
***
Seperti hari-hari biasanya, Delon menjajakan kue buatan sang kakak dan koran. Dia terbiasa melakukan ini sejak berusia lima belas tahun. Tidak ada yang tahu di mana kedua orang tuanya. Sepulang sekolah dahulu, dia hanya menemukan rumah kosong. Kakaknya yang baru pulang sekolah terlihat syok saat mengetahui sang ayah dan ibu tak kunjung kembali.
"Aku akan ke bis itu, ya. Kau bisa ke bis yang di sana," ucap Delon pada Angga. Laki-laki dengan tinggi badan yang lebih rendah darinya itu mengangguk dan berjalan menuju bus yang Delon maksud.
Delon memasuki salah satu bus yang berhenti saat lampu merah. Dia menjajakan dagangannya kepada para penumpang. Bersyukur sekali, ada beberapa yang membeli kuenya. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian. Laki-laki itu mendapati seorang pria berpenampilan preman berusaha menggapai dompet ibu-ibu yang menjulang di balik tas.
"Bu, awas!" Delon berteriak membuat ibu-ibu itu menoleh. Dengan cepat, pencuri itu menarik dompetnya dan berlari ke luar bus—kebetulan dia duduk di dekat pintu.
Delon langsung meletakkan barang jualannya di dalam bus dan mengejar pencuri itu. Jangan ragukan kemampuan berlari Delon. Tak butuh waktu lama, dia berhasil menggapai pencuri itu disusul oleh beberapa penumpang lain.
"Berhenti, Pak, Buk! Jangan menghakimi sendiri!" Delon memberi peringatan menghalangi masa yang siap menghajar pencuri.
"Ada apa ini?" Seorang polisi yang tengah berpatroli menghampiri keramaian di tepi jalan. Seluruh warga menyingkir menampakkan sang pencuri dan Delon.
"Ada pencuri, Pak," ucap salah satu penumpang. Polisi langsung meringkus pencuri itu setelah mendapat beberapa kesaksian dari warga dengan membawa korban untuk menjadi saksi di kantor polisi.
***
Delon berjalan pulang bersama Angga. Pendapatan hari ini lumayan banyak membuat raut keduanya terlihat berseri-seri. Baru saja tiba di rumah, Delon langsung berlari saat mendapati rumahnya ramai.
"Ada apa, Buk?" Delon bertanya pada ibu Angga yang kebetulan berada di sana.
"Kakak kamu gantung diri, Delon." Satu kalimat yang meruntuhkan kehidupannya sekaligus. Delon masuk ke dalam rumah terburu-buru. Dia mendapati tubuh sang kakak terbujur kaku di atas lantai rumah yang hanya beralaskan tikar.
"Kak Winda, kenapa kakak tega ninggalin Delon?" Delon menangis menatap jasad sang kakak. Tak dia sangka, satu-satunya keluarga yang dimiliki menghabisi nyawanya sendiri.
***
Empat tahun telah berlalu. Seorang laki-laki berkulit putih bersih dengan penampilan klimis berjongkok di depan gundukan tanah. Di batu nisannya tertulis sebuah nama 'Erwinda Arfiani'.
"Delon udah sukses, Kak. Delon berhasil dapat beasiswa karena ibu-ibu yang pernah Delon tolongin pas hampir dicopet dulu. Harusnya kakak lihat kesuksesan Delon. Makasih udah nemenin Delon berjuang bertahan hidup sejak umur lima belas tahun sampai sebesar ini. Semoga kakak tenang di sana." Delon bangkit lalu memasang kacamata hitamnya. Laki-laki itu berlalu pergi setelah meletakkan sebuket bunga lily putih kesukaan Winda.
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top