Demi Sebungkus Nasi [ II ]

Nama: SapphireBlue
Judul : Demi Sebungkus Nasi

"Gorengan! Gorengan!"

"Gorengannya, Bu?"

"Gorengan ... Gorengan. Pisang goreng, tahu berontak, masih hangat!"

Sulastri, wanita paruh baya itu berjalan menyusuri jalanan kecil di komplek desanya. Menawarkan dagangannya berupa gorengan kepada warga. Peluh membanjiri wajah lelahnya. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya. Tanpa beralaskan alas kaki, ia melangkah dengan pasti mengabaikan kerikil tajam yang menusuk telapak kaki.

Pagi buta, Sulastri sudah terbangun dari tidurnya. Menyiapkan segala perlengkapan dan bahan untuk gorengan yang akan dijualnya. Rasa letih seharian bekerja tak dihiraukannya. Demi kedua putrinya yang masih kecil.

"Bu Lastri, beli gorengannya, ya, sebungkus."

Lastri pun menghampiri pembeli pertamanya itu.

"Silakan, pilih yang mana, Bu." tawarnya. Membiarkan pembelinya memilih gorengannya.

"Ini uangnya, ya." Si pembeli menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada Lastri setelah memilih gorengan yang ia beli.

Lastri melanjutkan menjajakan dagangannya. Sudah satu jam ia berkeliling, tetapi gorengannya masih sisa banyak. Akhirnya ia berhenti di sebuah warung kecil, menitipkan dangannya di sana barangkali saja lebih laku.

"Permisi, Bu. Saya mau nitip gorengan di sini boleh, Bu?" tanyanya kepada pemilik warung.

"Oh, boleh, Bu. Taruh situ saja," jawab pemilik warung itu sambil menunjuk sisi meja yang kosong. Kebetulan gorengan yang dijualnya sudah ludes terjual.

Dengan senyum sumringah Lastri menaruh dagangannya itu. Mengucap terima kasih lalu pergi setelah berpesan akan kembali siang nanti.

Lastri kembali melangkahkan kaki menuju rumahnya. Setelah ini ia akan mendatangi rumah warga untuk menawarkan tenaganya menjadi buruh cuci. Meskipun bayarannya tidak seberapa, setidaknya cukup untuk makan sehari. Uang hasil penjualan gorengannya tidak akan cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Oleh sebab itu, Lastri bekerja sampingan menjadi buruh cuci.

"Permisi, Bu Yuli. Pakaian yang mau saya cuci di mana, ya? Boleh saya ambil sekarang?"

"Eh, Bu Lastri. Sebentar, saya ambil dulu." Wanita yang disebut Yuli itu segera beranjak dari duduknya, mengambil pakaian kotor miliknya untuk diserahkan kepada Lastri.

"Ini bajunya, nanti sekalian setrika, ya." Yuli memberikan pakaian kotornya kepada Lastri.

"Iya, Bu. Saya pamit dulu. Besok kalo sudah selesai saya antarkan pakaiannya. Mari," pamitnya kepada Yuli yang diangguki oleh wanita itu.

Lastri kembali menuju rumah warga lain yang sudah biasa menerima jasanya menjadi buruh cuci. Hari ini banyak yang menerima jasanya. Setidaknya penghasilan dari menjadi buruh cuci bisa mencukupi kebutuhan beberapa hari kedepan.

Tak terasa hari sudah siang. Mentari begitu terik, panasnya menyengat serasa membakar kulit wanita itu. Perutnya juga sudah keroncongan. Sejak pagi, Lastri mengabaikan perutnya yang meminta untuk diisi. Terus bekerja tanpa kenal lelah. Demi sesuap nasi dan juga dua malaikat kecilnya. Dia harus kembali ke warung tempatnya menitipkan dagangannya. Semoga saja gorengan miliknya laku semua. Sehingga dia bisa membeli sebungkus nasi untuk kedua putrinya.

"Bu, gimana gorengannya? Laku tidak?"

"Eh, Ibu, iya gorengannya laku semua, Bu. Ini uangnya sudah saya pisahkan." Pemilik warung itu menyerahkan beberapa lembar uang kepada Lastri. Lastri segera menerimanya dan menghitungnya.

"Ini buat Ibu, makasih sudah mau menjualkan dagangan saya. Maaf kalo uangnya nggak seberapa," ucap Lastri seraya menyerahkan sedikit penghasilannya kepada pemilik warung.

"Eyalah, Bu. Makasih, lho, ini. Lain kali kalo mau nitip lagi boleh ,kok, Bu. Ndak usah sungkan."

"Iya, Bu, makasih. Saya permisi dulu," ujarnya seraya menyunggingkan senyum tanda ucapan terima kasih.

Di perjalanan pulang, ia mampir ke warung makan untuk membeli sebungkus nasi. Setelahnya ia segera pulang. Kedua putrinya pasti sudah menunggunya.

"Nak, Intan ... Lili! Ibu pulang! Ayok sini kalian makan dulu!" serunya memanggil kedua putrinya. Mereka hanya hidup bertiga. Suami Lastri sudah meninggal beberapa tahun lalu. Itu sebabnya dia banting tulang menghidupi keluarga kecilnya seorang diri. Perjuangannya sungguh berat. Tak mudah membesarkan dua orang putri seorang diri. Terlebih keadan ekonomi yang terbilang tak berkecukupan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top