After
Judul: After
Karya: Karung Goni
Seorang laki-laki dan perempuan berjalan di atas puing-puing bangunan. Wajahnya terlihat begitu lelah ditambah keringat yang membasahi. Berkali-kali mereka menarik napas lalu mengembuskannya kembali untuk menghilangkan rasa penat.
"Dev, aku haus," ucap gadis berambut pirang lurus sepunggung. Dia membungkuk dengan tangan bertumpu pada lutut. Laki-laki yang dipanggil Dev itu menoleh ke arah gadis yang beberapa langkah di belakangnya.
"Tahanlah, Jein, persediaan kita habis. Apakah kita lebih baik istirahat terlebih dahulu?" Dev memegang pundak Jeina berusaha menguatkan gadis itu. Jeina mengangguk sekali membuat Dev langsung membawanya ke sebuah bangunan yang tampak kosong.
"Kurasa ini bekas mini market. Mau cari sesuatu?" Jeina mengangguk antusias. Keduanya berpencar mencari sesuatu yang bisa dimakan—tidak kadaluarsa.
Sudah lebih dua bulan Jeina dan Dev berkeliling di atas puing-puing bangunan. Harapan mereka hanya satu, bertemu orang selain keduanya. Sekitar dua bulan lalu, ledakan besar terjadi. Asalnya dari sebuah laboratorium yang tengah melakukan eksperimen. Gagalnya eksperimen itu tak hanya meledakkan laboratorium, tetapi menimbulkan bencana. Eksperimen berupa cairan itu memenuhi kota, melepuhkan kulit warga yang terkena. Lebih 40% penduduk setempat meninggal.
Pada saat itu pula, robot-robot ciptaan laboratorium itu diaktifkan untuk membantu membereskan kekacauan. Tetapi, saat ini para cyborg itu menyerang manusia, menembakinya dengan laser. Hal ini pula yang mengurangi jumlah populasi manusia.
Di hari ledakan itu, Jeina dan Dev tengah bermain petak umpet. Jeina dan Dev di dalam bunker milik orang tua Jena. Teman mereka yang mencari ikut meninggal bersama bangunan yang tersisa puing saat mereka keluar.
Jeina berhenti di depan lemari pendingin yang tidak berfungsi. Dia membuka pintunya, lalu melihat tanggal kadaluarsa minuman di sana. Tepat setelah menemukan yang bisa dikonsumsi, gadis itu memasukkannya ke dalam tas yang dia bawa.
"Apa yang kau dapat, Jein?" Dev yang tiba-tiba berada di dekatnya bertanya. Jeina menunjukkan beberapa botol minuman membuat Dev tersenyum.
"Bagus, Jein, kita bisa melanjutkan pencarian. Tetapi, kita harus tetap waspada. Di luar semakin berbahaya," ucap Dev.
"Ya, aku tahu cyborg jelek itu masih berkeliaran di atas puing-puing bangunan," sahut Jeina setelah meneguk minumannya. Gadis itu mengikat rambutnya asal menggunakan ikat rambut yang baru saja dia temukan.
"Siap melanjutkan petualangan?" tanya Dev sambil menyiapkan senapannya. Jeina mengangguk mantap dan melangkah bersama Dev hendak keluar dari bangunan itu. Namun, baru beberapa langkah mereka ambil, suara langkah besi yang cukup banyak membuat Dev dan Jeina spontan berlari kembali ke dalam.
Jeina menunduk di bawah meja kasir bersama Dev. Keduanya berusaha agar tak terlihat oleh cyborg yang lewat. Langkah besi itu semakin dekat, membuat Jeina memejamkan mata. Dev sendiri merangkul tubuh Jeina berusaha tak menimbulkan suara. Perlahan, langkah besi mulai menjauh.
Dev bernapas lega dan mengajak Jeina keluar. Gadis itu menurut dan menatap waspada ke sekitar. Jeina dan Dev berlari keluar gedung, berlari di atas puing-puing bangunan lagi dengan harapan yang masih sama.
***
Terik matahari membuat Jeina yang tengah mendongak memicingkan mata. Gadis itu mendengkus sebal saat merasakan pegal di seluruh tubuh. Tak terhitung berapa lama mereka berjalan di atas tumpukan puing.
"Aku lelah sekali, Dev. Kapan aku menemukan orang selain kau?" Jeina duduk di atas puing yang terasa panas. Dia tak lagi peduli, rasa penatnya tak bisa diajak berdiskusi.
"Ayolah, Jein, kita tidak boleh menyerah. Setidaknya, kita harus menemukan tempat untuk bernaung. Lihat, cuacanya begitu panas dan ini di luar, cyborg bisa datang kapan saja," ucap Dev. Dia menyerahkan tasnya pada Jeina dan membungkuk di depan gadis berambut pirang itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Jeina.
"Kau lelah, bukan? Naiklah, aku yang akan menggendongmu sampai lelahmu hilang." Dev tersenyum menatap Jeina. Tanpa basa-basi, gadis itu langsung naik ke punggung Dev. Tak ada waktu untuk berdebat atau menolak, dia terlalu penat.
Dev terus berjalan sambil menggendong Jeina. Jeina sendiri menepuk pelan pundak Dev berkali-kali saat merasa menemukan sesuatu.
"Ada apa, Jein?"
"Lihatlah, bukankah itu terlihat seperti benteng?" Jeina menunjuk sebuah pagar tembok besar yang terlihat kokoh. Dev berjalan menuju tempat yang Jeina maksud, lalu menurunkan gadis itu di depan pintu yang tertutup.
"Kita menemukan yang lain, Dev!" Jeina memekik kegirangan saat melihat orang berlalu-lalang di dalam sana. Lagi-lagi Jeina mengintip melalui celah pintu untuk memastikan. Benar, itu manusia.
"Ayo, Dev, kita harus masuk. Akhirnya kita menemukan mereka," ucap Jeina. Mereka mengetuk pintu kayu besar di depannya bersamaan untuk menimbulkan suara nyaring. Jeina dan Dev benar-benar bahagia dapat menemukan apa yang mereka cari selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top