Monster #1

"Di tempat gelap dan dingin ini, aku hidup."

***

"Pembunuh!"

"Pergi kau dari sini!"

"Kau bukan manusia!"

"Dasar monster!"

Mataku terbuka bersamaan dengan deru napas yang memburu. Menyadari aku masih berada di tempat yang sama─dengan mimpi buruk yang sama─aku menarik napas perlahan. Udara dinginlah yang pertama kali menyapaku. Aku rasa, ini pagi hari.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tidak ada yang berubah. Aku masih di sini, di ruangan ini. Ruang persegi dengan dua pintu tanpa jendela. Tanpa perabot, tanpa hiasan dinding, tanpa apa pun. Lantai yang dingin tanpa ubin. Dinding yang dingin terbuat dari batu bata tanpa dilapisi semen, yang bahkan warnanya pun aku tidak yakin lagi apakah berwarna merah atau jingga. Tidak ada cahaya sedikit pun. Ruang kosong yang gelap dan dingin.

Delapan tahun, aku menghabiskan waktu di dalam ruangan gelap, pengap dan dingin ini. Tanpa matahari, tanpa udara segar. Ruangan ini lebih buruk dari penjara. Bertahun-tahun, aku tidak merasakan hangat mentari atau bahkan sekadar melihat sinarnya. Dan aku tidak pernah mendapat sentuhan lagi.

Aku tidak tahu apakah dunia sudah berubah sekarang, apakah dunia sudah menjadi lebih baik setelah membuangku. Aku penasaran. Aku ingin melihat matahari, merasakan angin, menatap langit, menikmati hujan, aku ingin pergi ke dunia itu lagi. Seperti dulu. Aku ingin pergi. Dan aku ingin seseorang menyentuhku.

Aku mendengar suara langkah kaki, semakin dekat. Bukan satu, tapi dua. Mereka menuju ruangan ini. Lalu pintu di hadapanku terbuka, menampilkan sosok seorang parjurit yang membawa nampan dan seorang pria yang telah menahanku selama bertahun-tahun.

"Pagi, apakah tidurmu nyenyak?" Pria itu mendekat ke arahku. Sementara si prajurit menaruh nampan berisi sesuatu yang biasa aku makan saat aku lapar. Aku tidak yakin apakah itu makanan manusia atau makanan hewan.

Aku tak menjawab atau bergerak sedikit pun. Aku selalu duduk dan tidur seperti ini. Bersandar pada dinding keras dan dingin sambil memeluk lutut. Apa dia berpikir aku bisa tidur nyenyak dalam ruang dan keadaan seperti ini?

Pria itu berdecih dan menyodorkan nampan ke depanku dengan kasar. "Makanlah, aku ingin kau melakukan sesuatu hari ini."

Aku menatap mata kehijauan yang dingin dan kelam itu. "Apa yang kau ingin aku lakukan?" tanyaku serak.

Ia mendekat ke arahku. Tepat di depan wajahku dia. "Menyentuh mereka," ucapnya dengan seringaian licik.

"Tidak akan pernah!" Aku menggeram. "Selamanya aku tidak akan pernah melakukannya! Aku tidak bisa ... aku...." Pikiranku kembali pada masa itu, di mana semuanya dimulai sejak saat itu. Ketika aku ingin menyematakan seorang gadis namun yang terjadi malah kebalikannya.

Tangannya yang menggunakan sarung tangan menyentuh wajahku. Mengapit kedua pipiku dengan jemarinya. "Dengar. Itu gunanya kau di sini. Aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri, setelah itu aku akan putuskan apa yang akan aku lakukan padamu selanjutnya," ujarnya sedingin gunung Rinjani.

Aku merasakan tubuhku gemetar. "Aku tidak mau membunuh mereka," ucapku terbata. "Bunuh saja aku, aku mohon padamu," pintaku dengan sepenuh hati. Aku benar-benar ingin mati, tapi sekeras apa pun aku mencobanya aku selalu gagal.

Dia menghempaskan wajahku. "Aku tidak suka penolakan," ucapnya terlihat marah. Lalu berpaling pada prajurit yang datang bersamanya. "Pastikan kau membawanya ke lapangan," titahnya.

"Ya, Sir!" Prajurit itu mengangguk patuh. Lalu mereka berdua meninggalkanku sendirian, lagi.

Aku menatap makanan di depanku. Aku tidak lapar. Aku ingin mati. Aku ingin mati. Aku menangis. Kenapa dia membiarkanku hidup untuk membunuh? Dia bahkan tak memandangku sebagai manusia. Ya, mereka bilang aku bukan manusia. Aku monster. Aku pembunuh. Aku tak diinginkan. Aku dibuang.

Lalu, apa bedanya dengan mereka yang tak punya belas kasih pada makhluk sepertiku? Mereka menyiksaku. Membunuh orang tak bersalah tanpa belas kasih sedikit pun.

Aku terkejut saat pintu di hadapanku kembali terbuka. Dia, prajurit yang tadi bersamanya. Masuk setelah melihat keadaan yang sepertinya aman. Lalu menghampiriku.
Aku setengah ketakutan saat ini. Apa yang akan ia lakukan?

Ia berjongkok di depanku. Menatapku dengan siaga penuh. "Dengar, aku akan menolongmu. Aku akan membawamu pergi dari tempat memuakkan ini. Siang nanti ikutlah denganku, untuk saat ini, ikuti saja kemauannya. Akan ada saatnya aku membawamu pergi, aku telah merencanakan pemberontakan."

Aku menatapnya penuh tanya. Kenapa dia mau menolongku? Kenapa dia peduli padaku? Apa dia tidak takut padaku? Apa dia sungguh-sungguh? Bagaimana aku bisa percaya pada kata-katanya? Aku bahkan tak mengenalnya.

"Emily," ucapnya begitu lirih hingga menyentakkan dadaku. Bagaimana bisa ia tahu namaku? Bagaimana ia bisa memanggilku seolah-olah kami saling mengenal, seolah-olah kami sangat dekat.

"Percayalah padaku," ucapnya lagi.

Aku menatap bola matanya yang berwarna biru, mata yang indah, hangat dan dalam. "Kau, kenapa ... bagaimana ...."

"Kau tidak ingat padaku?" tanyanya lagi semakin membuatku bingung. Aku memperhatikan wajahnya sekali lagi. Aku sangat menyukai matanya. Mengingatkanku pada seseorang. Tapi tidak mungkin dia orangnya.

Aku menggeleng pelan. "Siapa ...."

"Ini aku, Eddy. Aku sangat merindukanmu, Em."

Mataku membulat sempurna. Benarkah dia Eddy? Sahabat kecilku? Untuk sesaat, aku terpana. Lupa akan segalanya dan jatuh pada kedalaman mata birunya.

"Ed ... kau kah?" tanyaku sangsi, dia memang mirip dengan Eddy, hanya saja sekarang ia berperawakan tinggi, kulitnya berwarna kecokelatan, berotot dan ... tampan. Bagaimana bisa dia sampai di sini dan menjadi prajurit pria kejam dan tak berperasaan itu?

"Iya, ini aku Em," ucapnya tersenyum sangat manis sekali. Ada perasaan aneh di dada, bibirku ikut tersungging melihat senyumnya.

"Aku juga merindukanmu, Ed. Aku senang kau masih mengenalku. Tapi, bagaimana kau bisa ada di sini? Dan ... menjadi prajurit?" tanyaku penuh rasa penasaran.

"Aku mendengar desas-desus tentang seorang gadis yang bisa memusnahkan hanya dengan menyentuh. Aku pikir itu kau," ujarnya hati-hati. Mungkin dia takut menyinggung persaaanku. Tapi aku baik-baik saja. Aku selalu baik-baik saja.

"Ya itu aku, gadis pembunuh itu aku, Ed," ucapku tertunduk sedih, kembali menyadari siapa jati diriku.

"No, Emily. Lihat aku. Aku akan menyelamatkanmu," ucapnya terdengar sungguh-sungguh. Aku mendongak.

"Kenapa?" lirihku. "Untuk apa? kau akan dalam bahaya jika bersamaku."

Eddy kembali menggeleng. Lalu ia melihat ke arah pintu, takut kalau ada orang yang memergokinya berada di ruanganku tanpa perintah. "Aku tidak bisa lama-lama, aku akan menjelaskannya lain kali. Jadi, siang nanti kau ikuti saja perintahnya. Aku akan membawamu keluar dari sini, bukankah kau sangat ingin melihat dunia luar?"

Aku mengangguk kaku, sejujurnya aku masih belum bisa memahami situasi ini dengan baik. Terlalu tiba-tiba dan ... aku sangat terkejut saat tiba-tiba dia menyentuh wajahku. Dengan cepat aku menepis tangannya.

"Apa yang kau lakukan?!" Aku rasa aku berteriak padanya. "Apa kau baik-baik saja?" tanyaku kemudian, takut kalau dia akan bernasib sama seperti orang-orang yang telah menyentuhku sebelumnya.

Eddy malah tersenyum dan menggenggam tanganku dengan erat. Aku terkejut setengah mati. Apa ia gila? Apa ia mau mati?

"Ed! Lepaskan! Aku berbahaya! Kau sendiri mengetahuinya. Tolong Ed, aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Apalagi itu dirimu. Lepaskan Ed!" Aku histeris, takut dia kenapa-napa karena diriku. Tapi dia masih tersenyum dan menggenggam tanganku.

Aku terheran-heran, mengapa tidak terjadi apa-apa padanya? Apa kekuatanku─yang aku sebut kutukan─sudah hilang? "Kau ... tidak apa-apa?" tanyaku takjub, setengah sangsi.

Lalu ia meraihku ke dalam pelukannya. Aku terpana. Untuk pertama kalinya─setelah sekian lama, seseorang menyentuhku. Pertama kalinya, seseorang memelukku. Dan dia baik-baik saja. Aku tidak melukainya. Bagaimana bisa ...? Aku merasakan sesuatu yang berdesir dalam diriku, perasaan hangat dan menyenangkan, seolah mendapat kekuatan baru mengalir dalam tubuhku. Aku merasa seperti ... penuh energi.

"Kekuatanmu tidak berlaku untukku, Em. Aku akan menjelaskannya padamu nanti." Ia melepaskan pelukannya; aku kehilangan. Lalu terdengar suara derap langkah. "Aku harus pergi sekarang," ucapnya cepat.

Tidak, jangan pergi. Aku ingin menyentuhnya lebih lama. Aku ingin dia memelukku lebih lama.

"Baiklah," ucapku pada akhirnya.

Ia tersenyum sekilas kemudian bergerak cepat meninggalkanku dengan segala kebingungan. Aku melihat kedua tanganku, tersenyum untuk diriku sendiri. Aku sangat bahagia. Ada seseorang yang bisa menyentuhku, memelukku tanpa terluka. Tanpa tersakiti. Tanpa aku harus membunuhnya. Dan ia adalah Eddy, sahabat kecilku.

Mungkin Tuhan memang masih ada, dan Ia memberiku malaikat penolong. Memberiku secercah harapan yang sebelumnya tak pernah kuharapkan─atau mungkin aku yang tak berani berharap. Eddy, sekarang aku punya alasan untuk bertahan hidup.

Aku percaya padamu, Ed.

=====

Tbc.

Hai! Aku punya cerita, yang udah lama aku tulis sebenarnya. Cerita yang dulu sempat jadi tugas di grup warna kesayangan, sekaligus tugas pertama yang aku buat 🙊. Lalu aku putusin buat post di sini, iseng aja sih. Haha. Cerita ini terinspirasi dari novel Shutter Me Trhirology. Mungkin ada yang pernah baca? Aku Suka banget sama ceritanya!

Ini bukan novel, tapi cermin dan cuma dua part. Part berikutnya akan segera dipost. Semoga suka!
❤❤❤

Jangan lupa jejak cantiknya ya! 💕

With Love,
Tinny Najmi

Subang,
27 Januari 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top