Di Antara Keduanya [ II ]
By: Sembagi Arutala
Judul: Di Antara Keduanya
"Penyakit Leukemia yang diderita Anaya semakin parah. Apalagi jika dia terus-terusan tidak meminum obat, maka kondisinya semakin memburuk. Kemungkinan besar, hidup Anaya tinggal beberapa bulan lagi, Bu."
Percakapan antara dokter dan mamanya tadi pagi begitu membekas di dalam ingatan Naya, terngiang begitu saja tanpa dia minta. Tatapan gadis itu kosong ke depan, memikirkan apa saja yang akan terjadi esok hari.
"Naya, obatnya diminum dulu, yuk!"
Pandangannya teralih begitu saja saat mamanya masuk ke dalam kamar, sembari membawa nampan yang berisi obat dan segelas air putih.
"Naya gak mau minum obat," ucap Naya.
Rasanya tidak enak, harus selalu bergantung pada obat-obat itu demi kelangsungan hidupnya. Naya merasa lelah, harus melanjutkan petualangan ini dengan cara yang begitu menyakitkan. Sementara pembekalan hidupnya semakin hari, kian menipis.
Mama Naya meletakkan obat itu ke atas nakas, lalu menatap putrinya lekat. "Lho, kenapa? Katanya mau sembuh."
"Tante."
Suara itu begitu familier di telinga Naya. Dia mengetahui orang itu siapa, tanpa menoleh sedikit pun ke arah pintu kamar.
"Eh, Vando. Tumben datangnya siang, biasanya pagi."
"Pagi ada kerjaan mendadak, Tan." Vando melirik sekilas pada Naya. "Gimana keadaan Naya, Tan?"
Mendengar kabar jika tadi pagi Naya pingsan, tentu membuat Vando cemas. Gadis yang ia cintai, begitu menderita, demi memperjuangkan hidupnya yang berada di ambang kematian.
Mama Naya mengembuskan napas kasar. "Dia tidak mau minum obat akhir-akhir ini."
"Biar Vando aja yang bujuk, Tan."
Mama Naya tersenyum sambil mengangguk. Lalu meninggalkan keduanya.
Vando duduk di sisi ranjang, mengamati wajah gadisnya yang tampak pucat. "Kenapa gak mau minum obat?"
"Minum atau enggak, tetep aja Naya bakalan mati, kan?"
Seketika raut wajah Vando berubah terkejut, mendengar jawaban Naya yang jauh dari perkiraannya. "Kamu jangan ngomong gitu."
"Memang itu kenyataannya." Naya memandang Vando sayu. "Naya capek kayak gini terus. Naya benci jadi orang paling lemah. Untuk hidup saja, Naya bergantungan dengan pengobatan dan bikin repot semuanya. Naya mau udahan aja."
"Mengalah tanpa berjuang, itu bukan Naya yang aku kenal." Vando tahu Naya sedang putus asa, tetapi tidak seperti itu caranya. "Denger, ya, semua orang juga pasti akan merasakan mati. Termasuk aku dan mama kamu. Kamu gak bisa berpikir jauh untuk pergi, bahkan mendahului takdir semesta."
"Semesta itu jahat. Percuma Naya diberi hidup, jika ujung-ujungnya bakalan mati."
"Yang jahat itu kamu, Nay. Pemikiranmu itu yang jahat. Pembunuh paling kejam nomor satu di dunia itu, berkeliaran di dalam kepalamu sendiri."
Perkataan itu sukses membuat Naya bungkam.
"Kamu harus berjuang, melawan rasa sakit itu. Sama seperti aku yang memperjuangkan cintaku sampai saat ini," lanjut Vando.
Naya merasa bersalah, pergi begitu saja meninggalkan Vando, disaat pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi. Tentu saja keluarga Vando marah dan kecewa atas tindakannya.
Namun, Vando masih ingin memperjuangkan Naya, berharap semuanya bisa kembali ke awal. Bahkan, pria itu menentang keluarganya.
"Kamu terlalu baik, Van," ucap Naya.
"Dan kamu terlalu pengecut."
Naya tidak sakit hati atas ucapan Vando. Hal itu memang benar adanya. Naya terlalu pengecut sampai-sampai menyembunyikan cintanya dibalik penyakit yang ia derita.
"Naya gak mau Vando kehilangan orang yang Vando sayang. Seperti Naya kehilangan papa."
"Lalu, kamu pikir jika kamu pergi, mama kamu tidak merasa kehilangan?" tanya Vando.
Yang dikatakan Vando benar, mama hanya punya Naya sekarang. Jika Naya pergi, lantas siapa yang akan menjaganya?
Vando meraih tangan Naya. "Berjuanglah, Nay. Aku yakin kamu bisa. Jika bukan untukku, setidaknya untuk dirimu sendiri. Karena kamu, berhak untuk bahagia."
Mata Naya berlinang, perasaannya campur aduk. Ucapan Vando begitu menohok hatinya. Jika Vando memperjuangkannya sampai melawan keluarganya, mengapa Naya tidak bisa berjuang untuk kesembuhannya dengan melawan penyakitnya? Pada dasarnya, Naya juga manusia yang berhak untuk bahagia.
Meski bibir Naya pucat, Vando melihat jelas senyuman kecil tercetak di wajahnya. "Besok jadwal kamu kemoterapi, kan? Aku temenin."
***
Perlahan, kehidupan Naya mulai membaik, meskipun belum benar-benar baik. Namun setidaknya, wajahnya sudah kembali bugar. Naya sudah jarang mimisan dan pingsan seperti sebelumnya.
Ini semua berkat bantuan Vando. Jika pria itu tidak membujuknya untuk kembali berjuang, Naya sudah menyerah.
"Nay, boleh gak minjem tangan kamu?"
"Buat apa?" tanya balik Naya.
Vando tidak menjawab, ia menyematkan cincin pertunangan mereka di jari manis Naya.
Naya terkejut, atas perlakuan manis Vando padanya. "Kirain cincinnya udah dibuang."
"Hal yang sangat berharga, tidak semudah itu untuk dibuang." Vando mengecup punggung tangan Naya.
Naya tersenyum, menyandarkan kepalanya di bahu Vando. Jari mereka saling bertautan, saling memberi rasa hangat. Naya tidak peduli berapa lama lagi hidupnya. Untuk saat ini, ia memilih menikmati hari-harinya bersama orang yang ia sayang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top