Monster #2
"Karena kadang, untuk menghidupkan satu monster, seorang manusia harus dikorbankan."
***
"Cepat kejar mereka! Jangan sampai lolos!"
Aku bisa mendengar teriakan parjurit sektor 35 yang diperintah untuk menangkapku dan Eddy. Tidak, sebenarnya yang mereka inginkan itu aku. Mereka tidak peduli jika Eddy harus mati.
Sebelumnya Eddy bilang, siang ini akan terjadi pemberontakan. Dan dia sudah menyusun rencana untuk membawaku kabur dari tempat memuakkan itu. Namun ternyata, semua itu hanya simulasi. Hingga kami yang sudah melancarkan aksi pun, tertangkap basah oleh prajurit dan jelas, mereka langsung melapor pada Arnold─pimpinan sektor 35.
Kami terus berlari dan hanya berlari, secepat mungkin tanpa menoleh ke belakang. Aku di belakangnya, tertinggal beberapa langkah. Dia berlari terlalu cepat hingga tubuh mungilku tak bisa mengimbanginya. Suara sirine terdengar samar ketika kami mulai memasuki hutan.
Aku kehabisan napas. Kakiku terluka akibat tergores ranting─atau apa pun itu aku tidak tahu─dan tak kuat lagi menopang tubuh kecil ini. Aku, kelelahan.
"Em!" Eddy berbalik saat aku ambruk di atas tanah yang tertutup dedaunan, lalu bergegas menghampiriku. "Kau baik-baik saja?" tanyanya tenang namun matanya menyiratkan kekhawatiran.
Aku menggeleng. "Aku tidak bisa berlari lagi," ucapku tersendat. Sungguh, aku bahkan tak bisa berdiri. Mungkin karena aku terlalu lama meringkuk di ruangan gelap itu. Selama bertahun-tahun aku hanya bangun, duduk, makan, mandi, tidur, dan terus seperti itu.
"Naik ke punggungku," ucapnya setelah berjongkok memunggungiku. Aku tercenung. "Cepat!" katanya lagi menyentakkan kesadaranku.
Aku menatapnya. "Pergilah, tinggalkan aku. Yang mereka inginkan adalah aku."
"Jangan konyol, Emily!" serunya terdengar frustrasi. Ia melihat ke arah belakangku dengan cemas. "Cepatlah, mereka semakin dekat! Kita harus sampai di tempat itu agar Arnold tak bisa melacakku."
Aku menggeleng sekali lagi. Arnold bukan manusia─maksudku dia tidak punya hati─dia akan membunuh siapa pun yang menentangnya. Jika ia berhasil menemukan kami, ia pasti membunuh Eddy. Ia tak akan membunuhku karena dia menginginkanku─membutuhkanku menjadi senjatanya. Tapi Eddy, ia hanya prajurit biasa yang tak berarti apa-apa. Namun berani membawa tahanannya kabur.
"Ayolah, Em! Kita tidak punya banyak waktu."
Dor!
Aku terperanjat mendengar suara letusan pistol itu. Lalu terdengarlah dari pengeras suara sebuah perintah, "Prajurit 177! serahkan dirimu jika kau tidak ingin mati!"
"Sial!" Eddy mengumpat pelan. Ia kembali memunggungiku, meraih kedua tanganku dan menaruh di bahunya. Lalu mengangkat tubuhku─seolah mengangat sekarung kapuk─ke atas punggugnya.
"Ed!"
"Aku sudah berjanji untuk mebebaskanmu, Em," ujarnya pelan namun tegas.
Aku terpaku. Kenapa dia begitu peduli padaku?
Dor!
Aku memekik mendengar suara tembakan kedua. Eddy berlutut; mengerang kesakitan. Apa yang terjadi? Kena─Ya Tuhan! "Eddy!" pekikku saat mengetahui kaki kirinya terkena tembakan. Ia mencoba berdiri dan berusaha berlari dengan aku yang masih berada di punggungnya. Suara tembakan kembali terdengar dan Eddy kembali terjatuh. Kali ini, aku jatuh dari punggungnya. Ia tak berdaya.
"Prajurit 177! Menyerahlah!"
Bagaimana bisa mereka sampai begitu cepat? Aku gemetar ketakutan. Aku takut Eddy terbunuh. Aku takut kehilangan satu-satunya orang yang memperlakukanku seperti manusia.
Aku melihat sekeliling, puluhan prajurit dan belasan tank mengepung kami berdua. Arnold berjalan dengan santainya di depan seluruh prajurit sektor 35. Ia tersenyum puas, menatapku penuh kemenangan.
Aku bersumpah, aku membenci mata zamrud itu. "Lepaskan Eddy! Lalu aku akan pergi bersamamu," kataku tegas mencoba bernegosiasi, karena aku tahu kami tidak bisa lagi melarikan diri.
Ia tertawa sangat keras. "Kau terlalu percaya diri, Sayang,"─ia mengambil pistol dari balik mantel dan menodongkannya padaku─"aku bisa saja membunuhmu dan ... pria itu."
"Jangan lukai Eddy!" seruku. Aku tahu ini percuma, tidak ada pengampunan bagi Arnold. Lalu aku harus bagaimana?
Eddy beringsut ke depanku dengan tertatih. Ia berdiri dengan kakinya yang terluka.
"Apa yang kau lakukan, Ed?"
"Aku akan melindungimu," katanya sungguh-sungguh.
Arnold tertawa sangat keras sambil memegangi perutnya. Seolah menyaksikan sepasang badut yang tengah bermain drama. "Mengharukan sekali...," ujarnya tak sungguh-sungguh. Tawanya reda dan dalam sepersekian detik wajahnya kembali dingin dan bengis, lalu suara tembakan kembali terdengar.
Aku memekik kaget saat Eddy kembali terjatuh; berlutut di depanku. Kali ini tangan kanannya yang mengeluatkan darah. Aku menatap Arnold geram. "Apa yang kau lakukan?!"
Satu tembakan lagi di tangan kiri, Eddy terkapar di tanah. Aku terkejut. Tanganku gemetaran meraih Eddy dalam pangkuanku. "Ed, bertahanlah. Kumohon...."
"Ya Tuhan, maafkan aku. Tanganku tak terkontrol," ucap Arnold terdengar sangat menjijikan bagiku.
Sementara Eddy tak mengatakan apa-apa. Seluruh prajurit mengelilingi kami. Tidak ada cara untuk kabur, tidak ada cara untuk melawan. Bagaimana agar aku bisa menyelamatkannya?
Aku bangkit, menatap Arnold. "Aku akan menuruti kemauanmu asal kau melepaskan Eddy," ucapku tak main-main.
"Sekalipun membunuh?"
"Ya," jawabku tanpa bernapas.
Arnold nampak menimang. "Baik, kemarilah."
Aku menoleh pada Eddy. Ia menggeleng; menyuruhku untuk tidak pergi. "Jangan percaya padanya," ucapnya lirih. Ia sudah kehilangan terlalu banyak darah.
"Aku harus mencobanya," ucapku mantap.
"Em...."
Aku tak menghiraukan panggilannya dan terus berjalan menuju Arnold yang tengah tersenyum miring. Aku berhenti beberapa langkah di hadapannya. Kami saling bertatapan. "Bunuh dia," ucapnya masih menatapku.
Aku terbelalak. Suara tembakan dari berbagai penjuru terdengar. Aku menoleh ke arah Eddy yang tengah menjadi sasaran seluruh prajurit. "Tidak!" seruku namun sia-sia. Aku menutup mulut tak percaya. Seluruh tubuhku gemetar hebat, dan aku luruh ke tanah. Menyaksikan sosok di depanku yang kini berlumuran darah.
"Ed...." Aku memandang jasadnya nanar.
Harusnya aku tak meninggalkanmu, harusnya aku tetap di sampingmu, melindungimu. Harusnya aku tak percaya padanya. Harusnya aku....
Tanganku mengepal kuat. "Bajingan keparat!" geramku tak tertahankan. Aku merasakan energi baru mengalir ke dalam tubuhku, bergejolak dan terasa menakjubkan. Aku bangun, lalu dengan gerakan cepat tanganku sudah berada di leher pria itu. Pria yang membunuh Eddy.
Ada yang aneh, aku menyentuh langsung lehernya, tapi ia tidak mati. Kulihat seringaian licik di wajahnya.
"Kekuatanmu tidak berlaku untukku Emily," ucapnya tersendat karena lehernya kucekik dengan erat.
"Apa maksudmu?" Setahuku hanya Eddy yang tidak mempan pada kutukanku.
Ia menyeringai. "Aku memiliki DNA yang sama dengannya."
Aku terbelalak. Apa katanya? DNA yang sama?
"Dia anak ayahku."
Cekikanku semakin erat, bahkan kukuku menembus kulitnya. "Lalu kenapa kau membunuhnya? Berengsek!" seruku lalu mengangkat tubuhnya ke atas. Tidak kusangka dia seringan ini. Aku tersenyum puas. Merasakan sensasi baru yang belum pernah kurasakan. Dia kejang-kejang, kakinya berayun di udara dan aku menikmatinya. Aku tidak pernah tahu kalau aku sekuat ini.
"Emily...." Dia masih bisa berbicara rupanya. "Karena kadang, untuk menghidupkan satu monster, seorang manusia harus dikorbankan," ucapnya dengan senyum menjijikkan.
Menghidupkan monster dia bilang? Aku semakin meremas lehernya dan dia mengerang kesakitan. Aku sangat kesal, menyadari fakta bahwa akulah monster itu. Dan karena dia telah membunuh Eddy. Aku tidak akan mengampuninya. Lalu kuhempaskan tanganku dan dia terlempar sejauh dua puluh meter. Tubuhnya menabrak pohon dan kini dia tak berdaya. Suara tembakan kembali terdengar. Semua prajurit mengarahkan pistol padaku. Namun anehnya, aku tidak terluka. Rasanya seperti dilempari batu kerikil─persis ketika aku masih di sekolah dasar.
Mengetahui aku yang tak terluka sama sekali, seluruh prajurit berhenti menembak. Aku bisa melihat ketakutan dari mata dan wajah mereka.
"Kalian telah membunuh Eddy. Aku akan menghancurkan kalian!"
Tanganku mengepal, aku bisa merasakan energi berkumpul di kepalan tanganku. Lalu aku meninju tanah yang aku pijak. Getaran hebat tercipta, layaknya gempa. Bumi mulai retak dan menciptakan beberapa belahan, pohon-pohon tumbang, seluruh prajurit kelimpungan, mencoba menyelamatkan diri. Bumi terbelah akibat tinjuku. Dan mereka semua terjatuh ke dalamnya.
Mereka semua mati. Kecuali aku.
Kalian bisa menyebutku monster.
============================
-FIN.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top